“Benar Ketua, tidak sia-sia kita datang dan mendirikan padepokan di pulau ini,” ujar Sabo yang juga sudah setengah mabuk.“Sayang sekali Ketua, di sini tidak ada wanita yang dapat kita jadikan pelengkap pesta kita malam ini. Ha.. Ha.. Ha..!” seru salah seorang dari anggota padepokan itu.“Ha.. Ha.. Ha..! Kau benar, tapi jangan kuatir di pesta-pesta kita berikutnya kita akan bawa para wanita dari desa-desa kawasan pulau ini untuk bersenang-senang di sini..! Kau mau yang kurus atau yang gembrot, Sabo?” kelakar Sandaka dengan tawanya semakin menggelegar.“Ha.. Ha.. Ha..!” suara tawa makin riuh terdengar saat berpadunya tawa dari puluhan anggota Padepokan Gagak Hitam itu.*****Sebuah perahu yang tadi melaju cukup kencang sebelum hari gelap, kini dibiarkan saja mengapung tenang di tengah-tengah lautan oleh sosok berpakaian putih di atasnya. Ia duduk santai sambil mengarahkan pandangan ke sekeliling lautan, sesekali dia tampak mengaruk-garuk lehernya. “Malam ini tak ada bulan dan bintang
“Ya, agar para warga juga mengetahui di samping tugas giliran ronda tiap malam juga akan diadakan tugas giliran memantau orang luar yang akan masuk ke Desa Karapan terutama dari arah Desa Sampang, dari seberang hutan di ujung kawasan desa ini,” seluruh pria yang ada di pendopo mengangguk faham mendengar penjelasan dari Mahfud.Pesta minuman keras yang berlangsung di depan Padepokan Gagak Hitam kian menjadi-jadi, Sandaka dan seluruh anak buahnya benar-benar telah mabuk. Beberapa orang di antara mereka ada yang tumbang tergeletak di tanah, karena tak mampu lagi menahan keseimbangan tubuhnya yang oleng akibat pengaruh arak dan tuak yang terlalu banyak mereka minum.Sandaka sendiri sekarang dibantu Sabo dan 2 orang anak buahnya memapah ke kamarnya, setelah sebelumnya muntah dan sempoyongan di depan padepokan itu. Anehnya mereka justru ketagihan dan sangat senang melakukan pesta minuman keras hingga mabuk sedemikian rupa, meskipun mereka terkadang tak sadarkan diri dan tidur di sembarang t
“Itu Kiai, Mas Arya katanya dia datang dari Pulau Dewata,” Arif mundur selangkah lalu membalikan tubuhnya menyamping diiringi menunjuk dengan jempol tangannya ke arah Arya.Dari jarak beberapa langkah dari pintu ruangan itu Arya terlihat memberi hormat dengan adab sopan santun seperti yang kerap dilakukan para santri di sana pada Kiai Bimo saat bertemu, Kiai Bimo pun membalas dengan senyum dan sikap yang ramah dan sopan pula.“Assalamu alaikum,” ucap Arya memberi salam.“Waalaikum Salam, mari kisanak silahkan masuk,” balas Kiai Bimo lalu mengajak Arya masuk ke dalam ruangan itu.“Terima kasih Kiai,” ucap Arya sambil melangkah masuk, seiring dengan itu ia pun berterima kasih pada Arif yang telah mengantarnya bertemu dengan pemilik pemondokan itu.Arif tidak langsung pergi meninggalkan mereka, melainkan ikut masuk ke dalam ruangan setelah Kiai Bimo memberi isyarat padanya untuk membuatkan minum untuk Arya. Setelah meletakan 2 cangkir teh hangat di atas tikar pandan di depan Kiai Bimo d
“Ada apa Kiai? Ada yang salah dengan yang aku ucapkan?” Arya ikut terkejut melihat reaksi Kiai Bimo saat ia mengatakan nama Gurunya.“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah dengan jawabanmu itu Arya, aku hanya terkejut saja karena aku tahu betul akan sosok Gurumu itu semasa mudaku dulu. Nyi Konde Perak sangat sakti mandraguna dan juga memiliki ilmu agama yang tinggi, saat itu beliau sangat di segani baik dari sesama pendekar golongan putih terlebih lagi pendekar golongan hitam.”“Berarti Kiai kenal dan sering bertemu dengan Guruku itu?”“Ya, tentu saja aku mengenali dan sering bertemu dengannya semasa kami masih muda dulu. Beliau sering memberiku nasehat serta mengajariku tentang ilmu agama Islam, waktu itu aku tinggal dan mengabdi di Kesultanan Demak,” ujar Kiai Bimo.“Eyang Guru memang memiliki banyak sahabat sewaktu beliau masih muda, hanya saja dia jarang mau menceritakan masa mudanya itu sejak aku masih diasuhnya dari bayi hingga digembleng menjadi seorang pendekar di puncak Gunung S
“Baik Kiai, terima kasih,” ucap Arya, Kiai Bimo hanya mengangguk sembari tersenyum lalu ia melangkah keluar dari ruangan itu melihat para santrinya yang tengah melakukan kegiatan kemandirian.Selama berhari-hari 2 orang murid Padepokan Neraka yang berhasil melarikan diri dari amukan para warga sewaktu berkecamuknya pemberontakan ke istana Kerajaan Dharma berdiam diri di hutan di kawasan Pulau Dewata, akhirnya berhasil menyeberang kembali ke Pulau Jawa.Mereka berdua melakukan penyamaran dan bekerja di pelabuhan mengangkat dan menurunkan barang para penumpang kapal, setelah mendapatkan uang yang cukup untuk ongkos kapal mereka pun berhenti bekerja di pelabuhan itu dan menyeberang ke Pulau Jawa dengan penumpang yang lainnya.Tiba di pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa terasa terbebas dari penjara bagi kedua murid Padepokan Neraka itu, karena dalam beberapa hari belakangan ini seperti dihantui ketakukan akan tertangkapnya mereka oleh prajurit atau warga desa yang mengenalinya di pelabuha
Tak biasanya Pangeran Durjana keluar dari ruangannya menuju teras depan bangunan padepokan dan duduk sendirian di salah satu deretan kursi yang terdapat di teras itu, deretan kursi yang ia duduki menghadap ke halaman dan pintu gerbang padepokan.Tak beberapa lama Dipo Geni datang menghampiri, ia berjalan dari arah depan padepokan melakukan tugas rutinnya memantau dan mengawasi para murid dan seluruh anggota Padepokan Neraka dalam segala urusan termasuk mengetahui jumlah jatah bulanan yang dikirim Kerajaan-kerajaan.Jika Padepokan Neraka itu berupa sebuah Kerajaan boleh dikatakan Dipo Geni sebagai Panglimanya dan Pangeran Durjana adalah Raja, itu melihat kepercayaan yang diberikan Pangeran Durjana kepadanya.“Tumben Ketua keluar ruangan dan duduk seorang diri di sini?” tanya Dipo Geni.“Terlalu lama di ruangan menimbulkan rasa bosan juga, kiriman dari Kerajaan-kerajaan tetap lancarkan Dipo?” Pangeran Durjana balik bertanya akan tetapi sikapnya tidak bersemangat.“Lancar-lancar saja Ket
“Hemmm, ya benar Arya. Akan tetapi putra Prabu Swarna Dipa itu tidak pernah datang ke sini,” ujar Kiai Bimo tersenyum.“Saka Galuh memang tidak pernah menurut dan kerap membohongi Prabu Swarna Dipa sejak usianya masih remaja, dan begitu dewasa ia menjadi anak yang durhaka demi tahta ia rela membunuh Ayahnya sendiri.”“Itulah ujian hidup Arya, ambisi dan keserakahan kerap membuat orang gelap mata. Makanya dibutuhkan ilmu agama yang mendalam untuk mendidik manusia menjadi manusia yang memiliki akhlak yang baik,” tutur Kiai Bimo.“Benar Kiai, keserakahan memang kerap membuat orang berbuat kejahatan dan tak segan-segan membunuh.”“Manusia yang hidup di dunia ini tidak pernah puas dengan apa yang ia dapati dan miliki, bahkan kebanyakan dari mereka tidak pandai bersyukur atas semua yang telah dilimpahkan Gusti Allah. Harta yang dimiliki takan bisa menolong mereka jika tiba waktunya kembali menghadap yang kuasa, hanya amal dan perbuatan baiklah yang menjadi bekal penting saat kita akan mengh
“Ya Eyang, tapi dia dikabarkan telah tewas saat berada di Pulau Andalas beberapa tahun yang lalu.”“Hemmm, aku juga mendengar kabar begitu. Akan tetapi kabar itu tidak benar, karena pendekar itu sekarang ada bersama kita di ruangan ini,” tutur Kiai Bimo, seketika Mantili terkejut dan langsung memberi hormat pada Arya.“Maaf Mas, jika aku tadi bersikap lancang,” ucap Mantili merasa malu dan segan.“Hemmm, Kiai Bimo terlalu berlebihan memuji. Aku pendekar biasa saja dan julukan itu terlalu dibesar-besar,” ujar Arya kembali diiringi senyumannya.“Kamu mendengar dan melihat sendiri kan Mantili? Pendekar sejati itu tidak akan pernah menyombongkan dirinya, meskipun nama dan julukannya disegani dan di agung-agungkan karena telah banyak berbuat kebaikan membela kebenaran.”“Apalah artinya sebuah nama dan julukan Kiai, kalaupun aku telah banyak berbuat baik membela kebenaran itu semua datangnya dari Gusti Allah, kita hanya sebagai perantara-Nya saja,” ulas Arya yang kembali membuat Kiai tersen
“Ajian Topan Gunung Sumbing, ajian itu juga berguna untuk membentengi diri dari serangan lawan,” jawab Arya.“Lalu ajian dahsyat yang Mas gunakan untuk menghabisi Ketua Padepokan Gagak Hitam di Pulau Madura itu apa?”“Oh, kalau itu adalah salah satu ajian andalanku bernama Telapak Petir. Ajian itu akan aku keluarkan ketika saat menghadapi lawan yang memang sangat berbahaya dan sulit di taklukan,” tutur Arya.“Tapi aku minta nanti apabila kita akan bergerak menumpas Padepokan Lumut, Ketua padepokan yang bernama Lenggo Lumut itu biar aku saja yang menghadapinya. Aku ingin membalaskan dendam tewasnya kedua orang tuaku olehnya,” pinta Mantili.“Hemmm, tentu saja Mantili. Namun yang terpenting kita berhasil menumpas Padepokan Lumut di samping dendam yang hendak kamu balas pada ketua padepokan itu,” ujar Arya.“Tentu saja Mas, karena tujuan utama kita memang itu. Sedangkan urusanku dengan Lenggo Lumut adalah urusan pribadi,” Mantili memahami dan dapat menyisihkan antara tugas mulia dan dend
“Ya Mas, sebaiknya memang kami mencari mereka ke desa-desa lainnya karena di sini tidak kami temui. Terima kasih Mas Pati kami mohon diri,” Pati Dewo hanya mengangguk sembari tersenyum berpura-pura ramah padahal di hatinya saat itu ingin menghajar rombongan Padepokan Lumut yang datang itu.Rombongan utusan Padepokan Lumut itu kembali naik ke atas kuda mereka masing-masing, kemudian berlalu meninggalkan halaman kepala Desa Cagar itu menuju desa-desa lainnya.Pati Dewo tentu saja lega dan puas karena rombongan utusan itu percaya saja dengan semua yang ia katakan jika Deka dan rombongan tidak pernah datang menemuinya, kepala Desa Cagar itu sudah cukup senang karena berhasil mengerjai anak buah Lenggo Lumut itu.*****Saat Arya dan Mantili tiba di rumah Sapto kepala Desa Tandur, di halamannya terlihat beberapa ekor kuda dan pria berpakaian serba hijau berbicara dengan kepala desa itu sambil berdiri. Mereka tampak bersitegang karena adu mulut, melihat hal itu Arya dan Mantili mempercepat l
Pagi itu setelah beristirahat di rumah Sapto kepala Desa Tandur, Arya dan Mantili menuju Desa Telaga yang terletak tidak jauh dari desa itu di sebelah barat. Mereka berpapasan dengan beberapa warga di sana yang hendak menuju lahan persawahan, hingga Arya dan Mantili yang bertanya rumah kepala desa mereka di antar langsung oleh salah seorang warga Desa Telaga itu ke kediaman Pamungkas.Pamungkas yang memang selalu ramah menerima kedatangan tamu di kediamannya, kedatangan Arya dan Mantili pun di terima dengan baik dan sangat ramah.“Maaf sebelumnya, Kisanak berdua datang dari mana?” tanya Pamungkas.“Kami datang dari Desa Tandur Mas, namaku Arya dan ini Mantili.”“Oh dari Desa Tandur, desa tetangga yang paling terdekat rupanya. Namaku Pamungkas dan aku sebagai kepala desa di sini,” ujar Pamungkas yang juga memperkenalkan dirinya.“Ya Mas, kami juga tadi di beritahu salah seorang warga yang tadi mengantar kami ke sini,” ulas Arya.“Terima kasih sebelumnya aku ucapkan mewakili seluruh war
“Mereka telah kembali dan sekarang tengah bersenang-senang dengan para wanita penghibur karena tugas yang mereka laksanakan berhasil,” jawab anggota padepokan bernama Saga itu.“Bagus, berarti yang menjadi masalah sekarang Deka dan rombongannya yang belum kembali.”“Benar Ketua, besok pagi secepatnya beberapa orang anggota padepokan ini akan aku perintahkan mencari mereka.”“Ya, sekarang kamu boleh kembali ke tempatmu jika memang tidak ada lagi yang hendak kamu laporkan,” ujar Lenggo Lumut.“Baik Ketua, aku mohon diri,” Lenggo Lumut mengangguk, Saga pun berlalu dari ruangan itu.******Tewasnya Sandaka yang memiliki julukan Gagak Htam Dari Utara akhirnya sampai juga beritanya ke telinga Adik seperguruannya di Padepokan Gagak Timur bernama Welung Pati, kabar itu sendiri di bawa oleh satu-satunya anggota Padepokan Gagak Hitam yang selamat dalam pertempuran sengit di Desa Sampang di Pulau Madura.Saat penyerangan Padepokan Gagak Hitam itu oleh gabungan warga 3 buah desa yang dipimpin Ary
“Namaku Arya, dan ini Mantili. Kami datang dari Desa Tandur dan tak sengaja melintas di sini dan mendengar pembicaraan Mas Pati dengan para anggota Padepokan Lumut ini, maafkan kami bukannya lancang ikut campur akan tetapi kami juga tidak suka dengan orang-orang Padepokan Lumut.”“Oh, kalian berdua ternyata warga Desa Tandur. Kalian hendak ke mana?” tanya Pati Dewo.“Yang warga Desa Tandur hanya Mantili saja Mas, sedangkan aku hanya pendatang di kawasan ini. Kami tadi sebenarnya dari Desa Begawan dan memang sengaja menuju desa ini, kalau boleh tahu siapa kepala desa di sini Mas Pati?” Arya menjelaskan lalu balik bertanya.“Aku kepala Desa Cagar ini,” jawab Pati Dewo.“Oh, kebetulan sekali. Apakah kami boleh ngobrol barang sebentar dengan Mas Pati?”“Tentu saja, mari kita ngobrol di dalam,” ajak Pati Dewo, Arya dan Mantili tak segera melangkah mereka mengarahkan pandangan pada belasan anggota Padepokan Lumut yang masih berada di depan rumah itu.“Hemmm, kalian tak perlu kuatir mereka t
“Baik Arya, secepatnya pula aku akan memilih beberapa orang di antara para warga yang memiliki keberanian seperti Arya katakan itu.”“Untuk mempersingkat waktu, ada baiknya kami sekarang pamit hendak menuju desa-desa lainnya Paman. Nanti kalaupun aku atau Mantili tidak sempat datang ke sini, kami akan mengutus orang untuk memberitahu Paman kapan akan kita laksanakan rencana itu,” ujar Arya sembari berpamitan.“Ya Arya, silahkan. Hati-hati,” Arya dan Mantili mengangguk kemudian berdiri dari duduknya lalu melangkah ke luar dari rumah kepala Desa Begawan itu.****Belasan penunggang kuda tampak beriringan melewati tepian persawahan warga hendak menunju pemukiman sebuah desa, melihat dari pakaian yang mereka kenakan serba hijau mereka adalah bagian dari anggota Padepokan Lumut.Setelah memasuki pemukiman desa belasan kuda itu berhenti di halaman sebuah rumah yang beberapa orang warga tampak duduk di pendopo rumah itu, seorang pria di pendapa berdiri dari duduknya dan berjalan tergesa-gesa
“Bukan Paman, hanya aku yang warga Desa Tandur itu sementara Mas Arya berasal dari sebuah desa di ujung barat Pulau Jawa ini. Paman Wirya kenal dekat dengan Paman Sapto?” ujar Mantili.“Bukan hanya kenal kami juga telah lama bersahabat, apakah dia sekarang baik dan sehat-sehat saja di Desa Tandur itu?”“Baik dan sehat-sehat saja Paman, kami datang menemui Paman Wirya di desa ini karena ada sesuatu hal yang hendak kami rembukan dengan Paman berkaitan dengan orang-orang anggota Padepokan Lumut. Tentunya warga desa di sini juga diharuskan membayar upeti setiap bulannya kan Paman?”“Benar sekali Mantili, sebenarnya kami merasa keberatan karena upeti yang mereka inginkan terlalu besar dan cukup membuat warga desa terbebani. Akan tetapi demi tak menginginkan sesuatu hal terjadi pada diri kami, makanya kam terpaksa memenuhi keinginan mereka itu,” tutur Wirya.“Bukan hanya Paman Wirya dan warga desa di sini saja yang merasa keberatan tapi juga warga Desa Tandur, untuk itu pula kami datang ke
“Sudahlah iklaskan saja, kita memang tak dapat berbuat apa-apa. Jika kita bersikukuh mempertahankan bantuan dari desa tetangga itu bukan tidak mungkin nanti kita akan di perlakukan kasar oleh mereka bahkan bisa saja ada di antara kita yang menjadi korban,” tutur Pamungkas menyabarkan hati para warganya yang sedih atas perlakuan rombongan anggota Padepokan Lumut itu.“Sekarang beberapa dari kalian pergilah berburu untuk makan malam kita nanti, dan yang lain tetap ke lahan persawahan berkerja dan bercocok tanam kembali,” sambung Pamungkas.“Baik Mas,” ucap mereka, kemudian melakukan apa yang di perintahkan kepala desa mereka itu.Sementara di Padepokan Lumut rombongan yang tadi berhasil membawa seluruh bantuan dari desa tetangga di Desa Telaga itu di puji oleh Lenggo Lumut, mereka di perlakukan spesial di padepokan itu.“Mari kita minum bersama atas keberhasilan kalian ini..! Ha..ha..ha..!” seru Lenggo Lumut mengajak rombongan anak buahnya yang dari Desa Telaga itu untuk berpesta minuma
“Mereka semua berlarian mengungsi ke daerah perbukitan di sebelah utara desa itu, setelah sehari semalam pula mereka mengungsi begitu air Kali Mas surut dan pemukiman mereka telah layak untuk dihuni mereka pun kembali ke desa,” Sapto menjelaskan.“Kasihan mereka ya, Paman?”“Ya, siang tadi kami seluruh warga desa di sini memberi bantuan berupa beras dan lauk pauk karena lahan persawahan dan persediaan makanan mereka habis semua di sapu arus banjir.”“Berapa lama bantuan tadi siang itu dapat mereka gunakan, Paman?”“Kalau dari warga Desa Tandur ini saja, mungkin dapat mereka gunakan 3 sampai 4 hari saja, tapi desa-desa tetangga lainnya juga pasti membantu hingga nanti mereka dapat menggunakannya untuk kebutuhan 3 minggu hingga sebulan.”“Mereka juga kawasan desa di bawah kekuasaan Padepokan Lumut, Paman Sapto?” kali ini Mantili yang bertanya.“Ya, mereka juga musti membayar upeti setiap bulannya ke padepokan itu.”“Wah, bahaya kalau sampai anggota Padepokan Lumut menagih upeti bulan in