“Astaga, Zahra ini larinya cepat banget! Pergi kemana sih dia di mall sebesar ini?!”
Seorang pemuda dengan jas pernikahan lengkap dengan sepucuk bunga di sakunya tampak kebingungan mencari keberadaan seorang wanita yang baru saja sah menjadi istrinya beberapa menit yang lalu.
“Kenapa telepon saya juga tidak diangkat? Kebiasaannya sejak dulu tidak pernah berubah! Selalu menghilang sesukanya sendiri. Kamu kemana sih Zahra?!” keluh pemuda itu sembari terus berusaha menghubungi sang istri.
“Bagaimana bisa dia kabur dari acara pernikahannya sendiri bahkan sebelum acara selesai? Entah saya harus mencarinya ke mana di mall sebesar ini! Sepertinya kemarin dia yang sangat bahagia menunggu hari ini tiba, tetapi sekarang menghilang seolah tertelan bumi!” cibir Rasul—pemuda dengan tatapan teduh, tinggi semampai, senyum yang manis dengan tambahan tahi lalat kecil di wajahnya dan rambut rapi tertutup kopiah hitam.
Rasul akhirnya memutuskan untuk memanggil istrinya melalui meja informasi yang ada di lobi lantai satu mall besar di kota itu. Meskipun sedikit malu karena merasa ditinggal sang mempelai, Rasul mencoba terus memasang muka badak saat pekikkan itu diucap sang penjaga.
“Panggilan kepada Zahra Athifah agar segera mendatangi pusat informasi lobi lantai satu karena telah ditunggu suaminya. Sekali lagi, panggilan kepala Zahra Athifah untuk segera datang ke pusat informasi lantai satu!”
Rasul tampak sebentar tersenyum dan mengangguk usai mengucapkan terima kasih atas bantuan sang petugas. Ponsel yang ia cekal terus tampak berusaha terhubung dengan Zahra.
“Ditinggal calonnya ya, Mas? Kalau saya jadi mas mending saya cari yang lain! Lagi pula masnya juga ganteng!” celetuk petugas pria yang ada di sana sambil meringis.
“Ah, bukan Pak. Itu! Memang lagi cosplay jadi pengantin baru saja. Dia sebenarnya benar istri saya kok, Pak! Cuma ya itu, dia orang baru di sini jadi kesasar gitu,” dusta Rasul sembari meringis ke arah sang satpam.
Saat ia masih berada di dekat pusat informasi, sekumpulan siswi SMA tampak terus melirik ke arahnya dan membuatnya kembali merasa canggung.
“Misi, Mas!” pekik salah satu di antara siswi SMA itu. Rasul segera menoleh dan sedikit mengangguk.
“Mas pasti calon mempelai dari cewek yang pakai gaun pernikahan putih tadi ‘kan?” tuturnya.
Mata Rasul seketika menjadi cerah, setidaknya seseorang melihat keberadaan istrinya yang kabur itu. Dibuka ponselnya dan ia tunjukkan foto Zahra kepada mereka.
“Nah, iya betul! Ini yang tadi kami lihat di lantai tiga! Tapi aslinya lebih cantik, sih!”
“Lantai tiga? Kalian melihat dia di sebelah mana? Dia baik-baik saja ‘kan?” tanya Rasul sedikit canggung bercampur cemas.
“Baik-baik aja kok, Mas! Masalahnya, tadi saya liat mbaknya masuk ke salah satu live stasiun TV tempat acara cari jodoh gitu!” Suasana canggung tiba-tiba menerpa.
Tatapan mata Rasul tak bisa berbohong lagi, rasa malu bercampur bingung kini menyergap dirinya sementara kumpulan siswi SMA itu tampak tak enak hati usai mengatakan hal tersebut.
“Acara pencarian jodoh? Maksud kalian?” ulang Rasul.
“Iya, Mas! Jadi pekan ini mereka lagi tour gitu dan tempatnya di mall lantai 3. Judul acaranya Take Me Out, Sir! Ya, isinya cewek-cewek yang mau cari cowok buat pacar atau suami gitu, Mas. Yang sabar ya, Mas! Mending cari yang lain aja, Mas! Masnya juga ganteng pake banget kok, hehe!” aku sang pelajar membuat Rasul sedikit meringis.
“Ahh, begitu. Baiklah, terima kasih untuk informasinya. Saya permisi, ya!” pekik Rasul lalu segera lari dari sana menuju eskalator yang berada di lantai satu itu.
Seolah tengah berada dalam scene film roman, Rasul dengan setelan pernikahannya berlari mencari Cinderella yang tiba-tiba menghilang dari acara pernikahannya sendiri.
Sebuah pintu ruang hitam yang tampak kedap suara bertuliskan ‘Take Me Out, Sir!’ membuat jantung Rasul berdebar hingga tangan kirinya mencengkeram dadanya sendiri.
“Istri mana yang setelah menikah bukan menemani suaminya tapi malah cari jodoh di acara televisi macam ini?! Lihat saja Zahra, kamu akan tahu apa yang saya lakukan di dalam sana nanti!” pekik Rasul lalu mulai melangkah memasuki ruangan tersebut.
Di sisi lain, lebih tepatnya di belakang podium para wanita cantik dengan pakaian terbaik mereka mulai tersenyum saat sang host memulai acara. Sementara itu, seorang wanita dengan hijab panjang, mahkota di atas kepalanya, dan balutan gaun pernikahan elegan tampak sedikit canggung di sana.
“Sepertinya sebuah kesalahan aku masuk ke sini! Acaranya live pula! Bagaimana jika seorang pria memilihku nanti? Ashh, ini semua karena Kak Rasul!! Kenapa dia sangat menyebalkan tadi!” omel Zahra.
Acara pun dimulai. Beberapa pembukaan dimulai dengan sedikit lagu dan sesi kabar quote oleh sang host. Kini saatnya sang single man pertama untuk masuk ke dalam ruangan dan menemui para calon kekasih.
Saat pemuda itu baru menjejakkan kakinya, seluruh mata langsung memandang takjub dan terpesona dengan ketampanan sang single man. Berbeda dengan para wanita lain, Zahra malah tampak tercengang dengan apa yang dilihatnya.
Seorang pemuda yang berdiri tegap dan menatap ke sekitar dengan senyum manisnya tak lain dan tak bukan ialah Rasul Asyraf—suaminya.
“Kak Rasul?!! Wah, berani ya dia ikut acara ini, hm?! Lihat saja nanti! Aku tak akan memilihnya dan memilih pemuda lain!” geram Zahra sembari mengepalkan tangannya di atas podium tempatnya berdiri.
“Baiklah, single ladies! Untuk tahap pertama, kendali ada di tangan kalian, apakah pemuda single ini mampu meluluhkan hati kalian atau tidak! Single ladies, tentukan pilihanmu!” pekik sang host lalu mempersilakan para wanita single di belakang podium untuk mematikan atau mempertahankan lampu mereka.
“Aissh, apa-apaan ini! Bisa-bisanya semua mempertahankan lampu?! Mereka pikir Kak Rasul jodoh mereka, hah?” sergah Zahra.
Benar saja, dua puluh empat wanita di sana tetap mempertahankan lampunya sementara Zahra dengan cepat malah mematikan lampu podiumnya.
“Waw! Menakjubkan! Hanya satu lampu yang padam! Ada masalah apa dengan Zahra ini, ya?” tutur sang host langsung membuat Rasul tersenyum miring memandangnya dari jauh.
“Sudah kuduga secepat itu menemukanmu, Zahra!” bisik Rasul lalu berjalan menuju podium tempat Zahra menatapnya ketus.
Seluruh wanita yang Rasul lewati seolah tampak terpana dengan pemuda yang melintas di hadapan mereka. Aroma wangi yang semerbak, langkah tegap dan penuh tujuan seolah tergambar dalam gesturnya.
“Zahra Athifah! Mau lari kemana lagi, Sayang? Kali ini kamu tidak akan bisa lagi lolos dan kamu harus kembali ke acara pernikahan kita!”
Perkataan Rasul sontak membuat seluruh orang terkejut bukan main bahkan hingga melongo dan menutup mulut mereka.
Tanpa menunggu jawaban dari sang wanita di hadapannya itu, Rasul langsung melingkarkan tangannya pada pinggang Zahra dan menggendong wanita itu kembali ke pusat panggung.
“Maafkan saya, Nona-Nona. Saya kemari hanya untuk menjemput istri saya yang sangat menyebalkan ini."
“Kak Rasul! Turunin Zahra sekarang!!” teriak Zahra sembari terus memukul punggung Rasul yang membawanya keluar dari tempat acara itu.Rasul menurunkan Zahra dengan perlahan lalu mencengkeram pergelangan tangan kanan Zahra dan sedikit membungkuk untuk menatap istrinya yang lebih pendek darinya itu.“Kak Rasul sengaja ikut acara itu untuk tebar pesona dengan semua wanita cantik di sana, hah?! Baru saja dua jam yang lalu Kak Rasul mengucapkan akad, sudah mau mengucap akad lagi, hm?!” cecar Zahra dengan mata melotot yang nyaris keluar dari tempatnya.“Lalu kenapa kamu ada di belakang podium, Zahra? Hendak mencari pria yang akan menyebut namamu dalam akad lagi?” sindir Rasul.“Jangan memutar balikkan fakta, Kak! Zahra ada di sana karena Kak Rasul mengejar Zahra sampai ke sini!” omel Zahra sembari mengalihkan pandangannya dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Rasul yang tampak kuat menguncinya.Rasul dengan cepat melepas cengkeraman tangannya namun beralih pada pinggang Zahra dan mendo
Zahra tampak segera membalik tubuhnya dan mulai mengamati wajah Rasul dengan tatapan selidiknya. Sementara itu, Rasul malah bangkit tampak santai dengan bibir yang sedikit ia majukan bergaya seolah sedang mengambek.“Kenapa Kak Rasul memulai itu lagi? Zahra sudah pernah bilang kami hanya teman bukan?” tutur Zahra sedikit ketus.“Lihat sendiri ‘kan siapa yang selalu ketus setiap pembahasan ini dimulai. Lagi pula saya hanya bertanya. Kenapa kamu jadi kesal begitu?” tutur Rasul kini malah mulai berjalan meninggalkan Zahra yang tampak semakin geram.“Kak Rasul!!” teriak Zahra lalu segera mengangkat gaunnya yang menjuntai agar tak menghalangi jalan cepat mengejar sang suami itu.“Kak Rasul sendiri yang sudah memberikan izin pada Zahra untuk mengundangnya, ‘kan? Kenapa sekarang seolah tak setuju karena Zahra mengundangnya?” omel Zahra berusaha menahan Rasul semakin menjauhinya.“Iya, Sayang. Saya tidak marah, saya hanya bertanya. Karena kamu sudah mengundangnya, jadi apa dia sudah datang? S
Wajah Zahra seketika berubah ketus saat mendengar pertanyaan yang Rasul berikan kepadanya. Tangan yang awalnya dipegang Rasul pun dibuatnya mengendur“Saya hanya bercanda, Zahra. Saya hanya tidak menyangka akan dapat kecemburuan sebesar itu darimu. Besok, saya kenalkan pada seluruh tim kerja saya supaya kamu tidak salah paham lagi. Okey? Jadi, bisakah sekarang jangan mengambek?” tutur Rasul.Akhirnya acara pernikahan hari itu usai. Namun, seperti yang diketahui jika Rasul cukup aktif dengan media sosialnya dalam berdakwah dan memberi motivasi, acara perayaan tidak akan berhenti sampai di situ saja.Tetapi setidaknya, siang itu acara telah usai dan keduanya akan mulai tinggal berdua di apartemen milik Rasul yang berada tepat di pusat kota.Bukannya kembali ramai seperti yang mereka lakukan di mall dan gedung pernikahan tadi, keduanya kini malah tampak canggung dan saling terdiam satu sama lain.“Ehm!” deham Rasul berusaha mencairkan suasana meskipun itu malah membuat keduanya kian teng
“Kenapa kamu tiba-tiba bilang seperti ini, Zahra? Ada masalah dengan pembicaraan kita sebelumnya? Atau ada sesuatu yang mengganjal tentang tindakan saya barusan?” tanya Rasul yang jelas terkejut atas apa yang Zahra katakan.Akad baru saja diucap pagi tadi tetapi sekarang sang istri malah ragu atas pernikahan keduanya. Bagaimana mungkin suasana hati beralih begitu cepat? Apakah mungkin memang istrinya selabil itu?“Kak Rasul tidak merasakannya? Semuanya baru terungkap beberapa saat lalu. Zahra jadi takut jika ini bukan keputusan yang benar untuk menikah secepat ini, Kak!” Zahra menundukkan pandangannya sementara jari jemarinya terus asik bermain di bawah mukanya.“Zahra, saya tidak paham. Apa maksudmu? Bisa tolong jelaskan apa yang membuat kamu tiba-tiba ragu?” tanya Rasul lagi.Zahra kini mengangkat kepalanya dan membawa satu kakinya ke atas sofa demi bisa menatap sang suami dengan lurus. Tangannya pun, meski dengan cukup gemetar akhirnya menggenggam salah satu tangan Rasul.“Kak Rasu
“Kak Rasul!!” teriak Zahra bersamaan dengan Rasul yang tampak terkejut dan tersentak menjauh dari sisi kompor. “Astagfirullah Kak Rasul!!” teriak Zahra lagi lalu dengan cepat berlari ke arah Rasul dan mematikan kompor yang telah mengeluarkan asap gosong dari setiap sisi pan yang Rasul gunakan untuk menggoreng telur mata sapi. Mata Rasul melotot melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Telur yang beberapa waktu lalu berniat ia angkat agar tak gosong sekarang telah kering dan tampak buruk rupa, bahkan pan baru hadiah pernikahan mereka kini tampak telah hangus. “Kak Rasul kenapa, sih? Melamun? Atau tidak tahu cara mematikan kompor? Kenapa telurnya dibiarkan sampai gosong? Kalau nanti kompornya panas, terus gasnya meledak dan kita mati terpanggang di sini bagaimana, Kak? Kak Rasul mau ada berita tentang kita pakai headline ‘Sehari nikah dua pasangan ini ditemukan gosong?’ Hmm?!” cecar Zahra tak berhenti mengomel. Rasul tak menjawab dan seketika menarik Zahra mendekatinya lalu me
“Mau sampai kapan seperti ini, Zahra? Badan saya rasanya sudah remuk,” lirih Rasul. Mata Zahra seketika terbuka dam dengan cepat tubuhnya melakukan penolakan pada Rasul hingga ia dengan cepat berdiri dari posisi tak aesthetic itu. “Ya salah kak Rasul! Kenapa harus menggoda Zahra tadi. Kalau kak Rasul tidak memulai, Zahra tidak akan memukul dan kits tidak akan jatuh!” ujar Zahra masih saja mengomel. Rasul sambil sedikit merintih bangkit sembari memegangi dadanya. Melihat apa yang terjadi pada Rasul, Zahra langsung mengendurkan emosinya. Ia segera kembali berjongkok dan memegang bahu Rasul untuk memeriksa keadaan sang suami. “Kak, sakit? Maaf ya,” lirih Zahra. “Nggak apa-apa, cuma kaget aja. Bisa bantu saya berdiri?” tanya Rasul sembari mengangkat kepalanya menatap Zahra. Tak menunggu lama, Zahra segera bangkit lalu menjulurkan tangannya untuk membantu sang suami untuk segera bangkit dari posisinya. “Kak Rasul duduk saja dulu di sini, Zahra ambilkan air minum sebentar,” ujar Zahr
“Hah?” celetuk Zahra blak-blakan. Wajah Rasul yang awalnya memasang tampang bahagia seketika berubah datar. “Kamu tidak merasa saya tampan begitu? Tidak ingin memuji suamimu ini? Saya sudah memuji kamu tapi kamu tidak? Kamu benar-benar tidak merasa saya tampan, Zahra?” ujar Rasul. “Ohh, jadi mau balasan? Enggak sih, Kak! Malahan Zahra merasa setelah menikah kak Rasuk jadi jelek! Tidak setampan dulu sebelum menikah dengan Zahra. Padahal kita ‘kan baru menikah sehari. Apa memang kak Rasul aslinya jelek ya? Terus Zahra kena pelet akhirnya nikah, eh habis nikah ternyata jelek!” papar Zahra. “Jahat kamu, Zahra!” putus Rasul lalu dengan cepat dan tanpa menunggu balasan dari Zahra pemuda itu langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Zahra yang terkejut atas tingkahnya sendiri dalam mobil. “Tunggu! Apa ini tadi? Dia mengambek? Astaga, apa dia memang semanja ini? Oh my God! Seorang Rasul Asyraf ternyata manja? Oh my God! Lucu banget, sih! Suami siapa! Aha! Suami akulah!” kekeh Zahra lalu
Wajah Zahra seketika mengerut, ia bahkan hingga memundurkan tubuhnya dari Rasul saat mendengar bisikan Rasul yang terkesan menjadi sebuah ancaman itu. “Apa? Kenapa gitu? Kenapa Zahra tidak boleh ikut ke kantor? Karena kak Rasul ingin berduaan dengan kak Alimah?” sahut Zahra seolah tanpa dosa. “Karena kamu! Baru sehari saya ajak kamu bertemu dengan rekan kantor saya, tapi lihat! Kamu sudah bilang ada yang tampan! Beraninya kamu memuji pemuda lain di depan suamimu sendiri!” omel Rasul. Bukannya menciut karena omelan sang suami, Zahra malah tampak tersenyum tipis, raut wajahnya seolah tengah meledek kecemburuan kekasihnya itu. “Ehmm, jadi kak Rasul cemburu? Uhh, ternyata seorang Rasul Asyraf selain manja cemburuan juga?” kekeh Zahra. “Kalau kamu terus ledek saya, saya akan benar-benar kabulkan ancaman saya supaya kamu tidak perlu bertemu dengan rekan kantor saya, Zahra!” ancam Rasul. Zahra seketika melingkarkan tangannya pada tangan kanan Rasul. Dengan cepat pula ia menyandarkan ke
Rasul mengerutkan dahinya, ia berusaha mencerna apa yang Zahra katakan. Jelas saja ia bingung, baru pagi tadi ia menggunakan kompornya dan semua baik-baik saja. Namun sekarang? “Rusak bagaimana? Pagi tadi saya pakai masih bisa kok,” sahut Rasul. “Zahra juga nggak tahu, Kak! Coba deh kak Rasul cek! Masalahnya apinya nggak mau keluar! Zahra udah coba sepuluh kali! Kalau kak Rasul nggak percaya coba aja!” ujar Zahra. Rasul bangkit dari sofa lalu berjalan ke arah dapur diikuti Zahra di belakangnya. Pemuda itu kini mengamati sebentar kompornya, semua tampak normal bahkan gas pun terpasang dengan baik. Pemuda itu tampak sedikit menunduk demi mendapatkan posisi yang nyaman untuk menyalakan kompor itu. Dipegang tuas kecil untuk menyalakan benda itu. Tak ada tarikan gas, semuanya terasa anyep begitu saja. Pundak Rasul langsung mengendur lalu menoleh dan menatap Zahra dengan tatapan datar. “Zahra Sayang, kamu memang suka bikin saya kaget?” ujar Rasul. “Iya ‘kan? Nggak bisa ‘kan! Zahra ba
“Diajarin kak Rasul, sih!” sahut Zahra sembari membuka lemari es. “Ngaku aja kalau sudah dari sananya kamu jago menggombal. Bilang saja awalnya masih malu-malu, padahal sebenernya udah kebelet ngegombal dari hari akad. Iya ‘kan?” terang Rasul sembari bersandar pada dinding di dekat kulkas. “Mm, benar juga!” kekeh Zahra disambung kekehan Rasul. Zahra kini beralih ke meja bar dapur dan mulai mengupas bawang serta memotong beberapa sayuran yang ia ambil dari lemari pendingin tadi. “Mau buat apa? Perlu saya bantu apa?” tanya Rasul sembari menyangga dagu di meja bar itu memandang Zahra juga sayuran di sana. “Enggak usah, deh! Kali ini spesial buat kak Rasul. Tadi pagi ‘kan kak Rasul sudah buatkan sup, sekarang ganti deh Zahra yang buatkan untuk kak Rasul! Nasi goreng! Hehe,” kekeh Zahra. Rasul tampak mengangguk setuju. Pemuda itu lanjut mengambil gelas dari rak dan menuangkan air minum dari dispenser. “Minum dulu, salah tingkah bikin gagal fokus soalnya!” pekik Rasul. Zahra mengerut
Zahra duduk di depan meja rias sembari mengarahkan pengering rambut itu ke rambutnya sendiri, sesekali mulutnya bersenandung riang sementara tangannya menyapu rambut hitamnya perlahan.Dari belakang, tampak pintu toilet perlahan terbuka. Zahra seketika melebarkan matanya. Ditariknya pengering rambut itu ke dekapannya dengan kedua tangan mencengkeram erat. Bibirnya menyatu satu sama lain sembari menelan salivanya. Senandungnya berhenti seketika.Rasul keluar dari toilet sembari mengusap-usap rambutnya dengan handuk berwarna biru tua. Pemuda itu sebentar berhenti di depan pintu toilet dan mengeringkan kakinya pada anyaman plastik karet bertulis ‘welcome’ itu.Rasul mendongak, tepatnya menatap kaca cermin. Mata Zahra langsung beralih dan berusaha kembali natural dengan mengeringkan rambutnya sendiri.Pemuda itu berjalan santai ke dekat Zahra. Di tariknya sebuah kursi untuk dirinya bersanding di sebelah Zahra. Semerbak aroma wangi mengisi ruang hidung Zahra. Entah apa yang berbeda, tetapi
Rasul tampak menyesal, pemuda itu bangkit dari posisi berbaring namun masih duduk di atas ranjang dan memandang wajah istrinya itu serius. “Maafkan saya, Zahra. Saya benar-benar tidak berniat menggampangkan kamu. Saya juga sangat ingin tetap berada di swalayan tadi, tapi ya begitulah seperti yang saya katakan,” ujar Rasul. “Ya! Zahra memang masih marah karena itu! Tapi yang bikin kesal lagi, karena itu, Zahra lupa mengambil roti! Sekarang pertanyaannya, bagaimana bisa membuat Nugget roti tanpa ada roti? Zahra sudah malas juga keluar rumah lagi. Capek harus bolak-balik memasang sarung tangan lengan juga kaos kaki!” omel Zahra. “Ya sudah, kalu begitu Zahra maunya apa? Atau mau saya yang belikan sendiri di warung sebelah?” tanya Rasul melembutkan suaranya. “Nggak usah! Kita pesan makanan online saja! Zahra juga mau lanjutkan menonton dramanya! Kak Rasul selesaikan saja pekerjaan kakak!” sergah Zahra. Rasul meringis lalu menoleh ke laptop Zahra yang ia pindah ke atas nakas tadi. Ia m
Zahra hanya tersenyum paksa pada keduanya lalu kembali masuk ke dalam dengan baki kosong yang ia pegang di tangannya. Wanita itu menghela napasnya panjang di dapur seolah baru saja menemui seorang pejabat tinggi hingga napas saja harus ia atur sedemikian rupa. Baru saja mengembalikan moodnya yang hilang entah ke mana, Zahra akhirnya memutuskan untuk membuat menu yang memang ia rencanakan tadi di swalayan. Namun ia teringat akan sesuatu. Dengan cepat ia mengecek kembali barang belanjaannya dan menyadari ada sesuatu yang kurang. Wajah Zahra langsung berubah muram. Mulutnya moncong, sementara matanya menatap ketus meja makan yang penuh dengan bahan belanjaannya itu. “Bagaimana bisa buat nugget roti kalau rotinya saja tidak ada!” pekik Zahra. Malas memikirkan menu apa yang bisa menggantikan menu sasarannya, terlebih emosinya yang masih naik turun karena dipaksa pulang membuatnya memilih untuk masuk ke kamar dan membuka laptopnya yang ia bawa dari rumah kedua orang tuanya. “Daripada
Mata Zahra melotot, ia langsung menoleh tajam ke arah rasul yang saat itu juga langsung menoleh ke arahnya. Zahra terang-terangan menunjukkan tatapan tajamnya sembari mengangkat dagunya. Sementara itu Rasul malah mengerutkan dahi sembari menggeleng. “Saya sedang di luar rumah bersama Zahra, Alimah. Apakah ada sesuatu yang sangat penting?” tanya Rasul lagi. “Zahra enggak mau pulang sekarang!!” Mulut wanita itu dengan lebar terbuka menuturkan apa yang ingin ia katakan dengan tanpa suara berharap sang suami memahaminya. “Ehm–” gumam Rasul sembari terus mendengarkan perkataan Alimah dari seberang dan sedikit mengabaikan Zahra yang terus menggeleng tidak mau pulang. “Baiklah, kalau begitu saya akan pulang setelah ini.” Keputusan Rasul barusan tentu saja mengundang amarah bagi Zahra. Wanita itu seketika melotot dan tak bergerak. Pandangannya seolah menatap Rasul kesal sementara tangannya telah terlepas dari genggaman sang suami. “Iya, waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh!” pekik
“Kak Rasul, sih! Ini ‘kan tugas Zahra! Kenapa kak rasul yang kerjakan semuanya? Zahra tidak becus sekali jadi istri!” rengek Zahra. “Hushh! Nggak boleh ngomong kaya gitu!” Rasul duduk di kursi meja makan lalu membawa Zahra pada pangkuannya. Wanita itu pun duduk di pangkuan Rasul tanpa menolak. Ia masih saja berusaha mengeringkan air mata dan ingusnya yang menderu keluar tempat. “Pekerjaan seperti bersih-bersih dan memasak itu pekerjaan semua orang, Zahra. Bukan hanya istri. Tetapi juga suami. Saya melakukan semua ini dengan hati yang bahagia dan ikhlas kok. Saya ‘kan juga mau istri saya senang dan merasa diringankan pekerjaannya. Jadi jangan malah menangis begini.” “Kalau kamu sedih gini, tujuan saya melakukan semua ini sia-sia, dong?” ujar Rasul. Zahra tak membalas. Wanita itu kini malah memeluk leher Rasul dan mendekap dirinya sendiri pada Rasul. “Terima kasih ya, Kak! Kakak udah jadi suami yang sangat baik! Bantu Zahra biar bisa jadi istri yang baik untuk kak Rasul, ya!” ujar
Setelah melewati banyak bujuk rayu, akhirnya sepasang suami istri baru itu kini telah berada di atas sajadah dan telah menuntaskan sholat malam mereka. Ritual yang sama seperti membaca doa, bersalaman lengkap dengan cium tangan dan kening pun dilakukan. Zahra tampak mendongakkan kepalanya memandang Rasul seperti seorang anak kecil yang tengah merengek minta dibelikan es krim. “Kenapa? Tiba-tiba pasang muka seperti itu?” tanya Rasul sembari mencolek hidung minimalis milik Zahra. “Ehm, seingat Zahra, semalam kita ada di depan televisi. Kok bisa sampai di kamar? Kak Rasul gendong Zahra?” tanya Zahra sembari malu-malu. “Enggak, saya enggak gendong kamu kok! Tapi saya sulap! Cling! Langsung deh kamu pindah ke ranjang. Keren ‘kan saya?” kekeh Rasul diikuti kekehan milik Zahra. “Bohong! Pasti digendong! Memang Zahra tidak berat?” Rasul menggeleng sembari menjentikkan jarinya sebagai kode mudah atas pertanyaan yang Zahra ajukan. Wanita itu tampak mengangguk sembari berdeham. “Kalau beg
Rasul tampak terdiam, tangan kekar miliknya perlahan memegang rambut Zahra dan mengelusnya perlahan. Senyumnya diam-diam merekah saat melihat wanita asing yang telah menjadi bagian pahalanya itu tertidur dengan cantik. Malam yang semakin dingin, jendela yang rupanya belum tertutup sempurna semakin meyakinkan Rasul untuk memindahkan tubuh sang istri agar tak terkena angin malam atau sejenisnya. “Sebentar saja ya, Sayang. Kamu lanjutkan tidurnya di kamar saja,” bisik Rasul pelan lalu menggeser tubuh Zahra yang tengah memeluknya itu. Sambil mengucapkan basmalah, akhirnya pemuda itu bisa membawa Zahra ke dalam kamar dan perlahan meletakkan wanita itu ke atas ranjang. Sembari memastikan posisi tidur yang Zahra dapatkan benar dan nyaman, Rasul menarik selimut tebal yang ada di bawah kaki wanita itu dan menutup hingga nyaris seluruh tubuhnya. “Selamat tidur, Zahra!” bisiknya lagi lalu mengecup kening sang istri. Pukul tiga pagi, alarm yang memang sengaja dipasang setiap harinya berdent