“Tuan Muda Jerry, jangan-jangan kamu nggak pernah kepikiran kenapa Clara begitu menolak pengobatan? Dia bisa menolak juga karena dia sangat memedulikan tantenya. Clara sangat peduli dengan tantenya. Clara ingin memonopoli tantenya. Dia takut akan dicampakkan. Kalau dia masih menolak untuk diobati, kondisinya akan semakin serius lagi.”Jerremy terdiam. Dia tidak memiliki alasan untuk membantah Mellisa. Mellisa adalah seorang psikiater. Dari sudut pandangannya, Clara melakukan semuanya memang demi pasiennya.“Kamu pulang dulu sana.”Mellisa diam-diam menghela napas lega. Dia pun tersenyum. “Oke.”Setelah berjalan ke luar pintu, Jerremy pun menghentikannya. “Belakangan waktu ini Clara tidak membutuhkanmu lagi. Kamu tidak usah ke Villa Kandara lagi.”Mellisa menggertakkan giginya, lalu membalas, “Oke, aku mengerti.”Setelah berjalan meninggalkan ruangan, raut wajah Mellisa kelihatan sangat muram. Gara-gara dua murahan itu, sekarang Mellisa malah diragukan. Dia pasti tidak akan melepaskan m
Ariel langsung tertawa. “Tentu saja boleh. Clara itu anak yang patuh. Jadi, kamu bisa melakukan apa pun yang kamu inginkan.”Clara berjalan ke sisi rerumputan. Anak-anak sedang menendang bola dan ada juga yang sedang bermain layang-layang. Terdengar suara girang anak-anak di lapangan.Saat ini, Clara sedang berdiri di samping, tidak berani mendekat sama sekali.Sebuah bola bergelinding ke bawah kaki Clara. Clara menunduk untuk melihatnya. Tiba-tiba terdengar suara. “Hei, adik di sebelah sana, tolong tendang bolanya ke sini.”Beberapa anak laki-laki sedang bermain sepak bola. Usia mereka sebaya dengan Clara. Clara menendang bola di bawah kakinya. Seorang anak laki-laki berjalan pergi memungut bola, lalu memalingkan kepalanya menatap Clara dengan tersenyum. “Apa kamu mau main bersama kita?”Clara terbengong sejenak, lalu menggeleng sembari berkata, “Aku nggak pintar main sepak bola.”Si anak laki-laki menepuk-nepuk dadanya. “Tidak masalah. Aku akan ajari kamu.”“Wesly, yang cepat!”Wesly
Ariel memangku Clara. “Apa kamu takut banget sama Paman yang satu ini? Dia nggak bakal makan orang, kok. Kamu nggak usah takut.”Jodhiva memicingkan matanya. Paman?Clara berbisik, “Paman nggak suka sama aku.”Ariel tahu maksud Clara adalah adiknya Jodhiva. Dia mencubit tangan kecil Clara. “Kalau begitu, apa kamu bisa kasih tahu Kakak, kenapa paman itu nggak suka sama kamu?”Clara masih saja tidak berbicara.Ariel menjelaskan, “Paman ini nggak sama dengan paman yang tinggal sama kamu. Mereka itu abang beradik, makanya wajah mereka mirip. Coba kamu lihat paman ini.”Ariel menyuruh Clara untuk memalingkan kepalanya. Dia menatap Jodhiva, lalu berkata, “Paman ini kelihatannya memang jahat dan punya banyak ide buruk, tapi sebenarnya dia sangat menyukai Clara.”Jodhiva tersenyum tidak berdaya. Kelihatan jahat? Banyak ide buruk? Ternyata begini kesan Jodhiva di hati Ariel?Sepertinya Clara juga menyadari sesuatu. Dia tidak setakut tadi lagi.Ariel membelai rambutnya. “Apa kamu bisa kasih tahu
Seandainya Clara tidak bisa keluar dari dunia suramnya, apalagi tidak bisa menerima desas-desus yang beredar, semuanya akan sangat menyiksa bagi anak-anak. Hal yang paling bisa meruntuhkan dunia seseorang tak lain adalah desas-desus.Jika masalah ini tidak ditangani dengan langsung, Clara akan terdampak, nantinya malah akan masuk ke jalan yang salah.Ariel membuka mulutnya dengan perlahan. “Aku nggak ingin Clara tumbuh besar di jalur yang salah. Dia itu anaknya patuh. Kita nggak boleh menilainya hanya karena kesalahan yang pernah dia buat waktu itu. Apalagi latar belakang keluarganya bukanlah keputusannya. Atas dasar apa dia mesti menanggung kesalahan yang bukan miliknya?”“Apalagi, psikiater yang dicari adikmu malah berani menghasut Clara untuk bunuh diri. Aku rasa yang sakit itu psikiater itu.”Kening Jodhiva berkerut. “Ada masalah seperti ini?”Sebelumnya Jodhiva memang telah menyelidiki Mellisa. Mellisa pernah satu sekolah dengan Jessie dan Jerremy. Tidak ada yang aneh dengan latar
Dacia menggandeng tangan Clara. “Ayo, kita makan di dalam.”Menjelang pukul sembilan malam, akhirnya Jerremy pulang juga. Dia berjalan ke dalam ruang tamu. Kebetulan pelayan sedang membereskan sisa makanan di atas meja. “Tuan Muda, kamu sudah pulang.”Jerremy mengiakan dengan datar seraya melepaskan dasinya. “Apa Clara sudah kembali?”“Nona Ariel sudah mengantar Clara pulang. Setelah Clara pulang dari bermain, selera makannya semakin bagus saja. Dia bahkan menghabiskan dua porsi nasi. Itu berarti Clara sangat gembira.”Gerakan tangan Jerremy berhenti. Seingat Jerremy, selera makan Clara sangat tidak bagus. Berat badannya menurun, bahkan tergolong kekurangan gizi. Dacia sangat sakit kepala ketika memikirkan masalah itu.Itulah sebabnya Jerremy mencari cara untuk menyembuhkan Clara. Dia tidak berharap Dacia terlampau khawatir dalam masalah Clara.Ketika berjalan ke lantai atas dan melewati kamar Clara, Jerremy dapat mendengar suara tawa dari dalam kamar. Suara tawa itu adalah suara Clara
Jerremy berdiri, lalu menghentikan langkahnya di hadapan Dacia. “Baguslah kalau kamu gembira.”Bulu mata Dacia berkedut. “Jerry, apa kamu melakukan semuanya demi membuatku gembira?”Demi membuat Dacia gembira, Jerremy baru menyetujui permintaannya?Jerremy memeluk Dacia, lalu menyandarkan dagu di atas pundak Dacia. Dia menggigit erat bibirnya. “Maaf.”Sebenarnya Jerremy sudah mendengar semuanya sewaktu di luar pintu.Bahkan Dacia saja sedang mencurigai Mellisa. Jerremy malah mengira masalah ada di diri Clara. Daripada mengatakan Jerremy tidak memercayai Mellisa, lebih tepatnya dia tidak memercayai Clara.Sebelumnya Clara pernah melakukan perilaku yang “kelewat batas”, tentu saja Jerremy mesti mewaspadainya, terutama di saat Dacia sedang mengandung. Jerremy hanya memikirkan anak di dalam kandungan Dacia saja. Itulah sebabnya dia tidak mencurigai Mellisa.Tak disangka Jerremy malah mewaspadai seorang anak kecil hanya karena kesalahan sepele yang pernah dia lakukan sebelumnya. Jerremy bah
Bantal yang dilemparkan ke tubuh Jodhiva bagai sepotong tahu yang menghantam batu saja, tidak terasa sakit sama sekali. Jodhiva langsung menarik Ariel, lalu menindihnya.Ariel kembali tertegun. Dia tidak berani meluapkan emosinya lagi. “Kamu … jangan sembarangan.”Jodhiva mengangkat-angkat alisnya, kemudian mendekati Ariel. Napasnya berembus di wajah Ariel. “Bukannya nyali kamu besar sekali?”Ariel pun tersenyum. “Nggak, nggak, nyaliku kecil sekali.”Bibir Jodhiva hampir menempel di daun telinga Ariel. “Apa yang kamu takutkan? Bukannya kamu dan Clara bilang aku tidak akan makan orang?”Ariel menggigit bibirnya. Bulu matanya bergetar. Jantung yang tidak penurut itu berdetak tidak karuan. Tatapan Jodhiva masih tertuju pada wajah Ariel. Dia mengusap ujung bibir Ariel. Suasana kasmaran di dalam kamar terasa kental. Ketika melihat Jodhiva semakin mendekat, Ariel pun memejamkan matanya.Beberapa saat kemudian, Jodhiva pun tersenyum. Bibirnya malah menempel di atas kepala Ariel. “Sudah saat
Jodhiva mengusap jam tangannya sembari mengangkat kelopak matanya. “Psikiater itu?”Sepertinya Jodhiva menyadari sesuatu.Edwin bergumam, “Entah ada apa dengan Tuan Muda Jerry. Dia suruh aku untuk selidiki psikiater itu.”Terlukis senyuman di wajah Jodhiva. “Apa yang kamu temukan?”“Belum ada ….” Selesai Edwin berbicara, dia kepikiran sesuatu, lalu tertegun sejenak. “Belakangan ini Nona Mellisa sering datang ke perusahaan. Aku juga merasa ada yang aneh.”Jodhiva menyipitkan matanya. “Sejak kapan desas-desus Dacia mulai tersebar di perusahaan?”Edwin berpikir beberapa saat, baru menjawab, “Emm … Tuan Muda Jerry pernah menanyakan masalah ini sama karyawan perusahaan. Kata mereka, gosip ini sudah ada sejak setengah tahun lalu. Hanya saja, mereka tidak berani mengatakannya di hadapan aku dan Tuan Muda Jerry saja.”Tiba-tiba Edwin merasa bingung. “Tuan Muda Jerry, kenapa kamu menanyakan masalah ini?”Jodhiva menepuk pundaknya dengan tersenyum lebar. “Memang sudah seharusnya psikiater yang b