“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Ario dengan tatapan tajam yang dia tujukan kepada Rosalia. Dia kemudian menarik tangan Rosalia menjauh dari ruang rawat itu.
“Kenapa? seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu mengatakan kalau Lasmini itu istri kamu, hah?” Rosalia balik bertanya dan menatap tajam ke arah Ario.
Ario tersenyum sinis menatap Rosalia. “Lasmini sudah lama ada di hatiku. Bahkan sebelum aku dipaksa menikah sama kamu. Dia sudah menjadi istri di hatiku. Kamu lebih baik jangan keras kepala, Lia. Sejak awal kita menikah, aku sudah katakan kalau pernikahan kita paling lama satu tahun. Kamu sudah setuju saat itu, bukan? tapi kenapa saat aku mengajukan gugatan cerai kamu berubah? jangan katakan karena kehadiran Lasmini! aku menggugat cerai kamu sebelum aku bertemu lagi dengan Lasmini. Aku tekankan sekali lagi kalau Lasmini bukan orang ketiga dalam rumah tangga kita. Perceraian ini bukan orang ketiga penyebabnya. Tapi karena keinginan
Ario duduk di sisi ranjang perawatan yang ditempati oleh Lasmini, di ruang rawat inap rumah sakit tempat wanita cantik itu dirawat. Sudah tiga jam sejak Rosalia berulah dan dokter telah memastikan bahwa kondisi Lasmini masih stabil. Hanya saja kain perban yang menutupi luka bekas operasi harus diganti, karena darah yang keluar membasahi perban itu. Hal itu disebabkan karena goncangan tubuh Lasmini saat Rosalia menekan keras wajahnya dengan guling.“Mini, bangun dong sayang. Apa kamu tidak capek tidur terus?" suara Ario terdengar pilu. Dia menggenggam erat jemari lentik Lasmini, namun wanita yang menjadi ibu anaknya itu belum juga membuka matanya. Dia terus menggenggam dan mengecup punggung tangan Lasmini serta direbahkan kepalanya di sisi ranjang tempat wanita cantik itu terbaring lemah.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi, tapi Ario tetap setia menunggui Lasmini di sisi ranjang perawatan. Semalam suntuk dia tidak memejamkan matanya. Dia takut jika ia memejam
Ario tersenyum mendengar ucapan yang baru saja Lasmini lontarkan. Dia lalu mendekatkan wajah dan mulai melabuhkan bibirnya di atas bibir Lasmini dan mencumbu lembut bibir wanita itu. Mereka saling menikmati, saling membuai tanpa henti. Perasaan keduanya begitu bahagia saat ini. Saat akhirnya mereka dapat saling memiliki dan mencintai tanpa halangan, karena Rosalia sudah menyetujui gugatan cerai yang Ario ajukan di pengadilan agama. Kini hanya tinggal menunggu proses pemulihan Lasmini dari luka yang ada di pinggang wanita itu. Setelah kondisi Lasmini membaik seratus persen maka pernikahan yang mereka impikan akan segera di langsungkan.“Aku sudah membeli rumah untuk kita tempati nanti kalau kita sudah menikah, sayang.” Ario terus membelai pipi halus milik Lasmini dengan lembut.“Membeli rumah? kenapa harus membeli rumah, Mas? bukankah rumah ini sudah cukup untuk kita tempati nanti? Mas Ario pemborosan sekali,” sungut Lasmini. Dia menatap wajah Ar
Aisyah tersenyum sumringah saat pulang dari rumah orangtuanya. Dia berencana akan pergi ke desa Sukorejo keesokan harinya.Sesampainya di rumahnya, Aisyah mengambil kotak yang selama ini dia simpan rapi di dalam lemari. Kotak itu berisi foto-foto bayinya saat berusia satu hari. Ya, Aisyah kehilangan bayinya saat dia baru saja melahirkan. Bayinya hilang saat baru berusia satu hari. Saat itu Aisyah dan suaminya yang tengah berbahagia karena di karuniai seorang bayi perempuan yang cantik jelita, sangat terkejut ketika mendapat kabar bahwa bayi mereka telah hilang di ruang bayi. Seketika tubuh mereka lemas saat mengetahui bahwa dalang penculikan bayi mereka adalah orangtua Aisyah.Aisyah teringat bahwa Suseno, suami Aisyah yang tidak tega melihat istrinya yang terus menerus bersedih karena kehilangan bayinya, suatu hari mendatangi rumah orangtua Aisyah. Maksud kedatangannya adalah untuk meminta tolong kepada orangtua Aisyah agar mengembalikan bayi mereka. Namun Suseno tida
Aisyah kemudian berjalan ke arah rumah yang dulunya di tempati oleh Prasetyo dan keluarganya. Dia mengetuk pintu rumah itu. Tak menunggu lama, pintu itu terbuka dan menampilkan sosok wanita muda yang menurut perkiraannya berumur di awal tiga puluh tahun.“Permisi, Selamat pagi. Apa ini rumah keluarga Prasetyo?” tanya Aisyah pura-pura tidak tahu kalau keluarga itu sudah pindah rumah.“Bukan, Bu. Bu Sulastri dan anaknya sudah pindah. Suami saya membeli rumah ini dari Bu Sulastri empat tahun yang lalu.” Wanita itu tersenyum saat menjelaskan kepada Aisyah.“Adik tahu kemana Ibu Sulastri pindah?” tanya Aisyah lagi.“Tidak tahu, Bu. Suami saya kebetulan tidak bertanya dan Bu Sulastri juga tidak cerita. Mungkin Ibu bisa tanya ke tetangga di sebelah rumah ini. Mungkin saja Bu Sulastri pernah cerita pada beliau,” ujar wanita itu.Aisyah menganggukkan kepalanya. “Baik, saya akan bertanya ke sebelah. Terim
Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya dan menatap iba ke arah Aisyah. Dia menepuk pelan pundak Aisyah seraya berkata, “Sabar ya, Bu. Yakin saja kalau suatu saat nanti Ibu akan bertemu dengan Lasmini. Ibu tidak usah khawatir soal anak Ibu, Sulastri sangat menyayangi Lasmini seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan dia sangat hati-hati dalam merawat Lasmini. Ibaratkan Lasmini itu gelas kristal yang kalau tidak dijaga dengan baik akan pecah.”Aisyah menganggukkan kepalanya. Dia paham kalau pasangan suami istri Prasetyo dan Sulastri sangat menjaga Lasmini, karena mungkin saja ayahnya berpesan pada mereka agar menjaga cucunya dengan baik.“Apa pasangan suami istri Prasetyo dan Sulastri memiliki anak kandung?” tanya Aisyah penasaran.“Tidak. Anaknya hanya Lasmini saja. Saya heran juga dengan keterangan Ibu tadi. Ibu bilang kalau Lasmini adalah anak kandung Ibu, tapi saya melihat kalau Sulastri juga sedang hamil saat itu. Mema
Senyum Aisyah semakin mengembang kala sahabatnya itu mengirimkan pesan kalau dia akan datang ke rumahnya di akhir pekan ini. Merasa tidak sabar kalau hanya sekedar berkirim pesan, Aisyah kemudian melakukan panggilan telepon kepada sahabatnya itu. Tidak perlu menunggu lama, panggilan telepon Aisyah segera diangkat pada saat dering kedua.“Halo, Nun. Apa kabar?” sapa Aisyah ramah.“Halo, syah. Kabarku baik, kamu sendiri bagaimana? kabarnya baik juga?” sahabat Aisyah balik bertanya di seberang sana.“Alhamdulillah kabarku baik, Nun.”“Syah, aku akhir pekan ini mau ke rumah kamu. Aku kangen sama kamu. Sudah lama tidak berjumpa. Kamu tidak ada acara kemana-mana?” tanya wanita di seberang sana dengan nada suara yang ceria.“Aku ada di rumah. Datang saja, nanti aku masak makanan kesukaan kamu, Nun,” balas Aisyah tidak kalah ceria dengan sahabatnya itu.“Ok, nanti aku datang sama Mas
“Bima, ikut eyang, yuk!” ajak Aisyah. Dia mengulurkan tangannya untuk menggendong Bima. Wajah Aisyah berseri-seri kala menatap Bima yang sepertinya ingin meraih tangan Aisyah.“Bima mau digendong Eyang Aisyah?” bisik Nuni kepada cucunya. Bima tidak menjawab pertanyaan Nuni, tetapi tangannya terulur ke arah Aisyah. Hal ini tentu saja membuat Aisyah tertawa senang.“Waduh, Eyang Aisyah senang sekali Bima mau digendong.” Aisyah dengan sigap meraih tubuh Bima ke dalam pelukannya. Nuni dan Arief tertawa geli melihat itu semua, karena Aisyah berlaku seperti habis menang lotre.Aisyah menciumi pipi gembil Bima. Dan anehnya bocah berumur dua tahun itu membalas mencium pipi Aisyah, dan tersenyum menatap wanita paruh baya yang masih terlihat cantik.“Bima ganteng sekali sih, mirip ayah Ario.” Aisyah kembali menciumi pipi Bima dan mengajak Bima berceloteh. Hanya berdua saja! seolah Nuni dan Arief tidak ada di sana.
Dua minggu kemudian.“Hati-hati sayang. Jalannya pelan-pelan saja tidak usah buru-buru. Pinggang kamu masih sakit tidak? kalau masih sakit jangan dipaksa. Biar Mas gendong saja.” Ario memapah Lasmini untuk belajar berjalan setelah lukanya sudah dinyatakan kering oleh dokter.“Masih ngilu sedikit sih, Mas. Tapi kata dokter justru harus digerakkan tubuh aku biar tidak kaku, karena bekas jahitan operasi sudah mulai mengering,” ucap Lasmini. Dia mengikuti saran dokter untuk berlatih jalan dengan perlahan. Dan kini dia ditemani oleh calon suaminya mulai berlatih berjalan secara bertahap.“Ya sudah tapi kalau tidak kuat jalan, kamu langsung berhenti. Menggunakan kursi roda saja kalau mau melakukan aktivitas.” Dengan perlahan Ario mendudukkan Lasmini di atas kursi roda yang sudah dia siapkan sebelumnya.“Terima kasih, Mas.” Senyum manis segera terbit dari bibir indah Lasmini tatkala Ario mendudukkan dirinya d