Seorang pria muda terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya penuh luka dan napasnya masih berat. Matanya terbuka perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah atap jerami pondok. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang pelan.
"Di mana... aku?" gumamnya lemah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu seorang lelaki tua berambut putih panjang memasuki ruangan. Jubahnya sederhana, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan dan keteguhan yang luar biasa. "Kau akhirnya sadar," kata lelaki tua itu dengan nada tenang. Remus Can, pria yang terbaring lemah itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat dan nyaris tak bertenaga. Ia menggertakkan giginya, merasakan betapa lemahnya dirinya saat ini. "Siapa kau?" tanya Remus, menatap lelaki tua itu dengan penuh waspada. "Aku adalah Master Lao," jawab lelaki tua itu. "Aku menyelamatkanmu dari dasar jurang." Remus menelan ludah. "Kenapa kau menyelamatkanku?" Master Lao menghela napas, lalu duduk di kursi dekat dipan. "Saat aku menemukanmu, tubuhmu sudah hampir mati, tetapi ada kekuatan tersegel di dalam dirimu yang mencegah kematianmu. Itulah yang menyelamatkanmu." "Kekuatan?" Remus mengerutkan kening. "Apa maksudmu?" Master Lao menatapnya dalam-dalam. "Di dalam tubuhmu, tersegel Naga Legendaris." "Naga Legendaris...?" ulangnya, seolah tak percaya. "Benar," kata Master Lao. "Itulah yang membuatmu tetap hidup, tetapi segel itu masih mengunci kekuatannya. Tubuhmu terlalu lemah untuk menanggungnya sekarang." Remus terdiam, masih tidak bisa memahami ucapan Master Lao. Master Lao yang melihat wajah suram Remus, seolah memahami ada sesuatu yang tidak beres dengan Remus. "Kalau boleh aku bertanya, kenapa kamu bisa jatuh ke jurang itu?" tanya Master Lao akhirnya. Remus menatapnya dengan bingung. Ingatannya perlahan kembali, kematian ibunya dan tunangannya, tuduhan keji yang membuatnya diburu. Dan kemudian, jatuhnya dia ke jurang yang seharusnya merenggut nyawanya. "Aku dijebak …” Master Lao tetap diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Seseorang telah membunuh ibu dan tunanganku, tetapi mereka menjebakku hingga membuatku terlihat sebagai tersangka. Aku yakin, mereka … mereka pasti orang-orang suruhan pesaing bisnisku.” Remus mengakhiri ceritanya dengan napas terengah-engah. Tatapannya kosong, tetapi kemarahan yang membara terpancar jelas di matanya. “Katamu, aku punya kekuatan tersembunyi, bukan?” Remus mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, bagaimana aku bisa menguasai kekuatan itu? Aku ingin membalaskan perbuatan orang-orang itu. Mereka harus membayar harga untuk kematian ibu dan tunanganku." Master Lao tersenyum. "Kau terlalu terburu-buru, anak muda. Tubuhmu dalam kondisi hancur. Jika kau ingin menjadi kuat, kau harus pulih lebih dulu." Remus terdiam. Ia tahu Master Lao benar. Dalam keadaan seperti ini, bahkan berdiri pun terasa mustahil. "Aku akan mencoba mengobatimu dahulu," lanjut Master Lao. "Tetapi, prosesnya tidak akan mudah. Kau harus bertahan jika ingin hidup." Remus menatapnya dengan penuh tekad. "Aku akan bertahan." Master Lao mengangguk puas. Hari pertama penyembuhan dimulai dengan Master Lao membawa sebuah mangkuk kayu berisi ramuan berwarna emas, yang memancarkan aroma herbal kuat. "Ini adalah ramuan yang dibuat dari akar Seribu Tahun dan Daun Giok Surgawi," jelas Master Lao. "Minumlah, ini akan mempercepat pemulihan organ dalammu." Remus mengambil mangkuk itu dengan tangan gemetar dan meneguknya. Begitu cairan kental itu masuk ke tenggorokannya, ia langsung merasakan kehangatan menyebar ke seluruh tubuhnya. Rasa sakit yang menusuk di dadanya perlahan mereda, dan energinya mulai sedikit meningkat. Hari berikutnya, Master Lao memberinya sepotong Batu Spiritual berwarna biru yang berkilauan. "Batu Spiritual terbagi dalam tiga kualitas," jelas Master Lao. "Batu Biru ini adalah yang paling dasar, tetapi cukup untuk mempercepat penyembuhan tubuhmu." Setelah beberapa hari menggunakan Batu Biru, ia diberikan Batu Ungu—Batu Spiritual tingkat menengah yang mampu meningkatkan pemulihan dan memperkuat struktur tubuhnya. Ketika Remus akhirnya cukup kuat untuk duduk tegak tanpa rasa sakit, Master Lao memberinya Batu Emas—Batu Spiritual berkualitas tertinggi. Setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif menggunakan ramuan langka dan Batu Spiritual, kondisi tubuh Remus Can telah berangsur pulih. Pagi itu, Master Lao membawa Remus mendaki bukit di belakang desa, Remus bisa merasakan udara di sekitarnya berbeda—lebih segar. Setelah hampir satu jam berjalan, mereka tiba di sebuah lembah. Dengan danau yang airnya memancarkan cahaya kebiruan, Udara di lembah itu terasa lebih padat, Seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang mengalir di antara pepohonan, menyusup ke dalam tanah, dan meresap ke dalam air danau. Master Lao menatapnya dengan serius. "Dengar baik-baik, Remus. Energi spiritual ada di mana-mana, tetapi hanya mereka yang memiliki kepekaan tinggi yang bisa menyerapnya. Hari ini, kau akan belajar bagaimana menarik energi tersebut ke dalam tubuhmu dan menggunakannya untuk memperkuat dirimu sendiri." Remus mengangguk mantap. Kemudian duduk bersila di atas batu besar yang menghadap ke danau, sementara Master Lao berdiri di belakangnya dan mulai membimbingnya. Remus mulai mengikuti dengan mata tertutup. "Lepaskan segala beban di hatimu," lanjut Master Lao. "Saat kau menyerap energi spiritual, kau tidak boleh menyimpan amarah, kebencian, atau kegelisahan. Energi spiritual adalah sesuatu yang murni. Jika kau ingin menerimanya, kau juga harus membuat jiwamu bersih." Remus terdiam. Kata-kata itu mengingatkannya pada semua pengkhianatan yang ia alami. "kau harus mengendalikan emosimu. Jika kau membiarkan kebencian menguasai hatimu, maka energi spiritual tidak akan pernah bisa menyatu denganmu. Sebaliknya, itu akan menghancurkanmu dari dalam." Remus menarik napas dalam-dalam. ia membiarkan pikirannya kosong. Sedikit demi sedikit, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Udara di sekitarnya tidak hanya sekadar udara. Ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang lebih hidup. "Inilah energi spiritual," kata Master Lao dengan suara lembut. "Kau mulai merasakannya?" "Langkah berikutnya," lanjut Master Lao, "adalah membimbing energi itu masuk ke dalam tubuhmu." Remus tetap duduk bersila dan mengikuti arahan gurunya. "Bayangkan energi spiritual seperti air sungai yang mengalir. Kau adalah wadah kosong yang siap menampungnya. Tetapi kau tidak boleh memaksa—biarkan energi itu datang dengan sendirinya." Remus mencoba. ia mulai merasakan sesuatu merembes masuk melalui pori-pori kulitnya. Energi itu terasa hangat, tetapi juga memiliki kesejukan yang menyegarkan. Namun, saat energi itu mulai memasuki tubuhnya dalam jumlah yang lebih besar, tiba-tiba ia merasakan sakit luar biasa. "Aaaghh!" Remus menggertakkan giginya. Seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk jarum. Master Lao tetap tenang. "Jangan panik. Itu adalah tubuhmu yang menyesuaikan diri. Tarik napas dalam, lalu perlahan biarkan energinya mengalir ke pusat kekuatanmu di bawah pusar." Remus berusaha mengendalikan rasa sakitnya. Ia membiarkan energi itu bergerak lebih perlahan di dalam tubuhnya. Sedikit demi sedikit, rasa sakitnya berkurang, dan energi spiritual mulai mengalir lebih lancar. Beberapa hari berikutnya, Remus terus berlatih di lembah tersebut. Ia mulai bisa menyerap energi spiritual dalam jumlah yang lebih besar tanpa rasa sakit yang berlebihan. Namun, ada tantangan baru yang muncul. Energi spiritual di tempat itu ternyata tidak stabil. "Saat kau menyerap energi spiritual, kau juga harus menyesuaikan diri dengan sifatnya," jelas Master Lao. "Energi spiritual bukanlah sesuatu yang statis. Kadang lembut seperti air, kadang liar seperti badai. kau harus menyesuaikannya" Saat Remus sedang menyerap energi, tiba-tiba ia merasakan pusaran energi liar mendekatinya. "Ugh!" Dadanya terasa berat. Master Lao segera menekan pundaknya, menyalurkan energi stabil ke tubuhnya. "Jangan melawannya! Gunakan teknik pernapasanmu untuk menyeimbangkan energi itu!" Remus Mengikutinya, dan setelah beberapa saat, pusaran energi liar itu mulai tenang, dan Remus berhasil menyerapnya tanpa masalah. Master Lao mengangguk puas. "Bagus. Kau sudah mulai memahami esensi dari menyerap energi spiritual." "Setelah ini, aku akan melatihmu mengendalikan kekuatanmu," sambung Master Lao sambil tersenyum. *** Setelah beberapa hari mengkonsumsi batu spiritual dan ramuan herbal langka, tubuh Remus sudah jauh lebih baik. Kini saatnya ia benar-benar mulai berlatih. “Kita akan mulai dengan dasar yang paling penting—mengendalikan energi spiritual dalam tubuhmu,” kata Master Lao. Master Lao mengangkat tangannya. Seketika, udara di sekitarnya bergetar, dan butiran energi berwarna biru kehijauan mulai terkumpul di telapak tangannya. “Ini adalah energi spiritual yang telah dikendalikan. Dengan ini, kau bisa meningkatkan kekuatan fisik, menyembuhkan luka, dan bahkan menyerang lawan.” Remus memperhatikan dengan saksama. “Sekarang, kau coba.” Remus menarik napas dalam dan menutup matanya. Ia membayangkan energi spiritual mengalir dalam tubuhnya. Awalnya, tidak ada yang terjadi. Namun, setelah beberapa saat, ia mulai merasakan sesuatu—sebuah aliran kecil energi yang berkumpul di perutnya, lalu mengalir perlahan ke tangannya. Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Kau memiliki bakat alami.” Tapi sebelum Remus bisa merasa puas, Master Lao menambahkan, “Tapi ini baru permulaan. Jalanmu masih panjang.” Remus mengangguk dengan tekad membara.Tiga tahun telah berlalu sejak hari pertama Remus memulai latihannya di bawah bimbingan Master Lao. Selama waktu itu, ia telah melalui berbagai cobaan, dari mengendalikan energi spiritual hingga bertarung melawan makhluk buas. Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan tekad dan semangatnya yang tak tergoyahkan, Remus akhirnya berhasil menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Kini, tubuhnya telah berubah drastis—lebih kuat, lebih cepat, dan lebih tangguh.Remus berdiri di puncak tebing tempat ia sering berlatih, memandangi lembah yang selama ini menjadi rumah keduanya. Ia mengangkat tangannya dan merasakan energi spiritual yang mengalir deras di dalam tubuhnya, seperti sungai yang tak terbendung. Dengan satu gerakan jari, ia mampu memindahkan batu besar di seberang tebing hanya dengan tekanan energi yang tak kasatmata.Di belakangnya, Master Lao mengamati dengan senyum tipis. “Tidak buruk,” katanya. “Kau telah mencapai tahap yang bahkan tidak bisa dicapai oleh kebanyakan kultivator
Angin malam berhembus lembut saat Remus berdiri di puncak bukit terakhir sebelum meninggalkan lembah tempat ia berlatih selama tiga tahun terakhir. Di belakangnya, Master Lao berdiri dengan tangan terlipat, menatap muridnya yang kini telah siap menghadapi dunia luar.“Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, Remus,” kata Master Lao dengan suara tenang. “Kekuatan yang kau miliki saat ini jauh lebih besar daripada sebelumnya, tetapi itu bukan jaminan kemenangan. Musuh-musuhmu pasti sudah berkembang selama tiga tahun ini.”Remus mengangguk. “Aku mengerti, Master. Itulah mengapa aku tidak akan langsung kembali ke Kota Namado. Aku perlu mengumpulkan informasi terlebih dahulu.”Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Lalu, siapa orang yang akan kau hubungi?”Remus menatap ke kejauhan, matanya dipenuhi tekad. “Aku punya satu teman yang bisa kupercaya. Namanya Leon.”Setelah mengucapkan perpisahan kepada Master Lao, Remus mulai menapaki jalannya sendiri. Dengan kecepatan yang jauh melampaui
Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana.Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus.Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.”Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencol
Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.” Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini har
Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya.“Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.”Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.”Naya terdiam, pikirannya berkecamuk.“Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.”Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan.“Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan.Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.”Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar.***Malam itu, Naya duduk termenung di
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dari
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita b
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita b
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dari
Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya.“Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.”Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.”Naya terdiam, pikirannya berkecamuk.“Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.”Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan.“Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan.Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.”Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar.***Malam itu, Naya duduk termenung di
Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.” Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini har
Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana.Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus.Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.”Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencol
Angin malam berhembus lembut saat Remus berdiri di puncak bukit terakhir sebelum meninggalkan lembah tempat ia berlatih selama tiga tahun terakhir. Di belakangnya, Master Lao berdiri dengan tangan terlipat, menatap muridnya yang kini telah siap menghadapi dunia luar.“Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, Remus,” kata Master Lao dengan suara tenang. “Kekuatan yang kau miliki saat ini jauh lebih besar daripada sebelumnya, tetapi itu bukan jaminan kemenangan. Musuh-musuhmu pasti sudah berkembang selama tiga tahun ini.”Remus mengangguk. “Aku mengerti, Master. Itulah mengapa aku tidak akan langsung kembali ke Kota Namado. Aku perlu mengumpulkan informasi terlebih dahulu.”Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Lalu, siapa orang yang akan kau hubungi?”Remus menatap ke kejauhan, matanya dipenuhi tekad. “Aku punya satu teman yang bisa kupercaya. Namanya Leon.”Setelah mengucapkan perpisahan kepada Master Lao, Remus mulai menapaki jalannya sendiri. Dengan kecepatan yang jauh melampaui
Tiga tahun telah berlalu sejak hari pertama Remus memulai latihannya di bawah bimbingan Master Lao. Selama waktu itu, ia telah melalui berbagai cobaan, dari mengendalikan energi spiritual hingga bertarung melawan makhluk buas. Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan tekad dan semangatnya yang tak tergoyahkan, Remus akhirnya berhasil menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Kini, tubuhnya telah berubah drastis—lebih kuat, lebih cepat, dan lebih tangguh.Remus berdiri di puncak tebing tempat ia sering berlatih, memandangi lembah yang selama ini menjadi rumah keduanya. Ia mengangkat tangannya dan merasakan energi spiritual yang mengalir deras di dalam tubuhnya, seperti sungai yang tak terbendung. Dengan satu gerakan jari, ia mampu memindahkan batu besar di seberang tebing hanya dengan tekanan energi yang tak kasatmata.Di belakangnya, Master Lao mengamati dengan senyum tipis. “Tidak buruk,” katanya. “Kau telah mencapai tahap yang bahkan tidak bisa dicapai oleh kebanyakan kultivator
Seorang pria muda terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya penuh luka dan napasnya masih berat. Matanya terbuka perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah atap jerami pondok. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang pelan. "Di mana... aku?" gumamnya lemah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu seorang lelaki tua berambut putih panjang memasuki ruangan. Jubahnya sederhana, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan dan keteguhan yang luar biasa. "Kau akhirnya sadar," kata lelaki tua itu dengan nada tenang. Remus Can, pria yang terbaring lemah itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat dan nyaris tak bertenaga. Ia menggertakkan giginya, merasakan betapa lemahnya dirinya saat ini. "Siapa kau?" tanya Remus, menatap lelaki tua itu dengan penuh waspada. "Aku adalah Master Lao," jawab lelaki tua itu. "Aku menyelamatkanmu dari dasar jurang." Remus menelan ludah. "Kenapa kau menyelamatkanku?" Master Lao menghela napas, lalu d