Melia terbengong sejenak. Dia menatap tatapan tajam Gilbert dengan syok.Melia berusaha untuk menarik napas dalam-dalam. “Tuan Gilbert … apa kamu lagi bercanda?”Pernikahan bisnis? Dengannya?Mereka juga baru bertemu beberapa kali. Apa mungkin Melia menikah dengan lelaki yang baru dijumpainya tak sampai setengah bulan?Gilbert menatapnya, lalu berbicara dengan nada tenang, “Setelah menikah nanti, aku tidak akan membatasimu. Kamu boleh melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan.”Melia terdiam lama. “Maksudmu, pernikahan secara formalitas?”Gilbert menunduk dan tidak berbicara. Hanya saja, itu sama saja dengan mengiakannya.Melia tidak menjelaskan. “Kenapa aku?”Tatapan Gilbert beralih ke gelas anggur. “Kamu tidak suka diikat oleh pernikahan, sedangkan aku tidak suka hidupku diatur orang lain. Kalau aku mesti memilih, aku merasa kamu adalah pilihan paling tepat.”Melia terdiam.Pernikahan secara formalitas hanya demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Hidup mereka tidak akan saling digang
Gerakan tangan Emir yang sedang membuka majalah berhenti. Keningnya tampak berkerut. “Ngapain kamu tanya masalah ini?”Melia mengunyah potongan apel, lalu membalas dengan terus terang, “Gimana kalau aku ingin melakukan pernikahan bisnis dengan anaknya?”Emir terbengong melongo. Dia langsung membuang koran ke atas meja. “Apa kamu gila?”Giselle pun terkejut. Dia tidak mengerti masalah di dunia bisnis. Jadi, dia juga tidak berani ikut campur. Hanya saja, saat mendengar kata “pernikahan bisnis” dari mulut Melia, dia sungguh merasa syok.Melia tahu ayahnya tidak menyukai Suryadi. Pernikahan bisnis ini seharusnya tidak bisa dijalankan.Melia memikirkan ucapan Gilbert. Dia memang tidak ingin menikah. Seandainya suatu hari nanti ayahnya mengatur pernikahan bisnis dengan lelaki asing, lebih baik Melia memilih Gilbert saja.“Ayah, kalau aku melakukan pernikahan bisnis dengannya, dia akan memberiku 5% saham perusahaannya. Apa kamu nggak tergoda?”Raut wajah Emir seketika menjadi bersemangat. “Ka
Suara Gilbert menyadarkan Melia dari bengongnya.Kening Melia tampak berkerut. Dia melangkah ke hadapan Gilbert, lalu melipat kedua tangannya. “Aku nggak sangka kamu akan membohongiku?”“Bohong?” Gerakan tangan Gilbert yang sedang merapikan lengan kemeja terhenti. Tatapannya tertuju pada wajah Melia.Melia mengangkat kepala untuk menatapnya. “Kata ayahku, Pak Suryadi cuma punya satu anak laki-laki saja. Anaknya itu punya gangguan mental. Jadi, kamu ingin bohongi aku?”Gilbert hanya tersenyum dan tidak menjawab.“Apa yang lagi kamu tertawakan?” Melia merasa bingung.Gilbert berjalan ke samping, lalu menuang kopi dengan perlahan. “Aku tidak menipumu.”“Tapi … aku nggak merasa kamu seperti orang yang menderita gangguan jiwa,” gumam Melia dengan suara kecil. Apa ada yang salah?Gilbert memegang cangkir kopi, lalu duduk di atas sofa. Dia pun tersenyum, kemudian berkata dengan perlahan, “Pak Suryadi memang cuma punya satu anak laki-laki saja, tapi semua itu informasi yang didapat di luar san
Suryadi tidak pernah mengunjungi putranya, anehnya dia malah tidak melepaskan hak asuh. Uang yang diberikan ke rumah sakit jiwa setiap tahunnya hampir mencapai 7 digit.Selama di rumah sakit jiwa, Kentley pun akan dilayani dengan sangat bagus. Bagaimanapun, ayahnya adalah Suryadi. Jadi, tidak mungkin pihak rumah sakit akan memperlakukannya dengan buruk. Dia juga tidak mungkin akan hidup menderita. Gangguan mental yang diidap Kentley juga sudah sejak lahir. Terkadang dia juga bisa bersikap normal. Hanya saja, dia tidak bisa dikendalikan ketika penyakitnya sedang kambuh.Apa daya? Kentley pun terpaksa dirawat di rumah sakit jiwa untuk diobati.Javier tersenyum. “Sayang sekali anak yang satu itu.”“Pak Suryadi masih punya anak lain.”“Anak lain?”Roger kepikiran dengan masalah serius ini. “Iya, kata Bu Larissa, Pak Suryadi itu orangnya genit sekali. Saat Bu Larissa sedang hamil, Pak Suryadi memiliki wanita di luar sana. Dia menghidupi wanita itu selama 6 tahun. Wanita itu diam-diam melahi
Roger mengenakan kacamatanya kembali.Izza sekali merasa kacamata yang dikenakan Roger sangat aneh. Dia tidak menyukainya, jadi selalu ingin melepaskannya. Roger menghindar. “Jangan sentuh! Ada Bu Claire di sini.”Izza langsung mengatakan dengan terus terang, “Kamu semakin jelek setelah pakai kacamata.”Kali ini Claire tidak bisa menahan tawanya lagi. Dia berjalan ke sisi Izza, lalu menepuk-nepuk pundaknya. “Izza, kamu jangan selalu menindas Roger. Nanti karena sering ditindas sama kamu, kepintarannya malah jadi hilang. Bisa jadi dia malah kehilangan mata pencahariannya.”Izza mengangguk. “Iya, aku tahu.”Roger terdiam membisu.Claire dan Izza berjalan meninggalkan gedung Grup Angkasa. Setelah kembali ke mobil, tatapannya tertuju pada Izza yang duduk di bangku pengemudi. “Izza, apa kamu sangat benci sama Roger?”Izza tertegun sejenak. Dia merasa agak bingung. “Nggak, kok.”Claire menopang kening dengan satu tangannya. Dia memandang keluar jendela. “Aku lihat kamu sering banget tindas R
“Apa aku sama dengan Widya?” Melia melipat tangannya. “Kehidupan Widya sangat menderita. Dia akan merasa lebih tenang kalau ada lelaki yang menjaganya. Tapi, aku nggak butuh.”“Kamu ….”“Sudah, kamu jangan desak Melia lagi. Telat menikah juga bukan masalah buruk. Setelah dia bertemu pasangan yang cocok, masih sempat untuk Melia mempertimbangkannya,” bujuk Giselle dengan lembut.Emir mendengus dingin. “Bohong kalau dia bisa mempertimbangkan ucapan kita.”“Ayah, aku nggak lagi bohongi kamu.”“Tidak lagi berbohong? Bukannya kamu sengaja ingin pancing emosiku? Kamu malah mengincar anak dari Pak Suryadi. Apa kamu tidak cari tahu identitasnya dengan jelas? Kamu malah langsung memercayainya.”Ternyata, Emir masih keberatan atas masalah keluarganya Suryadi.Widya kebingungan. “Pak Suryadi apaan?”Melia tidak menjawab, melainkan langsung berkata, “Gilbert itu anak laki-laki Pak Suryadi yang satu lagi. Lagi pula, aku juga nggak ingin menikah. Persyaratan yang dia buka sangat cocok sama aku.”Rau
Emir melambaikan tangannya menyuruh sekretaris untuk meninggalkan ruangan. Sekretaris langsung berjalan keluar. Tak lupa dia menutup pintu ruangan.Emir duduk di sofa. Sikapnya tidaklah bersahabat. “Kamu memang cukup arogan. Datang-datang ingin bahas masalah kerja sama denganku. Coba aku tanya, apa hubungan kamu dengan Suryadi?”Gilbert langsung berterus terang. “Dia tergolong ayah kandungku.”Emir terbengong sejenak. “Bukannya putranya Suryadi bernama Kentley? Dari mana dia punya anak lagi?”Terlihat senyuman di wajah Gilbert. “Apa Pak Suryadi pernah mengungkit masalah anak haramnya ke publik?”Lagi-lagi Emir terbengong.Identitas anak haram memang cukup memalukan. Meskipun lelaki itu cukup kaya dan berkuasa, memiliki simpanan apalagi anak haram di luar tetap adalah aib mereka. Wanita simpanan dan anak haram itu terpaksa hidup dengan sembunyi dan tanpa status.Sebenarnya Emir juga tidak curiga sama sekali. Putra dari istri sah Suryadi mengalami gangguan mental sejak lahir. Dia tidak b
“Iya, aku nggak tahu harus beliin hadiah apa lagi. Tiba-tiba aku kepikiran nggak pernah beliin Ayah barang antik, jadi aku ke sini, deh.”Ester mengangguk. Mereka mengobrol beberapa saat. Kemudian, Ester juga tidak mengganggu perkumpulan kedua anak muda lagi. Dia pun duluan meninggalkan tempat.Cherry dan Claire mencari kafe di sekitar. Tetiba Claire kepikiran sesuatu, lalu berkata, “Sepertinya aku ketemu seseorang hari ini.”Cherry bertanya, “Ketemu siapa?”“Gilbert.”Ketika mengungkit nama Gilbert, Cherry merasa agak syok. Sepertinya sudah lama tidak ada yang mengungkit nama tersebut, Cherry bahkan hampir melupakannya.“Ketemu di mana?”“Di jalan. Aku cuma nampak sekilas saja, cuma aku merasa sangat familier sama wajahnya,” balas Claire. Tatapannya tak berhenti tertuju pada wajah Cherry. Dia pun tersenyum. “Kenapa? Apa kamu masih punya pemikiran terhadapnya?”Cherry memutar bola matanya ke atas. “Kamu jangan sembarangan bicara, ya. Kalau sampai kedengaran sama Cahya, dia pasti bakal