Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.”
Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini harus tetap menjadi rahasia kita bertiga. Jika kabar ini bocor, semua rencana kita bisa berantakan.” Leon dan Marco mengangguk setuju. “Aku mengerti, Remus,” kata Leon. “Percayalah, aku tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun.” *** Setelah tiga tahun, akhirnya Remus bisa mengunjungi mereka. Tapi tidak seperti yang ia bayangkan dulu—ia kembali bukan sebagai pria sukses yang bisa membanggakan mereka, melainkan sebagai seseorang yang harus bersembunyi dalam bayang-bayang. Setelah sekitar tiga puluh menit berkendara, mereka tiba di gerbang pemakaman tua. Tempat itu sepi dan diterangi cahaya bulan yang redup. Mereka keluar dari mobil, dan Marco berjalan lebih dulu, memimpin mereka ke arah dua makam yang berdiri berdampingan di sudut pemakaman. Batu nisan mereka sederhana, dengan tulisan yang hampir mulai pudar. Eveline Can Seorang ibu yang penuh kasih. Maria Helena Tersayang selamanya. Melihat nama-nama itu terukir di atas batu nisan, dada Remus terasa sesak. Ia berlutut di depan makam ibunya, mengusap batu nisan dengan lembut. “Ibu…” Angin malam berhembus pelan, membawa suara dedaunan yang berguguran. Remus menundukkan kepalanya, mencoba menahan emosi yang meluap di dadanya. Marco dan Leon berdiri beberapa langkah di belakang, memberi Remus ruang untuk menyendiri. “Aku minta maaf,” bisik Remus. “Aku tidak ada di sini saat itu. Aku tidak bisa melindungimu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi…” Suara angin adalah satu-satunya jawaban yang ia dapatkan. Setelah beberapa saat, ia beralih ke makam Maria, tunangannya. Ia menatap nisan itu dengan mata berkaca-kaca. “Maria… aku kembali.” Kenangan tentang Maria membanjiri pikirannya—senyumnya, suaranya, cara dia tertawa ketika mereka bercanda bersama. Semua itu terasa begitu nyata, seolah-olah ia masih bisa merasakan kehadirannya. “Aku berjanji, mereka yang melakukan ini padamu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja,” katanya dengan suara rendah. “Aku akan membuat mereka membayar semuanya.” Ia menutup matanya sejenak, mengatur napasnya, lalu berdiri. Leon menatapnya dengan khawatir. “Kau baik-baik saja?” Remus mengangguk pelan. “Ya.” Ia menatap kedua makam itu sekali lagi, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke mobil. Dalam perjalanan pulang, mereka tetap diam. Tidak ada yang merasa perlu untuk mengatakan apa pun. Setelah kembali ke rumah Leon, mereka duduk di ruang tamu. Leon akhirnya angkat bicara. “Apa langkah selanjutnya, Remus?” Remus menatapnya dengan serius. “Sekarang aku sudah melihat mereka untuk terakhir kali… aku harus fokus pada misiku. Aku akan menghancurkan Darius.” Leon menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Dan bagaimana caramu melakukannya tanpa ketahuan?” Remus tersenyum kecil. “Aku punya beberapa ide.” Leon tertawa kecil. “Aku sudah bisa menebak kalau ini akan menjadi perjalanan yang gila.” Setelah semalaman menyusun strategi, Remus akhirnya memutuskan langkah berikutnya. Selain mengumpulkan informasi dari orang-orang yang masih setia, dia juga butuh seseorang yang memiliki akses lebih dalam ke jaringan Darius. Dan dia tahu siapa yang bisa membantunya. Naya! Wanita itu dulu adalah salah satu asistennya yang paling dipercaya. Cerdas, berani, dan selalu setia kepadanya. Tapi setelah Remus "menghilang," dia tidak tahu apakah Naya masih setia atau sudah berpihak kepada Darius. Leon mengerutkan kening saat mendengar rencana Remus. “Kau yakin ingin menemui Naya? Dia mungkin sudah berubah, Remus. Tidak semua orang sekuat Marco atau Martin dalam mempertahankan kesetiaannya.” Remus tersenyum tipis. “Aku harus mencobanya. Jika dia masih berada di dalam perusahaan, itu artinya dia punya akses ke informasi yang sangat berharga.” Marco menatapnya dengan serius. “Jika dia setia, dia akan menjadi aset yang sangat berguna. Tapi kalau dia sudah berpaling…” “Aku yang akan menanganinya.” Remus bangkit dari kursinya. “Atur pertemuan dengannya. Aku ingin bicara dengannya secara langsung.” Leon dan Marco saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk. *** Malam itu, di sebuah restoran mewah di pusat kota Namado, Naya duduk di salah satu meja VIP, sibuk menatap layar ponselnya. Sejak kepergian Remus, dia bekerja keras untuk mempertahankan posisinya di perusahaan yang kini dikuasai oleh Darius. Dia tidak punya pilihan selain bertahan, meskipun dalam hatinya, dia tahu ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Tiba-tiba, seseorang duduk di hadapannya. “Sudah lama, Naya.” Naya mendongak, dan jantungnya seolah berhenti berdetak. Di hadapannya duduk seseorang yang seharusnya sudah mati. Mata itu, wajah itu—tidak salah lagi. “R-Remus?” suaranya bergetar, dan tangannya tanpa sadar menggenggam ujung meja. “Tidak… ini tidak mungkin…” Remus tersenyum tipis. “Kau berharap aku mati?” Naya masih terkejut, matanya berkaca-kaca. “Tidak… Aku…” Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mencerna semuanya. “Bagaimana… bagaimana bisa kau masih hidup?” “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan panjang lebar. Tapi yang perlu kau tahu, aku kembali untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku.” Naya menatapnya lekat-lekat. Ada emosi campur aduk dalam tatapannya—kelegaan, ketakutan, dan kebingungan. “Aku butuh bantuanmu, Naya,” lanjut Remus. “Aku ingin tahu siapa saja yang ada di dalam perusahaan. Siapa yang setia, siapa yang berkhianat, dan siapa yang bisa kita gunakan.” Naya menelan ludah. “Kau tahu ini berbahaya, kan? Jika Darius tahu kau masih hidup…” “Darius akan tahu cepat atau lambat,” potong Remus. “Pertanyaannya, kau ada di pihak siapa?”Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya.“Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.”Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.”Naya terdiam, pikirannya berkecamuk.“Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.”Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan.“Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan.Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.”Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar.***Malam itu, Naya duduk termenung di
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dari
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita b
Seorang pria muda terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya penuh luka dan napasnya masih berat. Matanya terbuka perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah atap jerami pondok. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang pelan. "Di mana... aku?" gumamnya lemah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu seorang lelaki tua berambut putih panjang memasuki ruangan. Jubahnya sederhana, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan dan keteguhan yang luar biasa. "Kau akhirnya sadar," kata lelaki tua itu dengan nada tenang. Remus Can, pria yang terbaring lemah itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat dan nyaris tak bertenaga. Ia menggertakkan giginya, merasakan betapa lemahnya dirinya saat ini. "Siapa kau?" tanya Remus, menatap lelaki tua itu dengan penuh waspada. "Aku adalah Master Lao," jawab lelaki tua itu. "Aku menyelamatkanmu dari dasar jurang." Remus menelan ludah. "Kenapa kau menyelamatkanku?" Master Lao menghela napas, lalu d
Tiga tahun telah berlalu sejak hari pertama Remus memulai latihannya di bawah bimbingan Master Lao. Selama waktu itu, ia telah melalui berbagai cobaan, dari mengendalikan energi spiritual hingga bertarung melawan makhluk buas. Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan tekad dan semangatnya yang tak tergoyahkan, Remus akhirnya berhasil menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Kini, tubuhnya telah berubah drastis—lebih kuat, lebih cepat, dan lebih tangguh.Remus berdiri di puncak tebing tempat ia sering berlatih, memandangi lembah yang selama ini menjadi rumah keduanya. Ia mengangkat tangannya dan merasakan energi spiritual yang mengalir deras di dalam tubuhnya, seperti sungai yang tak terbendung. Dengan satu gerakan jari, ia mampu memindahkan batu besar di seberang tebing hanya dengan tekanan energi yang tak kasatmata.Di belakangnya, Master Lao mengamati dengan senyum tipis. “Tidak buruk,” katanya. “Kau telah mencapai tahap yang bahkan tidak bisa dicapai oleh kebanyakan kultivator
Angin malam berhembus lembut saat Remus berdiri di puncak bukit terakhir sebelum meninggalkan lembah tempat ia berlatih selama tiga tahun terakhir. Di belakangnya, Master Lao berdiri dengan tangan terlipat, menatap muridnya yang kini telah siap menghadapi dunia luar.“Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, Remus,” kata Master Lao dengan suara tenang. “Kekuatan yang kau miliki saat ini jauh lebih besar daripada sebelumnya, tetapi itu bukan jaminan kemenangan. Musuh-musuhmu pasti sudah berkembang selama tiga tahun ini.”Remus mengangguk. “Aku mengerti, Master. Itulah mengapa aku tidak akan langsung kembali ke Kota Namado. Aku perlu mengumpulkan informasi terlebih dahulu.”Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Lalu, siapa orang yang akan kau hubungi?”Remus menatap ke kejauhan, matanya dipenuhi tekad. “Aku punya satu teman yang bisa kupercaya. Namanya Leon.”Setelah mengucapkan perpisahan kepada Master Lao, Remus mulai menapaki jalannya sendiri. Dengan kecepatan yang jauh melampaui
Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana.Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus.Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.”Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencol
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita b
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dari
Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya.“Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.”Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.”Naya terdiam, pikirannya berkecamuk.“Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.”Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan.“Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan.Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.”Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar.***Malam itu, Naya duduk termenung di
Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.” Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini har
Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana.Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus.Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.”Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencol
Angin malam berhembus lembut saat Remus berdiri di puncak bukit terakhir sebelum meninggalkan lembah tempat ia berlatih selama tiga tahun terakhir. Di belakangnya, Master Lao berdiri dengan tangan terlipat, menatap muridnya yang kini telah siap menghadapi dunia luar.“Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, Remus,” kata Master Lao dengan suara tenang. “Kekuatan yang kau miliki saat ini jauh lebih besar daripada sebelumnya, tetapi itu bukan jaminan kemenangan. Musuh-musuhmu pasti sudah berkembang selama tiga tahun ini.”Remus mengangguk. “Aku mengerti, Master. Itulah mengapa aku tidak akan langsung kembali ke Kota Namado. Aku perlu mengumpulkan informasi terlebih dahulu.”Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Lalu, siapa orang yang akan kau hubungi?”Remus menatap ke kejauhan, matanya dipenuhi tekad. “Aku punya satu teman yang bisa kupercaya. Namanya Leon.”Setelah mengucapkan perpisahan kepada Master Lao, Remus mulai menapaki jalannya sendiri. Dengan kecepatan yang jauh melampaui
Tiga tahun telah berlalu sejak hari pertama Remus memulai latihannya di bawah bimbingan Master Lao. Selama waktu itu, ia telah melalui berbagai cobaan, dari mengendalikan energi spiritual hingga bertarung melawan makhluk buas. Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan tekad dan semangatnya yang tak tergoyahkan, Remus akhirnya berhasil menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Kini, tubuhnya telah berubah drastis—lebih kuat, lebih cepat, dan lebih tangguh.Remus berdiri di puncak tebing tempat ia sering berlatih, memandangi lembah yang selama ini menjadi rumah keduanya. Ia mengangkat tangannya dan merasakan energi spiritual yang mengalir deras di dalam tubuhnya, seperti sungai yang tak terbendung. Dengan satu gerakan jari, ia mampu memindahkan batu besar di seberang tebing hanya dengan tekanan energi yang tak kasatmata.Di belakangnya, Master Lao mengamati dengan senyum tipis. “Tidak buruk,” katanya. “Kau telah mencapai tahap yang bahkan tidak bisa dicapai oleh kebanyakan kultivator
Seorang pria muda terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya penuh luka dan napasnya masih berat. Matanya terbuka perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah atap jerami pondok. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang pelan. "Di mana... aku?" gumamnya lemah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu seorang lelaki tua berambut putih panjang memasuki ruangan. Jubahnya sederhana, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan dan keteguhan yang luar biasa. "Kau akhirnya sadar," kata lelaki tua itu dengan nada tenang. Remus Can, pria yang terbaring lemah itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat dan nyaris tak bertenaga. Ia menggertakkan giginya, merasakan betapa lemahnya dirinya saat ini. "Siapa kau?" tanya Remus, menatap lelaki tua itu dengan penuh waspada. "Aku adalah Master Lao," jawab lelaki tua itu. "Aku menyelamatkanmu dari dasar jurang." Remus menelan ludah. "Kenapa kau menyelamatkanku?" Master Lao menghela napas, lalu d