Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana. Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus. Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.” Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencolok, tetapi cukup nyaman. Kau bisa tinggal di sana sementara waktu.” Remus tersenyum tipis. “Kau selalu bisa diandalkan, Leon.” Perjalanan menuju distrik barat memakan waktu hampir satu jam. Mereka memilih jalur yang lebih sepi, menghindari pusat kota agar tidak menarik perhatian. Remus mengenakan hoodie hitam dan topi untuk menyembunyikan wajahnya, sementara Leon mengemudikan mobil tua miliknya dengan santai, sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan mereka tidak diikuti. “Aku masih tidak percaya kau benar-benar kembali,” kata Leon sambil tersenyum kecil. “Dulu, aku berpikir kalaupun kau selamat, kau pasti sudah pergi jauh dan tak akan kembali.” Remus menatap keluar jendela, melihat bangunan-bangunan yang dulu akrab baginya. “Aku tidak bisa pergi begitu saja tanpa menyelesaikan ini, Leon. Mereka mengambil segalanya dariku—ibuku, tunanganku, hidupku. Aku harus memastikan mereka membayar untuk itu.” Leon mengangguk pelan, memahami perasaan sahabatnya. “Aku mengerti. Tapi tetap saja, kau harus berhati-hati. Darius bukan orang yang sama seperti dulu. Setelah mengambil alih asetmu, dia menjadi semakin kuat dan berpengaruh. Tidak akan mudah untuk menjatuhkannya.” Remus tersenyum samar. “Aku tidak berharap ini mudah. Kalau terlalu mudah, tidak akan ada kepuasan di dalamnya.” Leon tertawa kecil. “Kau memang masih seperti dulu, hanya saja… lebih menakutkan sekarang.” Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di distrik barat, sebuah area yang lebih tenang dibandingkan pusat kota. Rumah Leon berada di sebuah gang kecil yang cukup tersembunyi, jauh dari keramaian. “Ini dia,” kata Leon sambil mematikan mesin mobil. “Tidak mewah, tapi cukup untuk sementara.” Remus mengamati rumah itu—bangunan kecil dengan cat yang mulai memudar, tetapi tampak kokoh. Ini bukan tempat yang buruk untuk bersembunyi sementara waktu. Mereka masuk ke dalam rumah, dan Leon langsung menuju dapur untuk mengambil dua botol bir. Ia melempar satu ke arah Remus, yang menangkapnya dengan mudah. “Kita perlu santai sedikit sebelum mulai merencanakan sesuatu,” kata Leon sambil membuka botolnya dan menyesap isinya. Remus tertawa kecil, lalu ikut membuka botolnya. “Aku setuju.” Malam itu, mereka berbicara banyak hal—tentang masa lalu, tentang bagaimana keadaan Kota Namado sekarang, dan tentang orang-orang yang sekarang memegang kendali. Keesokan paginya, Remus berdiri di balkon kecil rumah Leon, menatap matahari yang mulai naik di ufuk timur. Hari ini, ia akan mulai bergerak. Leon keluar dengan secangkir kopi di tangannya. “Kau sudah berpikir tentang langkah pertama?” Remus mengangguk. “Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi selama tiga tahun terakhir. Aku butuh informasi—tentang Darius, tentang orang-orang yang bersekutu dengannya, dan tentang siapa yang benar-benar menarik tali di balik semua ini.” Leon menyeruput kopinya. “Aku mengenal beberapa orang yang bisa membantumu. Tapi mereka tidak akan bicara secara cuma-cuma.” Remus tersenyum tipis. “Aku bisa meyakinkan mereka.” Leon tertawa kecil. “Baiklah, kalau begitu, mari kita mulai.” Mereka menghabiskan hari itu dengan mengunjungi beberapa tempat di sekitar kota, bertemu dengan orang-orang yang dulu bekerja di bawah Remus. Beberapa dari mereka sudah pindah atau menghilang, tetapi ada juga yang masih bertahan dan bersedia memberikan informasi. Salah satu yang mereka temui adalah seorang pria tua bernama Marco, mantan akuntan Remus yang kini bekerja sebagai pemilik toko kecil di pinggiran kota. Saat melihat Remus, Marco terkejut. “Tuan Remus… Anda masih hidup?” Remus tersenyum. “Ya, Marco. Dan aku butuh bantuanmu.” Pria tua itu menelan ludah, lalu mengangguk. “Tentu saja, apa pun yang bisa saya lakukan.” Mereka duduk di dalam toko kecil Marco, dan Remus mulai bertanya tentang apa yang terjadi setelah ‘kematiannya’. “Setelah Anda menghilang, Darius mengambil alih seluruh aset Anda dengan cepat,” kata Marco. “Ia mengklaim bahwa semua aset itu telah dipindahkan ke namanya sebelum kejadian tragis itu terjadi. Banyak orang meragukan keabsahan dokumen itu, tetapi tidak ada yang berani menentangnya.” Remus menyipitkan mata. “Jadi dia sudah menyiapkan segalanya bahkan sebelum aku jatuh ke jurang…” Marco mengangguk. “Benar. Dan sekarang, dia bekerja sama dengan beberapa kelompok mafia untuk mengamankan posisinya.” Leon yang duduk di sebelah Remus menghela napas. “Ini semakin rumit.” Remus menatap Marco dengan tajam. “Siapa yang paling dekat dengan Darius sekarang?” Marco berpikir sejenak. “Ada seorang pria bernama Victor. Dia adalah tangan kanan Darius dan bertanggung jawab atas semua bisnis ilegal yang mereka jalankan.” “Dimana aku bisa menemukannya?” Marco ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Dia sering terlihat di klub malam bernama Black Diamond di pusat kota. Itu tempat eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu.” Remus tersenyum tipis. “Baik. Aku akan menemukan cara untuk masuk ke sana.” Marco menatapnya dengan khawatir. “Hati-hati, Tuan Remus. Tempat itu penuh dengan orang-orang berbahaya.” Remus berdiri. “Aku tahu, Marco. Terima kasih atas informasinya.” Saat malam tiba, Remus, Marco dan Leon kembali ke rumah kecil di distrik barat. Mereka duduk di meja dapur, membahas rencana mereka. “Jadi, kau benar-benar ingin masuk ke Black Diamond?” tanya Leon. Remus mengangguk. “Itu satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi lebih dalam.” Leon menghela napas. “Baiklah. Aku akan mencari cara agar kau bisa masuk tanpa menimbulkan kecurigaan.” Remus menatap sahabatnya. “Terima kasih, Leon. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa bantuanmu.” Leon tertawa. “Kau pasti akan tetap menemukan cara, meskipun lebih berantakan.” Remus tersenyum, lalu menatap keluar jendela. Kota Namado berkilauan dalam gelap, tetapi di balik semua cahaya itu, ada bayangan yang menyembunyikan banyak rahasia. Malam telah larut ketika Remus duduk di sofa kecil di ruang tamu rumah Leon. Setelah mendapatkan informasi penting tentang Darius dan orang-orang di sekelilingnya, ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Ia menatap Leon dengan mata penuh pertanyaan. “Leon… aku ingin tahu sesuatu.” Leon yang sedang menyesap kopi menoleh. “Apa itu?” Remus menghela napas pelan. “Ibuku dan Maria… apakah mereka dimakamkan dengan layak?” Leon terdiam sejenak, menatap sahabatnya dengan ekspresi sulit dibaca. Ia meletakkan cangkirnya, lalu mengusap wajahnya dengan tangan. “Ya, mereka dimakamkan. Tapi…” “Tapi apa?” Remus menatapnya tajam.Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.” Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini har
Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya.“Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.”Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.”Naya terdiam, pikirannya berkecamuk.“Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.”Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan.“Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan.Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.”Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar.***Malam itu, Naya duduk termenung di
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dari
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita b
Seorang pria muda terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya penuh luka dan napasnya masih berat. Matanya terbuka perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah atap jerami pondok. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang pelan. "Di mana... aku?" gumamnya lemah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu seorang lelaki tua berambut putih panjang memasuki ruangan. Jubahnya sederhana, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan dan keteguhan yang luar biasa. "Kau akhirnya sadar," kata lelaki tua itu dengan nada tenang. Remus Can, pria yang terbaring lemah itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat dan nyaris tak bertenaga. Ia menggertakkan giginya, merasakan betapa lemahnya dirinya saat ini. "Siapa kau?" tanya Remus, menatap lelaki tua itu dengan penuh waspada. "Aku adalah Master Lao," jawab lelaki tua itu. "Aku menyelamatkanmu dari dasar jurang." Remus menelan ludah. "Kenapa kau menyelamatkanku?" Master Lao menghela napas, lalu d
Tiga tahun telah berlalu sejak hari pertama Remus memulai latihannya di bawah bimbingan Master Lao. Selama waktu itu, ia telah melalui berbagai cobaan, dari mengendalikan energi spiritual hingga bertarung melawan makhluk buas. Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan tekad dan semangatnya yang tak tergoyahkan, Remus akhirnya berhasil menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Kini, tubuhnya telah berubah drastis—lebih kuat, lebih cepat, dan lebih tangguh.Remus berdiri di puncak tebing tempat ia sering berlatih, memandangi lembah yang selama ini menjadi rumah keduanya. Ia mengangkat tangannya dan merasakan energi spiritual yang mengalir deras di dalam tubuhnya, seperti sungai yang tak terbendung. Dengan satu gerakan jari, ia mampu memindahkan batu besar di seberang tebing hanya dengan tekanan energi yang tak kasatmata.Di belakangnya, Master Lao mengamati dengan senyum tipis. “Tidak buruk,” katanya. “Kau telah mencapai tahap yang bahkan tidak bisa dicapai oleh kebanyakan kultivator
Angin malam berhembus lembut saat Remus berdiri di puncak bukit terakhir sebelum meninggalkan lembah tempat ia berlatih selama tiga tahun terakhir. Di belakangnya, Master Lao berdiri dengan tangan terlipat, menatap muridnya yang kini telah siap menghadapi dunia luar.“Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, Remus,” kata Master Lao dengan suara tenang. “Kekuatan yang kau miliki saat ini jauh lebih besar daripada sebelumnya, tetapi itu bukan jaminan kemenangan. Musuh-musuhmu pasti sudah berkembang selama tiga tahun ini.”Remus mengangguk. “Aku mengerti, Master. Itulah mengapa aku tidak akan langsung kembali ke Kota Namado. Aku perlu mengumpulkan informasi terlebih dahulu.”Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Lalu, siapa orang yang akan kau hubungi?”Remus menatap ke kejauhan, matanya dipenuhi tekad. “Aku punya satu teman yang bisa kupercaya. Namanya Leon.”Setelah mengucapkan perpisahan kepada Master Lao, Remus mulai menapaki jalannya sendiri. Dengan kecepatan yang jauh melampaui
Malam itu, Remus, Leon, dan Marco duduk mengelilingi meja kecil di sebuah apartemen sewaan. Peta pelabuhan selatan terbentang di hadapan mereka, dengan tanda merah yang menunjukkan lokasi gudang yang disebutkan oleh Tessa. Marco menunjuk titik di peta. "Gudang ini dikelilingi oleh pagar tinggi dan hanya memiliki dua pintu masuk utama. Tapi yang paling mencurigakan adalah sistem keamanannya. Menurut Tessa, setiap orang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat." Leon mengangguk. "Darius pasti menyimpan sesuatu yang sangat penting di sana. Kalau tidak, dia tidak akan seketat ini." Remus menatap peta dengan penuh pertimbangan. "Kita tidak bisa masuk begitu saja. Kita butuh cara untuk mengalihkan perhatian mereka." Marco tersenyum. "Aku bisa menangani itu. Jika kita bisa menyabotase listrik di sekitar area pelabuhan, kita punya cukup waktu untuk masuk tanpa terdeteksi." Leon menghela napas. "Bagus, tapi tetap saja, kita harus cepat. Begitu mereka menyadari ada penyusup, kita b
Remus duduk di depan layar komputer, matanya terpaku pada data yang baru saja mereka temukan dalam USB yang diberikan Naya. Leon dan Marco berdiri di belakangnya, sama-sama menatap daftar transaksi ilegal, aliran dana, dan nama-nama orang yang terlibat dalam bisnis kotor Darius. "Ini lebih besar dari yang kita duga," ujar Leon dengan nada serius. "Dia tidak hanya menyuap pejabat dan mengatur transaksi gelap, tapi juga memiliki jaringan pembunuh bayaran." Remus menghela napas panjang. "Aku tahu Darius kejam, tapi aku tidak menyangka dia sampai ke level ini. Tidak heran dia bisa menjatuhkanku tiga tahun lalu." Marco menunjuk layar. "Lihat ini. Ada catatan pembayaran kepada seseorang bernama Victor selama enam bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil. Sepertinya dia salah satu algojo utama Darius." "Victor…" Remus menggumam, mencoba mengingat nama itu. "Aku pernah mendengarnya dulu. Dia mantan tentara bayaran yang dikenal tak pernah gagal dalam tugasnya. Kalau dia bekerja untuk Dari
Naya terdiam. Di satu sisi, dia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bekerja di bawah kendali Darius. Tapi di sisi lain, dia tidak pernah bisa melupakan bagaimana Remus dulu mempercayainya.“Aku…” Naya menunduk, menggenggam jemarinya. “Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang.”Remus mengangguk pelan. “Aku tidak memaksamu. Tapi pikirkan ini, Naya. Darius bukan orang yang bisa kau percaya. Cepat atau lambat, dia akan menyingkirkan siapa pun yang tidak lagi berguna baginya.”Naya terdiam, pikirannya berkecamuk.“Aku memberimu waktu,” kata Remus. “Tapi jangan terlalu lama. Jika kau ingin bebas dari cengkeraman Darius, ini kesempatanmu.”Naya mengangkat kepalanya, menatap Remus dengan tatapan penuh pertimbangan.“Aku akan mempertimbangkannya,” katanya pelan.Remus tersenyum tipis. “Bagus. Aku akan menunggumu.”Setelah itu, Remus bangkit dan pergi, meninggalkan Naya yang masih terpaku di tempatnya, hatinya diliputi keraguan dan harapan yang samar.***Malam itu, Naya duduk termenung di
Leon menghela napas. “Pemakaman itu dilakukan secara sederhana, tidak ada penghormatan yang layak untuk mereka. Bahkan, hanya sedikit orang yang menghadiri pemakaman mereka. Darius mengendalikan semua informasi tentang kematian mereka, seolah-olah dia tidak ingin ada yang terlalu peduli.” Remus mengepalkan tangannya. “Bajingan itu…” Leon melanjutkan, “Ibumu dan Maria dimakamkan di pemakaman tua di pinggiran kota, di sebuah area yang jarang dikunjungi orang. Aku pernah pergi ke sana beberapa kali untuk memastikan makam mereka tetap terawat.” Remus mengangguk pelan. “Bawa aku ke sana.” Leon terkejut. “Sekarang?” “Ya,” jawab Remus tegas. “Aku harus melihat mereka.” Leon saling bertukar pandang dengan Marco, yang sejak tadi ikut mendengarkan percakapan mereka. Marco mengangguk. “Aku bisa menunjukkan jalan, tapi kita harus berhati-hati. Jika seseorang melihatmu di sana, akan sangat berbahaya.” Remus menatap mereka berdua dengan serius. “Tidak ada yang boleh tahu aku kembali. Ini har
Malam semakin larut ketika Remus berdiri di tepi jalan setapak yang mengarah ke pusat Kota Namado. Dari kejauhan, ia bisa melihat gemerlap lampu kota yang tidak pernah tidur, seakan mengejeknya dengan ingatan kelam yang masih membekas di benaknya. Sudah tiga tahun sejak ia terakhir kali menjejakkan kaki di sana.Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. Tidak ada lagi perasaan takut atau ragu. Kini, ia adalah orang yang berbeda—lebih kuat, lebih cerdas, dan lebih siap menghadapi apa pun yang menunggunya di sana.Di sampingnya, Leon berdiri dengan tangan diselipkan ke dalam saku jaketnya. “Jadi, rencanamu apa?” tanyanya, menoleh ke arah Remus.Remus menatap ke depan. “Aku tidak bisa langsung menuju kota dan menampakkan diri begitu saja. Aku butuh tempat tinggal sementara, mencari tahu bagaimana keadaan di sana sebelum bertindak.”Leon mengangguk. “Aku punya tempat kecil di distrik barat, tidak terlalu mencol
Angin malam berhembus lembut saat Remus berdiri di puncak bukit terakhir sebelum meninggalkan lembah tempat ia berlatih selama tiga tahun terakhir. Di belakangnya, Master Lao berdiri dengan tangan terlipat, menatap muridnya yang kini telah siap menghadapi dunia luar.“Jangan terburu-buru dalam mengambil keputusan, Remus,” kata Master Lao dengan suara tenang. “Kekuatan yang kau miliki saat ini jauh lebih besar daripada sebelumnya, tetapi itu bukan jaminan kemenangan. Musuh-musuhmu pasti sudah berkembang selama tiga tahun ini.”Remus mengangguk. “Aku mengerti, Master. Itulah mengapa aku tidak akan langsung kembali ke Kota Namado. Aku perlu mengumpulkan informasi terlebih dahulu.”Master Lao tersenyum tipis. “Bagus. Lalu, siapa orang yang akan kau hubungi?”Remus menatap ke kejauhan, matanya dipenuhi tekad. “Aku punya satu teman yang bisa kupercaya. Namanya Leon.”Setelah mengucapkan perpisahan kepada Master Lao, Remus mulai menapaki jalannya sendiri. Dengan kecepatan yang jauh melampaui
Tiga tahun telah berlalu sejak hari pertama Remus memulai latihannya di bawah bimbingan Master Lao. Selama waktu itu, ia telah melalui berbagai cobaan, dari mengendalikan energi spiritual hingga bertarung melawan makhluk buas. Setiap hari adalah perjuangan, tetapi dengan tekad dan semangatnya yang tak tergoyahkan, Remus akhirnya berhasil menguasai semua yang diajarkan kepadanya. Kini, tubuhnya telah berubah drastis—lebih kuat, lebih cepat, dan lebih tangguh.Remus berdiri di puncak tebing tempat ia sering berlatih, memandangi lembah yang selama ini menjadi rumah keduanya. Ia mengangkat tangannya dan merasakan energi spiritual yang mengalir deras di dalam tubuhnya, seperti sungai yang tak terbendung. Dengan satu gerakan jari, ia mampu memindahkan batu besar di seberang tebing hanya dengan tekanan energi yang tak kasatmata.Di belakangnya, Master Lao mengamati dengan senyum tipis. “Tidak buruk,” katanya. “Kau telah mencapai tahap yang bahkan tidak bisa dicapai oleh kebanyakan kultivator
Seorang pria muda terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya penuh luka dan napasnya masih berat. Matanya terbuka perlahan. Pandangan pertama yang ia lihat adalah atap jerami pondok. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya mengerang pelan. "Di mana... aku?" gumamnya lemah. Suara langkah kaki terdengar mendekat, lalu seorang lelaki tua berambut putih panjang memasuki ruangan. Jubahnya sederhana, tetapi sorot matanya memancarkan kebijaksanaan dan keteguhan yang luar biasa. "Kau akhirnya sadar," kata lelaki tua itu dengan nada tenang. Remus Can, pria yang terbaring lemah itu mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa berat dan nyaris tak bertenaga. Ia menggertakkan giginya, merasakan betapa lemahnya dirinya saat ini. "Siapa kau?" tanya Remus, menatap lelaki tua itu dengan penuh waspada. "Aku adalah Master Lao," jawab lelaki tua itu. "Aku menyelamatkanmu dari dasar jurang." Remus menelan ludah. "Kenapa kau menyelamatkanku?" Master Lao menghela napas, lalu d