POV Ayu"Sedang apa?" aku berjengkit kaget saat tiba-tiba saja suamiku sudah memeluk tubuhku dari belakang. Ia memutar tubuh ini agar kami saling berpandangan tanpa sedikit pun ia melepas pelukan di pinggangku. "Memikirkan apa nanti saya bisa hamil atau tidak. Begitu banyak obat yang sudah-"Mas Rahmat kembali membungkam bibir ini dengan bibirnya. Bujangan dewasa yang menikahiku seakan-akan selalu kurang dalam menyentuhku. Padahal ini sudah satu minggu kami di Bali untuk berbulan madu dan entah sudah berapa kali ia meminta haknya. Ia begitu memujaku hingga aku benar-benar lupa dengan sosok Ramon. Ya, Mas Rahmat ternyata mampu membuatku melupakan ayah dari anak-anakku. Ia selalu saja memberikan yang terbaik bagiku dan juga si Kembar. Baik perhatian, kasih sayang, bahkan ia begitu siaga menjagaku saat hampir satu bulan aku dirawat setelah melahirkan si Kembar. "Sayang, kamu sangat.... " Mas Rahmat kembali mengerang saat ia mencapai muaranya, sedangkan aku, jangan ditanya sudah berapa
Hari ini adalah sidang terakhir perceraianku dengan Ramon. Lelaki itu menepati janjinya dengan tidak datang selama persidangan berlangsung. Hak asuh Robi pun otomatis jatuh ke tanganku tanpa ada gugatan lain dari Ramon. Lelaki itu benar-benar hilang tanpa kabar. Terakhir yang aku dengar dari Bu Nur, Bang Ramon pindah dari rumah yang pernah kami tempati dan rumah itu dijual. Entahlah, aku tidak mau ribut urusan harta, biarkan rejeki Robi nanti bisa dari mana saja. Bep! Aku meraba tas selempangku yang berbunyi pesan masuk. Jalanan menuju Bandung cukup lengang, sehingga Rian yang mengendarai mobil tidak terlalu tegang. m-Transfer:Berhasil17/03 14:05:11Ke 661025630XPuspaRp. 1,500,000.00Aku mengerutkan kening saat nomor tidak dikenal mengirimkan pesan bukti transfer atas namaku. Siapa ini?SendPuspa, ini saya Ramon, maaf, saya baru transfer uang untuk Robi. Jika nanti ada rejeki lebih, akan saya tambahkan, karena saat ini saya juga harus berbagi dengan Ayu. Aku bersedih sebal.
Mobil Mas Rian berhenti di depan rumahku. Lelaki itu dengan senang membukakan sitbelt bagianku, diiringi senyuman manisnya. Wajah Rian begitu dekat denganku, hingga napasnya yang berbau mint, tercium oleh indera penciumanku. Aroma yang sama, padahal sudah bertahun-tahun lamanya. "Kenapa? Berharap aku cium?" tanyanya dengan begitu percaya diri. Aku bersedih sebal, lalu bersiap untuk menarik handle pintu, tetapi sudah terlanjur dibukakan oleh Rian. "Aku hanya bercanda, Cantik. Jangan marah atuh!" Ia tersenyum kembali dengan sangat manis. Melepas sitbelt nya, lalu membuka pintu. Kakinya melangkah sejajar dengan kakiku; mengantar sampai di depan pintu rumah. Brak! "Bunda!" Seru Robi dengan senangnya. Jagoan kecilku membuka pintu rumah dengan tiba-tiba untuk menyambutku pulang. Senyumannya terus terkembang, terutama saat pelukannya aku balas dengan lebih erat dan juga ciuman di pipinya. "Salim sama Om Rian!" Titahku. Robi mengangguk patuh, lalu menarik punggung tangan Rian untuk diciu
Aku benar-benar terjaga sepanjang malam. Sebenarnya aku tidak mau terganggu dengan permintaan Dini, tetapi ucapan yang ia lontarkan jujur menganggu perasaanku saat ini. Dini; adik bungsu yang mandiri dan jarang sekali meminta apapun dariku. Bahkan untuk biaya kuliah saja ia dapatkan dari beasiswa karena memang ia pintar. Dini juga tidak pernah protes jika aku selalu meminta tolong padanya untuk lebih memperhatikan mama. Kini, sebuah kalimat terucap dari bibir sensual adikku itu dan mampu membuatku tidak bisa memejamkan mata, padahal besok aku harus bekerja. Apa Dini tidak tahu kalau Rian menyukaiku? Pertanyaan itu terus saja muncul di kepala hingga petugas jaga malam memukul kentongan sebanyak dua kali. Ini sudah jam dua dini hari dan aku masih belum bisa tidur. Kuputuskan untuk berjalan keluar kamar, mengambil air minum di dapur. Mungkin dengan minum segelas air, mataku perlahan akan mengantuk. Aku kembali ke kamar, ikut berbaring memeluk Robi. Ponselku berkelap-kelip. Sinar yan
Aku tiba di rumah pukul enam sore, tepat azan magrib berkumandang. Motor kuparkir di teras depan untuk mendinginkan mesinnya terlebih dahulu, sebelum dibawa masuk ke dalam rumah. Motor Dini pun sudah ada di teras, lengkap dengan helm berwarna merah mudanya."Assalamualaykum," seruku sambil mendorong pintu rumah yang tidak tertutup rapat. "Bunda!" Robi bangun dari duduknya untuk berlari menyambutku. Rupanya putraku sedang bermain bersama Dini. Aku tersenyum manis sembari mengusap rambut Robi."Sedang main apa?" tanyaku pada Robi."Ini, Bun, dibelikan Tante Dini lego. Bagus'kan?" Robi memperlihatkan hasil merangkai potongan lego menjadi bentuk mobil ambulan padaku."Sudah bilang terima kasih belum sama Tante?" putraku itu mengangguk sambil menoleh pada Dini. "Bunda mandi dan solat dulu ya, nanti baru main sama Robi." Aku tersenyum pada Dini, gadis itu membalas senyumku, lalu melanjutkan main bersama Robi.Selesai mandi dan salat, aku merapikan tempat tidur yang amat berantakan. Pasti
Usiaku sudah tidak muda lagi. Bukan masanya untuk cemburu apalagi pada adik sendiri. Sebenarnya aku juga belum terlalu terobsesi untuk memiliki pendamping pada waktu dekat, karena masih trauma dengan pernikahanku sebelumnya. Namun Mas Rian pria sangat baik yang bersabar menungguku sekian tahun, jika aku menolak, maka aku termasuk wanita tidak bersyukur. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas, lalu bersiap-siap untuk pulang. Biarlah Dini menggunakan caranya sendiri untuk memikat Mas Rian, jika memang pria itu jodohku, maka seribu cara yang adikku itu lakukan, tetap tidak akan terwujud. Kusempatkan mampir ke sebuah toko roti, membeli oleh-oleh untuk Robi dan juga mama. Hari ini aku gajian, tentu saja mama dan Robi prioritasku ketika aku sudah memiliki penghasilan sendiri. Saat masih bersama Ramon dan aku hanya memangku tangan padanya, tentu saja aku tidak bisa sebebas ini mengeluarkan uang untuk keluargaku. "Bunda!" Robi menyambutku dengan senyuman lebar. Ia berlari menghampiri begit
Aku dan Rian duduk di kursi teras. Lelaki itu masih mengunci rapat mulutnya sejak ia berdiri di depan pintu rumah dan melihat Ramon memegang tanganku. Aku tidak menyalahkan lelaki ini, karena siapapun yang melihat Ramon seperti tadi padaku, pasti akan salah paham. Ditambah bumbu bon cabe yang meluncur dari bibir tipis adikku yang membuat Rian semakin cemberut saja. Ramon sudah pulang karena Robi ternyata sudah tidur di kamar mama. Lalu di mana Dini? Mama meminta Dini masuk ke kamar dan memberikan waktu padaku untuk bicara dengan Rian. Namun sudah setengah jam kami duduk sedikit berjarak, Rian masih mengunci mulutnya. Aku lelah dan mengantuk, tetapi Rian nampaknya tidak ingin meluruskan masalah, tetapi juga tidak mau pulang. "Mas, maaf, aku lelah sekali hari ini. Laporan semua aku yang kerjakan karena Widya tidak masuk. Jika kamu ingin bertengkar denganku, silakan, tapi tahan sampai besok ya, karena aku sudah tidak bertenaga. Aku ngantuk banget, Mas." "Oh, jadi kamu mengusirku?" "
Demamku memang sudah turun, tetapi saat membaca status Dini yang tengah magang di kantorku sekaligus kantor Mas Rian membuatku jengah juga. Dini memang adikku, walau tidak kandung. Dini bayi saudara di kampung mama yang diadobsi karena kedua orang tuanya tidak mampu. Dini yang sakit-sakitan akhirnya membuat mama iba dan membawanya ke Bandung saat usia Dini masih empat bulan. Sejak saat itu Dini menjadi adikku. Tidak ada perbedaan antara perlakuan mama denganku ataupun dengan Dini. Mama pandai menutup rapat rahasia ini karena ia pun amat menyayangi adik angkatku itu. Sampai sekarang, Dini hanya tahu, bahwa kamilah keluarganya dan mama adalah ibu yang melahirkannya. Ketika muncul permasalahan seperti ini membuatku mau tidak mau memikirkan Dini juga. Sebagai kakak yang sayang adiknya, aku tidak ingin bertengkar apalagi sampai bermusuhan dengan Dini hanya karena seorang pria. "Bunda, mau makan disuapin, Bunda," ujar Robi sambil menyentuh kepalaku. Garis bibir ini melengkung tinggi. Pu
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal