“Aku tidak percaya!Jeritan Yunqin menggema ke penjuru ruangan. Sejak pagi ia berdiri di tengah kamar. Menolak untuk mengenakan pakaian duka yang telah dipersiapkan.Di hadapannya seorang kasim muda membawa baki berisi pakaian duka. Ia menunduk dalam-dalam, bersiap mendengar amarah karena Yunqin harus berangkat ke upacara pemakaman.“Yang Mulia, upacara pemakaman akan segera dimulai. Pelayan pribadi Nyonya Han sendiri yang memastikan identitasnya dan—”“Diam!”Yunqin mengangkat tangan, hendak memukul, tetapi tangannya menggantung di udara, lalu jatuh perlahan ke sisi tubuhnya. Matanya menerawang jauh, seolah coba menyangkal kenyataan yang sejak kemarin dijelaskan padanya. “Yang Mulia, Yang Mulia Kaisar Tao sudah menunggu,” bujuknya lagi “Aku tidak peduli!”Yang Mulia.”“Apa kau sudah dengar siapa yang bertanggung jawab atas segala?”“Semua sedang dalam penyelidikan.”Yunqin diam lanta tiba-tiba wajahnya berubah tegang. “Kau mengatakan kalau Jiali ditemukan di dekat Zijian, bukan? Se
“Yu Yong, katakanlah sesuatu,” mohon Kasim Hong Li pelan, nyaris tenggelam dalam bau lembab dinding batu dan jeruji berkarat. Kasim Hong Li menarik napas. Tidak menyangka kalau Yu Yong sama keras kepala seperti majikannya. Ia membungkuk di depan sel sempit itu, menatap pemuda kurus yang duduk diam dengan tangan terikat, wajahnya kusam dan luka-luka menghitam. Yu Yong tidak bergerak. Matanya kosong, mengarah ke lantai tanah yang becek. Ia seolah tidak mendengar, atau memilih untuk tidak mendengar. Untuk apa ia bicara? Semuanya telah selesai ketika Xiumei mengatakan kalau cincin itu adalah milik Han Jiali. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Ia bersalah karena gagal menjaga majikannya dan mati adalah hukuman setimpal. Kasim Hong Li menelan ludah. “Kau tahu ini bukan hanya tentang dirimu. Jika kau masih seperti ini, aku tidak bisa membantumu. Kapten Gu tolonglah—” Langkah sepatu keras memotong kalimatnya. Dari ujung lorong penjara, iring-iringan langkah terdengar makin dekat. Arom
Langkah Yuwen mantap berjalan memasuki aula pemakaman. Ia mendekati altar dengan dua peti mati yang entah milik siapa. Yuwen menghela napas panjang. Tangannya meraih plakat yang dengan ukiran namanya sendiri, menaruhnya kembali lalu menatap ke sekeliling aula.“Mereka benar-benar melakukan penghormatan terakhir dengan baik,” cicitnya.Tiba-tiba, suara langkah tergesa-gesa terdengar di luar aula. Yunqin muncul di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan. Ia sempat terdiam beberapa saat ketika Yuwen berbalik dan balas menatapnya.Yunqin mendekati Yuwen, tanpa basa-basi, ia bertanya dengan nada terburu-buru, "Bagaimana keadaan Jiali?" Yuwen diam. “Bagaimana keadaan Jiali?” ulangnya dengan nada naik.“Mengapa Yang Mulia harus tahu kondisi istriku?"Yunqin terdiam sejenak. Ia lupa kalau adik tirinya tidak mungkin menjawab sesuai keinginan hatinya. Ia menatap Yuwen berusaha menahan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”“Yang Mulia di sini?” tany
“Benarkah?”Jiali mengangguk lantas memasukkan kembali kue bulan ke dalam mulut, tidak peduli ia sudah menghabiskan lebih dari lima potong kue.“Ya. Mana mungkin aku berbohong.”“Nyonya, kenapa cincin itu bisa ada di tangan orang lain?”“Aku tidak tahu, mungkin wanita itu membelinya dari orang yang merampokku. Sungguh mengerikan. Hanya karena aku memakai pakaian pelayan, aku dicap hina. Menyebalkan. Aku dijual ke rumah pelacuran.” Jiali menghabiskan air teh dalam satu tegukan lalu kembali menatap Xiumei. “Aku tidak menceritakan bagian itu pada ayah.”Mata Xiumei membulat. “Rumah pelacuran?“Ya, negara Zijian berhutang budi pada Yuwen karena dia membakar tempat terkutuk itu. Kami berlari ke hutan, dikejar dan Yuwen terkena panah. Kami terpojok hingga ke tebing. Aku menarik tangan Yuwen memaksanya terjun ke laut.”“Tapi, Nyonya tidak bisa berenang. Kenapa Nyonya melakukan itu?”Jiali urung meraih kue lantas menatap Xiumei. “Aku tidak ingin Yuwen celaka. Penjaga yang mengejar kami terlal
Setelah Yuwen menyerahkan gulungan laporan, ia kembali mundur. Banyak mata memandang dengan berbagai macam emosi. Rasa ingin tahu, kekhawatiran, bahkan kekecewaan tersembunyi.Di sisi kanan Kaisar, Permaisuri Agung Wei Junsu menatap laporan itu sejenak sebelum tersenyum tipis. Ada kecemasan nyata dalam senyuman Junsu. Ia mengatupkan jemari erat-erat di atas lutut, menyembunyikan kegelisahan di balik wajah anggunnya.Sementara itu, dari barisan bawah, adik-adik Yuwen memandang dengan mata bersinar. Lien Hua, si adik perempuan, bahkan nyaris melangkah maju sebelum suaminya menariknya perlahan agar tetap di tempat. Qiaofeng dan Qing An saling bertukar pandang. Kelegaan bahagia tercetak jelas di wajah mereka.Sun Li Wei, yang berdiri tak jauh dari situ, menggenggam lengan bajunya erat. Matanya berkilat saat melihat Jiali berdiri tegak di sisi Yuwen. Diam-diam ia melirik ke arah sang suami. Qing Yunqin yang menatap Jiali tanpa berkedip. Posisinya kembali dalam masalah, bahkan lebih buruk d
“Mengapa kau masih melotot begitu?”Jiali masih melipat lengan di dada. Enggan menurunkan amarahnya.“Tidak ada yang ayah tutupi. Sungguh,” lanjut Dunrui putus asa.“Aku meragukannya,” sahut Jiali cepat.“Aiya, beberapa waktu lalu, ayah memang bertemu Permaisuri Agung Wei Junsu. Beliau bertanggung jawab atas pengaturan rumah tangga kekaisaran. Ada rencana mengganti semua tirai paviliun di istana. Jadi, ayah diminta membawa contoh kain."Dunrui berhenti sebentar, napasnya sedikit berat. "Kau lupa? Tahun ini, toko Han memang mendapat giliran memasok kebutuhan kain mereka. Pengadaan besar seperti ini biasa terjadi setiap beberapa tahun! Seharusnya kau tahu.”Jiali memutar bola mata, gengsi mengakui kalau samar-samar ia memang ingat tentang itu."Lalu ... bagaimana dengan Tuan Lu Nan?" tanyanya lebih perlahan.Han Dunrui mengangguk pelan. "Ayah bertemu dia secara tidak sengaja di istana, saat hendak menyerahkan contoh kain. Dia bilang sedang mencari rumah baru. Katanya, ayah orang yang te
Langit mulai dibalut warna jingga. Cahaya senja memantul di permukaan air. Berkilau indah seperti sutra emas.Jiali melemparkan kerikil ke danau, menimbulkan riak kecil yang perlahan menghilang.“Sudah puas mengerjaiku seharian penuh?”Jiali terkekeh. “Hari ini menyenangkan sekali,” jawabnya. “Kau suka?”Jiali mengangguk-angguk sambil menguap lebar, matanya berair. “Ya, kita harus melakukannya lagi nanti,” jawabnya lagi.Yuwen tersenyum kecil lalu mengusap kepala Jiali dengan lembut. “Ayo pulang. Kau sudah mengantuk.”Jiali menyandarkan kepala di bahu Yuwen lalu memejamkan mata. “Tunggu sebentar lagi,” bisiknya, suaranya mengantuk. “Aku suka ketenangan seperti ini. Berdua saja denganmu.”Mata Yuwen cepat menangkap kilat di ujung danau. Suara desau anak panah melesat cepat. Beruntung Yuwen sigap menarik Jiali kepelukan lantas berguling ke sebelah kiri.Kantuk Jiali lenyap ketika ia melihat anak panah menancap di tanah tempatnya tadi duduk.Yuwen bangkit, memicingkan mata. Meski dari j
Perkemahan telah kosong. Sisa asap tipis dari arang membumbung malas—naik ke langit fajar. Qing Yuwen berdiri diam, tatapannya terkunci pada tenda-tenda kosong. Ia tidak bergerak, tidak berbicara. Hanya berdiri di tengah keheningan yang lebih menusuk daripada ribuan teriakan perang. Di tiap detik yang berlalu menggores harga dirinya.Gu Yu Yong bergerak gelisah. Prajurit yang biasanya selalu tenang, kini seperti terperangkap di antara tugasnya yang harus menjelaskan situasi atau berusaha memadamkan amarah yang sedang memuncak dari tuannya. Ia coba membaca air wajah Yuwen, berharap mendapat petunjuk sekecil apapun tentang apa yang harus diucapkan.“Yang Mulia ….” Yu Yong akhirnya memecah keheningan, suaranya serak, penuh keragu-raguan. “Mungkin ini sebuah—”“Pengkhianatan. Jebakan yang sudah dipersiapkan untukku,” potong Yuwen, suaranya rendah, tetapi tajam, seperti pedang yang baru diasah. “Tidak ada dugaan lain.”Yu Yong terdiam. Tidak ada tanggapan yang bisa ia berikan karena tahu
Langit mulai dibalut warna jingga. Cahaya senja memantul di permukaan air. Berkilau indah seperti sutra emas.Jiali melemparkan kerikil ke danau, menimbulkan riak kecil yang perlahan menghilang.“Sudah puas mengerjaiku seharian penuh?”Jiali terkekeh. “Hari ini menyenangkan sekali,” jawabnya. “Kau suka?”Jiali mengangguk-angguk sambil menguap lebar, matanya berair. “Ya, kita harus melakukannya lagi nanti,” jawabnya lagi.Yuwen tersenyum kecil lalu mengusap kepala Jiali dengan lembut. “Ayo pulang. Kau sudah mengantuk.”Jiali menyandarkan kepala di bahu Yuwen lalu memejamkan mata. “Tunggu sebentar lagi,” bisiknya, suaranya mengantuk. “Aku suka ketenangan seperti ini. Berdua saja denganmu.”Mata Yuwen cepat menangkap kilat di ujung danau. Suara desau anak panah melesat cepat. Beruntung Yuwen sigap menarik Jiali kepelukan lantas berguling ke sebelah kiri.Kantuk Jiali lenyap ketika ia melihat anak panah menancap di tanah tempatnya tadi duduk.Yuwen bangkit, memicingkan mata. Meski dari j
“Mengapa kau masih melotot begitu?”Jiali masih melipat lengan di dada. Enggan menurunkan amarahnya.“Tidak ada yang ayah tutupi. Sungguh,” lanjut Dunrui putus asa.“Aku meragukannya,” sahut Jiali cepat.“Aiya, beberapa waktu lalu, ayah memang bertemu Permaisuri Agung Wei Junsu. Beliau bertanggung jawab atas pengaturan rumah tangga kekaisaran. Ada rencana mengganti semua tirai paviliun di istana. Jadi, ayah diminta membawa contoh kain."Dunrui berhenti sebentar, napasnya sedikit berat. "Kau lupa? Tahun ini, toko Han memang mendapat giliran memasok kebutuhan kain mereka. Pengadaan besar seperti ini biasa terjadi setiap beberapa tahun! Seharusnya kau tahu.”Jiali memutar bola mata, gengsi mengakui kalau samar-samar ia memang ingat tentang itu."Lalu ... bagaimana dengan Tuan Lu Nan?" tanyanya lebih perlahan.Han Dunrui mengangguk pelan. "Ayah bertemu dia secara tidak sengaja di istana, saat hendak menyerahkan contoh kain. Dia bilang sedang mencari rumah baru. Katanya, ayah orang yang te
Setelah Yuwen menyerahkan gulungan laporan, ia kembali mundur. Banyak mata memandang dengan berbagai macam emosi. Rasa ingin tahu, kekhawatiran, bahkan kekecewaan tersembunyi.Di sisi kanan Kaisar, Permaisuri Agung Wei Junsu menatap laporan itu sejenak sebelum tersenyum tipis. Ada kecemasan nyata dalam senyuman Junsu. Ia mengatupkan jemari erat-erat di atas lutut, menyembunyikan kegelisahan di balik wajah anggunnya.Sementara itu, dari barisan bawah, adik-adik Yuwen memandang dengan mata bersinar. Lien Hua, si adik perempuan, bahkan nyaris melangkah maju sebelum suaminya menariknya perlahan agar tetap di tempat. Qiaofeng dan Qing An saling bertukar pandang. Kelegaan bahagia tercetak jelas di wajah mereka.Sun Li Wei, yang berdiri tak jauh dari situ, menggenggam lengan bajunya erat. Matanya berkilat saat melihat Jiali berdiri tegak di sisi Yuwen. Diam-diam ia melirik ke arah sang suami. Qing Yunqin yang menatap Jiali tanpa berkedip. Posisinya kembali dalam masalah, bahkan lebih buruk d
“Benarkah?”Jiali mengangguk lantas memasukkan kembali kue bulan ke dalam mulut, tidak peduli ia sudah menghabiskan lebih dari lima potong kue.“Ya. Mana mungkin aku berbohong.”“Nyonya, kenapa cincin itu bisa ada di tangan orang lain?”“Aku tidak tahu, mungkin wanita itu membelinya dari orang yang merampokku. Sungguh mengerikan. Hanya karena aku memakai pakaian pelayan, aku dicap hina. Menyebalkan. Aku dijual ke rumah pelacuran.” Jiali menghabiskan air teh dalam satu tegukan lalu kembali menatap Xiumei. “Aku tidak menceritakan bagian itu pada ayah.”Mata Xiumei membulat. “Rumah pelacuran?“Ya, negara Zijian berhutang budi pada Yuwen karena dia membakar tempat terkutuk itu. Kami berlari ke hutan, dikejar dan Yuwen terkena panah. Kami terpojok hingga ke tebing. Aku menarik tangan Yuwen memaksanya terjun ke laut.”“Tapi, Nyonya tidak bisa berenang. Kenapa Nyonya melakukan itu?”Jiali urung meraih kue lantas menatap Xiumei. “Aku tidak ingin Yuwen celaka. Penjaga yang mengejar kami terlal
Langkah Yuwen mantap berjalan memasuki aula pemakaman. Ia mendekati altar dengan dua peti mati yang entah milik siapa. Yuwen menghela napas panjang. Tangannya meraih plakat yang dengan ukiran namanya sendiri, menaruhnya kembali lalu menatap ke sekeliling aula.“Mereka benar-benar melakukan penghormatan terakhir dengan baik,” cicitnya.Tiba-tiba, suara langkah tergesa-gesa terdengar di luar aula. Yunqin muncul di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan. Ia sempat terdiam beberapa saat ketika Yuwen berbalik dan balas menatapnya.Yunqin mendekati Yuwen, tanpa basa-basi, ia bertanya dengan nada terburu-buru, "Bagaimana keadaan Jiali?" Yuwen diam. “Bagaimana keadaan Jiali?” ulangnya dengan nada naik.“Mengapa Yang Mulia harus tahu kondisi istriku?"Yunqin terdiam sejenak. Ia lupa kalau adik tirinya tidak mungkin menjawab sesuai keinginan hatinya. Ia menatap Yuwen berusaha menahan emosi yang mulai naik ke permukaan. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”“Yang Mulia di sini?” tany
“Yu Yong, katakanlah sesuatu,” mohon Kasim Hong Li pelan, nyaris tenggelam dalam bau lembab dinding batu dan jeruji berkarat. Kasim Hong Li menarik napas. Tidak menyangka kalau Yu Yong sama keras kepala seperti majikannya. Ia membungkuk di depan sel sempit itu, menatap pemuda kurus yang duduk diam dengan tangan terikat, wajahnya kusam dan luka-luka menghitam. Yu Yong tidak bergerak. Matanya kosong, mengarah ke lantai tanah yang becek. Ia seolah tidak mendengar, atau memilih untuk tidak mendengar. Untuk apa ia bicara? Semuanya telah selesai ketika Xiumei mengatakan kalau cincin itu adalah milik Han Jiali. Tidak ada yang perlu dijelaskan. Ia bersalah karena gagal menjaga majikannya dan mati adalah hukuman setimpal. Kasim Hong Li menelan ludah. “Kau tahu ini bukan hanya tentang dirimu. Jika kau masih seperti ini, aku tidak bisa membantumu. Kapten Gu tolonglah—” Langkah sepatu keras memotong kalimatnya. Dari ujung lorong penjara, iring-iringan langkah terdengar makin dekat. Arom
“Aku tidak percaya!Jeritan Yunqin menggema ke penjuru ruangan. Sejak pagi ia berdiri di tengah kamar. Menolak untuk mengenakan pakaian duka yang telah dipersiapkan.Di hadapannya seorang kasim muda membawa baki berisi pakaian duka. Ia menunduk dalam-dalam, bersiap mendengar amarah karena Yunqin harus berangkat ke upacara pemakaman.“Yang Mulia, upacara pemakaman akan segera dimulai. Pelayan pribadi Nyonya Han sendiri yang memastikan identitasnya dan—”“Diam!”Yunqin mengangkat tangan, hendak memukul, tetapi tangannya menggantung di udara, lalu jatuh perlahan ke sisi tubuhnya. Matanya menerawang jauh, seolah coba menyangkal kenyataan yang sejak kemarin dijelaskan padanya. “Yang Mulia, Yang Mulia Kaisar Tao sudah menunggu,” bujuknya lagi “Aku tidak peduli!”Yang Mulia.”“Apa kau sudah dengar siapa yang bertanggung jawab atas segala?”“Semua sedang dalam penyelidikan.”Yunqin diam lanta tiba-tiba wajahnya berubah tegang. “Kau mengatakan kalau Jiali ditemukan di dekat Zijian, bukan? Se
Pagi ini, langit di atas istana berwarna kelabu. Awan-awan tebal menggantung rendah, seolah turut berkabung atas kepergian putra istana. Gerbang utama istana telah terbuka lebar, menanti rombongan tandu yang membawa jasad Pangeran Kedua dan istrinya.Di sepanjang pelataran, para pelayan dan pejabat berbaris dalam keheningan. Jubah mereka berwarna biru gelap, rambut disanggul rapi, dan kepala tertunduk rendah. Sedangkan di depan gerbang, rakyat bersimpuh dengan penuh air mata.Bendera-bendera kekaisaran dikibarkan setengah tiang. Tidak ada suara selain desau angin yang merayap pelan di sela pilar-pilar batu.Tandu berhias ukiran naga dan burung fenghuang tiba di depan aula persembahan leluhur. Kain putih dan ungu yang melambai di sekelilingnya menjadi pertanda bahwa orang yang wafat bukan rakyat biasa, melainkan darah kekaisaran.Kaisar tidak keluar menyambut. Ini bukan bagian dari aturan, tetapi Selir Agung Shu Qiongshing akan menyambut ditemani kedua putrinya—Qinh Lien Hua dan Qing Q
Aroma asin laut tercampur amis darah busuk membuat para pelayan di belakangnya menutup hidung dengan lengan baju, tetapi Hong Li mengabaikan semuanya. Langkah Kasim Hong Li terhenti ketika pandangannya menangkap dua kain lusuh yang menutupi tubuh di atas tandu kayu. Ia berusaha keras untuk tegar walau sekujur tubuhnya gemetaran.Tidak kuat berlama-lama membayangkan yang ada di hadapannya adalah Yuwen, Kasim Hong Li berjalan mundur beberapa langkah hingga kemudian pandangannya beralih pada Yu Yong yang terlihat duduk di atas hamparan pasir bercampur kerikil pantai.“Kapten Yu,” panggil Kasim Hong Li.Yu Yong menoleh, tetapi masih tidak mau beranjak dari tempatnya duduk.“Apa yang terjadi? Itu … bukan mereka, kan?” tanya Kasim Hong LiYu Yong menundukkan kepala, tak menjawab.Kasim Hong Li berjongkok. Berkali ia mengguncang bahu Yu Yong “Katakan padaku, ini bukan Yang Mulia Pangeran Kedua dan Nyonya Han! Kalian … masih mencari mereka di tempat lain, bukan?”Suara tangis Yu Yong bercam