Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana. Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus. Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.” Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencolok, tetapi cukup nyaman. Kau bisa tinggal di sana sementara waktu.” Remus tersenyum tipis. “Kau selalu bisa diandalkan, Leon.” Perjalanan menuju distrik barat memakan waktu hampir satu jam. Mereka memilih jalur yang lebih sepi, menghindari pusat kota agar tidak menarik perhatian. Remus mengenakan hoodie hitam dan topi untuk menyembunyikan wajahnya, sementara Leon mengemudikan mobil tua miliknya dengan santai, sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan mereka tidak diikuti. “Aku masih tidak percaya kau benar-benar kembali,” kata Leon sambil tersenyum kecil. “Dulu, aku berpikir kalaupun kau selamat, kau pasti sudah pergi jauh dan tak akan kembali.” Remus menatap keluar jendela, melihat bangunan-bangunan yang dulu akrab baginya. “Aku tidak bisa pergi begitu saja tanpa menyelesaikan ini, Leon. Mereka mengambil segalanya dariku—ibuku, tunanganku, hidupku. Aku harus memastikan mereka membayar untuk itu.” Leon mengangguk pelan, memahami perasaan sahabatnya. “Aku mengerti. Tapi tetap saja, kau harus berhati-hati. Darius bukan orang yang sama seperti dulu. Setelah mengambil alih asetmu, dia menjadi semakin kuat dan berpengaruh. Tidak akan mudah untuk menjatuhkannya.” Remus tersenyum samar. “Aku tidak berharap ini mudah. Kalau terlalu mudah, tidak akan ada kepuasan di dalamnya.” Leon tertawa kecil. “Kau memang masih seperti dulu, hanya saja… lebih menakutkan sekarang.” Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di distrik barat, sebuah area yang lebih tenang dibandingkan pusat kota. Rumah Leon berada di sebuah gang kecil yang cukup tersembunyi, jauh dari keramaian. “Ini dia,” kata Leon sambil mematikan mesin mobil. “Tidak mewah, tapi cukup untuk sementara.” Remus mengamati rumah itu—bangunan kecil dengan cat yang mulai memudar, tetapi tampak kokoh. Ini bukan tempat yang buruk untuk bersembunyi sementara waktu. Mereka masuk ke dalam rumah, dan Leon langsung menuju dapur untuk mengambil dua botol bir. Ia melempar satu ke arah Remus, yang menangkapnya dengan mudah. “Kita perlu santai sedikit sebelum mulai merencanakan sesuatu,” kata Leon sambil membuka botolnya dan menyesap isinya. Remus tertawa kecil, lalu ikut membuka botolnya. “Aku setuju.” Malam itu, mereka berbicara banyak hal—tentang masa lalu, tentang bagaimana keadaan Kota Namado sekarang, dan tentang orang-orang yang sekarang memegang kendali. Keesokan paginya, Remus berdiri di balkon kecil rumah Leon, menatap matahari yang mulai naik di ufuk timur. Hari ini, ia akan mulai bergerak. Leon keluar dengan secangkir kopi di tangannya. “Kau sudah berpikir tentang langkah pertama?” Remus mengangguk. “Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Aku butuh informasi—tentang Darius, tentang orang-orang yang bersekutu dengannya, dan tentang siapa yang benar-benar menarik tali di balik semua ini.” Leon menyeruput kopinya. “Aku mengenal beberapa orang yang bisa membantumu. Tapi mereka tidak akan bicara secara cuma-cuma.” Remus tersenyum tipis. “Aku bisa meyakinkan mereka.” Leon tertawa kecil. “Baiklah, kalau begitu, mari kita mulai.” Mereka menghabiskan hari itu dengan mengunjungi beberapa tempat di sekitar kota, bertemu dengan orang-orang yang dulu bekerja di bawah Remus. Beberapa dari mereka sudah pindah atau menghilang, tetapi ada juga yang masih bertahan dan bersedia memberikan informasi. Salah satu yang mereka temui adalah seorang pria tua bernama Marco, mantan akuntan Remus yang kini bekerja sebagai pemilik toko kecil di pinggiran kota. Saat melihat Remus, Marco terkejut. “Tuan Remus… Anda masih hidup?” Remus tersenyum. “Ya, Marco. Dan aku butuh bantuanmu.” Pria tua itu menelan ludah, lalu mengangguk. “Tentu saja, apa pun yang bisa saya lakukan.” Mereka duduk di dalam toko kecil Marco, dan Remus mulai bertanya tentang apa yang terjadi setelah ‘kematiannya’. “Setelah Anda menghilang, Darius mengambil alih seluruh aset Anda dengan cepat,” kata Marco. “Ia mengklaim bahwa semua aset itu telah dipindahkan ke namanya sebelum kejadian tragis itu terjadi. Banyak orang meragukan keabsahan dokumen itu, tetapi tidak ada yang berani menentangnya.” Remus menyipitkan mata. “Jadi dia sudah menyiapkan segalanya bahkan sebelum aku jatuh ke jurang…” Marco mengangguk. “Benar. Dan sekarang, dia bekerja sama dengan beberapa kelompok mafia untuk mengamankan posisinya.” Leon yang duduk di sebelah Remus menghela napas. “Ini semakin rumit.” Remus menatap Marco dengan tajam. “Siapa yang paling dekat dengan Darius sekarang?” Marco berpikir sejenak. “Ada seorang pria bernama Victor. Dia adalah tangan kanan Darius dan bertanggung jawab atas semua bisnis ilegal yang mereka jalankan.” “Dimana aku bisa menemukannya?” Marco ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Dia sering terlihat di klub malam bernama Black Diamond di pusat kota. Itu tempat eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu.” Remus tersenyum tipis. “Baik. Aku akan menemukan cara untuk masuk ke sana.” Marco menatapnya dengan khawatir. “Hati-hati, Tuan Remus. Tempat itu penuh dengan orang-orang berbahaya.” Remus berdiri. “Aku tahu, Marco. Terima kasih atas informasinya.” Saat malam tiba, Remus, Marco dan Leon kembali ke rumah kecil di distrik barat. Mereka duduk di meja dapur, membahas rencana mereka. “Jadi, kau benar-benar ingin masuk ke Black Diamond?” tanya Leon. Remus mengangguk. “Itu satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi lebih dalam.” Leon menghela napas. “Baiklah. Aku akan mencari cara agar kau bisa masuk tanpa menimbulkan kecurigaan.” Remus menatap sahabatnya. “Terima kasih, Leon. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa bantuanmu.” Leon tertawa. “Kau pasti akan tetap menemukan cara, meskipun lebih berantakan.” Remus tersenyum, lalu menatap keluar jendela. Kota Namado berkilauan dalam gelap, tetapi di balik semua cahaya itu, ada bayangan yang menyembunyikan banyak rahasia. Malam telah larut ketika Remus duduk di sofa kecil di ruang tamu rumah Leon. Setelah mendapatkan informasi penting tentang Darius dan orang-orang di sekelilingnya, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Ia menatap Leon dengan mata penuh pertanyaan. “Leon… aku ingin tahu sesuatu.” Leon yang sedang menyesap kopi menoleh. “Apa itu?” Remus menghela napas pelan. “Ibuku dan Maria… apakah mereka dimakamkan dengan layak?” Leon terdiam sejenak, menatap sahabatnya dengan ekspresi sulit dibaca. Ia meletakkan cangkirnya, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Ya, mereka dimakamkan. Tapi…” “Tapi apa?” Remus menatapnya tajam.Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.” Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. I
Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya. “Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.” Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.” Naya terdiam, pikirannya berkecamuk. “Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.” Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan. “Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan. Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.” Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar. *** Malam itu, Naya
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dariu
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita bi
Di dalam apartemen sewaan, suasana masih tegang setelah pencurian sukses mereka di gudang Darius. Dokumen-dokumen yang berserakan di meja menjadi saksi bisu betapa berbahayanya permainan yang baru saja mereka mulai. Leon memijat pelipisnya, mencoba mencerna setiap detail dalam berkas-berkas itu. "Ini lebih buruk dari yang kita kira," katanya. "Darius bukan hanya mengendalikan dunia bisnis gelap, tapi juga punya jaringan pembunuh bayaran di seluruh kota." Marco bersandar di kursi dengan tangan terlipat. "Dan kita baru saja mencuri catatan mereka. Dia pasti akan segera memburu kita." Remus menatap daftar target yang masih di tangannya. Nama-nama dalam daftar itu terus menghantuinya—para pejabat, pengusaha, dan tokoh penting yang menjadi sasaran eksekusi. Dan di antaranya, namanya sendiri tertulis dengan jelas. "Kita perlu mencari tahu siapa saja yang bisa menjadi sekutu kita," kata Remus akhirnya. "Darius terlalu besar untuk dijatuhkan hanya dengan tiga orang. Kita butuh lebih ba
Pagi itu, Remus, Leon, dan Marco masih berkutat dengan dokumen-dokumen yang mereka ambil dari gudang Darius. Beberapa di antaranya adalah catatan transaksi ilegal, jadwal pertemuan dengan pejabat korup, serta bukti pembayaran untuk pembunuh bayaran. Semua ini cukup untuk menghancurkan Darius, tapi mereka tahu bahwa langkah selanjutnya harus dipikirkan dengan matang. Leon melemparkan map yang dipegangnya ke atas meja. "Masalahnya, kita tidak bisa langsung menyerahkan ini ke polisi. Banyak orang di dalam sistem yang bekerja untuk Darius." Marco mengangguk. "Benar. Kalau kita serahkan bukti ini begitu saja, bisa-bisa justru kita yang diburu." Remus menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap daftar target yang ada di tangannya. Di antara nama-nama itu, selain dirinya, ada beberapa pengusaha besar, aktivis, hingga beberapa pejabat yang tampaknya menolak bekerja sama dengan Darius. "Aku punya ide," kata Remus akhirnya. Leon dan Marco menoleh padanya. "Kita buat kekacauan," l
Dua hari setelah pertemuan dengan Tessa, kota mulai bergemuruh dengan berita-berita yang menyerang jaringan bisnis ilegal Darius. Media mulai memberitakan skandal keuangan yang mengarah ke beberapa pejabat, sementara dunia bisnis heboh dengan bocornya transaksi ilegal yang mengguncang reputasi beberapa perusahaan besar. Di dalam persembunyiannya, Remus membaca berita itu di layar laptopnya, sementara Leon dan Marco duduk di sofa, sama-sama mencermati dampak dari langkah yang mereka ambil. "Tessa bekerja cepat," kata Marco sambil bersiul. "Darius pasti sedang berusaha keras menutup mulut semua orang yang bisa membahayakannya." Leon menyilangkan tangan di dada. "Tapi ini juga berarti dia akan semakin agresif. Kita harus bersiap." Remus menutup laptopnya dan menatap mereka. "Aku tidak berharap ini akan menjatuhkannya dalam semalam. Ini hanya langkah awal untuk membuatnya terpojok. Kita butuh lebih dari ini untuk benar-benar menghancurkannya." Leon menatapnya serius. "Dan apa ren
Di sebuah gedung pencakar langit di pusat Kota Namado, Darius duduk di ruang kantornya yang luas dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Di hadapannya, Victor berdiri dengan wajah memar dan jahitan di pelipisnya. Napasnya berat, menandakan bahwa luka-lukanya belum sepenuhnya pulih. Darius menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tatapan dingin. "Jadi, kau kembali dengan tangan kosong." Victor mengepalkan tinjunya. "Dia lebih kuat dari yang kita kira. Bukan hanya itu, dia juga sudah punya tim. Leon dan Marco ada bersamanya." Darius tersenyum kecil, tetapi ekspresi itu lebih menyeramkan daripada menyenangkan. "Jadi, Remus tidak hanya kembali… dia juga membangun kekuatannya." Victor mengangguk. "Kita harus segera bertindak sebelum dia semakin besar." Darius terdiam sejenak, lalu menekan tombol interkom di mejanya. "Bawa Tessa ke sini." Beberapa menit kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita berambut panjang dengan setelan jas elegan masuk. Tatapan matanya tajam
Remus berdiri di atas puncak gunung, menatap cakrawala yang luas. Setelah melalui serangkaian latihan yang berat, ia kini telah menguasai kelima elemen sepenuhnya. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanannya. Master Tian berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi bangga namun penuh makna. "Remus, kau telah menyelesaikan semua pelatihan yang kuberikan. Kini saatnya kau kembali ke duniamu." Remus mengangguk, tetapi ada sedikit keraguan dalam benaknya. "Apa yang akan terjadi setelah aku kembali? Apakah kekuatanku akan tetap seperti ini?" Master Tian tersenyum tipis. "Kekuatanmu akan tetap ada, tetapi ingat satu hal, dunia nyatamu berbeda dengan tempat ini. Energi di sana lebih terbatas, dan hukum alamnya lebih ketat. Kau harus belajar menyesuaikan diri kembali." Remus mengerti. Ia telah melalui begitu banyak perubahan dalam dunia pelatihan ini, tetapi dunia nyatalah tempat di mana semuanya akan diuji. "Aku siap." Master Tian menjentikka
Remus berdiri di tengah puncak gunung, merasakan angin kencang yang menerpa wajahnya. Di hadapannya, Master Tian duduk bersila di atas batu, matanya terpejam seolah sedang menyatu dengan alam.“Kau ingin menjadi yang terkuat?” suara Master Tian terdengar tenang namun tegas.Remus mengangguk. "Ya. Aku tidak akan berhenti sampai aku mencapai puncak kekuatan."Master Tian membuka matanya perlahan, tatapannya tajam seperti elang. "Maka bersiaplah. Karena mulai hari ini, kau akan merasakan penderitaan yang belum pernah kau bayangkan sebelumnya."Tanpa peringatan, Master Tian mengangkat tangannya.BOOM!Tekanan luar biasa tiba-tiba menghantam tubuh Remus. Ia terhempas ke belakang, tubuhnya terasa seperti dihantam gunung."Apa ini...?!"Udara di sekitarnya tiba-tiba menjadi berat, seolah-olah dunia menolaknya.Master Tian berdiri dari tempatnya. "Ini adalah latihan pertamamu, Remus. Aku akan membuat tubuhmu terbiasa dengan tekanan energi dunia ini. Jika kau tidak bisa bertahan, maka kau tida
Cahaya menyelimuti tubuh Remus saat ia melewati gerbang emas. Sensasi luar biasa menyerang indranya—seolah-olah ia melangkah ke dalam kekosongan tanpa batas.Tubuhnya melayang, seakan tertarik oleh kekuatan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia mencoba mengendalikan keseimbangannya, tetapi kekuatan itu terlalu kuat."Ke mana aku dibawa?"Saat kesadarannya hampir kabur, ia tiba-tiba merasakan tanah di bawah kakinya.Dunia baru telah menyambutnya.Remus membuka matanya perlahan.Pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.Di hadapannya terbentang daratan luas yang dipenuhi gunung-gunung raksasa, dengan langit berwarna ungu keemasan. Di kejauhan, sungai-sungai mengalir dengan air bercahaya, dan udara dipenuhi dengan energi spiritual yang jauh lebih murni dibandingkan dengan dunia sebelumnya."Tempat ini... berbeda dari semua yang pernah kulihat."Ia mencoba merasakan energinya sendiri, dan ia terkejut.Tubuhnya terasa lebih ringan, lebih kuat. Bahkan tanpa ia sadari, energi dalam d
Remus menggenggam kunci bercahaya di tangannya. Energinya terasa begitu murni, seolah-olah mengandung kekuatan dunia itu sendiri."Ini bukan sekadar artefak biasa," pikirnya.Penjaga berjubah hitam itu menatapnya dengan tajam. "Kau telah berhasil melewati ujian pertama, tapi perjalananmu masih panjang, Remus Can.""Apa yang harus kulakukan selanjutnya?" tanya Remus.Penjaga itu tersenyum samar. "Kunci itu akan membimbingmu. Tapi sebelum kau bisa membuka gerbang menuju dunia yang lebih tinggi, kau harus menguasai energi di tempat ini."Remus mengangguk. Ia tahu, meskipun kekuatannya sudah melampaui batas Alam Abadi di dunia lamanya, di tempat ini ia hanyalah seorang pemula."Kalau begitu, tunjukkan jalannya."Penjaga itu mengangkat tangannya, dan seketika, ruang di sekitar mereka berubah.Mereka sekarang berdiri di sebuah lembah yang dipenuhi kristal bercahaya. Energi spiritual di tempat ini begitu pekat hingga udara bergetar karenanya."Lembah ini disebut Lembah Langit Terlarang," kat
Remus berdiri di puncak bukit, angin pegunungan bertiup menerpa wajahnya. Matanya tajam menatap cakrawala. Setelah memahami batas kekuatannya, ia menyadari bahwa dunia ini sudah terlalu kecil untuknya. Ia mengingat setiap pertarungan, setiap langkah yang membawanya ke titik ini. "Tidak ada lagi yang bisa menantangku di dunia ini." Tapi ini bukan akhir. Kaisar Abadi mengatakan bahwa ada bencana besar yang akan datang. Dan Remus tahu, jika ia tetap di levelnya sekarang, ia tidak akan cukup kuat untuk menghadapinya. "Jika aku ingin melampaui Alam Abadi, aku harus mencari sesuatu yang lebih besar dari dunia ini." Tiba-tiba, dada Remus terasa sesak. Sebuah memori asing menyeruak dalam pikirannya—bukan miliknya, tapi seolah-olah seseorang sedang mencoba berkomunikasi dengannya. Ia melihat bayangan seorang pria berjubah hitam dengan mata bercahaya keemasan. Suara itu menggema di dalam kepalanya. "Kau sudah mencapai batas dunia ini, Remus. Jika ingin menerobos lebih jauh, datanglah ke
Remus membuka matanya. Udara dingin di pegunungan menyentuh kulitnya, membawa sensasi nyata bahwa ia telah kembali dari dimensi Kaisar Abadi. Namun, pikirannya masih dipenuhi dengan kata-kata terakhir Kaisar Abadi. "Dunia ini akan menghadapi bencana besar... Dan hanya kau yang bisa menghentikannya." Remus menghela napas pelan. Ia tahu bahwa dirinya sudah berada di puncak kekuatan yang jauh melampaui manusia biasa, tetapi ia juga sadar bahwa masih ada batas yang belum bisa ia tembus. "Aku harus lebih kuat lagi…" gumamnya. Di dalam tubuhnya, energi spiritual berputar dengan stabil. Setelah pertarungan sengit di dimensi Kaisar Abadi, cadangan energinya memang sedikit berkurang, tetapi tidak sampai melemahkannya. Ia mencoba menyerap energi alam di sekitarnya. Energi spiritual di pegunungan ini cukup tinggi, tetapi ketika ia menyerapnya, efeknya hanya sedikit. Seolah-olah seteguk air di lautan yang luas. "Seperti yang kuduga, semakin tinggi kekuatanku, semakin sulit untuk berk
Remus berdiri di udara, tubuhnya diselimuti oleh cahaya keemasan yang begitu pekat. Energi yang baru saja ia serap dari lawannya masih mengalir dalam tubuhnya, memperkuat setiap serat otot dan nadinya. Namun, sesuatu terasa aneh. Langit yang tadinya cerah mendadak menjadi gelap. Petir berwarna ungu menyambar dari berbagai arah, dan tekanan spiritual yang sangat besar menyelimuti tempat itu. "Ini... apa?" gumam Remus, mengernyitkan dahi. Tiba-tiba, sebuah suara bergema dari langit. "Remus Can..." Suara itu begitu dalam, menggema seakan-akan datang dari berbagai arah sekaligus. Lalu, di kejauhan, sebuah celah hitam terbuka di langit. Dari dalamnya, muncul sosok berbalut jubah hitam dengan mata menyala merah darah. Energinya begitu kuat hingga udara di sekitar bergetar hebat. Remus mempersempit matanya. Instingnya langsung memberitahu satu hal: lawan ini jauh lebih berbahaya. Pria berjubah hitam itu melangkah maju, dan setiap langkahnya seolah mengguncang dunia. "Aku telah men
Remus menatap pria yang baru saja muncul dari bayangan. Aura yang terpancar darinya begitu menekan, membuat udara di sekitarnya bergetar. "Dewa Spiritus," gumamnya. Pria itu tersenyum tipis, matanya penuh ketenangan, tetapi juga menyimpan ancaman yang tak terbantahkan. "Kau telah membunuh banyak orangku," katanya dengan nada santai. "Aku harus mengakui, aku tidak mengira seseorang di Tahap Ketujuh akan bisa mencapai level ini dalam waktu singkat." Remus menyeringai. "Dan aku tidak mengira akan mendapatkan kesempatan untuk menyerap energi Dewa Spiritus hari ini." Pria itu mengangkat alis. "Menyerap energi lawanmu? Menarik… Tapi aku ingin tahu, apakah kemampuan itu masih bisa bekerja saat kau berhadapan dengan seseorang di levelku?" Dalam sekejap, ia menghilang. BOOM! Sebuah hantaman tiba-tiba menghantam tubuh Remus, melemparkannya ke udara. Remus berusaha menstabilkan dirinya, tetapi sebelum ia bisa bereaksi, pria itu sudah muncul di atasnya. "Celestial Palm." Tela
Remus berdiri diam, menatap tajam pria berpakaian hitam yang baru saja membunuh Darius. Udara di sekelilingnya mulai bergetar, tekanan energi yang luar biasa perlahan merembes keluar dari tubuhnya. "Aku tidak bisa membiarkan dia bicara," ulang pria itu dengan nada dingin. Remus mengepalkan tangannya. Mata emasnya berkilat, energi spiritual dalam tubuhnya mulai beresonansi. "Aku tidak peduli siapa pun yang menyuruhmu," katanya. "Tapi aku akan memastikan kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup." Pria itu tersenyum tipis. "Menarik. Kau masih punya keberanian untuk melawan?" Remus mengaktifkan Divine Sight, menganalisis energi lawannya. Tingkat Kultivasi Lawan: - Pria Berpakaian Hitam: Tahap Keenam – Penguasa Spiritus Remus tersenyum dingin. Lawannya berada di satu tingkat di atasnya, tapi itu bukan berarti dia tidak bisa menang. Pria berpakaian hitam itu menyerang lebih dulu. Dengan kecepatan luar biasa, dia menghilang dari pandangan sejenak sebelum muncul tepat