Arya Balaaditya mengerutkan kening dia tidak percaya. Dia ingat siapa yang memberi makanan itu padanya, istrinya sendiri. Mana mungkin Asri Kemuning ingin meracuni putranya sendiri. Hati Arya Balaadewa bergejolak dan wajahnya tampak rumit."Itu pasti benar, dia ahli dalam memanah dan ahli dalam peracunan. Hehe!" ujar Sentot sambil tertawa kikuk."Makanan itu telah tercampur dengan ramuan yang berasal dari tumbuhan merambat, Tuan. Sangat berbahaya," ujar Respati lirih. Pria itu meringis menahan rasa sakit pada kakinya yang terpotong. Darah merah terus saja keluar dari lututnya, pria itu duduk di atas tanah dalam keadaan lemah.Ketua bandit itu berinisiatif dengan mengambil segenggam makanan yang berhambur di rerumputan, lalu melempar ke arah tanah yang jauh dari mereka. Para burung yang bertengger di pohon datang memburu nasi yang berhamburan itu.Cahaya matahari sudah mulai masuk ke dalam celah-celah pepohonan dan membuat embun-embun tampak berkilau. Kabut-kabut juga sudah mulai mengh
Semua bandit teriak histeris. Mereka ingin mencekik temannya sampai mati tapi mereka ingin pingsan saja. Lutut mereka rasanya lemas dan bergetar. Beraninya dia memberi syarat."Bisa-bisanya dia berniat bunuh diri dan mengajak kami semua!" batin Baladewa. Wajahnya tampak frustasi. Mimpi apa dia punya anak buah tidak ada yang waras. Semuanya selalu bikin depresi dan setiap saat ada saja membuat jantungnya mau loncat dari tempatnya. Semua bandit merasa putus asa melihat kelakuan temannya."Apa syaratnya?" tanya Arya Balaaditya dingin.Izinkan kami mengabdi pada Tuan. Kami ingin ikut dengan Tuan," ujar Darma dengan mata berkaca-kaca. Dia ingin menjadi orang baik sekarang.Semua bandit merasakan hal sama, mereka merasa orang itu sangat baik. Jika tidak, mana mungkin dia mau menolong orang yang menyerangnya.Arya Balaaditya menghela nafas panjang, "Baiklah .. katakan!" Darma mengangguk, "Dia seorang wanita dan memakai cadar. Namun dari pakaiannya, dia pasti seorang bangsawan. Apalagi kuli
"Mereka teman Paman. Dia Tuan Wismaya, paman dari istri Indrayana yang bernama Candramaya. Dan Tuan Kebo Ireng, Tuan Seno Aji dan Tuan Aji Suteja," ujar Ranu Baya memperkenalkan satu persatu tamunya. Mendapati anggukan dari Keempat orang itu. "Dia Cempaka, putri Baladewa," lanjutnyaWismaya dan yang lainnya mengangguk dan tersenyum.Cempaka juga mengangguk dan tersenyum ramah, gadis itu bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. Dia melihat lengannya yang terbalut. Matanya terlihat berkaca-kaca, dia mengingat Saka. Dadanya terasa sesak dan sakit. Entah mengapa dia merindukan pria itu dan mengkhawatirkannya.Melihat tingkah Cempaka yang murung, berbeda dari karakternya yang ceria, Ranu Baya merasa resah dan semakin merasa bersalah, "Ada apa, Nak? Apa yang mengganjal hatimu," tanyanya.Gadis itu mengucek matanya dan tersenyum, "Tidak apa-apa paman," ujarnya."Paman akan menghilangkan bekas lukamu sekarang juga. Bolehkan?" tanya Ranu Baya dengan hati-hati. Gadis itu menunduk dan berk
Semua orang kembali ke ruang tamu, mereka kembali duduk bersama. Wismaya tampak masih kesal. Dia duduk bersandar di kursi dengan melipat kedua tangannya dengan wajah masam. Aji Suteja yang merasa tidak enak hati memilih duduk berjauhan. Dia merasa canggung karena telah menyinggung hati Wismaya. Wismaya yang tenang dan bijaksana, emosinya sering kali meledak setiap ada bahaya yang mendekati keponakannya. Mereka berdua memang sering berbeda pendapat. Kebo ireng mengutarakan tujuan mereka kembali ke Tanah Para Dewa. Selain berkunjung dan berterima kasih, mereka juga ingin menjalin persekutuan. "Ada hal yang ingin kami utarakan, Tuan," ujar Kebo Ireng. Dia duduk dengan tegap dan memasang wajah serius. "Kami berniat melakukan pembrontakan," lanjutnya setengah berbisik. Ranu Baya tertegun, dia melihat satu persatu wajah anggota Mawar Hitam dengan tanpa ekspresi. Ranu Baya tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya tersenyum tipis lalu kembali mengesap tehnya. Melihat Ranu B
"Sepagi ini?" tanya Wirata dengan dahi berkerut karena merasa heran. Matahari saja baru bangun dari peraduan. Langit masih terlihat mendung dan udara juga masih lembab."Tentu! Aku akan kembali ke waringin," ujar Danumaya dengan memutar bola matanya dengan jengah. Dia merasa bosan di sini. Sebenarnya karena Candramaya dan Indrayana semakin hari semakin dekat. Apalagi ada bekas merah di leher gadis itu. Dia rasa sebentar lagi dia akan menjadi paman. Dia masih belum rela.Danumaya sebenarnya tidak habis pikir, kenapa gadis jahat dan sedingin itu bisa jatuh di pelukan pemuda bodoh seperti Indrayana. Memang apa kelebihannya di bandingkan dirinya ataupun Adhinatha.Wirata menghela nafas dengan berat, mengingat cucunya ini sangat pemarah sangat berbeda dengan ayahnya yang kalem dan tenang. "Kalau begitu hati-hati kalian."Saat Danumaya keluar rumah, terlihat ada empat orang dewasa yang sedang berbicara dengan Indrayana dan Candramaya. Dan Danumaya mengenalinya, "Romo!" batinnya."Romo ...
Wismaya menginjak kaki Aji Suteja dengan keras, namun wajahnya terlihat biasa saja tanpa rasa bersalah. "Hais!!!" Aji Suteja meringis lalu menoleh ke arah Wismaya dengan bingung. "Apa salahku!" batinnya. Wismaya menoleh dengan tatapan tajam dan memberi isyarat dengan menggerakkan jarinya dengan aneh. Aji Suteja yang paham mendadak kaku, rupanya dia telah salah bicara. "Kakiku kram," elaknya. Dia berbohong agar Candramaya tidak curiga. Dia tahu ambisi gadis itu sungguh mengerikan. Walaupun dia juga sama, namun sebagai orang dewasa dia tidah akan gegabah dan lebih banyak menggunakan akal sehat dari pada sekedar perasaan. Candramaya menyadari sikap aneh Wismaya dan Aji Suteja. Tiba-tiba wajah dingin gadis itu berseri dan seringai muncul di wajahnya. Melhat ekspresi wajah keponakannya membuat Wismaya berdecak lalu memijit pelipisnya yang sakit. Melihat reaksi Aji Suteja, Kebo Ireng berinisiatif untuk mengalihkan perhatian gadia itu. "Eh ... dia yang bernama Indrayana kan?" t
Langkah Indrayana seketika berhenti, dia bahkan menoleh. Candramaya akhirnya juga ikut berhenti lalu bertanya dengan bingung, "Apa ada Adhinatha?" Deg!! Indrayana akhirnya tersadar, tidak seharusnya dia berhenti dan menoleh. Tapi rasanya dia sedang di panggil seseorang. Indrayana buru-buru celingak-celinguk dengan wajah bodoh seolah-olah sedang mencari seseorang. "Sepertinya tidak ada," ujarnya sambil cengengesan untuk menutupi kegugupannya. Candramaya hanya menghela nafas, lagian dia tidak perduli jika Adhinatha datang. Indrayana kembali memeluk pinggang gadis itu dengan mesra dan berjalan beriringan. Lalu diam-diam menoleh ke arah Aji Suteja yang tersenyum. Pemuda itu hanya menatap datar kearahnya. Hampir saja dia membuat kesalahan di depan Candramaya dan membuatnya curiga. Dia belum siap jika jati dirinya di ketahui oleh gadis itu. "Apa yang kakang katakan," Kebo Ireng menegur. "Aku hanya ingin memastikan," ujarnya sambil tersenyum simpul. "Kalian lihatkan! Sepertin
"Hais!!" Indrayana berdecis. Menoleh kearah sosok yang dengan lancang membuka pintu kamarnya. Untungnya mereka berdua baru pemanasan. Walaupun Indrayana sudah bertelanjang dada. "Tuan ... " panggil Kumala. Sosok itu mematung, matanya terbelaklak saat melihat adegan yang cukup dewasa. Membuat jantungnya terasa di remas. Mereka memang sepasang suami istri. Tapi Kumala tidak menyangka akan melihat adegan intim diantara mereka berdua. Bagaimana pun dia suka pemuda itu. Dan masih mengharapkannya. Candramaya terlonjak kaget saat pintu kamarnya terbuka, dia mendorong tubuh Indrayana hingga terjatuh dari ranjang. Tersungkur dengan sangat menyedihkan. "Aauuuwwww!!!" Indrayana memekik pantatnya sangat sakit. "Kamu tidak bisa mengetuk pintu," ujar Candramaya dingin. Gadis itu buru-buru merapikan pakaiannya. Wajahnya merah karena malu dan kesal secara bersamaan. Kumala menggigit bibirnya, dia juga malu dan kesal. Matanya memerah lalu reflek membanting pintu dengan tidak sopan. Bra
Bima Reksa tidak mengucapkan sepatah katapun, dia melengos dan pergi menaiki kudanya. Tentu membuat Kumala semakin bingung. Akhirnya Kumala mengambil salah satu kuda yang berjejer terikat di pohon. Dia sekilas melirik kereta kencana yang kemarin mengantarnya dengan perasaan sedih. Baru saja dia merasakan kemewahan dan sekarang dia sudah tidak punya harapan lagi. Di tepi pantai ada Ki Sentot dan Darma yang berjaga di tempat itu. Mereka tampak acuh dan dingin seolah-olah tidak perduli dengan keberadaan Kumala. Mereka hanya sibuk membakar ikan dan saling berbincang ringan.Kumala juga tidak menyapa, dia memilih mengikuti kakeknya yang terlihat marah."Pulang! Jangan sampai Aki bersikap kasar padamu," ancam Bima Reksa tanpa menoleh sedikit pun.Kumala menghela nafas dalam-dalam dan naik ke atas kuda dengan patuh, dia bergumam, "Untuk saat ini aku patuh, Aki!" Mereka berdua melakukan perjalanan menuju desa Kuningan. Menembus gelapnya malam dan rimbunnya pepohonan. Hanya mengandalkan cah
"Huaaa!!!" Kumala jatuh terjerembab di dalam perahu dengan menyedihkan. Perahu yang Kumala naiki juga bergoyang-goyang di atas air. Kumala segera bangun dan menyesuaikan duduknya agar perahu bisa seimbang. Dia memegangi dua sisi perahu dan berteriak marah, "Jangan keterlaluan! Kamu ingin aku tenggelam!"Danumaya tertawa sinis sambil melempar dayung ke arah Kumala, "Cepat pergi!"Mata Kumala seketika melotot dan giginya berkertak, "Awas kamu!""Jika lain kali kamu mendapatkan kesulitan. Aku tidak akan pernah menolongmu lagi," ujar Danumaya dengan sinis. Dia tidak seharusnya menyesal karena telah menolong seseorang. Hanya saja orang yang dia tolong ternyata orang yang tidak tahu diri.Kumala membuang muka lalu berbalik badan, sejenak dia merenung. Gadis itu menggenggam dayung kayu itu dengan erat. Dia harus melawan rasa takut yang dia rasakan. Jarak antara pulau Wijaya Kusuma dan pulau Jawa memang tidak terlalu jauh. Hanya saja dua pulau itu di pisahkan oleh sebuah lautan. Jadi dia har
Wanita lemah lembut itu menatap ke arah Kumala yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang, matanya berkilat dengan amarah. "Pantas putraku tidak menyukaimu! Selain kasar, kamu juga tidak tahu malu. Bagaimana bisa kamu berteriak dan mengumpat di depan orang tua. Apa kamu tidak tahu adab dan sopan santun?"Kumala merasa malu, pipinya memerah dan wajahnya tertunduk. Dia kembali duduk dan berkata lirih tanpa berani menatap mata Asri Kemuning, "Maaf, Tuan Putri."Suasana menjadi hening, semua orang tertunduk dan kembali melanjutkan makannya. Berbeda dengan Candramaya yang terang-terangan menatap wajah Ibu Mertuanya. Dia merasa kagum terhadap wanita yang begitu lembut namun sangat tegas.Dia jadi teringat dengan ibunya, mereka sangat mirip.Merasa sedang diamati, Asri Kemuning ikut menatap Candramaya. Mereka saling memandang untuk beberapa detik. Hingga tatapan itu berubah menjadi tatapan canggung. Wajah Candramaya yang dingin melembut, dia tersenyum tipis. Asri Kemuning juga ikut tersen
Kesedihan meliputi semua orang, gadis ceria seperti Cempaka sekarang hancur karena kematian orang yang dia Cintai. Cempaka terus menangis di atas jasad Saka, cinta pertama dan mungkin cinta terakhirnya.Sebuah tangan terulur dan menyentuh pundak Cempaka yang bergetar, "Lepaskan dia, biarkan dia beristirahat dengan tenang."Cempaka mendongak dan membiarkan Indrayana dan Baladewa mengangkat jasad Saka. Cempaka memeluk tubuh Candramaya dan menangis di pelukannya."Menangislah Cempaka! Itu akan membuatmu semakin lebih baik," ucap Candramaya dengan penuh kasih sayang."Terima kasih, Adik," ujar Cempaka dengan suara parau.Memang benar kata pepatah, 'Hanya wanita yang bisa mengerti wanita.'Asri Kemuning sangat tersentuh, dia tidak menyangka gadis dengan wajah dingin itu sangat begitu lembut dan dewasa. "Mungkin ini alasan Indrayana berselingkuh dengannya. Tapi alangkah baiknya jika aku memastikannya lebih dulu," batinnya.Setelah semua mayat di kebumikan termasuk Saka. Cempaka berdiri di
"Sebentar Romo," Candramaya berlari dan mengambil air dalam sebuah kendi besar. Ada gayung yang terbuat dari cangkang kelapa. "Ini Romo, basuh mata Romo," ujar Candramaya.Arya Balaaditya membasuh matanya, perlahan matanya terasa lebih baik dan pandangannya kembali membaik."Siapa gadis itu?" tanya Asri Kemuning. Dia tersenyum melihat perlakuan manis gadis itu. Dia kira gadis itu sangat kejam, terlihat dari wajahnya yang dingin dan galak. Apalagi saat gadis itu membunuh satu persatu para pemanah dengan keji dan sadis. Seperti pembunuh berdarah dingin.Asri Kemuning mulai semakin meragukan kata-kata Kumala.Indrayana sedang bertarung dengan Saka. Dia menyerang dengan membabi buta, Marah karena orang itu berani melukai ayahnya.Kumala semakin terdesak, dia kira Candramaya tidak ikut. Dengan begitu dia bisa membujuk Asri Kemuning untuk membujuk Putra dan suaminya.Beraninya Paman melukai Romoku!" teriak Indrayana dengan marah. Karena dia mulai kewalahan jadi Indrayana menarik cemetinya.
"Kang Mas!!" Asri Kemuning bangkit. Rasa lega dan bahagia bercampur membuatnya semakin terharu. Air mata kebahagian mengalir dari matanya yang indah. Dia hendak pergi menuju sumber suara, namun sayang Saka menghalanginya. Wajah pria itu terlihat semakin dingin, dia bahkan memberi isyarat agar Asri Kemuning kembali duduk dengan tenang.Suara riuh itu semakin kencang dan semakin mendekat. Mata Asri Kemuning semakin liar, bergerak-gerak mencari sosok yang dia kenal.Tangan Kumala bergetar, dia sedikit panik kalau kebohongannya akan terbongkar. Tapi dalam sekejab dia berusaha mengendalikan emosinya dan bersikap wajar. Asalkan mendapatkan dukungan Ibu dan Kakek Indrayana, pemuda itu pasti akan patuh.Arya Baladitya dan pasukannya yang dipimpin oleh Baladewa telah sampai di pulau Wijaya Kusuma. Indrayana, Candramaya, Cempaka dan Danumaya juga ikut bersama mereka.Perasaan Arya Balaaditya berkecambuk. Kerinduannya semakin besar dan tak terkendali lagi. Rasa ingin bertemu semakin menggebu-geb
Saat pintu terbuka mata Saka terbelaklak, dia tercengang bukan main. Bukan karena terpesona melainkan kaget dengan dandanan Kumala yang begitu mewah dan terkesan norak. Dia memakai kain sutra terbaik dan rambutnya terlihat begitu berat dan ramai dengan banyak hiasan yang terbuat dari emas. Begitu juga dengan riasannya yang begitu tebal. Dan perhiasan emas yang dia kenakan."Apa gadis ini benar-benar waras," batin Saka. Pria yang biasa selalu acuh dengan sekitar dan sibuk dengan dunianya kini teralihkan.Pemandangan itu benar-benar membuat matanya sakit."Aku sudah selesai," ujar Kumala, dia mengangkat dagunya dan berjalan lebih dulu.Ketakutan Saka saat ini bukanlah pertempuran yang mengancam hidupnya. Dia lebih takut jika perahu yang nanti mereka tumpangi terbalik dan Kumala akan tenggelam ke dasar laut akibat tubuhnya yang terlalu berat karna emas-emas yang dia kenakan.Saka naik ke atas kuda, sedangkan Kumala hanya berdiri dengan wajah masam. Gadis itu mulai bertingkah, " Apakah k
Pupil mata Adi Wijaya melebar, namun dengan cepat Adi Wijaya menutupi rasa keterkejutannya dengan tertawa, "Kamu cucu menantuku rupanya. Siapa orang tuamu?""Hamba anak yatim piatu. Hamba sebatang kara, maka dari itu hamba mohon keadilan dari Gusti Prabu. Hanya Kang Mas Indrayana yang hamba miliki di dunia ini, hiks ... " Kumala menangis dengan pilu. Kebohongannya semakin menjadi-jadi.Akting Kumala memang hebat, hanya saja Adi Wijaya tidak peduli. Dia juga tidak suka cucunya menikah dengan gadis yang tidak jelas asal-usulnya. Adi Wijaya memijit keningnya, bagaimana bisa cucunya menikahi sembarang gadis. Dan lebih parahnya, dia juga menjalin hubungan dengan putri Damarjati. Bagaimanapun Indrayana adalah cucunya. Dia membenci Arya Balaaditya tapi tidak dengan cucunya. Darahnya mengalir di dalam tubuh anak itu.Adi Wijaya menghela nafas dan mencoba menahan diri untuk mendapatkan simpati gadis itu. Tujuannya adalah mendapatkan banyak informasi tentang Arya Balaaditya dari gadis itu. "Apa
Pengawal yang berjaga membuka pintu, mereka berdua tampak marah jadi berbicara dengan keras karena suara mereka teredam oleh suara air hujan. Tentu saja kedua pengawal itu tidak akan memberi izin, "Jangan lancang! Kenapa terus berteriak?""Aku ingin menyampaikan sesuatu! Tolong antarkan aku menghadap Gusti Prabu. Aku tahu di mana Arya Balaaditya berada," Kumala membungkuk dan menyatukan tangannya. Wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil.Dua pengawal itu tentu tidak percaya begitu saja. Mana mungkin buronan seperti Arya Balaaditya yang sudah hampir 15 tahun menghilang bagaikan di telan bumi itu kembali. "Jika kamu ingin mengeluh, datang besok saat ada pertemuan di balai istana. Gusti Prabu sedang istirahat," ujar salah satu pengawal."Tidak! Ini sangat penting. Ini masalah Arya Balaaditya. Aku harus bertemu sekarang," ujar Kumala dengan gigi gemeletuk karena kedinginan. Mereka telah menghinanya jadi sekarang mereka harus mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan harus lebih kejam. Dua