Damar yang sebenarnya memang seorang penakut itu pun tidak bisa menggerakkan kepalanya, terlebih lagi badannya. Ia bahkan tidak mampu berkata sepatah kata pun."Ada kata-kata terakhir?" tanya Glenn yang masih menodongkan senjatanya pada kepala Damar.Pria yang telah dilucuti senjatanya dan kini tidak memiliki perlindungan sedikitpun itu akhirnya bisa mengeluarkan suaranya setelah berupaya dengan begitu keras, "Tuan Muda Glenn. Anda ternyata masih hidup. Syukurlah."Glenn menaikkan alisnya dan cukup terkagum-kagum atas akting yang berusaha diluncurkan oleh Damar. Ia berdecak kesal kemudian, "Ayolah, tidak ada yang akan mempercayaimu sekarang. Percuma saja kau bersandiwara. Tidak ada gunanya."Alexander Barata ikut menimpali, "Kami sudah sangat muak mendengarmu juga melihatmu bersandiwara. Jadi, sudahlah sekarang bersikap seperti dirimu yang sebenarnya saja."Kata-kata itu bukanlah sebuah himbauan ataupun paksaan tetapi hanya sebuah ungkapan atas kelelahan Alexander yang harus menerima
Alexander mengerjap tidak percaya saat melihat apa yang telah dilakukan oleh Glenn Brawijaya. Ia bertanya dengan nada begitu heran, "Apa yang baru saja kau lakukan itu?""Memang kau tidak bisa melihatnya sendiri? Aku lalu saja memukulnya, Barata," sahut Glenn sebal.Alexander bersedekap dan menatap bingung pada Glenn, "Kenapa kau malah memukulnya?""Kenapa memang? Apa kau kasihan pada dia? Jangan bilang kalau itu terbujuk rayuan mautnya lagi sehingga percaya kepadanya lagi!" sahut Glenn malas.Alexander menendang kaki sahabatnya itu lantaran kesal, "Apa kau pikir aku setolol itu sampai percaya pada orang yang sudah mengkhianatiku dan menipuku habis-habisan?" "Ya mungkin saja. Kau kan memang tidak terlalu pintar. Akui saja itu!" balas Glenn yang kembali membuat Alexander memukul dirinya.Alexander berkata, "Yang aku maksud itu adalah kenapa kau tidak langsung membunuhnya saja?" Glenn segera menjawab pertanyaan Alexander itu dengan menghela napas panjang sebelumnya, "Alexander Barata,
Alexander terdiam cukup lama sampai akhirnya Glenn tidak sanggup lagi menunggu. Ia pun berkata cepat, "Sudah, aku saja yang akan melakukan untukmu."Alexander mengangkat wajah dan menatap Glenn selama sepersekian detik, seakan ingin berkata sesuatu tapi kemudian ia tak jadi membuka mulut karena penuh keraguan. Ia kembali menunduk dan memejamkan matanya.Glenn menghela napas lelah, "Tak usah kau pikirkan. Kau memang tidak pantas untuk pekerjaan kasar seperti ini."Alexander menelan ludah gugup. Ia lalu berkata pelan, "Aku pengecut.""Kau bukan.""Iya, jangan coba menghibur aku, Glenn!"Glenn mendesah jengkel, "Oke. Kau memang pengecut."Alexander tidak marah dan tidak tersinggung sama sekali. Ia justru merasa lega karena Glenn mau berkata jujur. Ia membalas perkataan Glenn dengan nada pelan, "Iya, aku pengecut. Aku bahkan tidak sanggup membunuh orang yang sudah membuatmu harus jatuh bangun seperti ini. Aku-""Hentikan, Barata! Kau tidak perlu melakukan ini. Lagi pula, justru bagus aku
Narendra berteriak kesal, "Glenn. Ini semua pasti gara-gara dia."Emosinya benar-benar tak terkendali sekarang. Ia benar-benar luar biasa marah. Adik kandungnya sendiri, yang telah percaya selama beberapa tahun ini dan ia pikir benar-benar berada di pihaknya ternyata memang tidak pernah memihaknya.Namun, kemarahannya tidak tertuju pada Arnold semata, tapi justru lebih pada Glenn Brawijaya. "Brengsek, brengsek. Kenapa kau merebut adikku?" teriaknya lagi.Ia lalu membanting vas bunga yang ada di atas mejanya hingga kacanya ada yang mengenai tangannya. Tetapi ia tidak peduli dan kemudian kembali melampiaskan kemarahannya pada barang-barang di sekitarnya.Sementara itu, di luar ruangannya, beberaa karyawan sudah terlihat berkumpul di sana."Apa yang terjadi?" tanya Ali.Gita menjawab, "Aku tidak tahu. Tadi aku hanya melihat salah satu pengawal beliau masuk ke dalam. Setelah itu, tak lama kemudian dia mengamuk seperti ini."Amanda berujar, "Apa jangan-jangan orang itu membawa kabar buruk
Melihat Arnold yang tidak menjawab, Narendra pun bertanya kembali, ingin memastikan, "Kamu nggak akan berkhianat kan? Bukankah kita ini bersaudara?"Saudara? Arnold mengulang hal itu di dalam hatinya.Benar, bagaimanapun dia ingin mengingkari hal itu, dia dan Narendra memanglah memiliki darah yang sama dan lahir dari rahim yang sama juga.Salah satu fakta yang tidak akan pernah bisa diubah selamanya adalah ikatan persaudaraan yang memang dia miliki dengan Narendra.Pria muda yang memakai jas biru tua itu pun membalikkan badan lalu menjawab pertanyaan kakaknya setelah membuat ekspresinya terlihat seperti biasanya, "Apa yang membuat Mas tiba-tiba bertanya tentang hal itu?"Ia kembali berjalan mendekat dan duduk di samping Narendra. "Apa kamu mulai meragukanku lagi sekarang?" tanya Arnold, berusaha mencoba meneliti ekspresi sang kakak.Tentu saja, hal itu ia lakukan untuk tetap berada di sisi kakaknya dan dipercayai oleh Narendra untuk melakukan apa saja yang berkaitan dengan perusahaan
"Ayah, bukankah ayah sendiri yang mengatakan jika aku harus lebih waspada?" balas Narendra sambil menyesap kopi miliknya.Satria masih juga tidak mengerti apa yang sedang putranya coba sembunyikan itu. Tetapi, ia begitu yakin jika putranya tidak mungkin melakukan hal itu tanpa alasan yang tidak jelas.Ia mengenal putranya dengan baik dan tidak pernah salah menilai apa yang menjadi pikiran sang putra sehingga ia pun hanya berbicara, "Tapi kau tidak terlalu harus hati-hati apalagi ini saudaramu sendiri. Ya Ayah tahu, Arnold dulu memanglah tidak memiliki hubungan yang dekat denganmu dan malah lebih condong pada Glenn."Narendra terdiam dan masih memilih untuk mendengarkan perkataan sang ayah."Namun, selama beberapa tahun ini dia telah menunjukkan banyak sekali perubahan. Dia bahkan membantumu untuk membangun bisnis kita dan selalu berada di sisimu saat kau memiliki masalah. Bukankah itu sudah cukup untuk membuktikan jika dia memang setia kepadamu, Nak?" ucap Satria.Narendra mengulas se
Arnold memang tidak memiliki kecurigaan sedikitpun dengan ayahnya tersebut pun membalas, "Tentu tidak, Ayah. Kalau pun aku sedang memiliki pekerjaan, kalau untuk berbicara dengan Ayah, aku pasti akan selalu menyempatkan diri."Satria tertawa renyah mendengarnya dan kemudian menjawab, "Ayo, kalau begitu. Ayah ingin makan siang denganmu. Kau mau kan?""Iya, Ayah. Di mana? Ayah yang menentukan restorannya atau aku?" tanya Arnold."Kau saja. Lagi pula, Ayah sudah cukup lama tidak terlalu mengikuti perkembangan restoran di negara ini jadi Ayah tidak mungkin tahu restoran mana yang cukup baik."Arnold tersenyum penuh arti dan kemudian terlihat berpikir sejenak sebelum memberikan tanggapan, "Baiklah, kalau begitu akan aku bawa Ayah ke salah satu restoran yang cukup booming saat ini. Ayah menyukai masakan di sana."Satria mengganggu senang dan kemudian mereka berdua menuju ke sebuah restoran yang dipikirkan oleh Arnold.Meskipun Arnold memang selalu bersandiwara di depan Narendra dan tidak pe
Satria ketika menyadari jika memanglah Sang putra belum benar-benar berada di pihak putra sulungnya.Ia menghela napas panjang dan terlihat begitu putus asa, "Ayah tidak mungkin bisa memaksamu. Ayah tahu maksud dari dulu kau tidak pernah sepaham dengan kakakmu."Arnold terkejut mendengar hal itu. Sungguh, ia tidak pernah memikirkan jika ayahnya akan sepengertian itu terhadapnya.Yang ia tahu ayahnya tersebut tidak pernah bersikap adil kepadanya. Kalau bisa dijabarkan, Arnold begitu sedikit menerima perhatian dari Satria daripada kakaknya. Narendra selalu menjadi putra unggulan Satria dan tidak pernah sekalipun ia bisa mengalahkan kakaknya itu. Ayahnya juga bukan seseorang yang dengan mudah memaafkan kesalahan putranya meskipun itu hanya kesalahan kecil.Arnold kecil begitu kenyang dengan makian-makian dari ayahnya serta begitu banyak ketidakadilan yang ia terima."Ayah, tidak marah jika aku tidak mendukung Narendra?" tanya Arnold.Satria mengangkat wajahnya dan menatap sang putra den