Seketika Arya Baladitya berhenti, lalu menoleh ke sumber suara. Nafasnya memburu namun tatapannya terlihat liar dan dingin. Ketua bandit itu menelan salivanya dengan kasar, tenggorokannya terasa kering. Bahkan seumur hidupnya dia baru merasakan apa itu rasa takut. Semua anak buahnya tersungkur dengan keadaan babak belur.Dia sekarang berpikir, lebih baik di kejar wanita gila itu sampai ke ujung dunia. Dari pada berhadapan dengan malaikat maut yang menyamar menjadi manusia sederhana.Sungguh para bandit itu merasa merinding saat menatap sepasang mata dingin dan aura hitam yang menyelimuti pemuda berpenampilan sederhana itu.Mereka seketika tobat dan merasa kapok. Apalagi Baladewa tiba-tiba teringat putrinya yang usianya sama dengan Indrayana. Gadis kecil itu dia titipkan pada bibinya. Mata Baladewa mengembun, dia menghawatirkan putri semata wayangnya. Bagaimana jika bibinya meninggal karena sudah tua. Dan sekarang bagaimana dengan nasibnya sekarang."Kami menyerah Tuan!" Semua bandit
Brak!!!Suara pintu terdobrak paksa, membuat Candramaya kecil langsung loncat ke dalam pangkuan Ibunya. Wanita berusia 27 tahun yang duduk di sisi ranjang dengan perasaan was-was. Padmasari mendekap tubuh munyil putrinya yang menggigil ketakutan. Tangannya mengelus pucuk surai Candramaya menyalurkan rasa aman dan nyaman. Padmasari menatap suaminya dengan cemas. Dia sedang berdiri di depan pintu kamar, sambil memegang pedang yang masih di dalam sarungnya.Terdengar suara rintik hujan yang mulai terdengar deras begitu juga dengan suara gaduh pertaruangan. "Menyingkir! Kalian bukan tandinganku!""Dasar pengacau! Serang!"Cuaca malam itu sangat buruk. Menciptakan suasana mencengkam, seiring dengan suara eraman dan teriakkan. Damarjati menoleh ke arah istrinya yang sedang memeluk putri semata wayangnya. Tatapannya dalam dan lekat, begitu juga perasaannya yang berkecambuk. Setelah menyaksikan para pengawalnya yang sedang bertarung dengan penyusup mulai terlihat kewalahan.Candramaya kec
"Akhh!"Damarjati meringis, dia menekan dadanya yang terasa remuk dan terbakar. Ajian pria itu tidak asing di mata Damarjati. Saat mengingatnya mata Damarjati membulat, dia bergumam, "Ajian Tapak Geni!"Padmasari berlari untuk menghampiri suaminya yang duduk terkulai di lantai. Tubuhnya menunduk meraih tubuh suaminya yang terlihat lemah.Wajah Padmasari pucat saat melihat bekas telapak tangan berwarna hitam pada kain yang Damarjati kenakan. Dan buru-buru menyibak kain yang menutup dada suaminya.Mata Padmasari memerah dan berair, dia sangat sedih saat melihat dada suaminya yang terkena pukulan berwarna merah kehitaman seperti daging gosong. Dengan bibir yang bergetar dia berkata, "Ini Ajian Tapak Geni, kang mas!" Ucapnya."Hosh! Hosh!" Nafas Damarjati terdengar berat. "Kau benar!" Padmasari sadar, pria ini bukan tandingannya ataupun suaminya. Namun Padmasari ataupun Damarjati tidak akan pernah tunduk kepada calon raja yang gemar dengan selangkangan wanita. Pria bengis itu terlihat
Pria bengis itu menangkis tangan rekannya dengan kejam dan tatapan jijik. Tanpa memperdulikan tata krama, bahwa yang dia abaikan adalah orang yang jauh lebih tua.Tanpa ragu dia melangkah untuk membuktikan apa yang dia dengar.Sadar dalam bahaya, saat ada sepasang kaki menghampiri tempat persembunyiannya. Candramaya menyadarkan dirinya agar tetap tenang dengan apa yang baru dia saksikan.Dia masih kecil. Mampukah dia bertahan?Kematian kedua orang tuanya adalah sebuah pukulan keras yang mengguncang psikisnya.Candramaya kecil menarik nafas dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang. Agar bisa mengingat jaba mantra yang selalu di ajarkan ibunya. Mulut gadis kecil itu komat-kamit, berusaha fokus di kala tubuhnya bergetar hebat."Kanjeng Ibu, Putri Tanjung Kidul! Butakan mata yang bisa melihat! Tulikan telinga yang bisa mendengar. Tubuhku tak terlihat bagaikan asap. Siang dan malam menjadi satu yang ada hanya kehampaan."Keris kecil itu bergerak. Dari ujungnya
"Di mana Candramaya?""Kami sudah mencarinya. Tapi Gusti Ayu hilang," ujar salah satu pelayan. Pria paruh baya yang selamat karna tidak menginap kini bersimpuh. Raut wajahnya terlihat cemas dan penuh penyesalan.Wismaya menunduk, perasaannya semakin kacau, Sorot matanya semakin meredup. Adik dan iparnya tewas. Dan sekarang keponakannya menghilang.Bagaimana ini?Tapi mana mungkin adiknya bisa terbunuh jika ada keris pelindung dari leluhurnya?"Yah!! Adikku sudah mewariskan keris itu pada putrinya," batin Wismaya. Wismaya langsung bangkit dari duduknya, saking lemasnya tubuh pria itu terhuyung. Dia tidak sabar, dia ingin memastikan sesuatu."Candramaya masih hidup!" Batin Wismaya mengusap bulir bening yang membasahi wajahnya. Dia langsung berlari ke dalam rumah adiknya.Wismaya menatap getir pintu yang rusak bekas dobrakan. Dan darah yang mengering di atas lantai serta bau anyir yang menyeruak menusuk indera penciuman.Secara reflek Wismaya menutup hidungnya dengan punggung tangannya.
Laporan para punggawa seperti rasa pahit yang memenuhi mulut Adi Wijaya, membuatnya terlihat kesal. Sepertinya pagi ini akan sangat menguras emosi, tenaga dan pikiran.Adi Wijaya terdiam, dengan mata terpejam lalu memijit pelipisnya yang terasa pening dan kembali mengatur suasana hatinya. Kesialan nyatanya menimpa hidup Adi Wijaya karena memiliki putra yang tidak berguna.Sedangkan akar dari masalah ini adalah putranya sendiri. Tapi dia tidak mungkin menghukum putra tercintanya.Sedangkan Pangeran Narendra, biang kerok dari segala masalah yang mengusik ketenangan Harsa Loka hanya bersikap biasa saja. Wajahnya tenang seperti tanpa beban. Padahal semua punggawa sedang menyinggung masalah yang dia ciptakan. Karna sejatinya, sebaik-baiknya orang menyimpan bangkai pasti akan tercium juga! Dan bau busuk itu mulai menyeruak kepermukaan. "Apakah Senopati Damarjati mengatakan sesuatu pada kalian?" Tanya Adi Wijaya. Pria tua itu cukup khawatir, terlihat dari tangannya yang meremas tangannya
"Tentu ada, Gusti"Adi Wijaya terbelaklak, wajahnya terlihat tegang dan pucat. Jawaban singkat itu tentu saja seperti anak panah yang melesat menghujam jantung Adi Wijaya. Adi Wijaya terpojok sekarang!Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat, tatapan gadis itu kosong. "Katakan, Nak? Katakan yang kamu ketahui?"Candramaya kecil menatap Pamannya, tangan kecilnya menggenggam erat lengan sang Paman. Satu-satunya orang yang dia percaya saat ini. Jika pagi itu Wismaya tidak mengujungi rumah adiknya, entah apa yang akan terjadi pada gadis malang itu."Du-dua orang, Paman Patih," kata Candramaya, suaranya lirih dan bergetar. Ingatannya kembali ke malam mengerikan itu. Membuat tubuh Candramaya bergetar, dan suara isak tangis mulai terdengar. Wismaya menatap wajah keponakannya yang pucat dengan cemas. Apalagi tatapan gadis itu kosong, dengan lembut Wismaya menepuk pundak lemah Candramaya untuk menyadarkan gadis itu dari lamunan dan berkata, "Katakan yang kamu tahu, Nak?"Candramaya men
Klekkk!!Wanita muda itu bergegas naik ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut berbahan kain sutra. Terdengar langkah kaki yang perlahan mendekat."Kamu tidur, Ratih?" Suara yang familiar berhasil membuat wanita itu hampir terkena serangan jantung."Gawat! Romo Prabu!" Batin wanita muda itu. Wajahnya pucat, hatinya berdebar kencang hingga dia memutuskan untuk menggunakan Ajian Malik Rupa.Adi Wijaya duduk di sisi ranjang. Lalu menyibak selimut yang menutupi tubuh seseorang. Wajah senjanya terlihat muram, saat melihat seorang wanita berusia 55 tahun yang sedang menangis dalam diam.Wanita muda itu merubah wujudnya menjadi Dewi Kamaratih dan berpura-pura sedang menangis."Kamu menangis?" Tanya Adi Wijaya, tatapannya terlihat malas."Hiks! Ini salah paham, kang mas? Menantu kita adalah seorang putra Resi, dia berbudi luhur dan bijaksana. Kangmas tidak kasihan dengan putri dan cucu kita?" Rintih Kamaratih palsu. Dia turun dari ranjang sambil menangis pilu lalu duduk di atas karp
Seketika Arya Baladitya berhenti, lalu menoleh ke sumber suara. Nafasnya memburu namun tatapannya terlihat liar dan dingin. Ketua bandit itu menelan salivanya dengan kasar, tenggorokannya terasa kering. Bahkan seumur hidupnya dia baru merasakan apa itu rasa takut. Semua anak buahnya tersungkur dengan keadaan babak belur.Dia sekarang berpikir, lebih baik di kejar wanita gila itu sampai ke ujung dunia. Dari pada berhadapan dengan malaikat maut yang menyamar menjadi manusia sederhana.Sungguh para bandit itu merasa merinding saat menatap sepasang mata dingin dan aura hitam yang menyelimuti pemuda berpenampilan sederhana itu.Mereka seketika tobat dan merasa kapok. Apalagi Baladewa tiba-tiba teringat putrinya yang usianya sama dengan Indrayana. Gadis kecil itu dia titipkan pada bibinya. Mata Baladewa mengembun, dia menghawatirkan putri semata wayangnya. Bagaimana jika bibinya meninggal karena sudah tua. Dan sekarang bagaimana dengan nasibnya sekarang."Kami menyerah Tuan!" Semua bandit
"Kami hanya menjalankan perintah Tuan!" jawab salah satu bandit bertubuh tinggi besar dan gagah itu. Penampilannnya berantakan jangkut dan kumisnya panjang membuat wajahnya terlihat menyeramkan. Sedangkan rambutnya di gulung secara asal-asalan. Dia adalah ketua dari kelompok ini. Dan yang lainnya tersenyum remeh melihat dari bawah ke atas. Memperhatikan penampilan pemuda dengan pakaian lusuh dan sederhana. Tubuhnya tinggi dan cukup berisi, namun terlihat lemah. Walaupun terlihat lemah, aura kebangsawanan tetap terlihat.Arya Baladitya menyeringai dengan tatapan datar. "Siapa?" tanya Arya Balaaditya dengan suara rendah."Bukan urusanmu! Lagian kalian akan mati!" Sarkas pria yang berada di sisi sang ketua. Pria itu cukup berani dan angkuh."Humm! Sebaiknya kamu turun ya Nak?" ujar Indrayana sambil membuka kain yang mengikat putranya. "Baik Romo," ujar Indrayana lirih. Anak itu turun dari punggung ayahnya.Arya Balaaditya memeluk anak itu dan berbisik, "Indrayana ... tolong temani hita
"Jangan buang waktu, Tuan. Ayo kita pergi ke tempat itu," ujar Ki Sentot. Pria itu sangat antusias.Sedangkan Ranu Baya terlihat bimbang. Pria itu duduk bersandar dengan dahi mengerut. Dia memang ingin memastikan perkiraannya benar atau tidak. Tapi mengingat keadaan Cempaka. Ranu Baya merasa sangat egois jika meninggalkan gadis yang sudah dia anggap sebagai putrinya.Apalagi gadis itu sudah sangat banyak berkorban untuknya. Selama hampir lima tahun Cempaka masuk ke dalam istana dan menyamar menjadi pelayan agar bisa mendapatkan info tentang Istrinya. Jadi dia tidak bisa pergi meninggalkan Cempaka yang pingsan dan terluka. Apalagi di saat ayahnya sedang menjalankan perintah darinya. "Tuan ... " panggil Ki Sentot membuyarkan lamunan Ranu Baya."Bagaimana dengan keadaan Cempaka? Baladewa tidak di sini," ujar Ranu Baya. Ada kilatan kecemasan yang terlintas di matanya yang teduh.Darma menyadari kegelisahan Ranu Baya. Dia tahu karakter pria itu, dia sangat bertanggung jawab dan hatinya be
Saka tertegun sejenak, dia menjatuhkan pedangnya dan menghampiri gadis itu dengan langkah yang berat. Reflek Cempaka menyeret tubuhnya ke belakang dengan wajah pucat. Dia benar-benar ketakutan namun seketika berhenti saat mata dingin pria itu meneteskan air mata. Saka berjongkok dan membuka penutup wajah gadis itu dengan hati-hati. Saka terperangah, dia terduduk di tanah dengan lemas. Hampir saja dia membunuh gadis yang dia cintai. Hanya gadis ini yang menatapnya dengan lembut dan hangat. Wajah gadis itu mendongak, "Tuan ... " panggil Cempaka dengan lirih dan ragu. Tatapan dingin Saka melembut, dia menatap lengan Cempaka yang berdarah. Ada sebuah penyesalan di matanya. Hati Cempaka terenyuh dan berdebar kencang saat pria itu memeluknya dengan erat. Tanpa sadar air matanya menetes. Tangannya tergantung di udara, dia ingin membalas pelukan itu namun dia urungkan. Hingga tiba-tiba terdengar suara beberapa orang berjalan mendekat. Cahaya obor itu samar-samar terlihat dari arah i
"Saka ... " panggil Adi Wijaya. Dia kembali menutup pintu lemari dengan tenang. Adi Wijaya berjalan mendekati seorang pria yang hanya berdiri di depan pintu lalu menepuk pundaknya. Saka hanya mendongak, tatapannya datar dan bibirnya terus saja merapat. Dia tidak berekspresi apapun. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tatapannya yang datar tertuju ada satu buah mata yang terlihat dari celah jendela."Apa kamu sudah menemukan tabibnya?" tanya Adi Wijaya.Sebenarnya di istana ada tabib kerajaan, hanya saja dia ingin menyembunyikan pengobatannya. Sudah beberapa hari dia tidak meminum teh yang selalu di hidangkan. Saat dia tidk sengaja menumpahkannya dan ada seekor kucing peliharaan salah satu selirnya mati karena menjilati bekas tumpahan teh ini. Hingga dia menyadari bahwa ada orang yang selama ini meracuninya.Dia ingin pelaku itu berpikir Adi Wijaya tidak tahu. Jadi dia ingin berobat sembunyi-sembunyi.Saka sadar dari lamunanannya lalu mengangguk.Adi Wijaya tersenyum tipis, "Baiklah,
"Haha ... " kelakar Adi Wijaya memenuhi ruangan itu. Dia tertawa seperti kesetanan dan matanya bahkan sampai berair. Hingga tawa itu mulai melirih dan meredup, sorot mata Adi Wijaya terlihat dingin. Tangannya meremas gulungan sketsa gambar Arya Balaaditya dan melemparnya ke wajah Wismaya.Bug!!Wismaya tersenyum tipis lalu memungut gulungan itu. Melihat seringai dari orang yang kastanya lebih rendah darinya, membuat mata Adi Wijaya terasa sakit. Darahnya mendidih dan rahangnya mengatup, dia bangkit dari duduknya dan berteriak, "Kalian benar-benar lancang! Rupanya menantuku itu telah mencuci otak kalian hingga berani menentangku sekarang!" Wismaya tertawa lirih, "Kami hanya membawa gambar Arya Balaaditya bukan orangnya."Adi Wijaya berkata dengan gigi bergertak, "Apa mau Kalian?"Wismaya mengangkat pandangannya, ada api yang menyala di matanya. Di sudah tidak peduli dengan hal buruk yang akan mengejarnya nanti, "Hamba harap, Gusti Prabu berhenti ikut campur. Dan bersikaplah selayakny
Wismaya menggenggam surat perintah itu dengan erat dan matanya penuh dengan tekad. "Inilah awal pembalasanku yang sesungguhnya. Aku akan membalaskan kematian adikku yang sangat berharga. Dan kalian harus membayar gelar yatim piatu yang kalian berikan pada keponakanku," batin Wismaya. Wismaya mengangkat surat perintah itu dengan kedua tangannya seraya berkata dengan lantang, "Hamba bersumpah tidak akan mengecewakan titah dan harapan Gusti Prabu!" Semua orang berberkata serempak, "Hidup Gusti Prabu Adi Wijaya! Hidup!" Adi Wijaya berbalik badan, dia berjalan menuju singgasananya dengan wajah yang suram. Setiap langkah terasa berat, lantai marmer yang bergitu halus dan kokoh kini seperti hamparan kaca yang tipis. Seakan-akan ketika terinjak, kaca itu akan pecah dan membuatnya jatuh ke dalam jurang. Seruan para punggawanya juga terdengar seperti kutukan baginya. Tenggorokannya terasa tercekik namun saat dia kembali duduk expresinya harus berubah. Adhinatha mengingat nasehat nenekny
"Jadi rumor itu benar," ujar salah satu punggawa. Mereka saling berbisik dan saling beramsumsi. Setelah melihat orang-orang mulai terpengaruh, Wismaya mengambil kesempatan untuk melancarkan rencananya. Pria itu bersujud, wajahnya mendongak seraya berkata, "Hamba mengharapkan titah untuk mengusut kasus ini kembali, Gusti Prabu!" Deg! Adi Wijaya menelan ludahnya dan jantungnya bergemuruh hebat. Dia tidak menyangka hal yang membuatnya hampir gila kini terulang lagi. Bagaimana bisa Adi Wijaya menurunkan titah yang akan mengancam tahtanya? Itu tidak mungkin. Saat Adi Wijaya hendak mengelak, satu persatu para punggawa ikut bersujud di belakang Wismaya termasuk Aji Suteja dan lainnya. Tentu membuat Adi Wijaya tidak bisa berkutik. Sedangkan Narendra, dia meremas tangan istrinya dengan kuat. Pria pengecut itu mulai kehilangan kendali. Namun Damayanti Citra tetap bersikap tenang. Puspita Sari rasanya ingin pingsan. Dia menyesal melahirkan anak yang tidak berguna sepertinya.
Adi Wijaya terbatuk, "Ohok ..ohok! Mawar hitam sudah sangat meresahkan. Mereka telah terang-terangan menabuh genderang perang kepada kita," ujarnya dengan lemah. Adi Wijaya berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya yang mulai sesak. Puspita Sari cukup khawatir, melihat tubuh suaminya yang semakin hari semakin melemah. Damayanti Citra tersenyum penuh arti, "Sebentar lagi tua bangka itu akan berakhir," batinnya. Adi Wijaya kembali meneruskan ucapannya sambil menunjuk ke sudut ruangan. Wajahnya mengeras dengan tatapan yang tajam, "Kalian liat algojo itu?" Semua orang mengangguk dan pandangan mereka tertuju pada sosok tinggi kekar dengan wajah dingin, tampak seperti malaikat maut. "Dia akan memenggal siapapun orang yang terdapat bekas telapak tangan Mahapatih Danadyaksa di dadanya," ujar Adi Wijaya. Suasana mulai ramai mereka saling berbicara satu sama lain dan saling melempar tatapan mencurigai. Adi Wijaya melirik Danadyaksa. Orang itu mengangguk dan berdiri lalu berteriak, "