Beberapa petinggi pun merasa kaget.Hendri melepaskan jas, lalu melemparkannya ke atas lantai. Dia mengambil vas bunga dari dalam rak, lalu berjalan ke sisi Edward.Edward terkejut hingga wajahnya memucat. Dia pun melangkah mundur. “Kamu … apa yang ingin kamu lakukan? Ada begitu banyak orang di sini. Kalau kamu berani menyentuhku, kamu akan menjadi pelaku tindak kriminal!”Hendri mengangkat vas bunga. Harvey menjerit, “Hentikan!”“Prang!” Terdengar suara keras.Vas bunga hancur berkeping-keping di atas lantai.Namun, vas bunga itu hancur mengenai tembok di belakang Edward. Si Edward memeluk kepalanya sembari menjerit ketakutan. Dalam sesaat, lantai pun menjadi basah.Ketika melihat Edward mengompol akibat ketakutan, Hendri pun tersenyum menyindir. “Ternyata kamu itu penakut juga.”Roger melihat raut wajah tidak bagus Harvey. “Sekarang kamu tidak ada pilihan lain lagi.” Dia menyerahkan kontrak akuisisi ke hadapan Harvey. “Tanda tangan kontrak ini, Grup Angkasa akan mengakuisisi agensi.
Mereka menggoyangkan popper sembari meniup peluit. Semuanya bersorak kegirangan.Hendri terbengong sejenak. Pada akhirnya, dia pun tersenyum dengan tidak berdaya. Hendri menunduk, lalu berkata dengan sedikit malu, “Kalian seharusnya berterima kasih kepada Kak Joseph. Kalau bukan berkat Kak Joseph, sepertinya aku ….”Ketika mengungkit nama Joseph, semua orang juga langsung terdiam membisu. Mereka semua juga tidak bisa menerima apa yang menimpa Joseph. Semuanya terlalu mendadak.Seorang karyawan lelaki berjalan maju, lalu meletakkan tangannya di atas pundak Hendri. “Hendri, kami semua tidak menyalahkanmu atas masalah Kak Joseph. Bukan kamu yang salah, semua ini salah mereka.”“Iya, salah sekelompok berengsek itu!”Akhirnya Hendri tersenyum. Dia seolah-olah telah berbaur dalam suasana ini.….Widya melewati koridor departemen. Tetiba dia mendengar beberapa karyawan wanita sedang membahas masalah Agensi Pencari Bakat. Sebenarnya Widya tidak begitu memedulikannya, hanya saja mereka mengungk
Perbincangan berakhir tidak menyenangkan. Giselle pun meninggalkan ruangan Widya.Saat berjalan di koridor, Giselle bertemu dengan Claire yang kebetulan baru keluar dari lift. “Bu Claire.”Claire melangkah maju dengan tersenyum. “Bu Giselle, apa kamu datang untuk mencari Widya?”“Iya, awalnya aku ingin ngobrol dengan Widya. Tapi sekarang anak sudah dewasa, sepertinya semakin susah saja untuk diajak bicara.” Giselle tersenyum getir. Dia juga merasa kesal. Dia merasa bagai ada penghalang yang memisahkan dirinya dengan sang putri.“Widya sudah dewasa. Orang dewasa punya pemikirannya sendiri. Memang nggak salah kalau orang tua mencemaskan anaknya sendiri, tapi anak-anak punya kehidupannya sendiri. Bu Giselle, sepertinya kekhawatiranmu sudah berlebihan.”Ucapan Claire membuat Giselle terbengong sejenak. Dia pun merasa tidak enak hati. “Apa benar Bu Claire punya tiga anak?”“Iya, jangan lihat mereka semua masih kecil-kecil, tapi aku akan mendengar pemikiran mereka. Apa pun yang mereka lakuka
Setelah pulang kerja, Widya pun pergi ke mal untuk memilih hadiah. Hanya saja, dia sungguh tidak tahu hadiah apa yang bisa diberikannya kepada Hendri. Dia pun mengeluarkan ponselnya, mengirim pesan kepada Melia.Namun balasan yang diterima Widya adalah merek-merek dari barang mewah. Widya juga tidak sanggup untuk membelinya. Sepertinya dia telah bertanya kepada orang yang salah.Widya melirik isi mal. Tatapannya seketika tertuju pada sebuah toko figurin.Tetiba Widya kepikiran dengan miniatur robot yang dikoleksinya. Seharusnya Hendri akan tertarik dengan barang-barang ini?Widya memasuki toko untuk mencari hadiah. Pramuniaga juga memperkenalkan dengan antusias tinggi. Widya mengatakan dia ingin membeli hadiah untuk seseorang. Akhirnya pramuniaga memahaminya. “Untuk kekasih, ya?”Tetiba Widya langsung tertegun di tempat. Kemudian, dia menjelaskan dengan terbata-bata, “Tentu saja bukan, hanya teman biasa saja.”Pramuniaga itu bagai tidak mendengarkan saja. Dia berjalan ke sisi rak. “Nam
Cherry dan Noni berjalan ke sisi Claire. “Tokoh utama pada malam hari ini adalah adik sepupumu. Kenapa dia masih belum menampakkan diri?”Claire pun tersenyum. “Sepertinya dia masih siap-siap.”Baru saja dibicarakan, Hendri pun sudah menampakkan diri. Orang yang berjalan di sampingnya adalah mantan manajer Agensi Pencari Bakat, Jivan.Dulu, Jivan dan Joseph adalah rekan kerja di Agensi Pencari Bakat. Dia telah mengetahui kabar meninggalnya Joseph dan juga perilaku dari petinggi Agensi Pencari Bakat. Hendri pun merekrutnya kembali bekerja di Agensi Pencari Bakat.Hari ini Hendri berpakaian agak formal. Dia kelihatan lebih dewasa daripada biasanya. Hanya saja, cara berpakaian seperti ini sangatlah tidak nyaman bagi Hendri.Claire berjalan ke sisinya, lalu merapikan dasinya. “Ini pertama kalinya kamu berpakaian seperti ini. Kamu nggak terbiasa, ‘kan?”“Emm, tidak terbiasa.”Hendri merasa ada yang aneh. Jivan yang berdiri di samping pun berdecak. “Masih ada banyak hal lagi yang akan membua
Orang-orang di sekitar spontan melirik ke sisi Widya. Widya merasa gugup lantaran takut akan dipergoki oleh Emir. “Nggak apa-apa.” Dia langsung berlari keluar.Pelayan memanggil Widya, tetapi dia tidak menoleh sama sekali.Sepertinya Hendri dapat mendengar suara Widya. Dia memalingkan kepalanya, lalu tampak ada sesosok bayangan tubuh yang meninggalkan tempat dengan buru-buru.Widya berlari ke toilet untuk mencuci noda alkohol di bagian roknya. Namun semakin dicuci, noda malah semakin membesar saja.Tetiba Widya merasa penat dan ingin menangis. Pada saat ini, ponsel di dalam tasnya berdering. Widya mengambil ponsel, lalu tampak panggilan dari Hendri.Widya sempat ragu beberapa detik, baru mengangkatnya. Hendri bertanya di mana Widya sekarang.Widya mengambil kantongan, lalu berjalan keluar toilet. Saat melewati koridor, dia pun bertemu dengan Hendri yang sedang mencarinya.Hendri memalingkan kepalanya, lalu menurunkan ponselnya dengan perlahan. Tatapannya tertuju pada noda alkohol di ba
Widya dan Hendri berjalan ke dalam aula. Saat mendorong pintu, Widya spontan menunduk berusaha mengabaikan tatapan mereka.Para hadirin melihat ke sisi mereka. Claire berjalan ke sisi mereka, lalu melirik mereka sekilas dengan tersenyum. “Kalian ke mana?”Widya mengepal erat tangan gugupnya. “Bu Claire, sepertinya … aku sudah merepotkan kalian semua.”“Apanya yang repot? Nggak repot, kok.” Baru saja Claire hendak meneguk alkohol, tetiba tatapannya tertuju pada aksesori di atas rok. “Bunga ini cantik juga.”“Hendri melipatnya untuk menutup noda alkohol. Dijahit langsung di tempat.” Setelah menjelaskan, wajah Widya semakin merona lagi. Claire pun tersenyum, lalu menatap ke sisi Hendri. “Sepertinya kelak Hendri akan sangat menyayangi kekasihnya.”Jantung Widya berdegup kencang. Dia bahkan tidak berani mengangkat kepalanya.Entah sejak kapan Cherry berjalan kemari. Dia merangkul pundak Claire. “Keren, kamu sudah menemukan adik iparmu, ya?”Claire melanjutkan, “Aku juga ingin mencarikan i
“Aku hanya berharap sebelum dia menyelesaikan sekolahnya, dia memiliki tempat untuk berteduh. Anak ini sangat malang. Aku harus bertanggung jawab atas kehidupannya sebelum dia dewasa. Aku mohon, setelah dia dewasa nanti, dia pun bisa hidup mandiri. Aku janji aku tidak akan meminta apa pun dari Keluarga Gozali.”Setelah mendengar ucapan Giselle, Emir merasa sangat terkejut.Bukankah biasanya seorang wanita berharap dirinya akan menerima anaknya? Persyaratan yang diajukan Giselle juga sangat mempertimbangkan diri Emir.Emir memang tidak bisa menerima Giselle tinggal di rumah dengan anak dari mantan suaminya. Dia adalah seorang pebisnis. Dia takut kedatangan Giselle akan memiliki motif lain, apalagi dia juga memiliki anaknya sendiri.Jadi, Emir bertanya langsung pada Giselle, “Apa kamu juga bersedia kalau aku tidak mempublikasikan hubungannya?”Giselle menjawab dirinya bersedia.Emir tersadar dari lamunannya, lalu menatap ke sisi Widya. “Kenapa kamu tidak memanggilku?”Widya terbengong di