Pagi harinya Radit sudah agak mendingan setelah bangun pagi laki-laki itu sudah bisa duduk layaknya orang beradab, wajahanyapun tak sepucat kemarin. Dan yang lebih penting dia sudah bisa menggombal pada Nirmala. Bukankah tandanya dia berangsur sembuh.
“Kamu sudah kelihatan lebih baik.”“Aku memang baik-baik saja, sudah kubilang kan, biasanya aku hanya istirahat di rumah sudah sembuh.”“Yakin cuma istirahat di rumah sudah sembuh bukan karena takut obat dan jarum suntik,” goda Nirmala yang menyaksikan secara langsung drama yang dibuat Radit saat akan memasukkan jarum infus ke lengannya meski sudah setengah sadar dia tetap ngotot tidak mau diinfus terpaksa Nirmala harus memeluknya erat agar dokter bisa bekerja dengan baik.Meski setelahnya Nirmala malu luar biasa apalagi tatapan Agha yang menatapnya menggoda.“Kau tidak memberi tahu rekan kerjamu kalau kau sakit?” tanya Nirmala yang teringat dengan pekerjaan RaditBu Lastri baru saja kembali dari kantin rumah sakit, sambil menggerutu wanita paruh baya itu menenteng sebuah bungkusan yang berisi roti dan makanan kecil lainnya, sebenarnya anak laki-lakinya itu ingin makan kue yang dijual di toko Nirmala.Tapi sopir yang tadi mengantarkannya ke sini sudah dia suruh pulang dan di toko Nirmala belum ada sistem pesan antar. Bisa saja dia meminta bantuan Agha atau siapa untuk membelikan tapi sekali-kali membuat anak bandelnya itu menikmati makanan di rumah sakit tak ada salahnya. Batinnya geli.“Kenapa kalian ada di luar siapa yang datang?” Tanya Bu Lastri yang melihat Nirmala dan Agha duduk di luar dengan wajah yang tidak biasa. Agha memandang tantenya sejenak, lalu memandang Nirmala yang terlihat kesal. “Dayang-dayangnya Radit, Tante,” jawab Agha sambil nyengir tak enak hati pada Nirmala. Bu Lastri hanya memandang mereka tidak mengerti, bergegas dia masuk ke melihat ke dalam r
“Kamu masih marah, Yang?” tanya Radit yang saat ini berjalan-jalan di taman rumah sakit ditemani Nirmala yang membantunya membawakan botol infus sebenarnya tadi Radit sudah berniat melepasnya karena merasa sudah sembuh, tapi pelototan mata Nirmala membuatnya mengurungkan niatnya itu.“Tidak,” jawab Nirmala singkat.“Kok dari tadi diam saja, nggak mau senyum juga padahal aku kan pingin lihat senyum cantikmu,” kata Radit dengan pandangan menggoda. “Ayo coba senyumnya mana, Yang.” Bukannya tersenyum seperti permintaan Radit Nirmala malah memandang laki-laki itu dengan wajah ditekuk. “Bisa nggak jangan panggil aku dengan sebutan yang,” katanya sambil memanyunkan bibir membuat Radit gemas setengah mati.“Lah biasanya juga aku panggil kamu sayang, kamunya diam saja nggak protes, kenapa sekarang baru protes.”“Dulu nggak masalah sekarang jadi masalah.”“Lah masalahnya di mana?” tanya Radit tak mengerti. “K
Sudah satu minggu Radit keluar dari rumah sakit, sakitnya juga sudah sembuh dan dia sudah bisa melakukan aktivitas biasa yang dia lakukan. Bahkan dua hari ini dia harus lembur menggantikan temannya yang sedang mengikuti seminar di luar kota. Nirmalalah yang kerap kali mengomel, pacar cantiknya itu khawatir dia akan jatuh sakit lagi, tapi dasar Radit dengan bujuk rayunya dia meyakinkan Nirmala kalau dia akan baik-baik saja. Makan dengan teratur dan minum vitamin. Tapi Nirmala yang telah sedikit memahami sifat Radit tak begitu saja percaya. Jadi di sinilah mereka sekarang, di pusat perbelanjaan terbesar yang ada di kota mereka. Berbelanja semua kebutuhan Radit.“Harus banget ya, Hon, kita belanja kebutuhan bahan mentah, siapa juga nanti yang akan masak. Aku nggak bisa masak,” kata Radit protes saat Nirmala menyeretnya ke bagian makanan mentah.“Ya akulah. Aku akan setiap hari masakin kamu makanan.” Radit memandang Nirmala ragu.
Nirmala kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Dia membuat kue seperti biasa, lalu menjualnya seperti biasa. Makan dan minumpun seperti biasa, semuanya seperti biasa hanya satu yang tidak biasa dalam kehidupannya beberapa hari ini yaitu hubungannya dengan Radit. Setelah kejadian di rumah Radit waktu itu mereka sepakat untuk saling memberi ruang. menata hati masing-masing. Tak dapat dipungkiri selama hampir dua bulan hubungannya berjalan, laki-laki itu mampu memberikan warna lain dalam hidupnya yang suram. Dan Nirmala baru menyadari ada perasaan kehilangan saat Radit tak menampakkan batang hidungnya selama beberapa hari atau saat laki-laki itu tak sesering dulu mengirimkan pesan padanya. Selabil itu perasaan Nirmala saat ini memang.Bahkan Nia yang belum tahu tentang hubungan sang kakak terkena imbasnya juga. Ada saja hal yang salah yang dilakukan Nia di mata Nirmala.“Label namanya di tengah, Ni kenapa kam
Nirmala menahan nafasnya saat sebuah mobil berwarna hitam memasuki halaman rumahnya, dia jelas sangat hafal mobil itu.Minggu pagi yang cerah ini dia habiskan dengan membenahi tanamannya yang sudah seabad rasanya tidak dia tengok, jadi mumpung ada waktu luang Nirmala bermaksud menyapanya.Senyum mengembang di wajah yang beberapa hari ini murung, “akhirnya dia datang,” ucapnnya lirih.Tapi senyum itu kemudian surut saat menyadari penampilannya saat ini dia hanya memakai celana selutut yang sudah pudar warnanya, dipadukan dengan kaos oblong yang terlalu besar untuk tubuhnya yang mungil, dan jangan lupakan warnanya yang sudah tidak jelas antara putih dan kuning. Belum lagi rambutnya yang hanya dicepol asal dengan sumpit yang dia temukan di meja makan. Nirmala hanya berharap mukanya terbebas dari minyak yang berlebih, dan oh ya matanya semoga tak ada kotoran di sana. Nirmala menyesal sangat menyesal kenapa hari ini
“Kita akan kemana?” tanya Nirmala siang itu Radit menjemputnya di toko, laki-laki itu sepertinya baru pulang dari rumah sakit.“Ikut saja, aku nggak punya banyak waktu setelah ini aku harus kembali ke rumah sakit,” kata Radit dengan datar. Nirmala memandang Radit dengan tatapan bingung baru kemarin laki-laki ini bertingkah sangat romantis dengan memberikannya sebuket bunga, kenapa sekarang berubah dingin. “Ada apa, kamu baik-baik saja? Apa aku ada salah sama kamu ?” tanyanya lembut“Yah semua baik-baik saja.” Hanya itu jawaban Radit yang sangat bukan Radit sekali ataukah Nirmala memang belum mengenal Radit.Benaknya berputar mencari-cari apa alasan Radit bersikap begini padanya, tapi kepalanya sampai pusing tetap tidak menemukan jawaban.Diliriknya Radit yang mengemudi dalam diam, pandangan laki-laki itu lurus ke depan, tidak ada tawa atau Radit yang jahil menggodanya.Entah kenapa ha
“Bukannya kamu mau kerja kenapa ke sini?” tanya Nirmala yang heran melihat Radit mengajaknya turun di sebuah mall.“Masih ada waktu dua jam lagi,” kata Radit. “ Yuk turun.”Nirmala menghela nafas, kenapa Radit suka sekali mengambil keputusan sendiri, kalau memang mereka mampir ke sini untuk makan, lebih baik mereka mampir di warung makan atau café saja, lebih praktis mereka tak perlu berkeliling, apalagi mall yang mereka kunjungi terlihat penuh.Dia yang bukan wanita yang hobi ngemall tentu saja sangat tidak tertarik dengan konsep ini.“Kalau cuma mau makan kenapa nggak di resto saja lebih praktis, atau bisa aku masakin di rumah kamu, biar kamunya nggak telat nanti.” “Kita nggak cuma makan di sini, dan aku nggak mau kita berdua ada di rumahku sebelum sah ya, tar yang ketiganya setan.” Pipi Nirmala memerah mengingat momen saat mereka berdua di rumah Radit dulu. Aish kenapa diingatkan sih Nirmala kan jadi malu.
Berbelanja dengan Radit memang sangat menyebalkan, tapi siapa mengira berbelanja dengan Emak Radit jauh lebih menyebalkan apalagi Nirmala tak bisa seenaknya mengeluh dia harus tetap tersenyum meski hatinya dongkol. Bagaimana tidak Nirmala harus rela berputar-putar tak tentu arah, bukan karena mereka nyasar seperti saat bersama Radit, bu Lastri jelas sering berbelanja di mall ini karena beliau sangat hafal letak toko-toko yang menjual barang yang diinginkan tapi di sinilah permasalahanya.“Kita cari tas dulu, La.” “Memang lamaran perlu tas juga, Bu bukannya cukup pakaian saja?”Bu Lastri berhenti dan memandang Nirmala sejenak lalu berkata, “mulai sekarang jangan panggil Bu tapi panggil Mama sebentar lagi kamu juga akan jadi anak mama jadi biasakan dari sekarang.”Nirmala tertegun memandang Bu Lastri dengan seksama, apakah Bu Lastri memang menerima dia sepenuhnya sebagai pendamping anaknya. Selama ini Ibu Radit me
“Mama minta kita program bayi tabung.” Radit yang baru saja melipat sarungnya menoleh pada Nirmala yang masih berbalut mukena. “Untuk apa?” tanya Radit. Nirmala menghela napas, waktu setelah sholat subuh dia pilih karena hanya waktu itu yang selalu memungkinkan mereka untuk bersama, Radit yang kadang pulang sangat malam atau bahkan dini hari dan Nirmala yang sudah terlelap membuat tak ada waktu untuk sekedar bercakap-cakap. “Kok untuk apa? sudah lama kita belum punya anak? Memangnya mas tidak mau punya anak,” kata Nirmala kesal. Untuk bicara masalah ini dia sudah berlatih sepanjang malam tadi. Sejujurnya Nirmala juga tidak suka dengan ide itu, tapi dia sadar beberapa tahun menikah belum juga punya anak dan usianya juga bertambah tua. “Aku sudah akan punya anak.” “Hah!” kepala yang semula tertunduk penuh rasa bersalah langsung terangkat, matanya melebar. R
Nirmala memasuki rumah mertuanya sore ini, pagi tadi Bu Lastri meneleponnya dan memintanya untuk ke mari.Mempunyai anak-anak yang telah beranjak dewasa membuat Bu Lastri kesepian itulah alasan beliau selalu meminta Nirmala datang ke rumahnya, meski wanita itu tak jarang juga memiliki kesibukan sendiri sehingga tak bisa memenuhi permintaan mertuanya.Berbeda untuk kali ini Bu Lastri tak mau mendengar apapun alasan Nirmala, bahkan menelepon berkali-kali untuk memastikan Nirmala bisa datang, saat ditanya ada apa beliau hanya mengatakan ada hal penting yang ingin dia katakan, membuat Nirmala sedikit was-was, apalagi hubungannya dengan Radit akhir-akhir ini agak merenggang.Radit yang lebih mementingkan pekerjaannya membuat Nirmala selalu snewen setiap hari, mereka paling hanya bertemu saat pagi hari, itu pun Radit akan buru-buru balik lagi ke rumah sakit. Tak ada lagi acara berbincang santai, atau pun membicarakan hal-hal konyol yang membuat me
Seminggu sudah Radit dibuat sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit, suaminya itu bahkan setiap hari pulang diatas jam dua belas malam dan akan berangkat lagi jam lima pagi. Mereka bahkan sudah jarang berkomunikasi bahkan lewat pesan singkat sekalipun. Kalau ditanya apa Nirmala tidak protes, jawabanya adalah sesering dia membuat kue. Tapi jawaban Radit tetap saja memintanya menunggu dengan alasan banyak pasienlah , atau akan ada seminar disuatu tempat, yang membuat Nirmala pusing sendiri dan akhirnya hanya membiarkan saja Radit dengan segala kesibukannya. Di rumah pun komunikasi mereka hanya seputaran Radit yang menanyakan baju ganti untuknya dan bekal sarapan di tiap pagi karena laki-laki itu tak akan sempat makan di rumah. Nirmala yang mengantar suaminya pergi kerja hanya menatap malas saat Radit berkata akan mengusahakan pulang secepatnya. Bukannya dia tak percaya lagi pada sang suami tapi sudah banyak k
Nirmala meregangkan tubuhnya yang meringkuk di atas ranjang. Dia menoleh ke samping, tak ada sosok yang selama dua tahun ini menemani tidurnya. "Apa tadi malam aku mimpi? tapi kok terasa nyata?" Nirmala segera memeriksa bagian samping ranjang, tidak terlalu dingin dan agak kusut, berarti tadi malam dia tidak mimpi lalu di mana sekarang suaminya? Apa sudah berangkat kerja, sepagi ini?Wanita itu bergerak malas, matanya masih sangat mengantuk, tadi malam dia menangis lama sekali, entah kenapa akhir-akhir ini dia berubah menjadi cengeng, matanya sudah pasti akan terlihat bengkak. Dengan malas Nirmala memaksakan diri untuk bangun, dia harus mengompres mukanya, akan banyak pertanyaan kalau dia muncul dengan wajah seperti itu.Benar saja matanya sebesar bola pimpong, dengan sebal dia menekan-nekan matanya dengan handuk hangat berharap matanya akan kembali seperti sedia kala. Nirmala keluar dari kamar d
Berpuluh-puluh pesan telah dia kirim tapi tak satupun yang diabalas oleh sang suami bahkan dibaca pun tidak. Nirmala sudah menyerah dengan langkah lemas dia memberekan semua, tak diperdulikannya perutnya yang sejak tadi belum terisi. Sekarang dia hanya ingin tidur dan melupakan semuanya. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul sebelas malam, mungkin sang suami sebentar lagi akan pulang tapi Nirmala sudah tak perduli. Dia terlanjur kecewa. Selama satu jam dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri di atas ranjang. Di kejauhan terdengar sirine yang berbunyi menandakan hari telah berganti. Nirmala semakin gelisah. Tidak biasanya Radit pulang selarut ini apa dia baik-baik saja? Apa perlu dia menyusul ke rumah sakit tempatnya bekerja? cuma jalan kaki sepuluh menit juga.Tapi Nirmala juga takut ini sudah tengah malam, kalau Radit sedang sibuk dengan pasiennya bagaimana? Dia akan sangat menganggu nanti. Hatinya berdebar tak nyaman akhi
Sejak pagi hari Nirmala sudah berkutat dengan berbagai macam bahan yang akan dia gunakan untuk membuat sebuah kue tart spesial. Dia sengaja membuat kue di rumahnya sendiri tidak di rumah yang dia tempati bersama Radit. Lagi pula dengan dia membuat kue di rumahnya ada Rina dan pegawai yang lain yang bisa membantu. Hari ini memang bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahannya dengan Radit yang berusia dua tahun, tak ada perayaan khusus memang dia hanya ingin makan malam bersama sang suami, berdua saja, untuk itu dia sudah memastikan berkali-kali pada Radit harus pulang kerja sebelum makan malam dan suaminya itu menyanggupi. Semoga saja memang terlaksana, sejak pembicaraan mereka beberapa hari memang belum ada perubahan sama sekali Radit tetap saja pulang sampai larut malam lalu pagi-pagi buta pergi lagi. Nirmala hanya perlu menunggu waktu satu bulan yang dijanjikan Radit.“Seneng banget yang mau makan malam
“Aku benar-benar minta maaf untuk siang tadi tapi jangan lagi mengatakan perpisahan, itu membuat aku kesakitan.”“Lalu untuk apa hubungan kita ini jika selama ini kamu seperti menjauhiku?”Radit menatap Nirmala tak mengerti. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku dan lebih percaya pada Sazi?”“Apa hubungan permbicaraan kita dengan Sazi?” “Kejadian dua tahun yang lalu,” jawab Nirmala lirih. Mengingat kejadian itu seolah mengorek luka yang masih basah. Kehilangan memang bukan hal yang mudah untuk dilupakan apalagi dia harus kehilangan anak, meski wujudnya belum dapat dia lihat. Tapi rasa bersalah itu terus bercokol dalam hatinya, dan semakin kuat berakar saat sampai sekarang belum ada yang tumbuh di rahimnya. Tak ingin Radit tahu serapuh apa dirinya saat mengingat kejadian itu, Nirmala memutar tubuhnya membelakangi sang suami. Air matanya menetes tak bisa ditahan lagi. Radit menghela nafasnya sedih, kejadian dua tahun yang lalu juga masih membekas dalam ingatannya, bukan dia menyal
Nirmala memandang Radit tajam. “Kamu sok tahu banget ini, aku dari tadi juga istirahat. Sudahlah aku mau menyelesaikan ini kamu sebaiknya pulang dulu, Mas. Aku bisa tidur di sini besok pagi pasti kamu berangkat pagi sekali.” Nirmala menekankan ucapannya pada kata ‘pasti’ yang dia yakini sebagai kebiasaan Radit. Dia bukan sedang ingin membalas dendam atau membantah suaminya sekali lagi bukan, dia hanya ingin sekali dimengerti sekali saja. Kali ini dia ingin egois, tak mau menjadi orang yang pengertian, dia sudah lelah, sangat lelah dengan semua ini. Andai saja sang suami mau sedikit berbagi dengannya membicarakannya secara baik-baik mungkin Nirmala akan bisa mengerti. Hanya itu. Dia bukan ibu peri yang selalu bisa mengerti dan memaklumi dengan sikapnya. Sesekali dia juga ingin dimengerti dan dipahami. Dia wanita yang sudah bersuami jadi selayaknya kalau dia ingin seperti orang-orang lain yang bisa sesekali pergi dengan suaminya, menghabisk
Nirmala merebahkan tubuhnya yang lelah di sebuah sofa yang memang dia sedikan untuk tempat istirahat saat sibuk di toko. Belanja bersama Gita ternyata sama lelahnya dengan berbelanja dengan Bu Lastri, mertuanya. Nirmala harus rela diseret ke sana ke mari hanya untuk membeli sebuuah gaun yang diinginkan Gita. Meski begitu Nirmala senang pergi bersama gita hari ini sedikit banyak dia bisa melupakan masalahnya. “Mbak Mala, nggak pulang?” Mbak Ratna menyapa Nirmala yang masih duduk bersandar dengan nyaman. “Mbak Ratna duluan saja, masih ada yang harus aku kerjakan.” Mbak Ratna memandang sejenak pada Nirmala, tapi kemudian menelan kembali apapun kalimat yang sudah ada di ujung lidahnya.“Ya sudah, Mbak kalau begitu aku pamit, dulu . Mbak Mala benar nggak apa-apa ditinggal sendiri atau perlu saya hubungi Nia biar kemari.” “Lah buat apa wong saya cuma mau selesaikan cupcake saja, tenang saja, Mba