Sekali lagi, Glenn kehilangan kata-kata, tak mampu membalas perkataan gadis muda itu. Bahkan, di saat Alexander Barata benar-benar datang ke sana, Glenn hanya bisa menuruti kata-kata Clarita dan memanggil sahabatnya itu dengan nama depannya. Bahkan, Alexander sendiri keheranan dengan sikap Glenn."Apa yang terjadi denganmu?" Alexander bertanya dengan raut wajah penuh kebingungan.Glenn hanya menggeleng, sementara Clarita hanya tersenyum santai.Alexander bertanya lagi, "Sungguh kau sedang tidak waras, Glenn? Apa kepalamu sedang baru saja terbentur sesuatu?"Glenn dengan jengkel berkata, "Jangan membuatku semakin kesal, Alexander. Tolong, aku sedang tidak berniat untuk berbasa-basi denganmu."Alexander tertawa aneh. "Siapa juga yang sedang mengajakmu berbasa-basi, Glenn Brawijaya? Aku hanya sedikit keheranan. Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini? Apakah ada sesuatu yang membuatmu bisa berubah?""Heh, ini hanya masalah panggilan. Kenapa kau membesar-besarrkannya? Sudahlah, aku naik!
Damar pun kemudian hanya bisa mondar-mandir sambil menunggu kabar anak buahnya yang sedang mencari Alexander Barata."Tidak mungkin. Ini tidak mungkin." Ia bergumam sendirian dan mencoba untuk meyakinkan dirinya jika Glenn Brawijaya belum kembali.Ketakutan itu begitu terasa mencekik lehernya. Ia tidak tahu jika ternyata Glenn mampu membuatnya begitu ketakutan sampai-sampai ia tidak bisa bernapas.Tangannya bahkan sekarang ini sudah gemetar. Ia teringat akan kata-kata temannya yang dulu pernah memperingatkannya soal Glenn Brawijaya. Seharusnya, ia membujuk pria itu atau menipunya agar berada di pihaknya bukannya malah mencoba untuk membunuhnya.Tetapi, sayangnya ia tidak menggubris kata-kata sang teman dan malah merencanakan pembunuhan terhadap pria yang menjadi kepercayaan Alexander Barata itu.Ia bahkan mempengaruhi seorang anak buah Glenn dengan mengancam asisten pribadi Glenn tersebut untuk bekerja kepadanya. Sialnya, setelah ia melakukan semua hal licik itu, Glenn masih saja bisa
Damar memperhatikan tatapan Alexander yang sebelumnya terlihat terkejut kini berubah menjadi ekspresi yang seolah siap menerkam mangsanya.Pria yang lebih tua daripada Alexander itu pun agak bingung, "Iya, Tuan."Alexander tersenyum mengerikan dan bertanya lagi, "Jadi, kau tidak bersama dengan anak buahmu?"Damar menggelengkan kepalanya, "Tidak, Tuan. Saya telah meminta mereka untuk mencari keberadaan Anda di seluruh penjuru kota. Saya benar-benar khawatir terhadap Anda."Alexander menatap Damar dengan tatapan yang terlihat begitu lega sekaligus luar biasa gembira, "Ah, kau benar-benar sendiri rupanya.""Memang ada apa, Tuan? Apakah Anda membutuhkan pengawal atau mungkin ada sesuatu yang ingin saya lakukan untuk Anda?" tanya Damar."Oh, tidak. Bukan itu. Tidak ada yang perlu kau lakukan, tapi aku benar-benar senang karena kau kini sendirian tanpa anak buahmu itu," ujar Alexander, terdengar begitu berbeda di telinga Damar."Mereka bukan anak buah saya, Tuan. Tapi, mereka itu anak buah
Damar yang sebenarnya memang seorang penakut itu pun tidak bisa menggerakkan kepalanya, terlebih lagi badannya. Ia bahkan tidak mampu berkata sepatah kata pun."Ada kata-kata terakhir?" tanya Glenn yang masih menodongkan senjatanya pada kepala Damar.Pria yang telah dilucuti senjatanya dan kini tidak memiliki perlindungan sedikitpun itu akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah berupaya dengan begitu keras, "Tuan Muda Glenn. Anda ternyata masih hidup. Syukurlah."Glenn menaikkan alisnya dan cukup terkagum-kagum atas akting yang berusaha diluncurkan oleh Damar. Ia berdecak kesal kemudian, "Ayolah, tidak ada yang akan mempercayaimu sekarang. Percuma saja kau bersandiwara. Tidak ada gunanya."Alexander Barata ikut menimpali, "Kami sudah sangat muak mendengarmu juga melihatmu bersandiwara. Jadi, sudahlah sekarang bersikap seperti dirimu yang sebenarnya saja."Kata-kata itu bukanlah sebuah himbauan ataupun paksaan tetapi hanya sebuah ungkapan atas kelelahan Alexander yang harus menerima
Alexander mengerjap tidak percaya saat melihat apa yang telah dilakukan oleh Glenn Brawijaya. Ia bertanya dengan nada begitu heran, "Apa yang baru saja kau lakukan itu?""Memang kau tidak bisa melihatnya sendiri? Aku lalu saja memukulnya, Barata," sahut Glenn sebal.Alexander bersedekap dan menatap bingung pada Glenn, "Kenapa kau malah memukulnya?""Kenapa memang? Apa kau kasihan pada dia? Jangan bilang kalau itu terbujuk rayuan mautnya lagi sehingga percaya kepadanya lagi!" sahut Glenn malas.Alexander menendang kaki sahabatnya itu lantaran kesal, "Apa kau pikir aku setolol itu sampai percaya pada orang yang sudah mengkhianatiku dan menipuku habis-habisan?" "Ya mungkin saja. Kau kan memang tidak terlalu pintar. Akui saja itu!" balas Glenn yang kembali membuat Alexander memukul dirinya.Alexander berkata, "Yang aku maksud itu adalah kenapa kau tidak langsung membunuhnya saja?" Glenn segera menjawab pertanyaan Alexander itu dengan menghela napas panjang sebelumnya, "Alexander Barata,
Alexander terdiam cukup lama sampai akhirnya Glenn tidak sanggup lagi menunggu. Ia pun berkata cepat, "Sudah, aku saja yang akan melakukan untukmu."Alexander mengangkat wajah dan menatap Glenn selama sepersekian detik, seakan ingin berkata sesuatu tapi kemudian ia tak jadi membuka mulut karena penuh keraguan. Ia kembali menunduk dan memejamkan matanya.Glenn menghela napas lelah, "Tak usah kau pikirkan. Kau memang tidak pantas untuk pekerjaan kasar seperti ini."Alexander menelan ludah gugup. Ia lalu berkata pelan, "Aku pengecut.""Kau bukan.""Iya, jangan coba menghibur aku, Glenn!"Glenn mendesah jengkel, "Oke. Kau memang pengecut."Alexander tidak marah dan tidak tersinggung sama sekali. Ia justru merasa lega karena Glenn mau berkata jujur. Ia membalas perkataan Glenn dengan nada pelan, "Iya, aku pengecut. Aku bahkan tidak sanggup membunuh orang yang sudah membuatmu harus jatuh bangun seperti ini. Aku-""Hentikan, Barata! Kau tidak perlu melakukan ini. Lagi pula, justru bagus aku
Narendra berteriak kesal, "Glenn. Ini semua pasti gara-gara dia."Emosinya benar-benar tak terkendali sekarang. Ia benar-benar luar biasa marah. Adik kandungnya sendiri, yang telah percaya selama beberapa tahun ini dan ia pikir benar-benar berada di pihaknya ternyata memang tidak pernah memihaknya.Namun, kemarahannya tidak tertuju pada Arnold semata, tapi justru lebih pada Glenn Brawijaya. "Brengsek, brengsek. Kenapa kau merebut adikku?" teriaknya lagi.Ia lalu membanting vas bunga yang ada di atas mejanya hingga kacanya ada yang mengenai tangannya. Tetapi ia tidak peduli dan kemudian kembali melampiaskan kemarahannya pada barang-barang di sekitarnya.Sementara itu, di luar ruangannya, beberaa karyawan sudah terlihat berkumpul di sana."Apa yang terjadi?" tanya Ali.Gita menjawab, "Aku tidak tahu. Tadi aku hanya melihat salah satu pengawal beliau masuk ke dalam. Setelah itu, tak lama kemudian dia mengamuk seperti ini."Amanda berujar, "Apa jangan-jangan orang itu membawa kabar buruk
Melihat Arnold yang tidak menjawab, Narendra pun bertanya kembali, ingin memastikan, "Kamu nggak akan berkhianat kan? Bukankah kita ini bersaudara?"Saudara? Arnold mengulang hal itu di dalam hatinya.Benar, bagaimanapun dia ingin mengingkari hal itu, dia dan Narendra memanglah memiliki darah yang sama dan lahir dari rahim yang sama juga.Salah satu fakta yang tidak akan pernah bisa diubah selamanya adalah ikatan persaudaraan yang memang dia miliki dengan Narendra.Pria muda yang memakai jas biru tua itu pun membalikkan badan lalu menjawab pertanyaan kakaknya setelah membuat ekspresinya terlihat seperti biasanya, "Apa yang membuat Mas tiba-tiba bertanya tentang hal itu?"Ia kembali berjalan mendekat dan duduk di samping Narendra. "Apa kamu mulai meragukanku lagi sekarang?" tanya Arnold, berusaha mencoba meneliti ekspresi sang kakak.Tentu saja, hal itu ia lakukan untuk tetap berada di sisi kakaknya dan dipercayai oleh Narendra untuk melakukan apa saja yang berkaitan dengan perusahaan