Nirmala sedang memarkirkan motornya di halaman toko, dan benar saja firasatnya Mbak Ratna sedang kerepotan sendiri melayani semua pembeli yang antri.
Dasar Nia memang anak itu kalau sudah kumat bandelnya, sangat menyebalkan.Cepat-cepat Nirmala masuk ke dalam toko melalui pintu samping, menyapa Mbak Ratna sejenak, lalu dia berlari ke ruang ganti dan mengambil baju seragam yang memang sudah disiapkan untuknya.“Biar aku yang pegang kasir, Mbak.”Nirmala memperhatikan Mbak Ratna yang dengan luwes bisa menghadapi pembeli dengan baik. Bahkan saat pembeli yang sangat cerewet meminta kue ini itu, menanyakan harga dan rasanya tapi kemudian tak jadi membeli Mbak Ratna masih melayani dengan senyum terbaiknya.Kadar keramahan yang melebihi batas memang sangat diperlukan, sebagai pemilik toko jujur saja Nirmala belum bisa seperti itu, kadang dia juga sedikit kesal kalau ada pembeli yang super cerewet tapi ujung-ujungnyJam sudah menunjukkan delapan malam saat Nirmala menutup tokonya, hari ini kue basah dan berbagai roti habis terjual, hanya menyisakan beberapa kue kering yang harus segera mereka restock kembali. “Mbak Ratna tadi diantar?” Tanya Nirmala yang tidak melihat kendaraan yang dipakai Mbak Ratna terparkir di depan toko. “Iya, Mbak ini mau minta jemput,”“Bareng aku saja, Mbak nggak usah minta jemput kita tetanggaan juga.”“Mbak Mala langsung pulang, apa mau kemana dulu.”“Sebenarnya mau beli baking powder tapi kayaknya sudah tutup tokonya jam segini besok saja.”Mbak Ratna mengangguk lalu naik keboncengan motor Nirmala setelah memasang helm dan memastikan semua barangnya tak ada yang tertinggal.“Bentar, Mbak ada telepon.” Nirmala merogoh saku celana mengambil ponsel yang dari tadi menjerit, rupanya Nia yang menelpon.Sebentar Nirmala berbicara dengan adiknya itu, sedangkan Mbak
Nanti jangan tinggalin aku ya,” pinta Nirmala setelah terdiam beberapa saat.Radit menoleh heran pada Nirmala yang berubah murung, dia meraih tangan Nirmala dan meremasnya lembut. “Memangnya aku mau kemana wong sudah mentok di hati kamu,” katanya dengan wajah serius.“Maksudku jangan tinggalin aku sendiri waktu di rumah orang tuamu, aku nggak tahu bagaimana harus bersikap.”Radit tahu meski Nirmala mengatakan telah mengikhaskan Bisma dan mencoba membuka hati untuknya tapi bayang-bayang saat kebersamaannya dulu dengan Bisma pasti masih ada, luka yang dia tinggalkan untuk Nirmala masih membekas, tak bisa hilang, walau Radit sudah mencoba meyakinkan Nirmala berkali-kali. Terselip rasa marah di hatinya, kenapa Nirmala harus bersama Bisma? Kenapa mereka tidak langsung bertemu saja? Tapi Radit tahu semua itu sudah takdir yang ditentukan Tuhan, dia tak bisa melawan, hanya usaha untuk memperbaikilah yang bisa dia lakukan sekarang.“Nirmala, sayang lihat aku,” kata Radit lembut dia sudah dudu
Alih-alih mengejak Nirmala melewati pintu samping yang memang dibuka lebar untuk para tamu Radit malah memilih pintu depan yang masih tertutup rapat.“Kita lewat pintu depan saja, supaya nggak terlalu ramai.”Nirmala hanya menurut karena jujur saja dia agak segan juga menghadiri pesta para orang kaya seperti ini, sepintas tadi saat Nirmala melihat banyak wanita-wanita cantik dengan gaun indah dan tentu saja mahal yang menuju pintu samping. Nirmala memandang gaun yang dipakainya sekali lagi, kata Nia dan Radit gaun yang dipakainya tampak cantik, meski sederhana setidaknya dia harus berterima kasih pada Gita karena telah memberi kado gaun ini. Saat pintu depan dibuka mereka mendapi seorang wanita cantik yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya. Wajahnya langsung berubah cerah saat melihat Raditlah yang membuka pintu, tapi senyum itu berubah menjadi keheranan saat melihat siapa yang datang bersama Radit. “Jan
“Bentar, Yang aku ke kamar mandi dulu, atau kamu mau ikut,” pamit Radit pada Nirmala yang sedang duduk dengan para sepupunya.“Aku di sini saja,” bisiknya bukan apa-apa dia memang masih sangat grogi tapi tak mungkin dia terus menempel pada Radit.Radit mengangguk lalu meninggalkan Nirmala bersama para sepupunya. Para sepupu Radit memang tak seramah orang tuanya, pandangan mencemooh ataupun kata-kata cibiran setelah tahu latar belakang Nirmala tak dapat dia hindari jika tadi ada Radit yang membelanya, yang membuat mereka berlaku sopan meski tak suka, tapi saat Radit beranjak pergi mereka mulai menyerang Nirmala dengan kata-kata yang memrahkan telinga.Tapi Nirmala bukan orang lemah yang gampang putus asa, dia tak akan bisa berdiri diatas kakinya sendiri seperti sekarang kalau sudah menyerah hanya dengan pandangan orang. Berusaha untuk tidak ambil pusing dengan kelakuan sepupu Radit, Nirmala berusaha menikmati makanan
Radit memandang langit-langit kamarnya dengan muram, baru saja dia mengantar Nirmala pulang ke rumahnya, pacarnya itu tak dapat meninggalkan rumah terlalu lama karena harus membuat kue kering yang hampir habis di tokonya. Tapi bukan itu yang membuat Radit resah, tapi kejadian tadi sore saat pesta berlangsunglah yang membuat matanya tetap nyalang meski kantuk sudah menggelayuti mata. Namanya Sazi, sepupu Radit dari pihak ibu. Dulu mereka sering bermain bersama, Sazi dan Rara adiknya selalu mengekori kemanapun dia pergi, bahkan saat mereka sudah beranjak remaja Radit yang selalu mengantar jemput mereka ke sekolah. Lalu mereka akan berkeliling mall untuk berburu barang yang mereka inginkan.Mungkin dari kedekatan itu tumbuh perasaan lain di hati Sazi, pada akhir Masa putih abu-abunya Sazi menyatakan cinta pada Radit yang saat itu sudah menyelesaikan kuliah kedokterannya, tentu saja Radit menolak karena sudah menganggap Sazi sama dengan Rara.
Nirmala berlari sepanjang koridor rumah sakit, nafasnya memburu air mata sudah menganak sungai di pipinya, Rina juga ikut berlari menemaninya. Meski Nirmala berkeras ingin berangkat sendiri tapi melihat Nirmala yang sudah menangis dan tangannya gemetar dia langsung saja mengambil kunci motor Nirmala dan memintanya membonceng di belakang. Dia baru saja akan berangkat ke toko setelah menyelesaikan pembuatan bolu kukus pesanan tetangganya, saat ponselnya menjerit. Agak ragu sesaat karena yang menelponnya adalah nomer Bisma, tapi meski Nirmala mengabaikannya telepon itu terus berdering jadi mau tak mau dia mengangkatnya. Dengan ragu Nirmala mengangkatnya, mendengarkan sejenak Bisma yang bicara di seberang sana, tapi belum selesai omongan Bisma dia sudah menangis, kakinya seolah tak kuat menahan beban tubuhnya, sungguh ini adalah hal yang paling ditakutkan oleh Nirmala. Nia kecelakaan. Hanya itu sebaris kata yang ada dalam pikiran N
Radit meninggalkan rumah sakit setelah memastikan Nia mendapat kamar perawatan. Dia harus segera menemui Agha dan memastikan siapa yang telah mengancam Nirmala. Radit sangat berharap koneksi Agha yang luas dapat membantunya menyelesaikan persoalan ini, bagaimanapun masalah ini akan sangat berhubungan erat dengan masa depannya, Nirmala pasti tak akan segan-segan mengakhiri hubungan mereka kalau ternyata orang yang mengancam ada hubungannya dengan Radit. Radit melajukan mobilnya dengan kencang jalanan yang tampak lengang di siang hari memudahnya. Tujuannya pasti kantor Agha, sepupunya itu pasti ada di sana jam segini. Setengah jam kemudian Radit sudah memasuki pelataran kantor Agha, sebuah agen pengiriman barang yang berada di jalanan Abdul Radit Saleh itu tampak megah dan kokoh, banyak mobil box keluar masuk membawa berbagai barang yang akan mereka kirimkan pada pembeli, maklum saja belanja online sedang booming akhir-akhir ini orang akan lebih suka rebahan
Bisma menghentikan mobilnya tepat di depan rumah orang tua Nessa, wanita itu mengirimkan pesan meminta Bisma datang. “Nessanya ada di rumah, Pak?” tanya Bisma pada satpam yang berjaga di depan.“Oh, Mas Bisma. ada, Mas silahkan masuk.” Bisma segera melajukan mobilnya memasuki pelataran rumah mewah itu, sebenarnya dia sudah sangat malas datang ke sini, tapi dia harus menyelesaikan semuanya.Nessa menyambut Bisma di depan pintu. “Ada apa?” tanya Bisma langsung.“Masuk dulu, kita bicara santai di dalam dulu, kayak nagih hutang saja ngomong di luar,” canda Nessa tapi Bisma sama sekali tak menunjukkan reaksi apa-apa wajahnya tetap datar.Di ruang tamu rumah ini sudah duduk papa dan mama Nessa, Bisma makin mengernyit heran saat menyadari ketegangan yang ada di wajah mereka, sebuah pertanyaan muncul dibenaknya apakah mamanya sudah mengutarakan keinginannya untuk membatalkan pertunangan mereka.“Selamat si
Pagi ini Nirmala kembali menyambangi butik larisa, jika kemarin dia datag sendiri dan bertemu Bu Lastri di sini, kali ini dia tak mau lagi, bukan karena dia terlalu manja, tapi karena males mendengar mulut cerewet Radit. Bagaimana tidak kemarin dia tak datang saat fitting baju untuk lamaran, dan saat hari H, melihat bagaimana Nirmala memakai gaun itu, bukannya pujian yang dia lontarkan malah nyinyiran.“Kenapa bajunya terbuka banget kayak gitu, Hon? Dan modelnya juga kenapa ketat banget kamu jadi kayak lontong tinggal dikasih kuah saja.”Nirmala hanya cemberut sambil menatap gaunnya, dia tidak mengerti terbuka dari mana coba. “Makanya kalau disuruh datang fitting itu datang jangan kebanyakan alasan untung Nirmalanya nggak batalin.” Bu Lastri yang saat itu bersama Nirmala melotot pada putranya itu. “Banyak kerjaan, Ma. Nggak bisa diundur.”“Ya sudah diam saja kalau begitu jangan banyak omong, kalau nggak suka ya jangan dilihat.” Nirmala tersenyum geli saat melihat Radit yang tak be
“Jadi ini karena penyakit ramahmu yang di atas normal itu?”Radit langsung manyun saat sikapnya yang ramah pada semua orang dibilang penyakit. Dia hanya ingin mempraktekkan apa yang diajarkan guru agamanya waktu SD bahwa senyum itu sama dengan shodaqoh, jadi kita harus banyak senyum biar pahala shodaqoh kita tambah banyak. Waktu itu uang sakunya tiap hari tak banyak, orang tuanya memang kaya raya tapi bukan berarti memberikan uang saku yang berlimpah padanya. Jadi dia yang pingin banget bershodaqoh berusaha mencari jalan lain, salah satunya dengan banyak senyum. “Itu bukan penyakit kali, Honey. Orang senyum itu dapat pahala.” “Iya tapi kalau terlalu banyak senyum dikira orang gila.” “Mana ada orang gila seganteng aku.” Nirmala memutar bola matanya mendengar kenarsisan Radit. “Memang penyakit gila itu tahu orang tampan atau enggak.” Ini mereka lagi ngomongin apa sih,
Dirapatkannya jaket tebal yang dia kenakan, kenapa harus sedingin ini sekarang. Dia berdo’a dalam hati semoga saja Nirmala tidak langsung mengusirnya. Paling tidak, ada secangkir minuman hangat untuknya. Tok… tokRadit mengetuk pintu itu dengan sedikit ragu, beberapa kali dia ulangi, tapi tetap saja pintu itu tak mau terbuka. Dia menoleh ke arah samping tempat yang dia ketahui sebagai dapur yang digunakan untuk memproduksi kue yang mereka jual. Nirmala pasti ada di sana sedang sibuk dengan berbagai kue. Radit tersenyum mengingat Nirmala yang selalu bersemangat membuat kue.“Apa sebaiknya aku ketuk pintu dapur saja,” gumamnya.Jalanan masih sangat lengang, jam dinding masih menunjukkan pukul lima pagi, sholat subuh telah dia tunaikan tadi di rumah. Udara yang dingin masih setia menyelimuti, bahkan untuknya yang terbiasa dengan AC yang sangat dingin masih merasakan tubuhnya menggigil. Ini bukan pertama kalinya dia berkendara dini hari, dia bahkan sering mendapat panggilan tugas yang
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa