Radit merasa direndahkan. Ia lalu mengambil beberapa langkah untuk menghindari sentuhan Tuan Moel."Kenapa kalian menindas karyawan magang sepertiku? Ck. Sekarang mau apapun hubunganku dengan Bu Keyla, baik Pak David ataupun Pak Moel, memangnya mau melakukan apa?" tantang Radit melakukan perlawanan diri."Di perusahaan ini tidak ada istilah KKN. Jika terbukti Bu Keyla melanggar dengan memasukkanmu kemari karena ada hubungan diantara kalian, dapat dipastikan Bu Keyla akan dipecat," sahut Tuan Moel."Benarkah begitu? Tapi sepertinya Anda terlihat cemburu sekali kepada saya dengan Bu Keyla, Pak. Apakah cinta Anda bertepuk sebelah tangan saja? Lucu juga jika pemenangnya adalah saya, padahal saya ini miskin dan sudah beristri pula." Tuan Moel bertepuk tangan. "Wow, hebat sekali gaya ucapanmu. Bukan saya yang ditolak oleh Bu Keyla, tapi Bu Keyla lah yang saya tolak. Asal kamu tahu, dia bukan tipe saya!" Usai berucap seperti itu. Primadona yang menjadi bahan percakapan dari ketiga pria ini
"Pak Moel, sebagai manajer di departemen SDM harusnya Anda tidak gegabah memakan gosip mentah-mentah. Bukankah harusnya selain saya, Bu Keyla, Anda juga memegang salinan CV Pak Radit untuk Anda ketahui sebagai karyawan baru di departemen Anda. Bagaimana Anda melewatinya?" Tuan Husen lalu membuka map merah di atas mejanya. Pelan-pelan direktur itu membacakan semua yang tertulis di CV milik Radit."Maaf, Pak. Saya melewatkannya. Saya memang bertujuan untuk berkenalan langsung oleh sebab itu saya pergi ke bagian departemen. Sayangnya, pertemuan pertama kami, Pak Radit memberikan kesan jelek. Ia membuat ulah yang membuat Pak David menegurnya di hari kedua ini dia bekerja." Masih saja Tuan Moel mencari pembenaran agar tidak terkena teguran lagi oleh Tuan Husen."Ckck. Anda selalu melewatkan semua. Anda langsung menuduh Pak Radit begini dan begitu hanya karena gosip dan laporan Pak David. Harusnya Anda tahu jika apa yang dilakukan Pak David tidak benar. Pak David yang salah karena mengerja
Tuan Husen lalu beranjak dari meja kerjanya mendekati Radit yang tengah berdiri mematung di depan mejanya."Apakah itu sapaan yang bagus untuk perjumpaan awal kita? Sepertinya kau sangat membenciku," lirih Tuan Husen.Radit menyipitkan matanya. Lalu tersenyum tipis. "Aku hanya tidak bisa berbasa-basi untuk berpura-pura baik. Aku sama sekali merasa asing kepada Anda, Pak Direktur.""Ayolah, di ruangan ini hanya ada kamu dan saya saja. Ya, memang ini terasa canggung. Setelah puluhan tahun kita tidak pernah bertemu. Bukankah ini waktunya kita saling melakukan pendekatan?"Radit tertawa sinis. Ia menggaruk ujung pelipisnya. "Lebih tepatnya dari aku dilahirkan sampai sebesar sekarang, kau tidak pernah mencariku.""Hahaha! Bagaimana aku bisa mencarimu. Tahu engkau ada di muka bumi ini saja, tidak. Semua itu salah ibumu yang merahasiakan semuanya dan melarikan diri dariku," ucap Tuan Husen memojokkan ibunya Radit."Ck. Aku pikir setelah bertemu dan berbicara dengan Anda nantinya aku akan ber
Radit hari ini pulang lebih cepat dari kemarin karena sudah tidak ada lagi yang berani mengerjainya seperti Tuan David. Kali ini Radit mampir ke sebuah kafe andalan Lucy untuk membelikan oleh-oleh cake dan ice cream kepada istrinya. Entah mengapa Radit menjadi kepikiran tentang bagaimana bosannya hidup Lucy yang harus menghabiskan waktunya hanya di rumah saja dan meninggalkan aktifitas yang biasa Lucy lakukan.Dan betul saja, sesampainya ia di rumah sewaannya. Ia menemukan sang istri tengah asyik menggambar sebuah desain baju. "Eh, kamu udah pulang, Dit!" buru-buru Lucy menyembunyikan kertas dan pensil di balik laci saat melihat Radit masuk ke kamar tidur mereka.Radit duduk di tepi ranjang sambil menatap Lucy dengan lekat. "Kamu nggak perlu menyembunyikannya. Aku sudah lihat," ucapnya.Lucy menunduk sebentar. Ia menyembunyikan wajah sendunya. Lalu beberapa detik kemudian mengangkat kembali wajahnya. "Aku nggak apa-apa kok. Lagi pula, sudah selesai juga. Kamu pasti capek. Kamu mau ma
Radit sedikit panik mendengar ibunya bereaksi dengan nada yang cukup tinggi. Ia takut Lucu mendengarnya. "Bu ... Sssssttt!" Radit yang berdiri dari kursinya mencoba menutupi mulut ibunya."Lepaskan! Apa-apaan kamu, Dit!" "Bu, tolong pelankan suara ibu. Lucy bisa mendengarnya," pinta Radit.Nyonya Yessi mengangguk setuju. Radit pun melepaskan tangannya dari mulut ibunya."Aku yang menantangnya tes DNA sebab dia meragukanku," lanjut Radit menjelaskan.Nyonya Yessi memanglingkan wajahnya. "Jangan bicara lagi! Hati ibu terlalu sakit untuk pria itu. Ibu sudah mengatakan kepadamu untuk tidak kembali ke keluarga busuk itu, tapi kamu justru tak mendengarnya. Ini hanya akan menyakitimu, Dit!""Aku melakukan ini semua justru untuk membalaskan rasa sakit yang selama ini kita rasakan, Bu. Aku akan merebut semua yang menjadi hakku. Aku akan membuat ayah bertekuk lutut meminta maaf di hadapanku nanti!" sumpah Radit.Nyonya Yessi tak berkomentar lagi. Ia tidak mau berdebat dengan putranya yang sed
Posisi Nona Keyla tak nyaman. Ia berada di tengah keluarga konglomerat yang sedang menegang. "Bu Keyla, bagaimana dengan kinerja Pak Radit? Dia juga mahasiswa magang di perusahaan ini kan?""Benar, Pak. Selama beberapa hari ini Pak Radit cukup bekerja keras dan banyak belajar," lapor Nona Keyla."Bagus. Semoga kamu juga bisa mengikuti jejak Pak Radit yang lebih dulu magang di sini. Dengar-dengar kalian juga satu universitas. Dia termasuk mahasiswa berprestasi," ucap Tuan Mandala.Harris merasa panas mendengar kakeknya memuji musuh bebuyutannya di kampus. "Ya, aku pernah mendengar namanya. Tapi, mungkin dia tidak seterkenal itu. Aku bahkan lupa," sahut Harris dengan wajah angkuhnya."Oh ya, Kek. Aku dengar perusahaan kita akan melakukan penggalangan dana sekaligus meluncurkan nama brand baru di dunia fashion. Apakah sudah ada calon model yang akan mengisi?" tanya Harris mengalihkan obrolan."Entahlah, mungkin kita akan menggunakan model yang biasa menjalin kontrak kerjasama dengan kit
Nyonya Winey mendengar teriakan sang suami. Ia lantas menarik selimut dan berpaling memunggungi Lucy yang masuk menemuinya di kamar. "Bu, lihat! Ini Lucy menengok. Dia bahkan membawa oleh-oleh untukmu. Kau membawa rantang, apakah kamu yang memasaknya, Nak?" ujar Tuan Rudy.Lucy menggeleng pelan. "Saat tahu ibu sakit, ibu mertuaku langsung memasakkan bubur dan sop untuk aku berikan ke ayah dan ibu. Beliau tidak bisa datang karena ada pekerjaan.""Pekerjaan?" Kening Tuan Rudy berkerut."Ya, ibunya Radit membuka jasa menerima jahitan baju di rumah sewaan kami. Beliau sangat hebat. Di usia senja, beliau memilih untuk mencari aktifitas yang bisa menghasilkan uang," jawab Lucy tanpa sengaja memuji sang ibu mertua.Tak senang hati, putrinya memuji ibu dari orang lain. Nyonya Winey memaksakan tubuhnya yang lemah itu untuk bangun. Semula ia tidak ingin bertemu putrinya, mendadak langsung menatap sinis saat berhadapan dengan Lucy.Nyonya Winey dengan kasar menepis rantang yang ditaruh Tuan Rud
Tuan Rudy dan Radit kembali bersama-sama. Meski begitu keduanya masih terlihat tidak akur. "Ah, kalian kembali bersama. Apakah kalian habis mengobrol di luar?" tebak Lucy."Ooo ... tidak. Ayah habis mengurus biaya rumah sakit ibu kamu di bagian administrasi. Kami bertemu di luar dan masuk bersama," sahut Tuan Rudy gugup."Ya, aku tadi hanya berkeliling mencari udara segar kemudian bertemu dengan ayah mertua di depan lalu kami masuk bersama," timpal Radit ikut-ikutan berbohong."Sayang, bagaimana dengan tagihan rumah sakit tadi? Semua aman?" tanya Nyonya Winey.Tuan Rudy tak langsung menjawabnya. Ia melirik ke arah Radit seperkian detik lalu kembali menatap istrinya lagi. "Tentu saja semua aman. Kamu sudah boleh pulang."Nyonya Winey menganggukkan kepalanya. Wajahnya mendadak sendu. Lucy yang melihat langsung mendekati ibunya."Ada apa, Bu?"Nyonya Winey menghela napas beratnya. "Tidak apa-apa. Ibu hanya memikirkan kalau ibu harus kembali ke rumah gubuk."Lucy memegang punggung tangan