“Sudah tenang?” Novan segera menyambut Ana yang baru masuk ke dalam mobil.Ana mengangguk pelan, “keluar bentar yuk, biar lebih enak ngobrolnya.”Mereka pun duduk berdua dibawah pohon yang rindang.Ana menarik nafas panjang, “Novan, I love you. Really loving you. Tapi kita harus sadar, kadang tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan.” Ana mulai meraih tangan Novan, “maafkan aku terlalu pengecut untuk memilih bersama kamu. Aku pun sadar kita sangat berbeda baik dari keluarga dan lainnya, hal itu akan menyusahkan kamu kedepannya.”Novan menggenggam tangan Ana dengan kuat. “Me too, Ana. Aku dari awal menyerahkan semua pilihan padamu. Maafkan aku telah menempatkan kamu ke dalam situasi yang rumit ini.” Omongan Novan sedikit tertahan, “andai, maksudku aku berharap kamu selalu mendapat yang terbaik.”Dengan cepat Ana menggelengkan kepalanya, “tidak Novan, aku bisa memilih untuk menolakmu dari awal. Tapi aku tetap bersama mu pada akhirnya. Terimakasih telah memberikan ku kepercayaan
“Ini gak bener Novan!” Ungkap Ana. Dia mendorong tubuh Novan yang hendak mencium bibirnya perlahan. Novan mendekatkan bibirnya ke telinga Ana dan kemudian berbisik “Kenapa? bukankah kita memiliki perasaan yang sama?”.“Tapi, aku merasa tidak berbeda dengan Rico. Bila saat ini kita melanjutkannya lebih jauh lagi,” ucap Ana penuh keraguan. Novan mendekapnya pelan. “Kak, aku akan melakukannya dengan lembut.” Diciumlah pucuk kepala Ana, membuatnya sedikit tenang. “Van.” Kini Ana menatap wajah Novan dalam-dalam. Dia memperhatikan setiap garis wajah Novan yang begitu kuat. Tergambar dengan jelas. Laki-laki itu sudah tidak sabar ingin memiliki dia seutuhnya kali ini. Ana terlarut didalam pikirannya. Dia tidak menyadari, kini tangan Novan mulai beralih ke belakang lehernya. Entah sejak kapan, semua terjadi dengan begitu cepat. Kini bibir mereka saling memagut satu sama lain. Ciuman yang berawal lembut, semenit kemudian bertambah liar. Menjadi sebuah bentuk pengekspresian dari emosi yang s
“Rico Please kali ini jujur sama aku. Aku capek kamu giniin terus. Kamu gak pernah berubah sama sekali!” Ana meninggikan setiap kata yang dia ucapkan dibalik panggilan telponnya. Rico memegang kepalanya yang berat. “kamu kenapa sih Ana? Aku baru mau tidur! Kita lanjutkan obrolan ini nanti saat aku menjemputmu, oke?” tanpa mendengar jawaban dari Ana dia langsung menutup telponnya. Ana merasa putus Asa setelah telponnya ditutup begitu kasar. “Kenapa kamu melakukan ini padaku?” Tangisnya pun seketika pecah. Dia sangat menyesali apa yang terjadi saat ini. Andai saja dulu dia tidak terus memaafkan apapun kesalahan Rico. “Kenapa bisa aku sangat mencintainya. Bahkan dia hanya menganggapku tak lebih dari tempat persinggahan saja,” ucapnya lirih. Ana mulai mengingat kembali masa lalunya. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih SMA. Rico adalah adik kelas Ana, seorang siswa populer yang hampir mendekati sempurna. Hal itu didukung oleh postur tubuhnya yang lumayan tinggi. Bentuk tubuh ya
Kriiiingggg, kriiiinnnggg "Akhirnya pagi juga," Ucap Novan. Tepat pukul sepuluh pagi, ia terbangunkan oleh alarm miliknya. Dia bangun dengan begitu semangat. Pasalnya hari ini adalah kali pertama dia menghadiri pertemuan organisasi kesenian yang baru dia ikuti minggu lalu. “Jangan lupa hari ini kumpul jam 1 siang ya!”Terlihat notif pesan di hp Novan. “Siap kak Izal aku pasti datang dong!” Novan membalas pesan tersebut dengan cepat. Melihat reaksi Novan. Salah satu anggota grup pun mulai menggodanya. "Ini mah Novan ada mau nya kan, semangat banget nih.” “Aku kan mau ketemu kalian ya kan, harus semangat dong ya.” Novan tersenyum. Dia tidak bisa menyangkal bahwa memang itu yang sebenarnya ia nantikan. “Ketemu kita atau Ana Van?”Tanya Izal menegaskan. Novan sudah tidak bisa berkutik. Dia membalas pesan tersebut dengan stiker malu-malu.
"Tenangkan dirimu sebentar, aku sungguh tidak ada hubungan apapun lagi dengannya. Aku sudah tidak penasaran lagi dengannya. Kamu disana dulu bentar aku harus pergi mengurus sesuatu, nanti malam aku jemput kamu!" Ana melihat sebuah pesan masuk dari Rico. tidak ada sedikitpun rasa menyesal dari diri Rico setelah dia meninggalkan Ana. Ana pun segera membalas pesan tersebut dengan singkat.“Tidak perlu aku bisa pulang sendiri!” Semua kenangan masa lalu teringat kembali oleh Ana. "Aku tidak menyangka kamu setega ini Ric. Kamu terus-terusan menduakanku." Ana menangkup kedua wajahnya yang kini sedang menangis. "Bodohnya aku terus memaafkanmu." Entah karena rasa cinta Ana yang terlalu besar terhadap Rico.Mungkin juga karena obsesi yang ada pada dirinya sendiri. Obsesi Ana untuk menikah dengan orang yang telah merenggut segalanya dari hidupnya. Ana terlalu takut membayangkan. Akan seperti apa dia dipandang oleh lelaki lain se
Izal mulai merasa khawatir terhadap Novan yang mungkin saja kesulitan menemukan Ana. Dia kemudian beranjak untuk menyusul mereka. Pandangan Izal terheran-heran melihat sesuatu yang tidak biasa dihadapannya. "Kenapa Ana nangis kayak gitu. Itu si Novan lagi malah megangin tangannya," gumamnya. Namun dia mencoba untuk tidak berfikir negatif dan memanggil mereka. “Ana, Novan yuk dimulai yang lain udah nunggu tuh!” Teriak Izal cukup kencang. Ana sangat kaget mendengar Izal. Dia langsung melepaskan tangan Novan. “Iya Zal, gw kesana tunggu bentar!” Ucap Ana setengah berteriak. Sama seperti Ana. Novan pun kaget dengan teriakan Izal. Dia sedikit kecewa dengan Ana yang melepas genggamannya. Novan pun akhirnya mengikuti Ana berjalan dibelakangnya. *** “Oke kumpulan pertama kita sampai disini dulu yah. Kalau ada pertanyaan nanti dilist di grup aja biar kita bahas di pertemuan minggu depan!” Izal pun menutup pertemuan mereka. Cukup lama perbi
‘Apa aku telpon saja yah Ana,’ pikir Rico. Sudah hampir 30 menit dari terakhir Rico mengirimkan pesan kepada Ana. Belum ada respon sedikitpun dari Ana. Hal itu membuat Rico sedikit gelisah. Tepat disaat dia akan menelpon Ana tiba-tiba Hp nya berdering. Terlihat nomor yang sengaja tidak ia simpan menelpon nya. “Halo Rico kamu sudah tidur?” ucap sang penelpon. “Nisa, ada apa kamu telpon?” Rico masih sangat kesal dengan apa yang Nisa lakukan. Menyadari suara Rico yang masih bergetar. Nisa pun bertanya pada Rico dengan nada yang memelas. “Kamu masih marah sama aku Ric?” Helaan nafas panjang terdengar dari Rico. “Sa, aku kan udah bilang kalau kamu jangan hubungiku lagi sebelum aku yang menghubungi mu. Jadi berantakan gini kan sekarang.” “Maaf Ric, terus sekarang gimana? Ana masih ngambek?” Nisa gelagapan menjawab pertanyaan Rico. Mendengar respon Nisa yang ketakutan. Membuat Rico sedikit terkekeh puas. “Iya kayaknya. Tapi pali
"Lumayan rame juga ini mall, padahal bukan weekend," gumam Ana. Ini adalah kebiasaan Ana dikala dia sedang banyak pikiran. Berjalan sendirian di mall ketika selesai bekerja. Ana memfokuskan pandangannya. 'Kayaknya itu Novan deh,' pikir Ana. Dia terus melihat sosok dihadapannya. Sedikit berlari Ana menghampirinya. Ana pun terdiam ketika dia melihat seorang wanita menghampiri Novan. Mereka saling berpandangan. Ana pun segera memalingkan mukanya dan beranjak pergi. Sempat terpikir untuk Ana menyapanya, namun Novan terlihat tidak mengenalinya. Ana pun mengurungkan niatnya itu segera dan berjalan dengan sedikit lebih cepat. ‘Apa-apaan, bilang tawarannya berlaku lama. Tapi dia sudah jalan dengan wanita lain, ’ pikir Ana saat itu. “Kak Ana tunggu!” Dengan nafas yang terengah-engah Novan berlari mengejar Ana. Ana menghentikan langkahnya. Kemudian dia berbalik, memandang Novan dengan penuh tanya. “Kamu kenapa lari-lari, Van?”
“Sudah tenang?” Novan segera menyambut Ana yang baru masuk ke dalam mobil.Ana mengangguk pelan, “keluar bentar yuk, biar lebih enak ngobrolnya.”Mereka pun duduk berdua dibawah pohon yang rindang.Ana menarik nafas panjang, “Novan, I love you. Really loving you. Tapi kita harus sadar, kadang tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan.” Ana mulai meraih tangan Novan, “maafkan aku terlalu pengecut untuk memilih bersama kamu. Aku pun sadar kita sangat berbeda baik dari keluarga dan lainnya, hal itu akan menyusahkan kamu kedepannya.”Novan menggenggam tangan Ana dengan kuat. “Me too, Ana. Aku dari awal menyerahkan semua pilihan padamu. Maafkan aku telah menempatkan kamu ke dalam situasi yang rumit ini.” Omongan Novan sedikit tertahan, “andai, maksudku aku berharap kamu selalu mendapat yang terbaik.”Dengan cepat Ana menggelengkan kepalanya, “tidak Novan, aku bisa memilih untuk menolakmu dari awal. Tapi aku tetap bersama mu pada akhirnya. Terimakasih telah memberikan ku kepercayaan
“Aaaargh gila lu Rico, gue belum mau mati!” Vania memegang seat beltnya erat-erat.Rico tetap tidak memperhatikan sepupunya tersebut. Kini dia hanya ingin melampiaskan emosinya dengan melaju mobilnya secepat mungkin.“Anj*ng Rico! Lu kalau mau mati jangan ajak-ajak gue tolong!” kali ini dia mengerahkan sekuat tenaganya untuk berteriak dan berhasil menyadarkan Rico.‘Kriieeeeet….’ Rico menginjak rem mobilnya mendadak membuat bunyi deritan yang cukup panjang.“Sumpah yah lu gak ada otak!” Vania terus saja berteriak, meluapkan kekesalannya.“Sorry gue gak sadar Van,” dengan gelagapan Rico menjawab.Vania menarik nafas dalam, mencoba mengatur emosinya. “Okee.. Sekarang lu tenang dulu, abis itu baru cerita sama gue yah.”Rico mengangguk lemas, dia sudah sangat kalut dan tenggelam dalam pikirannya. Tak terasa air matanya mengalir.“Gila gue nangis cuman gara diselingkuhi si Ana. Bangsat emang tu cewek!” Rico memukul dasboard depan mobilnya.Vania mengelus punggung Rico pelan. Mencoba menena
Kembali ke masa SMA di tahun dua ribu lima belas. Rico tengah berjalan santai menuju ruang OSIS untuk menemui Ana sore itu. “Astaga dia bisa tertidur dengan pulas ditempat seperti ini.” Rico bergumam pelan. Dia tersenyum melihat Ana, pacarnya yang merupakan kakak kelas sekaligus ketua Osis disekolahnya. “Teledor banget sampai gak nyadar ada orang yang membuka pintu,” dengan pelan dan hati-hati Rico mendekati Ana. Dia terus menatap Ana penuh kasih. ‘Memang cantik banget cewekku ini!’ batinnya. Kini tangan usilnya tengah memainkan ujung rambut Ana pelan. Membuat kening Ana mulai berkerut dan membuka matanya perlahan. “Aaaaawww..” rintih Rico saat dengan cepat Ana malah memelintir tangannya. “Rico!” Ana lekas melepaskan tangannya begitu menyadari pria yang dihadapannya adalah kekasihnya. “Maaf, habisnya kamu mengagetkan aku sih salah siapa coba!” dengan kesal Ana menggembungkan pipinya. Melihat Ana yang begitu lucu, Rico pun tidak tega untuk memarahi Ana. “Kamu yang budeg sayang, a
Di lain tempat Nisa tengah sibuk mempersiapkan kepergiannya menemui Rico. Dia bersemangat sekali untuk bertemu dengan lelaki pujaannya itu. ‘Sayang aku kesana yah minggu depan!’ tulis Nisa dalam pesan singkatnya. Namun pesan tersebut ternyata bertanda ceklis satu. “Apa dia lagi sibuk yah?” pikir Nisa dalam hatinya. Namun dia segera menepiskan kecurigaannya tersebut dan lebih memilih untuk fokus terhadap barang yang akan dia bawa nanti. ***”Kak, kita makan disini aja yuk!” Novan mengelus pundak Ana pelan. Ana pun duduk mengikuti permintaan Novan. “Kakak mau pesen apa? Aku yang traktir deh kali ini!” “Terserah kamu aja Van,” jawab Ana lemas. Ana terus tertunduk lesu. Pikirannya sedang kacau saat ini. Kenapa dengan mudahnya dia percaya ucapan lelaki dihadapannya saat ini. “Kak… kak Ana!”, panggilan lembut Novan tidak dapat menyadarkan Ana dari pikirannya. Seketika Novan menangkup kedua pipi Ana, membuat Ana sedikit tersentak dan tersadar dari lamunannya. “Ah Van, maaf aku sedang me
“Habis ini kita langsung pulang yah Ric, aku udah capek.” Ana berdiri dan membereskan barang bawaannya. Rico memberikan buket bunga yang tertinggal pada Ana. “Iya aku antar kamu pulang langsung, yuk!” “Makasih yah.” Ana langsung pergi begitu menerima buket dari Rico. Saat didalam mobil terjadi keheningan diantara mereka berdua. Tidak ada satupun yang memulai percakapan. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. “Ana, sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Novan?” Seperti tersambar petir, pertanyaan Rico tersebut membuat Ana tidak bisa berkutik. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Terlihat sedang mencari alasan yang terbaik untuk menjawab pertanyaan Rico. “Hmmm.. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Novan. Kenapa kamu nanya kayak gitu?” Rico tahu dengan pasti gelagat Ana ketika berbohong. Penyangkalan Ana semakin membuatnya penasaran. Ini pertama kali Ana melakukan hal seperti itu padanya. “Kamu yakin? Aku merasa kalian memiliki sesu
“Nia, kamu kenal sama Novan?” tanya Rico. Dia mulai curiga dengan kecanggungan yang terjadi diantara mereka berdua. Rico terus memperhatikan Ana dengan sangat lekat. Dia melihat wajah Ana semakin memucat. Vania segera melepas gandengan tangannya dari Rico. Dia mulai mendekati Novan dan merangkulnya. “Iya kak, ini yang tadi sempet aku ceritain pas mau kesini. Beberapa minggu ini aku lagi deket sama dia. Seneng deh ternyata kalian semua udah saling kenal, jadi aku tidak perlu memperkenalkannya lagi.” Ana hanya bisa memandang mereka dengan tatapan sendu. Dia terus berusaha untuk tersenyum dan menyembunyika perasaan yang sesungguhnya. “Kakak dukung kok Nia hubungan kamu sama Novan. Dia ini anak yang baik pasti bakal jagain kamu dengan baik.” Rico mulai menerka-nerka situasi yang terjadi. Dia langsung memamerkan kemesraan didepan Novan. Rico mulai merangkul pinggang Ana dan mencium pucuk kepalanya sekilas. “Makasih yah, kalian udah datang ke wisuda Ana. Habis ini
Waktu berlalu begitu saja. Sudah dua minggu sejak Novan mulai berusaha membuka hatinya untuk wanita lain. Ada keraguan dan rasa bersalah didalam hatinya. “Van, lusa aku wisuda. Kamu datang kan?” sebuah pesan masuk dari Ana, sukses membuyarkan lamunannya. Dia menghela nafas dalam. “Kak Ana,” lirihnya. Pikiran Novan sangat kalut. “Gimana ini. Fitri bilang aku harus jaga jarak sama Ana. Tapi, aku kangen dia,” gerutu Novan. Berkali-kali dia menghapus balasannya. “Aku usahain ya kak!” balas Novan singkat. Dia tidak tega untuk menolak Ana. Hatinya tetap luluh pada akhirnya. Tak berapa lama, Ana membalas pesan Novan. “Makasih yah, aku tunggu.”\ Novan mengusap mukanya dengan berat. “Kenapa aku gak bisa lepas dari dia?” dia bertanya pada dirinya sendiri. Ditengah keputusasaannya, Hp Novan berdering. “Halo Van?” terdengar suara wanita yang sudah seminggu terakhir ini menemaninya setiap hari. “Vania, tum
“Rico, apakah aku memiliki pilihan lain selain menerima permintaan maafmu?” Mata Ana kini mengintimidasinya. Rico tidak dapat berkutik. Bibirnya seakan terkunci. Dia tidak menyangka permintaan maafnya, dibalas dengan begitu sinis oleh Ana. Rico menggigit bibir bawahnya. “Kalau itu mau mu. Apa yang bisa aku lakukan?” Rico tersenyum tipis. Hatinya begitu terluka dengan perlakuan Ana. “Banyak Rico. Kamu bisa lakuin banyak hal. Kamu bisa tunjukin kesungguhan kamu. Atau kamu bisa diam. Atau kamu bisa lari dan mengaggap semua tak pernah terjadi. Persis seperti yang selalu kamu lakukan padaku!” Emosi Ana kian meningkat. Dia masih berusaha tersenyum disetiap kata yang diucapkan. Matanya benar-benar menatap Rico tajam. Tidak ada jawaban sedikitpun. Rico menelan ludahnya. Dia tidak bisa menyangkal satupun ucapan Ana. “Maaf.” Rico menundukan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. “Aku bosan Rico. Kata itu gak pernah punya arti dihubungan kita.
“Halo Van. Sorry kayaknya aku besok gak bisa pergi bersama kamu.” ucap Ana dengan lirih. Novan kecewa dengan pernyataan Ana tersebut. Dia terdiam sejenak, mengatur emosinya. “Gitu yah. Kalau boleh tau kenapa kak?” Ana menggenggam telponnya lebih keras. “Rico tadi sore kecelakaan. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Maaf ya Van.” Dia menggigit bibir bawahnya. Mengontrol perasaannya yang kini tak menentu. Sorot mata Novan kini berubah sendu. Dengan lirih dia berkata, “Aku mengerti kok kak. Sekarang kakak fokus sama Rico dulu aja yah.” “Terimakasih ya Van.” ucap Ana mengakhiri percakapan. Tepat setelah telpon ditutup. Ana mulai memeluk selimut yang sedari tadi dia pakai. Ada perasaan menyesal didalam dirinya. Dia teringat ucapan Izal. Bahwa semua ini tidak perlu terjadi. Bersama Novan adalah bukan jawaban yang tepat. Ana pun mulai membenamkan dirinya di bantal. Berharap bahwa dia akan segera tertidur. *** Muka Novan menger