Apa! Kamu menghamili Nessa dan memutuskan pertunanganmu dengannya,” kata sang Ibu dengan amarah yang tak disembunyikan, bahkan dia sudah memukuli bahu Bisma yang masih duduk di sofa membuat laki-laki itu terkejut.
“Arlin! Diam! Jika kamu tidak bisa berpikir bijak keluar dari sini,” sergah sang Ayah dingin.“Bagaimana kamu bisa setenang itu, Pa anak kamu menghamili anak gadis orang dan tak mau bertanggung jawab,” katanya dengan marah.“Bukan aku yang menghamili Nessa,” Bisma berkata dengan datar. “Jadi tidak ada yang perlu aku pertanggung jawabkan.”“Tapi bagaimana mungkin Nessa gadis yang baik–““Baik menurut Mama belum tentu baik untukku, buktinya dia sekarang hamil dan ingin melimpahkan tanggung jawab padaku.”“Bisakan kamu yang melakukannya tapi tak mau mengaku, Nessa sangat cantik dan kalian sering terlihat bersama,” kata Mama Bisma tak mau menyerah. Bisma sampai heran sebegitunya Ibunya membelaNirmala baru saja membenarkan selimut yang digunakan Nia, sudah dua hari ini Adiknya itu harus menginap di rumah sakit dan dua hari ini pula Nirmala harus rela tidur di sofa yang ada di ruang rawat Nia. Bahkan bisa dibilang Nirmala selalu berada di sini, dia tak tega meninggalkan sang Adik lama-lama meski ada Budhenya atau Gita yang menawarkan diri menggantikan Nirmala di sini. Persoalan toko dan membuat kue dia serahkan sepenuhnya pada Mbak Ratna dan Rina. Meski kadang-kadang jika ada hal yang mendesak atau Rina tak bisa membuat suatu kue, Nirmala harus rela pulang sebentar dan menitipkan Nia pada perawat yang berjaga.Kadang Radit juga menemaninya di sini kalau dia sedang libur kerja. “Assalamualaikum, Sayang.”Nirmala terlonjak saat mendapati wajah tampan Radit berada di sisi wajahnya, dia harus mengerjap beberapa kali memastikan apakah dia benar Radit atau penunggu kamar ini yang menyerupai Radit. Dipandangnya sosok itu dari atas ke bawah k
“Menurut, kalian bagaimana?” malam hari Nirmala sudah muncul lagi di ruang rawat Nia, di sana sudah ada Budhe dan Mbak Gita juga yang tadi menjaga Nia, sebenarnya Gita tidak keberatan kalau harus menjaga Nia malam ini kebetulan caca dan suaminya sedang berkunjung ke rumah mertunya, dan Gita memutuskan tidak ikut dan akan membantu Nirmala menjaga Nia. Tapi dasar Nirmala yang memang keras kepala, dia malah muncul lagi di sini.Dan sekarang mereka sedang membicarakan perihal lamaran Radit kemarin yang nggak ada romantis-romantisnya.“Sebenarnya hatimu sendiri bagaimana, Nduk kamu sudah menerima Radit sepenuhnya atau belum?” tanya Budhe.“Menikah itu bukan untuk sehari dua hari tapi untuk selamanya sampai ajal menjemput, jadi kamu harus tanyakan dulu ke hatimu sendiri, sudah mantap apa belum jangan lupa kamu juga harus tanya pada Gusti Allah, lewat sholat istikharah.” Budhe mamandang Nirmala dengan sayang.“Kalau Budhe se
Sudah dua hari ini Nirmala tidak dapat menghubungi Radit, biasanya setiap hari laki-laki itu selalu mengirimkan pesan padanya entah hanya untuk mengobrol hal yang tak penting atau menanyakan tentang keseharian Nirmala. Tapi dua hari ini tak ada pesan sama sekali ponselnya mati saat Nirmala meneleponnya dan pesan yang dikirim melalui WhatsApp hanya centang satu saja. Nirmala akan mengerti kalau Radit masih mengikuti seminar tapi menurut jadwal yang dia beritahukan pada Nirmala dia sudah pulang dua hari yang lalu. Apa Radit marah karena dia masih menggantung lamarannya dan belum menjawab apapun. Atau Radit mulai bosan padanya dan memilih mencari yang lain. Berbagai pikiran negatif berseliweran di benaknya. “Apa tidak sebaiknya, Mbak telepon ibunya mungkin saja dia memang sedang ada pekerjaan penting jadi tidak bisa mematikan ponsel,” kata Nia suatu sore saat Nirmala mengeluh tak dapat menghubungi Radit untuk kesekian kalinya.
Agha masuk dengan tergopoh-gopoh untunglah jarak rumahnya dan Radit hanya sekitar lima menit jika ditempuh dengan mobil itupun dengan catatan jika tidak macet, tapi syukurlah hari ini entah mengapa kendaraan seolah enggan mengukur jalan, jadi Agha bisa memacu mobilnya dengan kencang."Radit kenapa, La?" Agha menerobos masuk dan menemukan mereka berdua dalam kondisi duduk di lantai, syukurlah tadi Nirmala tak mengunci pintu jadi Agha bisa langsung masuk."Lemes, Mas habis muntah juga, aku nggak kuat angkat.""Ya sudah aku bantu." mereka berdua bekerja keras mengangkat tubuh besar Radit yang antara sadar dan tidak.Mereka sama-sama menghembuskan nafas lega setelah berhasil mengangkat atau tepatnya menyeret tubuh besar Radit ke sofa."Dia tadi kenapa, kok bisa begini?"Nirmala menceritakan dengan ringkas tentang ponsel Radit yang mati dua hari ini dan juga dia yang menyuapi Radit dan memberinya paraceta
Pagi harinya Radit sudah agak mendingan setelah bangun pagi laki-laki itu sudah bisa duduk layaknya orang beradab, wajahanyapun tak sepucat kemarin. Dan yang lebih penting dia sudah bisa menggombal pada Nirmala. Bukankah tandanya dia berangsur sembuh.“Kamu sudah kelihatan lebih baik.”“Aku memang baik-baik saja, sudah kubilang kan, biasanya aku hanya istirahat di rumah sudah sembuh.”“Yakin cuma istirahat di rumah sudah sembuh bukan karena takut obat dan jarum suntik,” goda Nirmala yang menyaksikan secara langsung drama yang dibuat Radit saat akan memasukkan jarum infus ke lengannya meski sudah setengah sadar dia tetap ngotot tidak mau diinfus terpaksa Nirmala harus memeluknya erat agar dokter bisa bekerja dengan baik. Meski setelahnya Nirmala malu luar biasa apalagi tatapan Agha yang menatapnya menggoda. “Kau tidak memberi tahu rekan kerjamu kalau kau sakit?” tanya Nirmala yang teringat dengan pekerjaan Radit
Bu Lastri baru saja kembali dari kantin rumah sakit, sambil menggerutu wanita paruh baya itu menenteng sebuah bungkusan yang berisi roti dan makanan kecil lainnya, sebenarnya anak laki-lakinya itu ingin makan kue yang dijual di toko Nirmala.Tapi sopir yang tadi mengantarkannya ke sini sudah dia suruh pulang dan di toko Nirmala belum ada sistem pesan antar. Bisa saja dia meminta bantuan Agha atau siapa untuk membelikan tapi sekali-kali membuat anak bandelnya itu menikmati makanan di rumah sakit tak ada salahnya. Batinnya geli.“Kenapa kalian ada di luar siapa yang datang?” Tanya Bu Lastri yang melihat Nirmala dan Agha duduk di luar dengan wajah yang tidak biasa. Agha memandang tantenya sejenak, lalu memandang Nirmala yang terlihat kesal. “Dayang-dayangnya Radit, Tante,” jawab Agha sambil nyengir tak enak hati pada Nirmala. Bu Lastri hanya memandang mereka tidak mengerti, bergegas dia masuk ke melihat ke dalam r
“Kamu masih marah, Yang?” tanya Radit yang saat ini berjalan-jalan di taman rumah sakit ditemani Nirmala yang membantunya membawakan botol infus sebenarnya tadi Radit sudah berniat melepasnya karena merasa sudah sembuh, tapi pelototan mata Nirmala membuatnya mengurungkan niatnya itu.“Tidak,” jawab Nirmala singkat.“Kok dari tadi diam saja, nggak mau senyum juga padahal aku kan pingin lihat senyum cantikmu,” kata Radit dengan pandangan menggoda. “Ayo coba senyumnya mana, Yang.” Bukannya tersenyum seperti permintaan Radit Nirmala malah memandang laki-laki itu dengan wajah ditekuk. “Bisa nggak jangan panggil aku dengan sebutan yang,” katanya sambil memanyunkan bibir membuat Radit gemas setengah mati.“Lah biasanya juga aku panggil kamu sayang, kamunya diam saja nggak protes, kenapa sekarang baru protes.”“Dulu nggak masalah sekarang jadi masalah.”“Lah masalahnya di mana?” tanya Radit tak mengerti. “K
Sudah satu minggu Radit keluar dari rumah sakit, sakitnya juga sudah sembuh dan dia sudah bisa melakukan aktivitas biasa yang dia lakukan. Bahkan dua hari ini dia harus lembur menggantikan temannya yang sedang mengikuti seminar di luar kota. Nirmalalah yang kerap kali mengomel, pacar cantiknya itu khawatir dia akan jatuh sakit lagi, tapi dasar Radit dengan bujuk rayunya dia meyakinkan Nirmala kalau dia akan baik-baik saja. Makan dengan teratur dan minum vitamin. Tapi Nirmala yang telah sedikit memahami sifat Radit tak begitu saja percaya. Jadi di sinilah mereka sekarang, di pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kota mereka. Berbelanja semua kebutuhan Radit.“Harus banget ya, Hon, kita belanja kebutuhan bahan mentah, siapa juga nanti yang akan masak. Aku nggak bisa masak,” kata Radit protes saat Nirmala menyeretnya ke bagian makanan mentah.“Ya akulah. Aku akan setiap hari masakin kamu makanan.” Radit memandang Nirmala ragu.
Pagi ini Nirmala kembali menyambangi butik larisa, jika kemarin dia datag sendiri dan bertemu Bu Lastri di sini, kali ini dia tak mau lagi, bukan karena dia terlalu manja, tapi karena males mendengar mulut cerewet Radit. Bagaimana tidak kemarin dia tak datang saat fitting baju untuk lamaran, dan saat hari H, melihat bagaimana Nirmala memakai gaun itu, bukannya pujian yang dia lontarkan malah nyinyiran.“Kenapa bajunya terbuka banget kayak gitu, Hon? Dan modelnya juga kenapa ketat banget kamu jadi kayak lontong tinggal dikasih kuah saja.”Nirmala hanya cemberut sambil menatap gaunnya, dia tidak mengerti terbuka dari mana coba. “Makanya kalau disuruh datang fitting itu datang jangan kebanyakan alasan untung Nirmalanya nggak batalin.” Bu Lastri yang saat itu bersama Nirmala melotot pada putranya itu. “Banyak kerjaan, Ma. Nggak bisa diundur.”“Ya sudah diam saja kalau begitu jangan banyak omong, kalau nggak suka ya jangan dilihat.” Nirmala tersenyum geli saat melihat Radit yang tak be
“Jadi ini karena penyakit ramahmu yang di atas normal itu?”Radit langsung manyun saat sikapnya yang ramah pada semua orang dibilang penyakit. Dia hanya ingin mempraktekkan apa yang diajarkan guru agamanya waktu SD bahwa senyum itu sama dengan shodaqoh, jadi kita harus banyak senyum biar pahala shodaqoh kita tambah banyak. Waktu itu uang sakunya tiap hari tak banyak, orang tuanya memang kaya raya tapi bukan berarti memberikan uang saku yang berlimpah padanya. Jadi dia yang pingin banget bershodaqoh berusaha mencari jalan lain, salah satunya dengan banyak senyum. “Itu bukan penyakit kali, Honey. Orang senyum itu dapat pahala.” “Iya tapi kalau terlalu banyak senyum dikira orang gila.” “Mana ada orang gila seganteng aku.” Nirmala memutar bola matanya mendengar kenarsisan Radit. “Memang penyakit gila itu tahu orang tampan atau enggak.” Ini mereka lagi ngomongin apa sih,
Dirapatkannya jaket tebal yang dia kenakan, kenapa harus sedingin ini sekarang. Dia berdo’a dalam hati semoga saja Nirmala tidak langsung mengusirnya. Paling tidak, ada secangkir minuman hangat untuknya. Tok… tokRadit mengetuk pintu itu dengan sedikit ragu, beberapa kali dia ulangi, tapi tetap saja pintu itu tak mau terbuka. Dia menoleh ke arah samping tempat yang dia ketahui sebagai dapur yang digunakan untuk memproduksi kue yang mereka jual. Nirmala pasti ada di sana sedang sibuk dengan berbagai kue. Radit tersenyum mengingat Nirmala yang selalu bersemangat membuat kue.“Apa sebaiknya aku ketuk pintu dapur saja,” gumamnya.Jalanan masih sangat lengang, jam dinding masih menunjukkan pukul lima pagi, sholat subuh telah dia tunaikan tadi di rumah. Udara yang dingin masih setia menyelimuti, bahkan untuknya yang terbiasa dengan AC yang sangat dingin masih merasakan tubuhnya menggigil. Ini bukan pertama kalinya dia berkendara dini hari, dia bahkan sering mendapat panggilan tugas yang
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa