“Ya, agar para warga juga mengetahui di samping tugas giliran ronda tiap malam juga akan diadakan tugas giliran memantau orang luar yang akan masuk ke Desa Karapan terutama dari arah Desa Sampang, dari seberang hutan di ujung kawasan desa ini,” seluruh pria yang ada di pendopo mengangguk faham mendengar penjelasan dari Mahfud.Pesta minuman keras yang berlangsung di depan Padepokan Gagak Hitam kian menjadi-jadi, Sandaka dan seluruh anak buahnya benar-benar telah mabuk. Beberapa orang di antara mereka ada yang tumbang tergeletak di tanah, karena tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya yang oleng akibat pengaruh arak dan tuak yang terlalu banyak mereka minum.Sandaka sendiri sekarang dibantu Sabo dan 2 orang anak buahnya memapah ke kamarnya, setelah sebelumnya muntah dan sempoyongan di depan padepokan itu. Anehnya mereka justru ketagihan dan sangat senang melakukan pesta minuman keras hingga mabuk sedemikian rupa, meskipun mereka terkadang tak sadarkan diri dan tidur di sembarang t
“Itu Kiai, Mas Arya katanya dia datang dari Pulau Dewata,” Arif mundur selangkah lalu membalikan tubuhnya menyamping diiringi menunjuk dengan jempol tangannya ke arah Arya.Dari jarak beberapa langkah dari pintu ruangan itu Arya terlihat memberi hormat dengan adab sopan santun seperti yang kerap dilakukan para santri di sana pada Kiai Bimo saat bertemu, Kiai Bimo pun membalas dengan senyum dan sikap yang ramah dan sopan pula.“Assalamu alaikum,” ucap Arya memberi salam.“Waalaikum Salam, mari kisanak silahkan masuk,” balas Kiai Bimo lalu mengajak Arya masuk ke dalam ruangan itu.“Terima kasih Kiai,” ucap Arya sambil melangkah masuk, seiring dengan itu ia pun berterima kasih pada Arif yang telah mengantarnya bertemu dengan pemilik pemondokan itu.Arif tidak langsung pergi meninggalkan mereka, melainkan ikut masuk ke dalam ruangan setelah Kiai Bimo memberi isyarat padanya untuk membuatkan minum untuk Arya. Setelah meletakan 2 cangkir teh hangat di atas tikar pandan di depan Kiai Bimo d
“Ada apa Kiai? Ada yang salah dengan yang aku ucapkan?” Arya ikut terkejut melihat reaksi Kiai Bimo saat ia mengatakan nama Gurunya.“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah dengan jawabanmu itu Arya, aku hanya terkejut saja karena aku tahu betul akan sosok Gurumu itu semasa mudaku dulu. Nyi Konde Perak sangat sakti mandraguna dan juga memiliki ilmu agama yang tinggi, saat itu beliau sangat di segani baik dari sesama pendekar golongan putih terlebih lagi pendekar golongan hitam.”“Berarti Kiai kenal dan sering bertemu dengan Guruku itu?”“Ya, tentu saja aku mengenali dan sering bertemu dengannya semasa kami masih muda dulu. Beliau sering memberiku nasehat serta mengajariku tentang ilmu agama Islam, waktu itu aku tinggal dan mengabdi di Kesultanan Demak,” ujar Kiai Bimo.“Eyang Guru memang memiliki banyak sahabat sewaktu beliau masih muda, hanya saja dia jarang mau menceritakan masa mudanya itu sejak aku masih diasuhnya dari bayi hingga digembleng menjadi seorang pendekar di puncak Gunung S
“Baik Kiai, terima kasih,” ucap Arya, Kiai Bimo hanya mengangguk sembari tersenyum lalu ia melangkah keluar dari ruangan itu melihat para santrinya yang tengah melakukan kegiatan kemandirian.Selama berhari-hari 2 orang murid Padepokan Neraka yang berhasil melarikan diri dari amukan para warga sewaktu berkecamuknya pemberontakan ke istana Kerajaan Dharma berdiam diri di hutan di kawasan Pulau Dewata, akhirnya berhasil menyeberang kembali ke Pulau Jawa.Mereka berdua melakukan penyamaran dan bekerja di pelabuhan mengangkat dan menurunkan barang para penumpang kapal, setelah mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos kapal mereka pun berhenti bekerja di pelabuhan itu dan menyeberang ke Pulau Jawa dengan penumpang yang lainnya.Tiba di pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa terasa terbebas dari penjara bagi kedua murid Padepokan Neraka itu, karena dalam beberapa hari belakangan ini seperti dihantui ketakukan akan tertangkapnya mereka oleh prajurit atau warga desa yang mengenalinya di pelabuha
Tak biasanya Pangeran Durjana keluar dari ruangannya menuju teras depan bangunan padepokan dan duduk sendirian di salah satu deretan kursi yang terdapat di teras itu, deretan kursi yang ia duduki menghadap ke halaman dan pintu gerbang padepokan.Tak beberapa lama Dipo Geni datang menghampiri, ia berjalan dari arah depan padepokan melakukan tugas rutinnya memantau dan mengawasi para murid dan seluruh anggota Padepokan Neraka dalam segala urusan termasuk mengetahui jumlah jatah bulanan yang dikirim Kerajaan-kerajaan.Jika Padepokan Neraka itu berupa sebuah Kerajaan boleh dikatakan Dipo Geni sebagai Panglimanya dan Pangeran Durjana adalah Raja, itu melihat kepercayaan yang diberikan Pangeran Durjana kepadanya.“Tumben Ketua keluar ruangan dan duduk seorang diri di sini?” tanya Dipo Geni.“Terlalu lama di ruangan menimbulkan rasa bosan juga, kiriman dari Kerajaan-kerajaan tetap lancarkan Dipo?” Pangeran Durjana balik bertanya akan tetapi sikapnya tidak bersemangat.“Lancar-lancar saja Ket
“Hemmm, ya benar Arya. Akan tetapi putra Prabu Swarna Dipa itu tidak pernah datang ke sini,” ujar Kiai Bimo tersenyum.“Saka Galuh memang tidak pernah menurut dan kerap membohongi Prabu Swarna Dipa sejak usianya masih remaja, dan begitu dewasa ia menjadi anak yang durhaka demi tahta ia rela membunuh Ayahnya sendiri.”“Itulah ujian hidup Arya, ambisi dan keserakahan kerap membuat orang gelap mata. Makanya dibutuhkan ilmu agama yang mendalam untuk mendidik manusia menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik,” tutur Kiai Bimo.“Benar Kiai, keserakahan memang kerap membuat orang berbuat kejahatan dan tak segan-segan membunuh.”“Manusia yang hidup di dunia ini tidak pernah puas dengan apa yang ia dapati dan miliki, bahkan kebanyakan dari mereka tidak pandai bersyukur atas semua yang telah dilimpahkan Gusti Allah. Harta yang dimiliki takan bisa menolong mereka jika tiba waktunya kembali menghadap yang kuasa, hanya amal dan perbuatan baiklah yang menjadi bekal penting saat kita akan mengh
“Ya Eyang, tapi dia dikabarkan telah tewas saat berada di Pulau Andalas beberapa tahun yang lalu.”“Hemmm, aku juga mendengar kabar begitu. Akan tetapi kabar itu tidak benar, karena pendekar itu sekarang ada bersama kita di ruangan ini,” tutur Kiai Bimo, seketika Mantili terkejut dan langsung memberi hormat pada Arya.“Maaf Mas, jika aku tadi bersikap lancang,” ucap Mantili merasa malu dan segan.“Hemmm, Kiai Bimo terlalu berlebihan memuji. Aku pendekar biasa saja dan julukan itu terlalu dibesar-besar,” ujar Arya kembali diiringi senyumannya.“Kamu mendengar dan melihat sendiri kan Mantili? Pendekar sejati itu tidak akan pernah menyombongkan dirinya, meskipun nama dan julukannya disegani dan di agung-agungkan karena telah banyak berbuat kebaikan membela kebenaran.”“Apalah artinya sebuah nama dan julukan Kiai, kalaupun aku telah banyak berbuat baik membela kebenaran itu semua datangnya dari Gusti Allah, kita hanya sebagai perantara-Nya saja,” ulas Arya yang kembali membuat Kiai tersen
Di samping kiri bangunan pemondokan tempat para santri berlatih ilmu bela diri, Kiai Bimo mengajarkan gerakan-gerakan menangkis dan mengunci lawan. Para santri mengikuti gerakan-gerakan itu dengan berpasang-pasangan, satu menyerang satu lagi menangkis dan melakukan gerakan kuncian yang diajar pemilik pemondokan itu.Meskipun gerakan-gerakan silat yang diajarkan masih tahap dasar karena belum masuk ke tahap melakukan tangkisan dan serangan dengan tenaga dalam, namun semua yang telah dikuasai para santri saat ini sudah dapat dipergunakan untuk menjaga diri mereka masing-masing dari serangan yang tak terduga oleh orang lain.****Belasan obor di sekitaran bangunan Padepokan Gagak Hitam tampak menyala saat hari sudah mulai gelap, berbagai kegiatan anggota padepokan mulai dari membuat pagar di sekeliling kawasan padepokan hingga berlatih ilmu kanuragan.Sandaka meminta Sabo untuk mengumpulkan seluruh anggota padepokan itu di ruangan biasa mereka gunakan untuk pertemuan, mendapat perintah i
"Tadinya Ananda sengaja merahasiakan apa yang telah terjadi sekitar beberapa hari lalu, tapi saat ini Ananda harus memutuskan untuk rnenceritakannya agar Ayahanda bersedia memenuhi permintaan Ananda membebaskan pemuda itu."Lalu Raden Ayu Dewi Sasanti menuturkan suatu peristiwa yang selama ini tidak diketahui oleh Sang Prabu maupun Permaisuri.Pagi itu ketika seorang pengasuh di Istana memberi tahu bahwa dua orang pengawal yang biasa melatihnya menunggang kuda siap menunggu, puteri bungsu Sang Prabu mengatakan bahwa dirinya kurang sehat, latihan hari itu ditunda saja sampai besok.Sebenarnya Dewi Sasanti punya rencana sendiri yang sudah sejak lama ingin dilakukannya di sebuah hutan kecil di Timur Laut Kerajaan Kediri itu, tak berapa jauh dari Gunung Kawi sejak lama diketahui orang banyak terdapat kupu-kupu dari berbagai jenis ukuran dan bentuk.Warnanya juga macam-macam dan sangat menarik hati, Raden Ayu Dewi Sasanti ingin sekali pergi ke sana untuk melihat dan menangkap binatang-bina
Arya lalu ulurkan kedua tangannya, seorang prajurit cepat membelenggu kedua pergelangan tangan Arya dengan belenggu besi, sementara beberapa orang prajurit lainnya sibuk menolong 5 kawan mereka yang cidera."Bawa tawanan ini ke penjara di tembok Timur Istana. Jangan lepaskan belenggunya, dua orang harus selalu mengawal pintu penjara siang malam." kata Panglima Suta Soma pada bawahannya, beberapa prajurit segera menggiring Arya meninggalkan ruangan itu.Sebelum melangkah pergi Pendekar Rajawali Dari Andalas berhenti di depan Suta Soma, dia keluarkan suara bersiul lalu berkata,"Terima kasih atas perlakuan yang sangat mengesankan ini, saya merasa sebagai tahanan terhormat. Bukan maling bukan pencuri juga bukan perampok, Kau tak usah kuatir saya akan melarikan diri. Karena itu saya tidak memerlukan belenggu besi ini!" Arya salurkan tenaga dalam, kedua tangannya bergetar.“Traakk!” belenggu itu terbelah dua.Selagi semua orang terkesiap menyaksikan kejadian itu, Arya berpaling ke arah San
"Saya bisa memberikan bukti yang Sang Prabu minta," berkata Arya."Bisa ditanyakan pada beberapa orang prajurit istana kecil yang sempat saya telanjangi di sungai!"Paras Patih Samba Dirga dan Panglima Suta Soma jadi berubah, para Pendeta tundukkan kepala, beberapa di antaranya senyum-senyum."Cukup!" Sri Baginda berdiri dari duduknya."Kau tidak bisa memberikan bukti, Malah bicara ngawur!" Arya jadi jengkel."Sang Prabu, kewajiban saya hanya melapor. Karena saya merasa Kerajaan Kediri ini dalam bahaya. Bukan tugas saya memberikan bukti-bukti, itu adalah tugas orang-orang Kerajaan Kediri sendiri untuk menyelidiki kebenarannya. Saya bicara apa adanya, jika saya berkata dusta saya bersedia dihukum!""Orang muda!" bentak Suta Soma."Kau tidak layak mengajari Sang Prabu!" Arya menatap wajah Panglima Kerajaan Kediri itu sesaat lalu berkata,"Saya yang tolol mana berani mengajari Raja, jika tidak dipercaya sebaiknya saya pergi saja dari sini." Arya memutar tubuhnya."Kau ku tuduh memberi ke
"Mengenai penghinaan yang kita lakukan terhadap pimpinan utusan Raja Cina itu, apakah kalian tidak melihat bahwa itu adalah lebih ringan dibanding dengan penghinaan yang mereka lemparkan pada kita. Mereka meminta agar kita tunduk kepada Kerajaan Cina!" pelipis Sang Prabu tampak bergerak-gerak tanda dia menahan amarah yang besar."Raja Cina itu boleh mengirim serdadunya ke sini, dia boleh menyerbu Kerajaan Kediri. Kita akan menghajar mereka sampai hancur, Tidak ada satu Kerajaan pun mampu menundukkan Kerajaan lain yang terpisah jauh. Mereka mungkin bisa menang, tapi hanya sesaat. Begitu jalur perbekalan mereka putus, mereka akan jadi sasaran hantu kelaparan atau senjata lawan!"Panglima Suta Soma dalam hati mengagumi kecerdikan jalan pikiran Sang Prabu, tetapi bagaimana kalau Adipati Seto Wirya mempergunakan kesempatan bergabung dengan pasukan Cina untuk menyerbu Kerajaan Kediri? Rasa-rasanya Kerajaan Kediri hanya akan sanggup bertahan satu hari satu malam. Setelah itu… Hal itulah yang
Dia maklum petir dan guntur tadi merupakan suatu pertanda yang tidak baik, Mungkin tidak baik bagi dirinya tapi mungkin sekali bagi Kerajaan.“Ya Dewa Bhatara, hal apakah yang akan terjadi di Kerajaan Kediri ini?” berucap Sri Baginda dalam hatinya.Sang Prabu naik ke atas kereta, rombongan yang baru saja melakukan upacara keagamaan itu bergerak cepat menuju istana Kerajaan. Di tengah jalan, Patih Samba Dirga yang duduk di samping Sri Baginda berkata."Sang Prabu jika saya boleh mengusulkan, begitu sampai di istana sebaiknya kita mengadakan pertemuan. Sebenarnya hal ini sudah agak lama kami inginkan, pertanda di candi tadi membuat saya merasakan pertemuan itu suatu hal yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan." Sang Prabu termenung mendengar kata-kata patihnya itu, namun akhirnya dia menganggukkan kepala."Beritahu yang lain-lain," katanya.Begitu sampai di istana Kerajaan Sang Prabu langsung masuk ke sebuah ruangan yang biasa dipergunakan untuk pertemuan-pertemuan penting dan mend
"Kalau kau memang mau mati, tidak usah menunggu lama. Di hutan ini banyak binatang buas dan binatang berbisa. Kau tinggal memilih mati cara bagaimana? Diterkam harimau atau dipatuk ular berbisa?!" mendengar kata-kata Adipati Gadra itu paras Dewa Penangis berubah, dia seperti ketakutan tetapi anehnya raut mukanya justru kelihatan kuyu sedih."Kalau begitu biar aku ikut bersama Raden," kata Dewa Penangis dan cepat bangkit berdiri."Ikut aku itu sudah pasti Dewa Penangis, tapi aku mau tahu di mana saudara mudamu yang berjuluk Dewa Pesing itu? Sebenarnya aku ingin dia ikut bergabung bersama kami.""Ah, si kentut gendut Dewa Pesing itu aku tidak pernah mengaku saudara padanya. Aku selalu diejeknya, dihina dan ditertawai.""Itu urusanku nanti kalau dia masih begitu terhadapmu, yang penting kau tahu di mana kita bisa menemukannya?" tanya Adipati Gadra, Dewa Penangis Menggeleng."Coba lihat di telapak tanganmu," kata Adipati Gadra pula."Ah, kau betul Raden. Aku baru ingat…"Masih sesenggukan
Rombongan itu bergerak dalam kesunyian tanpa ada yang bicara, di satu tempat telinga Adipati Gadra mendengar sesuatu, dia hentikan kudanya dan memandang berkeliling."Ada apakah Sri Baginda?" tanya seorang pengawal.Para pengikut Adipati Gadra yang setia selalu memanggil Adipati Gadra dengan sebutan Sri Baginda, walaupun pemimpin mereka itu tidak lebih dari seorang raja kecil yang tidak berdaya di satu wilayah yang kecil pula, namun mereka tetap menganggap Adipati Gadra adalah raja mereka, Raja Kerajaan Kediri yang baru."Aku mendengar sesuatu…" jawab Adipati Gadra, beberapa pengawal memasang telinga dan saling pandang.Beberapa saat kemudian salah seorang dari mereka berkata."Kami tidak mendengar suara apa-apa."Tentu saja para prajurit itu tidak atau belum mampu mendengar suara yang datangnya sangat sayup-sayup di kejauhan di dalam rimba belantara itu, karena kesaktiannya Adipati Gadra bisa mendengar suara itu yang tidak mampu didengar oleh para pengikutnya."Ikuti aku… Tapi harap
"Aku melihat… Ha… ha.., ha… ha…! Ada beberapa orang prajurit Kerajaan Kediri dipreteli orang celananya hingga waktu mereka keluar dari air dalam keadaan bugil! Anunya pada bergelantungan ke mana-mana….! He… ha… ha! Apakah itu menurutmu tidak lucu? Mereka kelabakan! Berusaha menutupi anu mereka itu! Lucu….! Ha…. ha… ha…" tiba-tiba suara tawanya berhenti, kedua matanya yang sipit memandang lekat-lekat kepada Arya.“Apa yang ada dalam pikiran si gendut ini?” Arya bertanya dalam hati."Heh?" Bukankah… Bukankah kau orangnya yang menelanjangi delapan prajurit Kerajaan Kediri itu?!" Arya pun tertawa lebar, sambil garuk-garuk lehernya dia mengangguk dan berkata."Memang aku yang menelanjangi mereka, mereka hendak menangkapku!" Si gemuk tertawa mengekeh."Kau ternyata pemuda jahil juga! Lain kali kalau mau menelanjangi orang, jangan lelaki tapi perempuan! Ha… ha… ha…!" Arya jadi ikut-ikutan tertawa."Mengapa mereka hendak menangkapmu?""Karena aku makan cempedak." jawab Arya."Apakah seseorang
Meskipun agak geli-geli Arya mengangkat Ulat Daun dari atas daun lalu dilemparkannya ke atas pohon. Si gemuk di atas pohon yang masih terus tertawa gelak-gelak tampak kaget ketika sebuah benda hijau bergelung melesat ke arah mulutnya yang terbuka lebar.Cepat dia meniup ke bawah, Ulat Daun itu mental tetapi kini justru jatuh dan menempel di perutnya yang tersembul di sela baju yang tidak terkancing."Wadauuuuw….! Ulat! Ulat Daun…! Tolong..!"Sekujur tubuh si gemuk menggigil, mukanya yang tadi merah karena tertawa terusterusan kini menjadi pucat pasi. Ternyata dia takut sekali pada Ulat Daun yang kini menempel di perutnya yang gendut berlemak itu.Kedua kakinya digoyang-goyangkan, kedua tangannya bergerak kian kemari kalang kabut. Dia coba pergunakan tangan untuk menjentik binatang itu tapi tak jadi karena merasa sangat jijik.Saking bingungnya dia melompat ke cabang pohon yang lain, bergelantungan sambil melejang-lejangkan kedua kakinya."Tolong! Wadauwww…. Ulat…. Tolong!" teriak si