Jules memainkan gelas kosong di tangannya, lalu menatap Lisa dengan kesal. “Sudah selesai ngomongnya?”Pundak Lisa gemetar. “Kak Jules, kamu mesti percaya sama aku. Aku benar-benar nggak lagi cari gara-gara sama Jessie. Selama empat tahun ini, aku selalu mendengar apa katamu. Aku benar-benar nggak pergi cari Jessie. Juliana, dia ….”“Lisa.” Jules mengangkat kepalanya untuk menatap Lisa. Raut wajahnya masih kelihatan dingin dan mengerikan.Wajah Lisa berubah pucat. “Kak Jules.”“Jangan panggil aku seperti itu. Aku merasa jijik.”Ucapan ini terasa menusuk di hati Lisa. Dia mengepal erat tangannya. Apa Jules juga merasa jijik ketika dipanggil seperti itu oleh Jessie? Jules memang pilih kasih! Kenapa dia tidak sayang terhadap Lisa! Atau … ingatannya sudah pulih?Lisa mencoba untuk bersuara. “Jadi … aku panggil apa, dong?”Jules menyeka bekas minuman di atas meja. “Kamu ikut panggilan pelayan saja.”“Tapi aku itu ….”“Setelah tinggal di rumah ini, apa kamu merasa kamu itu anggota Keluarga T
Ketika guru di bawah pentas menyadari Jessie bisa mengendalikan dirinya dengan cepat, dia pun mengangguk. Tidak dipungkiri, Jessie memang sangat unggul. Meskipun ada sedikit kesalahan, dia pun segera mengendalikannya.Juliana yang bersembunyi di pojok tidak menyangka Jessie akan melanjutkan tariannya. Sebenarnya dari mana kekuatan Jessie?Hanya saja, nilai Jessie dipotong dalam pertunjukan kali ini. Setelah musik berakhir, di bawah tepuk tangan para penonton, tetiba Jessie jatuh duduk di lantai.Guru yang berada di bawah pentas pun berdiri. “Ada apa?”Murid yang berdiri dekat dengan pentas dapat melihat gambaran itu. Dia pun berkata dengan syok, “Guru, ada darah di sepatunya!”Guru segera berlari ke atas pentas, lalu melepaskan sepatu Jessie untuk memeriksa. Ketika menyadari sesuatu, dia pun mengeluarkan paku kecil tersebut. Paku itu sudah dilumuri oleh darah.Jessie menarik napas dalam-dalam. Hanya saja, dia tidak putus asa, malah tersenyum. “Bu Guru, maaf, tapi aku sudah berusaha sem
Jessie menunduk, lalu melihat ekspresi tidak percaya Juliana. “Juliana mirip banget sama aku yang dulu. Sayangnya, kamu harus berpikir dengan jelas apa Lisa pantas untuk kamu berbuat seperti ini.”Juliana membangkitkan tubuhnya. “Jessie, kamu malah sok baik lagi. Aku sudah melakukannya, kamu bisa bongkar aku di hadapan guru.”“Bongkar? Biar kamu diskors? Apa ini akhir yang kamu inginkan?”Juliana kembali terbengong.Jessie melanjutkan dengan ekspresi datar, “Nanti kalau ayahmu nanya kenapa kamu bisa diskors, bagaimana kamu menjelaskannya?”Lagi-lagi Juliana tidak tahu harus berkata apa.“Juliana, kalau aku bersikap semena-mena dengan mengandalkan identitasku sebagai putri dari Keluarga Fernando, kemungkinan kamu diskors sangatlah besar. Aku nggak peduli apa yang sudah Lisa katakan di hadapanmu. Aku cuma bisa beri tahu kamu bahwa aku nggak pernah memperlakukannya dengan buruk. Apa Lisa berani beri tahu kamu apa yang pernah dia lakukan kepadaku? Kalau aku perhitungan dengan masalah waktu
Jules menghentikan langkah kakinya, lalu merapikan lengan pakaiannya dengan acuh tak acuh. “Apa ucapanmu berguna?”Jerremy berjalan ke hadapan Jules, lalu bertatapan dengannya. “Kalau Keluarga Tanzil tidak menjaga Lisa dengan baik, aku pasti akan beri pelajaran kepada kalian nanti.”Kening Jules tampak berkerut. Dia tidak berbicara sama sekali.…Keesokan harinya.Jessie pergi ke kantor, lalu meminta guru untuk mencabut hukumannya terhadap Juliana. Sang guru pun menatapnya dengan syok. “Tapi dia sudah melakukan kesalahan. Apa kamu yakin kamu tidak mempermasalahkannya lagi?”“Dia sudah minta maaf sama aku. Jadi, aku ingin beri dia satu kesempatan untuk berubah. Aku yakin dia pasti akan merenungkan kesalahannya.”Berhubung Jessie sudah membuat keputusan, guru juga setuju untuk mencabut hukumannya terhadap Juliana.Di gedung bawah, Juliana bergegas ke kantor guru. Kebetulan dia bertemu dengan Jessie.Juliana pun mendengus. “Nggak seharusnya aku percaya sama omonganmu.”Jessie mengerutkan
Sepertinya karena menemukan ada bayangan di kaca jendela. Si wanita pun terkejut spontan melepaskan headset melihat ke sisi Jessie.Jessie juga terbengong sejenak.Wanita di hadapannya kelihatan biasa-biasa saja, tidak tergolong sangat cantik. Hanya saja, dia tipikal wanita semakin dilihat semakin enak dipandang. Jessie tersenyum dengan canggung. “Maaf, tadi aku sudah ketuk pintu, tapi kamu nggak kedengaran.”Wanita itu melihat ke sisi Jessie sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. Sikapnya kelihatan acuh tak acuh. “Aku lanjut latihan gitar dulu.”“Oke, kalau begitu, aku nggak ganggu kamu lagi.” Jessie pun meninggalkan ruangan.Keesokan harinya, ada kelas akting. Jessie memikul ranselnya sembari berjalan ke dalam aula dengan kaki terpincang-pincang. Luka di ujung jari kakinya semakin membengkak di hari ketiga. Bahkan, Jessie merasa sakit ketika berjalan.Setibanya di depan pintu aula, tetiba tampak Jules sedang berbicara dengan seorang perempuan. Perempuan itu tak lain adalah teman s
Jules mengusap ujung mata Jessie. “Sekarang kamu lagi kesal. Jelas sekali kamu lagi cemburu.”“Aku nggak lagi kesal!”“Kamu sendiri tidak sadar kalau kamu lagi cemburu.”Jessie tidak tahu bagaimana menjelaskannya lagi.Tatapan Jules tertuju pada bibir Jessie.Tatapan membara itu membuat Jessie merespons. Dia memalingkan kepalanya. “Dasar berengsek.”Jules pun tersenyum. “Kenapa aku malah jadi berengsek?”“Apa kamu juga bersikap seperti ini terhadapnya?” Jessie semakin marah saja. Dia merasa ada yang berbeda dengan Jules. Dia berubah menjadi semakin kurang ajar saja.Jules menyipitkan matanya. “Terhadap siapa?”“Teman satu asramaku,” gumam Jessie.Jules tertegun sejenak. Dia menatap sosok perhitungan Jessie, lalu spontan tersenyum. “Dasar bodoh, ini namanya bukan cemburu?”Jessie merasa kesal dan tidak berbicara lagi.Jules mengangkat pipi Jessie, lalu mengusap kulit putih mulusnya. “Dacia itu adik sepupuku.”Jessie merasa bingung. “Tapi dia nggak mirip blasteran?”Dacia tidak mirip sep
Jessie menyadari sepertinya Dacia tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain. Jangan-jangan semua karena gosip yang beredar?Gosip itu masih belum diketahui kebenarannya. Semua yang didengar belum pasti adalah kenyataan. Bagaimanapun, orang yang bersangkutan pasti akan lebih jelas.Jessie dan Dacia telah tinggal satu asrama selama satu minggu. Hanya saja, tidak banyak interaksi di antara mereka. Biasanya Dacia hanya menjawab pertanyaan Jessie saja. Cedera Jessie sudah sembuh. Dia mengikuti ujian ulang dan akhirnya mendapat nilai tinggi.Saat keluar aula, Jessie menyadari ada seorang lelaki berumur 20-an tahun yang mengenakan jas sedang mengusik Dacia.Jessie berjalan menghampirinya, lalu mengulurkan tangan mencengkeram lengan Dacia yang ditarik oleh si lelaki. “Tuan, kamu bukan murid sekolah kami. Kalau kamu nggak lepasin dia, aku bakal panggil sekuriti.”Si lelaki mengamati Jessie sekilas. Tatapannya seketika menjadi muram. “Siapa kamu? Kenapa kamu malah ikut campur!”Jessie m
Setelah tersadar dari bengongnya, terlihat pantulan bayangan Dacia dari dalam cermin. Dia sedang berdiri di belakang Jessie.Dacia baru saja selesai membasuh tubuhnya, sepertinya dia juga ingin menukar pakaiannya. Namun, hanya terdapat satu cermin di dalam asrama. Jessie malah terus menggunakannya di saat memilih pakaian.Jessie berkata dengan canggung, “Aku sudah selesai. Kamu pakai sana.”Saat Jessie hendak kembali ke kamarnya, tetiba terdengar suara Dacia. “Aku merasa pakaianmu itu cukup bagus.”Jessie terbengong di tempat. Dia memalingkan kepalanya, lalu menatap Dacia sedang menunjuk sepotong terusan berwarna biru muda.Jessie mengeluarkannya. “Yang ini?”Dacia mengangguk.“Terima kasih.” Jessie tersenyum, lalu segera berlari ke kamarnya.Sekitar pukul sembilan, Jessie menunggu di depan gerbang sekolah. Ada banyak murid-murid yang keluar masuk. Setelah menunggu sepuluh menit, masih tidak ditemukan batang hidung Jules.Jessie menggigit bibir bawahnya, lalu mengeluarkan ponsel untuk