Beranda / Romansa / Kepincut Boss Ndeso / Bab 7. Pertanda Kita Jodoh

Share

Bab 7. Pertanda Kita Jodoh

Penulis: Astika Buana
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-10 13:01:07

Pertemuan kami untuk pekerjaan, rutin dilaksanakan. Tidak terasa, sudah beberapa minggu kami sering bersama. Sudah ada jadwal hari dan jam berapa untuk Jazil ke kantor, sesuai kontrak yang sudah disepakati.

Bedanya, kami tidak melakukan pertemuan di kantor yang terletak di lantai tiga. Tempat di cafetaria lantai dasar. Ini permintaan dari Jazil sendiri. Apalagi alasannya, kalau bukan karena takut naik lift.

Pak Lartomo, seniorku terpaksa menyetujui. Bagaimanapun nilai kontrak lebih diutamakan, daripada batal. Jazil mengambil kontrak eksklusive. Selain jadwal yang ditentukan, dia juga mempunyai fasilitas konsultasi kapanpun.

Dimanapun, uang bisa merubah aturan.

Seperti saat ini, kami berdua di kafetaria. Sejak saat itu, hubungan kami mulai dekat walaupun sekedar rekan kerja. Pembicaraan juga sudah mulai santai dan kecanggungan mulai tiada. 

Kata saya pun, sudah tergantikan dengan kata aku. Ini kami sepakati, hanya digunakan saat berdua saja.

Bahan pembicaraan sekarang tentang karyawan. Bagaimana menentukan gaji sampai pembagian hari libur. Faktor ini berpengaruh tiga puluh persen terhadap efisiensi kerja.

"Tidak ada aturan khusus untuk karyawan. Hubungan kami seperti keluarga. Mayoritas berasal dari Sumenep. Biasanya mereka membawa saudara atau temannya dari kampung," jelas Jazil dengan menatapku.

"Jadi tidak pernah ada seleksi karyawan?" Aku mengajukan pertanyaan sesuai panduan form dari kantor. 

Pandangan aku alihkan pada strawbery smootie dan sepotong kue spiku di depanku

. Lebih baik begini, dari pada jantungku berdegup lebih kencang karena sorot mata itu.

"Tidak ada. Yang penting ada niat kerja dan masih bernapas," selorohnya sambil tertawa. Aku yang awalnya kikuk, menjadi terkejut. 

"Jangan bercanda. Aku harus melengkapi form ini. Waktunya tinggal satu jam, kita fokus kerja," protesku dengan melototkan mata dan berdesis ke arahnya. 

Tidak membuatnya diam, sebaliknya malah tertawa terkekeh.

"Kamu lupa, waktu kita bersambung dengan makan siang? Itu artinya, masih ada dua jam!"  

Dia mengemukakan sanggahan setelah tawa berhenti. Benar juga, sih. Dasar orang Madura, hitungannya jeli.

"Siapa bilang, akan makan siang dengan Pak Jazil? Aku sudah ada janji," ucapku menggertak. 

Seenaknya saja mengatur jadwal orang, disuruh fokus kerja malah bercanda. Memang makan siang dengannya, dia yang bayar. Namun, aku merasa waktuku semakin dia kuasi.

Dia meletakkan cangkir kopi yang baru saja di sesap. Menatapku tajam seperti tadi, tanpa mengeluarkan kata dan itu membuat diri ini kikuk. 

"Bagaimana mereka bisa jadi tukang kayu, kalau tidak ada ketrampilan?" tanyaku mengalihkan kejengahan yang baru tercipta.

"Apa ini tidak merugikan?" tanyaku lagi setelah dia tidak menjawab. 

"Pak! Pak Jazil!" teriakku berusaha membuat dia berkedip.

"Iya, aku dengar. Saya akan jawab semua yang ada di kertas kamu sekarang. Asal, kita makan siang bersama. Sekarang kau batalkan janji makan siangmu!" 

Aku tertawa mendengar permintaaannya. Ada-ada saja, harus bersyarat. Padahal ini kepentingannya dia sendiri. 

"Janji makan siang bersama orang yang kapan hari kirim pesan. Ini pesannya," ucapku menunjukkan layar ponsel. "Ini dibatalkan, ya?" tanyaku dengan tertawa.

Yang aku tunjukkan, percakapan kami beberapa hari lalu. Menentukan jam berapa pertemuan di hari ini. Mungkin dia lupa, kalau dia yang menawariku mentraktir makan siang pada hari ini.

"Kamu mulai berani meledekku, ya?!" 

"Ma-maaf ... maaf. Habisnya, Pak Jazil tidak serius!" ucapku sambil menutup mulut, menahan tawa.

"Baiklah. Aku jawab pertanyaanmu. Yang saya butuhkan dari calon karyawan hanya niat untuk bekerja. Ketrampilan bisa dipelajari, tapi niat harus ada dari awal. Saya lebih suka menerima orang bodoh daripada orang pintar tetapi tidak punya niat." 

Penjelasannya berhenti, dia mengambil pisang goreng yang dia pesan. 

"Mau?" Dia menyodorkan camilannya. Aku menjawabnya dengan menunjuk kue yang aku nikmati.

Dilihat dari selera camilan dan minuman, kami sangat berbeda. Yah, kami memang bertolak belakang. Seperti warna hitam dan putih.

"Hampir semuanya dari nol. Mereka bisa karena aku latih," jelasnya setelah menelan kunyahan terakhir.

"Bagaimana setelah sudah pintar, mereka keluar dari pekerjaan? Lalu, mereka gabung ke kompetitor atau mendirikan usaha sendiri? Apa tidak rugi?" tanyaku mencari jawaban yang membuat penasaran.

"Aku tidak rugi, anggap saja kita beramal dengan memberikan mereka alat untuk hidup. Sebenarnya, yang merugi mereka sendiri karena  sudah kehilangan kesempatan kembali," ucapnya berhenti untuk mengambil napas, "masih banyak pertanyaannya?"

"Tinggal sedikit, Pak. Yah sekitar lima pertanyaan saja."

"Bisakah kita makan dulu? Aku lapar."

Segera kumasukkan kertas form ke map batik. Berganti dengan buku menu makanan yang sudah diberikan di awal kami datang.

Dia memesan soto madura dan aku memesan nasi gudeg lengkap. Pesanan sesuai selera asal. Hanya satu yang sama, pesan minum air mineral dingin dengan kemasan botol.

"Pak Jazil, kenapa menjadi tukang kayu? Bukankan orang Madura banyak yang jadi penjual sate Madura atau soto Madura?" tanyaku setelah membaca pilihan menunya.

"Ada lagunya lagi," tambahku. Seorang pelayan sudah mengambil daftar pesanan.

"Memang tahu lagunya?" tanyanya sambil tersenyum. Mungkin menganggap perkataanku lucu.

"Tahu, lah! Dulu pas SMP pernah dipaksa nyanyi lagu daerah. Lagunya gini,

Bula panika, oreng Madureh. Ka tana Jebeh, toron Sorbejeh

Ajuwelen Soto Madureh, Ajuwelen Sate Madureh

Soto Madureh, Sate Madureh

Aku menyanyikan lagu dengan menambah kata sate Madura, supaya lengkap. Jazil tertawa terbahak-bahak mendengar lagu Madura dengan logat Solo. 

Mungkin, terdengar aneh di telinganya.

"Iya! Nanti aku akan sesuaikan dengan nyanyianmu itu. Jualan Soto Madura dan Sate Madura, tapi bantu mengelolanya, ya," ucapnya dengan menatapku dan tersenyum.

"Okeylah! Jadi kasirnya, Pak Jazil? Siap, lumayan mendapat gaji tambahan!" ucapku dengan tertawa kecil. 

Tawa ini meredup saat dia tiba-tiba menatapku tajam dengan raut wajah serius.

"Mulai saat ini, jangan panggil aku pak. Panggil aku Kak Jaz, dan aku memanggilmu Dek Ras!" 

"Kenapa?" 

Ras terdengar aneh di telingaku karena tidak pernah dipanggil seperti itu. Orang lain memanggilku Laras atau Larasati. Ada juga yang memanggilku Dewi, nama depanku.

"Biar kita mirip, Jaz dan Ras. Itu menandakan mulai saat ini kita berjodoh. Iya, kan?"

Deg!

Apakah kata terakhirnya menandakan kita jadian? Atau, sekedar nyaris?

Ucapannya sukses melenyapkan rasa lapar, tergantikan dengan geleyar indah di hatiku. Ada rasa bahagia dan berbunga di sana. Jantungku seakan mau lepas dari tempatnya.

Duh!

Mbak dan mas pelayan, kenapa tidak segera datang?!

Cepetan, sebelum aku pingsan di sini! Maluuu!

*****

Komen (2)
goodnovel comment avatar
lina nur.p
cuma baca kok ikut salting
goodnovel comment avatar
thiwit RA Nurul Amal
duuhh...lucu n akhirnya tertawa sendiri.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 8. Izinkan Aku, Dek

    "Aku ingin mengenalmu lebih dari sekedar teman dekat. Ijinkan aku memperkenalkan diri ke bapak dan ibu." Ucapan Kak Jazil kemarin malam sebelum mengantarku pulang. Mengejutkan bahkan membuatku tidak bisa tidur semalaman. Setelah pertemuan kemarin yang membahas tentang karyawan, kami pun berpisah setelah makan siang usai. Entah, hari kemarin adalah hari jadi kita atau tak ubah seperti hari sebelumnya. Yang kita sepakati hanya berubah panggilan saja. Dia memanggilku Dek Ras dan aku memanggilnya Kak Jaz. Tentu saja ini panggilan saat di luar kepentingan kerja. "Di tempatku, ini panggilan spesial untuk orang terdekat. Bukankah kita sudah menjadi teman dekat?" tandasnya, mengukuhkan kemajuan hubungan kami. Siangnya memang kami berpisah, tidak ada kabar lagi darinya. Dia disibukkan dengan janji dengan buyer yang datang dari Singapure, itu yang dikatakan saat bilang ingin menjemputku kembali saat sore harinya, tetapi tidak bisa karena kendala ini. Memang, dia bilang sore hari tidak b

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 9. Candle Light Dinner

    Malam ini, aku berdandan lebih rapi. Kak Jaz bilang, kami akan makan malam di tempat spesial. Baju terusan panjang berwarna putih, terlihat santai tapi tetap feminim. Aku pun memintanya untuk menggunakan baju putih. Biar serasi denganku, itu yang aku tekankan. "Aku ingin candle light dinner, seperti yang pernah kamu tunjukkan itu, Dek" ucapnya tadi. Memang pernah, aku menunjukkan foto saat berselancar di dunia maya. Saat tanganku berhenti di sebuah foto romantis, dia ikut berkomentar. "Apa enaknya makan gelap-gelapan. Lebih baik di tempat terang, kelihatan makanannya. Menurutku, ini cara makan orang yang tidak ada kerjaan. Listrik ada, susah-sudah pakai lilin," celetuknya dengan mendekatkan wajah seperti memastikan sesuatu. "Memang tahu ini apa?" "Tahu. Candle light dinner, kan? Bule suka banget makan seperti itu," ucapnya berhenti dan menatapku sesaat, seakan sadar dengan wajah ini yang cemberut, "kamu ingin makan model seperti ini, Dek?" "Tidak!" jawabku kesal. Sekilas aku m

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 10. Kekawatiranku

    "Dewi Larasati? Maukah kamu menyimpan ini sampai hari itu tiba?" Kata-katanya terngiang terus di telingaku. Sampai bangun tidur pun, masih terasa suasana tadi malam. Suara deburan ombak, bau pantai, bahkan wajahku masih merasakan tiupan angin. Senyumku mengembang tiada henti, begitu juga hati ini. Mungkin berubah menjadi merah muda, warna cinta. Ngaco! Orang seperti kami, bebas mengekspresikan cinta. Tidak bisa terbantahkan oleh teori atau ketetapan apapun. Aku ambil kotak kecil pemberian Kak Jazil. Sengaja aku letakkan bawah lampu tidur, semalaman mataku tidak terlepas dari benda itu. Entah berapa kali kubuka untuk memastikan benda yang tersimpan di dalamnya adalah nyata. Sebuah cincin polos terbuat dari emas. Di dalamnya diukir indah inisial kami. ~DL & JE~ Kepanjangan dari Dewi Larasati dan Jazil Ehsan, itu yang dikatakannya. Inilah yang menyempurnakan senyumku. Tadi malam, Kak Jazil juga menunjukkan kotak yang sama. Bedanya, cincinnya terbuat dari p

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-19
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 11. Kesempatan Untuk Kita

    "Halah! Orang kalau sudah jatuh cinta, tai kucing rasa coklat!" sahut Ibu memotong ucapanku yang sedang ingin membela Kak Jazil."Bu, jangan begitu. Semua tergantung orangnya," ucap Bapak menengahi kami."Itu sudah budaya, Pak. Pokoknya, Ibuk tidak mau! Tidak usah dilanjutkan! Seperti tidak ada laki-laki Jawa saja! Kalau kamu tidak bisa cari, nanti Ibu tanyakan ke teman-teman Ibu!" ujar Ibu dengan nada keras. Dari raut wajahnya, tersirat kalau yang diucapkan Ibu serius. Kekawatiranku memakin pecat melihat reaksi Ibu. Memang Bapak tidak menolak keinginanku ini, tapi melihat wanita yang melahirkanku ini bersikukuh, menyurutkan rasa percaya diri ini."Bu, dengar dulu yang diucapkan Laras," ucap Bapak berusaha mencegah Ibu yang menjauh dari layar ponsel. Samar terdengar teriakan Ibu dari jauh, “Wes sak karepmu! ”Aku menatap layar ponsel dengan gundah, Bapak dan Ibu mulai beradu mulut. Suara mereka terdengar, namun aku tidak mempunyai nyali untuk mendengarkan. Layar ponselpun menggelap t

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-20
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 12. Mantan Anak Pantai

    Hari ini, aku ada jadwal untuk pendampingan di perusahaan Kak Jazil. Jaz Gallery, itu nama yang dia pakai dan Mr. Jaz, panggilan untuknya dari para tamu.Tertulis di kantor memang aku keluar untuk pendampingan kerja, tapi sekarang justru terdampar di pantai bersamanya. "Pagi-pagi tidak ada yang datang. Mereka datang setelah makan siang. Jadi kita jalan-jalan dulu. Bukankan aku tidak pernah mengajakmu keluar selain sekedar makan?" ucapnya saat aku menolak diajak pergi.Aku memang malas aktifitas di alam seperti sekarang. Jalan kaki, berkotor-kotor, dan basah. Pukul enam pagi, Kak Jazil menjemputku. Perjalanan membutuhkan waktu satu jam, ditambah harus berjalan menuruni tebing. Sepanjang jalan menyusuri jalan kecil, aku menguap disela gerutuku. Rasa kantuk dan malas masih menguasai. Namun, genggaman tangan Kak Jazil yang sesekali untuk membantu, yang membuatku tersenyum. Di ujung jalan, kami disambut hamparan pasir putih dengan deburan ombak yang indah. Tidak banyak orang di sini, a

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 13. Dari Sini Awalnya

    "Tuh, kan. Belum apa-apa sudah marah?" ucapnya dengan tersenyum. "Aku bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud kamu, anak pantai yang bisa diajak tidur, gitu?" Aku mengangguk dengan rasa kawatir menunggu jawaban. Dia tertawa terbahak-bahak, mungkin melihat raut wajahku yang terlihat aneh ini."Aku ini anak pondok. Tidak mungkin seperti yang kamu pikirkan. Dosa! " Ucapnya setelah tawa mereda."Di sinilah aku belajar bahasa Inggris. Dengan surving, aku bertemu banyak orang dari berbagai negara dengan budaya dan bahasa berbeda. Bahkan dari macam-macam profesi dan tingkat ekonomi. Dan, dari sini juga, aku memulai bisnis yang ada sekarang." Aku menatapnya dengan takjub. Dia ternyata mempunyai pengalaman yang luar biasa. Aku tidak ada seujung kukunya. Memang titelku sarjana, kursus bahasa Inggris sudah level mahir. Namun untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan mereka, aku merasa ngeri. Belum memulai bicara, lidah sudah menjadi kelu."Aku juga mendapatkan sahabat dan akhirnya mereka me

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-21
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 14. Sibuk Berdua

    Setelah matahari mulai naik, kami kembali dari pantai dan singgah di pinggir jalan. Ada payung besar warna pelangi menaungi penjual bubur yang menggunakan sepeda motor. Bubur ketan hitam dan bubur kacang hijau."Kamu mau makan di sini?" tanyanya sambil menunjuk emper toko. Berderet ruko yang masuh tutup menunggu waktu. Kami duduk tak jauh dari tukang bubur yang sibuk melayani pembeli yang mayoritas, karyawan restoran atau hotel yang berangkat kerja. Maklumlah, ini memang di mulut jalan Legian. Jalan yang menjadi surga pejalan kaki untuk belanja atau sekedar menikmati keramaian wisata."Dulu sering aku duduk di sini, mencari nasi bungkus untuk sarapan. Sekalian mencari inspirasi. Lihat kendaraan yang lewat," ucapnya dengan menunjuk jalan. "Jalan ini dua arah, namun yang ramai hanya di satu sisi. Kenapa?" tanya Kak Jazil, menutup ucapannya dengan menyuap bubur kacang hijau kental."Itu ramai di satu sisi, karena waktunya berangkat kerja," jawabku sembari menikmati bubur campur. Aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-23
  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 15. Calon Istriku

    Bagaimana tidak, tubuhnya berbayang dari balutan sarung berwarna hitam. Ditambah rambut panjang yang sedikit basah. Apa dia tidak mengerti kalau penampilannya menggangguku? "Kak Jazil! Kenapa tidak ganti pakaian dulu?" "Tidak keburu, Dek. Mr. Andrew sudah dekat, aku harus siapkan berkasnya. Aku baru pulang dari mushola, eh dia telpon. Padahal seharusnya, dia datang satu jam lagi. Tolong pisahkan invoice atas nama dia, ya." Aku mengambil tumpukan nota yang disebutnya invoice tadi. "Mr. Andrew Classy Funiture?" Dia mengangguk. Iya, Mr Andrew yang memberikan kartu nama perusahaan tempatku bekerja. Yang mengantarkan Kak Jazil datang ke tempatku. "Sekalian aku akan mengucapkan terima kasih ke dia!" ucapnya sambil menghentikan sejenak yang dia kerjakan. "Kenapa?" "Karena dia, aku bertemu kamu," ucapnya dengan tersenyum, "ini berkah buatku." Ucapan yang membuatku tersanjung. Tak seberapa lama, Mr Andrew datang. Dia menggunakan mobil sport berwarna putih. Kami berkenalan sejenak

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-23

Bab terbaru

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 59. Anak Bumi

    "Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 58. Jalan di Pantai

    Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 57. Pengurai Kesal

    “Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 56. Kangen Adek

    "Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 55. Tetep Tidak Dipercaya

    Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 54. Salah Alamat

    Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 53. Tamu Ibu Kota

    Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 52. Aku Ingin Selamanya

    "Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me

  • Kepincut Boss Ndeso   Bab 51. Kunjungan yang Tak Diharapkan

    Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa

DMCA.com Protection Status