Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.”
Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini harus tetap menjadi rahasia kita bertiga. Jika kabar ini bocor, semua rencana kita bisa berantakan.” Leon dan Marco mengangguk setuju. “Aku mengerti, Remus,” kata Leon. “Percayalah, aku tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun.” *** Setelah tiga tahun, akhirnya Remus bisa mengunjungi mereka. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan dulu—ia kembali bukan sebagai pria sukses yang bisa membanggakan mereka, melainkan sebagai seseorang yang harus bersembunyi dalam bayang-bayang. Setelah sekitar tiga puluh menit berkendara, mereka tiba di gerbang pemakaman tua. Tempat itu sepi dan diterangi cahaya bulan yang redup. Mereka keluar dari mobil, dan Marco berjalan lebih dulu, memimpin mereka ke arah dua makam yang berdiri berdampingan di sudut pemakaman. Batu nisan mereka sederhana, dengan tulisan yang hampir mulai pudar. Eveline Can Seorang ibu yang penuh kasih. Maria Helena Tersayang selamanya. Melihat nama-nama itu terukir di atas batu nisan, dada Remus terasa sesak. Ia berlutut di depan makam ibunya, mengusap batu nisan dengan lembut. “Ibu…” Angin malam berhembus pelan, membawa suara dedaunan yang berguguran. Remus menundukkan kepalanya, mencoba menahan emosi yang meluap di dadanya. Marco dan Leon berdiri beberapa langkah di belakang, memberi Remus ruang untuk menyendiri. “Aku minta maaf,” bisik Remus. “Aku tidak ada di sini saat itu. Aku tidak bisa melindungimu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…” Suara angin adalah satu-satunya jawaban yang ia dapatkan. Setelah beberapa saat, ia beralih ke makam Maria, tunangannya. Ia menatap nisan itu dengan mata berkaca-kaca. “Maria… aku kembali.” Kenangan tentang Maria membanjiri pikirannya—senyumnya, suaranya, cara dia tertawa ketika mereka bercanda bersama. Semua itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia masih bisa merasakan kehadirannya. “Aku berjanji, mereka yang melakukan ini padamu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja,” katanya dengan suara rendah. “Aku akan membuat mereka membayar semuanya.” Ia menutup matanya sejenak, mengatur napasnya, lalu berdiri. Leon menatapnya dengan khawatir. “Kau baik-baik saja?” Remus mengangguk pelan. “Ya.” Ia menatap kedua makam itu sekali lagi, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke mobil. Dalam perjalanan pulang, mereka tetap diam. Tidak ada yang merasa perlu untuk mengatakan apa pun. Setelah kembali ke rumah Leon, mereka duduk di ruang tamu. Leon akhirnya angkat bicara. “Apa langkah selanjutnya, Remus?” Remus menatapnya dengan serius. “Sekarang aku sudah melihat mereka untuk terakhir kali… aku harus fokus pada misiku. Aku akan menghancurkan Darius.” Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Dan bagaimana caramu melakukannya tanpa ketahuan?” Remus tersenyum kecil. “Aku punya beberapa ide.” Leon tertawa kecil. “Aku sudah bisa menebak kalau ini akan menjadi perjalanan yang gila.” Setelah semalaman menyusun strategi, Remus akhirnya memutuskan langkah berikutnya. Selain mengumpulkan informasi dari orang-orang yang masih setia, dia juga butuh seseorang yang memiliki akses lebih dalam ke jaringan Darius. Dan dia tahu siapa yang bisa membantunya. Naya! Wanita itu dulu adalah salah satu asistennya yang paling dipercaya. Cerdas, berani, dan selalu setia kepadanya. Tapi setelah Remus "menghilang," dia tidak tahu apakah Naya masih setia atau sudah berpihak kepada Darius. Leon mengerutkan kening saat mendengar rencana Remus. “Kau yakin ingin menemui Naya? Dia mungkin sudah berubah, Remus. Tidak semua orang sekuat Marco atau Martin dalam mempertahankan kesetiaannya.” Remus tersenyum tipis. “Aku harus mencobanya. Jika dia masih berada di dalam perusahaan, itu artinya dia punya akses ke informasi yang sangat berharga.” Marco menatapnya dengan serius. “Jika dia setia, dia akan menjadi aset yang sangat berguna. Tapi kalau dia sudah berpaling…” “Aku yang akan menanganinya.” Remus bangkit dari kursinya. “Atur pertemuan dengannya. Aku ingin bicara dengannya secara langsung.” Leon dan Marco saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk. *** Malam itu, di sebuah restoran mewah di pusat kota Namado, Naya duduk di salah satu meja VIP, sibuk menatap layar ponselnya. Sejak kepergian Remus, dia bekerja keras untuk mempertahankan posisinya di perusahaan yang kini dikuasai oleh Darius. Dia tidak punya pilihan selain bertahan, meskipun dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Tiba-tiba, seseorang duduk di hadapannya. “Sudah lama, Naya.” Naya mendongak, dan jantungnya seolah berhenti berdetak. Di hadapannya duduk seseorang yang seharusnya sudah mati. Mata itu, wajah itu—tidak salah lagi. “R-Remus?” suaranya bergetar, dan tangannya tanpa sadar menggenggam ujung meja. “Tidak… ini tidak mungkin…” Remus tersenyum tipis. “Kau berharap aku mati?” Naya masih terkejut, matanya berkaca-kaca. “Tidak… Aku…” Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mencerna semuanya. “Bagaimana… bagaimana bisa kau masih hidup?” “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar. Tapi yang perlu kau tahu, aku kembali untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku.” Naya menatapnya lekat-lekat. Ada emosi campur aduk dalam tatapannya—kelegaan, ketakutan, dan kebingungan. “Aku butuh bantuanmu, Naya,” lanjut Remus. “Aku ingin tahu siapa saja yang ada di dalam perusahaan. Siapa yang setia, siapa yang berkhianat, dan siapa yang bisa kita gunakan.” Naya menelan ludah. “Kau tahu ini berbahaya, kan? Jika Darius tahu kau masih hidup…” “Darius akan tahu cepat atau lambat,” potong Remus. “Pertanyaannya, kau ada di pihak siapa?”Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya. “Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.” Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.” Naya terdiam, pikirannya berkecamuk. “Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.” Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan. “Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan. Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.” Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar. *** Malam itu, Naya
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dariu
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita bi
Di dalam apartemen sewaan, suasana masih tegang setelah pencurian sukses mereka di gudang Darius. Dokumen-dokumen yang berserakan di meja menjadi saksi bisu betapa berbahayanya permainan yang baru saja mereka mulai. Leon memijat pelipisnya, mencoba mencerna setiap detail dalam berkas-berkas itu. "Ini lebih buruk dari yang kita kira," katanya. "Darius bukan hanya mengendalikan dunia bisnis gelap, tapi juga punya jaringan pembunuh bayaran di seluruh kota." Marco bersandar di kursi dengan tangan terlipat. "Dan kita baru saja mencuri catatan mereka. Dia pasti akan segera memburu kita." Remus menatap daftar target yang masih di tangannya. Nama-nama dalam daftar itu terus menghantuinya—para pejabat, pengusaha, dan tokoh penting yang menjadi sasaran eksekusi. Dan di antaranya, namanya sendiri tertulis dengan jelas. "Kita perlu mencari tahu siapa saja yang bisa menjadi sekutu kita," kata Remus akhirnya. "Darius terlalu besar untuk dijatuhkan hanya dengan tiga orang. Kita butuh lebih ba
Pagi itu, Remus, Leon, dan Marco masih berkutat dengan dokumen-dokumen yang mereka ambil dari gudang Darius. Beberapa di antaranya adalah catatan transaksi ilegal, jadwal pertemuan dengan pejabat korup, serta bukti pembayaran untuk pembunuh bayaran. Semua ini cukup untuk menghancurkan Darius, tapi mereka tahu bahwa langkah selanjutnya harus dipikirkan dengan matang. Leon melemparkan map yang dipegangnya ke atas meja. "Masalahnya, kita tidak bisa langsung menyerahkan ini ke polisi. Banyak orang di dalam sistem yang bekerja untuk Darius." Marco mengangguk. "Benar. Kalau kita serahkan bukti ini begitu saja, bisa-bisa justru kita yang diburu." Remus menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap daftar target yang ada di tangannya. Di antara nama-nama itu, selain dirinya, ada beberapa pengusaha besar, aktivis, hingga beberapa pejabat yang tampaknya menolak bekerja sama dengan Darius. "Aku punya ide," kata Remus akhirnya. Leon dan Marco menoleh padanya. "Kita buat kekacauan," l
Dua hari setelah pertemuan dengan Tessa, kota mulai bergemuruh dengan berita-berita yang menyerang jaringan bisnis ilegal Darius. Media mulai memberitakan skandal keuangan yang mengarah ke beberapa pejabat, sementara dunia bisnis heboh dengan bocornya transaksi ilegal yang mengguncang reputasi beberapa perusahaan besar. Di dalam persembunyiannya, Remus membaca berita itu di layar laptopnya, sementara Leon dan Marco duduk di sofa, sama-sama mencermati dampak dari langkah yang mereka ambil. "Tessa bekerja cepat," kata Marco sambil bersiul. "Darius pasti sedang berusaha keras menutup mulut semua orang yang bisa membahayakannya." Leon menyilangkan tangan di dada. "Tapi ini juga berarti dia akan semakin agresif. Kita harus bersiap." Remus menutup laptopnya dan menatap mereka. "Aku tidak berharap ini akan menjatuhkannya dalam semalam. Ini hanya langkah awal untuk membuatnya terpojok. Kita butuh lebih dari ini untuk benar-benar menghancurkannya." Leon menatapnya serius. "Dan apa ren
Di sebuah gedung pencakar langit di pusat Kota Namado, Darius duduk di ruang kantornya yang luas dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Di hadapannya, Victor berdiri dengan wajah memar dan jahitan di pelipisnya. Napasnya berat, menandakan bahwa luka-lukanya belum sepenuhnya pulih. Darius menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tatapan dingin. "Jadi, kau kembali dengan tangan kosong." Victor mengepalkan tinjunya. "Dia lebih kuat dari yang kita kira. Bukan hanya itu, dia juga sudah punya tim. Leon dan Marco ada bersamanya." Darius tersenyum kecil, tetapi ekspresi itu lebih menyeramkan daripada menyenangkan. "Jadi, Remus tidak hanya kembali… dia juga membangun kekuatannya." Victor mengangguk. "Kita harus segera bertindak sebelum dia semakin besar." Darius terdiam sejenak, lalu menekan tombol interkom di mejanya. "Bawa Tessa ke sini." Beberapa menit kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita berambut panjang dengan setelan jas elegan masuk. Tatapan matanya tajam
Remus duduk di kursi kayu di ruang persembunyian mereka, mengamati peta Kota Namado yang terbentang di atas meja. Cahaya redup dari lampu di langit-langit memberikan nuansa tegang dalam ruangan itu. Di sekelilingnya, Leon, Marco, dan Kane berdiri dengan ekspresi serius. Mereka baru saja menyusun strategi untuk melemahkan Darius dari dalam. "Kita tidak bisa terus bertahan," kata Leon, mengetuk peta dengan jarinya. "Jika kita hanya bertahan, Darius akan menghancurkan kita lebih dulu." Marco menatap layar laptopnya. "Aku sudah menelusuri jaringan keuangannya. Beberapa orang di dalamnya mulai meragukan kepemimpinannya. Terutama setelah serangan balasannya tadi malam." Kane mengangguk. "Itulah celah yang bisa kita manfaatkan. Kita buat orang-orangnya kehilangan kepercayaan pada Darius." Remus menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Siapa target pertama kita?" Marco mengetik beberapa saat sebelum sebuah nama muncul di layar. "Arnold Kessler. Dia adalah tangan kanan Darius dalam bisnis p
Remus berdiri di atas puncak gunung, menatap cakrawala yang luas. Setelah melalui serangkaian latihan yang berat, ia kini telah menguasai kelima elemen sepenuhnya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanannya. Master Tian berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi bangga namun penuh makna. "Remus, kau telah menyelesaikan semua pelatihan yang kuberikan. Kini saatnya kau kembali ke duniamu." Remus mengangguk, tetapi ada sedikit keraguan dalam benaknya. "Apa yang akan terjadi setelah aku kembali? Apakah kekuatanku akan tetap seperti ini?" Master Tian tersenyum tipis. "Kekuatanmu akan tetap ada, tetapi ingat satu hal, dunia nyatamu berbeda dengan tempat ini. Energi di sana lebih terbatas, dan hukum alamnya lebih ketat. Kau harus belajar menyesuaikan diri kembali." Remus mengerti. Ia telah melalui begitu banyak perubahan dalam dunia pelatihan ini, tetapi dunia nyatalah tempat di mana semuanya akan diuji. "Aku siap." Master Tian menjentikka
Remus berdiri di tengah puncak gunung, merasakan angin kencang yang menerpa wajahnya. Di hadapannya, Master Tian duduk bersila di atas batu, matanya terpejam seolah sedang menyatu dengan alam.“Kau ingin menjadi yang terkuat?” suara Master Tian terdengar tenang namun tegas.Remus mengangguk. "Ya. Aku tidak akan berhenti sampai aku mencapai puncak kekuatan."Master Tian membuka matanya perlahan, tatapannya tajam seperti elang. "Maka bersiaplah. Karena mulai hari ini, kau akan merasakan penderitaan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."Tanpa peringatan, Master Tian mengangkat tangannya.BOOM!Tekanan luar biasa tiba-tiba menghantam tubuh Remus. Ia terhempas ke belakang, tubuhnya terasa seperti dihantam gunung."Apa ini...?!"Udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi berat, seolah-olah dunia menolaknya.Master Tian berdiri dari tempatnya. "Ini adalah latihan pertamamu, Remus. Aku akan membuat tubuhmu terbiasa dengan tekanan energi dunia ini. Jika kau tidak bisa bertahan, maka kau tida
Cahaya menyelimuti tubuh Remus saat ia melewati gerbang emas. Sensasi luar biasa menyerang indranya—seolah-olah ia melangkah ke dalam kekosongan tanpa batas.Tubuhnya melayang, seakan tertarik oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia mencoba mengendalikan keseimbangannya, tetapi kekuatan itu terlalu kuat."Ke mana aku dibawa?"Saat kesadarannya hampir kabur, ia tiba-tiba merasakan tanah di bawah kakinya.Dunia baru telah menyambutnya.Remus membuka matanya perlahan.Pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.Di hadapannya terbentang daratan luas yang dipenuhi gunung-gunung raksasa, dengan langit berwarna ungu keemasan. Di kejauhan, sungai-sungai mengalir dengan air bercahaya, dan udara dipenuhi dengan energi spiritual yang jauh lebih murni dibandingkan dengan dunia sebelumnya."Tempat ini... berbeda dari semua yang pernah kulihat."Ia mencoba merasakan energinya sendiri, dan ia terkejut.Tubuhnya terasa lebih ringan, lebih kuat. Bahkan tanpa ia sadari, energi dalam d
Remus menggenggam kunci bercahaya di tangannya. Energinya terasa begitu murni, seolah-olah mengandung kekuatan dunia itu sendiri."Ini bukan sekadar artefak biasa," pikirnya.Penjaga berjubah hitam itu menatapnya dengan tajam. "Kau telah berhasil melewati ujian pertama, tapi perjalananmu masih panjang, Remus Can.""Apa yang harus kulakukan selanjutnya?" tanya Remus.Penjaga itu tersenyum samar. "Kunci itu akan membimbingmu. Tapi sebelum kau bisa membuka gerbang menuju dunia yang lebih tinggi, kau harus menguasai energi di tempat ini."Remus mengangguk. Ia tahu, meskipun kekuatannya sudah melampaui batas Alam Abadi di dunia lamanya, di tempat ini ia hanyalah seorang pemula."Kalau begitu, tunjukkan jalannya."Penjaga itu mengangkat tangannya, dan seketika, ruang di sekitar mereka berubah.Mereka sekarang berdiri di sebuah lembah yang dipenuhi kristal bercahaya. Energi spiritual di tempat ini begitu pekat hingga udara bergetar karenanya."Lembah ini disebut Lembah Langit Terlarang," kat
Remus berdiri di puncak bukit, angin pegunungan bertiup menerpa wajahnya. Matanya tajam menatap cakrawala. Setelah memahami batas kekuatannya, ia menyadari bahwa dunia ini sudah terlalu kecil untuknya. Ia mengingat setiap pertarungan, setiap langkah yang membawanya ke titik ini. "Tidak ada lagi yang bisa menantangku di dunia ini." Tapi ini bukan akhir. Kaisar Abadi mengatakan bahwa ada bencana besar yang akan datang. Dan Remus tahu, jika ia tetap di levelnya sekarang, ia tidak akan cukup kuat untuk menghadapinya. "Jika aku ingin melampaui Alam Abadi, aku harus mencari sesuatu yang lebih besar dari dunia ini." Tiba-tiba, dada Remus terasa sesak. Sebuah memori asing menyeruak dalam pikirannya—bukan miliknya, tapi seolah-olah seseorang sedang mencoba berkomunikasi dengannya. Ia melihat bayangan seorang pria berjubah hitam dengan mata bercahaya keemasan. Suara itu menggema di dalam kepalanya. "Kau sudah mencapai batas dunia ini, Remus. Jika ingin menerobos lebih jauh, datanglah ke
Remus membuka matanya. Udara dingin di pegunungan menyentuh kulitnya, membawa sensasi nyata bahwa ia telah kembali dari dimensi Kaisar Abadi. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata terakhir Kaisar Abadi. "Dunia ini akan menghadapi bencana besar... Dan hanya kau yang bisa menghentikannya." Remus menghela napas pelan. Ia tahu bahwa dirinya sudah berada di puncak kekuatan yang jauh melampaui manusia biasa, tetapi ia juga sadar bahwa masih ada batas yang belum bisa ia tembus. "Aku harus lebih kuat lagi…" gumamnya. Di dalam tubuhnya, energi spiritual berputar dengan stabil. Setelah pertarungan sengit di dimensi Kaisar Abadi, cadangan energinya memang sedikit berkurang, tetapi tidak sampai melemahkannya. Ia mencoba menyerap energi alam di sekitarnya. Energi spiritual di pegunungan ini cukup tinggi, tetapi ketika ia menyerapnya, efeknya hanya sedikit. Seolah-olah seteguk air di lautan yang luas. "Seperti yang kuduga, semakin tinggi kekuatanku, semakin sulit untuk berk
Remus berdiri di udara, tubuhnya diselimuti oleh cahaya keemasan yang begitu pekat. Energi yang baru saja ia serap dari lawannya masih mengalir dalam tubuhnya, memperkuat setiap serat otot dan nadinya. Namun, sesuatu terasa aneh. Langit yang tadinya cerah mendadak menjadi gelap. Petir berwarna ungu menyambar dari berbagai arah, dan tekanan spiritual yang sangat besar menyelimuti tempat itu. "Ini... apa?" gumam Remus, mengernyitkan dahi. Tiba-tiba, sebuah suara bergema dari langit. "Remus Can..." Suara itu begitu dalam, menggema seakan-akan datang dari berbagai arah sekaligus. Lalu, di kejauhan, sebuah celah hitam terbuka di langit. Dari dalamnya, muncul sosok berbalut jubah hitam dengan mata menyala merah darah. Energinya begitu kuat hingga udara di sekitar bergetar hebat. Remus mempersempit matanya. Instingnya langsung memberitahu satu hal: lawan ini jauh lebih berbahaya. Pria berjubah hitam itu melangkah maju, dan setiap langkahnya seolah mengguncang dunia. "Aku telah men
Remus menatap pria yang baru saja muncul dari bayangan. Aura yang terpancar darinya begitu menekan, membuat udara di sekitarnya bergetar. "Dewa Spiritus," gumamnya. Pria itu tersenyum tipis, matanya penuh ketenangan, tetapi juga menyimpan ancaman yang tak terbantahkan. "Kau telah membunuh banyak orangku," katanya dengan nada santai. "Aku harus mengakui, aku tidak mengira seseorang di Tahap Ketujuh akan bisa mencapai level ini dalam waktu singkat." Remus menyeringai. "Dan aku tidak mengira akan mendapatkan kesempatan untuk menyerap energi Dewa Spiritus hari ini." Pria itu mengangkat alis. "Menyerap energi lawanmu? Menarik… Tapi aku ingin tahu, apakah kemampuan itu masih bisa bekerja saat kau berhadapan dengan seseorang di levelku?" Dalam sekejap, ia menghilang. BOOM! Sebuah hantaman tiba-tiba menghantam tubuh Remus, melemparkannya ke udara. Remus berusaha menstabilkan dirinya, tetapi sebelum ia bisa bereaksi, pria itu sudah muncul di atasnya. "Celestial Palm." Tela
Remus berdiri diam, menatap tajam pria berpakaian hitam yang baru saja membunuh Darius. Udara di sekelilingnya mulai bergetar, tekanan energi yang luar biasa perlahan merembes keluar dari tubuhnya. "Aku tidak bisa membiarkan dia bicara," ulang pria itu dengan nada dingin. Remus mengepalkan tangannya. Mata emasnya berkilat, energi spiritual dalam tubuhnya mulai beresonansi. "Aku tidak peduli siapa pun yang menyuruhmu," katanya. "Tapi aku akan memastikan kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup." Pria itu tersenyum tipis. "Menarik. Kau masih punya keberanian untuk melawan?" Remus mengaktifkan Divine Sight, menganalisis energi lawannya. Tingkat Kultivasi Lawan: - Pria Berpakaian Hitam: Tahap Keenam – Penguasa Spiritus Remus tersenyum dingin. Lawannya berada di satu tingkat di atasnya, tapi itu bukan berarti dia tidak bisa menang. Pria berpakaian hitam itu menyerang lebih dulu. Dengan kecepatan luar biasa, dia menghilang dari pandangan sejenak sebelum muncul tepat