Song Mingyu menatap Junjie dengan serius. Dia ingin bertanya ada apa dengan Ren Hui. Namun, Junjie pun bersikap sama dengan Ren Hui tadi. Duduk terpekur, tidak berbicara sama sekali."Jika barang itu di tangan Biro Kupu-kupu Emas, maka dapat dipastikan itu dimiliki oleh seseorang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, atau kekayaan. Atau mungkin ketiganya." Junjie membatin dalam hatinya.Song Mingyu sungguh kesal melihatnya terpaku diam tak menganggapnya ada. Dia pun pergi meninggalkan gazebo tanpa disadari Junjie. Pemuda itu berjalan-jalan di sekitar taman. Namun, hanya menelusuri selasar saja karena hujan masih turun dengan deras."Peti tadi berat sekali." Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap.Song Mingyu berhenti berjalan dan tanpa sadar menyembunyikan diri di balik tiang gazebo. Tak jauh darinya bersembunyi, empat orang yang dikenalinya sebagai orang-orang yang tadi mengangkat peti dari dalam kereta. Sepertinya mereka tengah membicarakan
Junjie duduk bergeming. Pandangan matanya lurus ke depan. Enggan menatap sosok wanita cantik yang berdiri di dekat pagar yang dirambati bunga mawar musim gugur.Aroma harumnya samar-samar tercium berbaur dengan aroma khas tanah yang terguyur air hujan. Sungguh suatu perpaduan yang memabukkan, menciptakan ilusi aroma yang akan selalu dirindukan."Pangeran Yongle, apa kabarmu?" Wanita cantik berhanfu merah muda bak buah persik itu bertanya dengan sopan.Meski tanpa menggunakan sebutan seperti yang biasanya digunakan rakyat biasa saat berbicara dengan anggota keluarga kerajaan. Begitupun dengan sikapnya yang justru terkesan arogan. Namun, Junjie tidak merasa tersinggung karenanya."Seperti yang Bibi lihat, aku baik-baik saja," sahutnya dengan sopan. Tanpa sekalipun menatap wanita cantik yang memang merupakan bibinya, karena dia adalah salah satu adik perempuan ayahandanya, kaisar yang saat ini bertahta."Oh ya? Jika kau baik-baik saja, menga
Ren Hui berjalan perlahan ditemani Baihua. Dengan berpayungan, dia menelusuri jalan setapak yang membawanya masuk lebih jauh ke dalam hutan bambu. Hujan masih turun rintik-rintik, membasahi permukaan bumi.Perlahan dia mendongakkan kepalanya, menatap langit yang tertutup mendung. Menadahkan tangan kirinya, membiarkan air hujan membasahi telapak tangannya. Ingatannya kembali melayang ke masa lalu, masa-masa yang sangat ingin diulanginya meski hanya sekejap.Di suatu masa, di suatu tempat yang dia sendiri tidak pernah ingat namanya, pertama kalinya dia bertemu dengan Guru Liuxing. Dia yang hidup sendiri di jalanan. Seorang bocah cilik berusia empat atau lima tahun, meringkuk di sudut bangunan kosong terlantar."Siapa namamu, Nak?" Seorang pria berjubah putih sederhana berjongkok di dekatnya. Menatapnya lekat-lekat dengan tatapan iba.Ren Hui menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingat namanya sendiri. Bahkan mengapa dia ada di jalanan pun dia tak perna
Hujan masih turun dengan deras, menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Suasana di hutan bambu semakin sepi, seolah-olah seluruh dunia terhenti. Tidak ada seorang pun, bahkan hewan, yang berkeliaran di cuaca seperti ini. Hanya ada Ren Hui yang masih berdiri terpaku, ditemani oleh Baihua yang setia. Rubah putih itu berteduh di bawah sebongkah batu besar yang menaunginya, melindunginya dari air hujan yang deras.Ren Hui perlahan menurunkan payungnya, memutar payung yang terbuka. Awalnya pelan, tetapi semakin lama semakin cepat. Tubuhnya juga berputar cepat, bak tengah memutar pedangnya yang tajam. Air hujan yang tercurah membasahi payung itu turut berputar, menciptakan gelombang air yang semakin lama semakin membesar. Serpihan air berhamburan bak ujung pisau yang tajam, mencipratkan kilauan di udara.Akibatnya, sebuah gelombang berkekuatan besar menghantam pohon-pohon bambu, membuatnya tumbang bak terpotong pedang yang tajam. Suaranya bergemuruh hingga terdengar k
Suasana malam di Pondok Bambu Hijau begitu sunyi. Hanya gemericik hujan disertai desau angin yang terdengar. Hujan sedari siang tidak berhenti. Hanya sesekali mereda kemudian turun deras lagi.Song Mingyu duduk di kursi di dekat tempat tidur. Menjaga Ren Hui yang masih terbaring pulas. Begitu juga dengan Junjie. Sepertinya obat yang mereka minum mengandung bahan yang membuat mereka tertidur begitu pulas."Aku tidak mengerti. Mengapa mereka berdua seperti orang yang putus asa. Junjie seharian ini bungkam dan tidak mau berbicara. Sedangkan Ren Hui jatuh sakit." Song Mingyu mengeluh di dalam hati."Eh, sebenarnya apa yang dilakukannya di hutan bambu tadi? Apakah dia hendak mengambil batang bambu saat sakitnya tiba-tiba kambuh?" Song Mingyu teringat akan batang-batang bambu yang berserakan di sekitar tempat Ren Hui ditemukannya.Song Mingyu berdiri karena mendengar sesuatu di luar kamarnya. Bergegas dia mengintip melalui celah di pintu kamarnya. Rupan
Song Mingyu meluncur turun dari atap, memilih memasuki kamar melalui jendela. Dengan cekatan, ia mencongkel jendela tanpa kesulitan. Begitu masuk, ia segera menemukan benda yang dicarinya.Peti mati itu terletak di tengah kamar. Suasana kamar yang cukup terang, berkat lentera dan lilin yang menyala di beberapa sudut, memudahkannya untuk menyelidiki.Dengan hati-hati, ia mendekati peti mati yang diletakkan dalam peti kayu. Dengan sekali dorong, ia membuka tutup peti kayu itu. Song Mingyu tertegun menatap benda di dalamnya."Peti mati giok lavender," gumamnya pelan. Ia menyentuh permukaan peti mati yang terbuat dari giok langka dan berharga itu. "Bagaimana cara membuka peti ini?" pikirnya, mencoba mengingat apa yang pernah didengarnya tentang Ren Jie."Ada dua cara untuk membuka peti itu. Yang pertama dengan mekanisme yang hanya bisa dioperasikan oleh Guru Liuxing serta dua muridnya, Ye Hun dan aku. Cara kedua dengan kunci giok milik Ren Jie." Demik
Song Mingyu menghabiskan tehnya dengan tergesa-gesa. Hatinya masih berdebar kencang. Meskipun, orang-orang Biro Kupu-kupu Emas tidak menyadari mereka berdua telah menyelinap ke dalam kamar tempat peti mati giok lavender disimpan, tetapi dia tidak dapat menahan gejolak di dalam hatinya."Ren Hui, wanita itu masih hidup bukan?" tanyanya pada pedagang arak yang tengah duduk terpekur di depannya. Pria itu sama sekali tidak merespon pertanyaannya.Song Mingyu tertegun. Ren Hui sepertinya juga masih syok dengan apa yang dilihatnya di dalam peti mati giok lavender tadi. Bagaimana pun juga, bukan hal yang wajar jika menemukan sosok manusia yang terbaring dalam peti mati, entah itu hidup atau mati."Dia masih hidup," gumam Ren Hui pelan. Lebih pada dirinya sendiri, bukan jawaban untuk pertanyaan Song Mingyu barusan."Apakah kita bisa meminta pertolongan Yue Yingying untuk mengobatinya?" Song Mingyu bertanya dengan hati-hati. Ren Hui seperti tersa
"Sampai kapan hujan ini akan berhenti?" keluh Song Mingyu seraya menatap hujan yang turun dengan derasnya. Tetesan air yang jatuh dari langit seolah tak pernah berhenti, menciptakan suasana dingin yang menggigit nan sendu.Ini hari ketiga mereka berada di desa Yuhua. Cuaca belum juga bersahabat. Hampir setiap hari hujan turun, membuat siapapun enggan untuk melakukan apapun. Udara dingin menyelimuti desa, menambah kesan suram pada suasana."Semakin lama bunga Yuhua mekar, itu semakin bagus untuk rencana kita. Bukankah begitu?" Ren Hui tersenyum melirik Junjie. Pria itu sedari tadi duduk dengan memegang cangkir berisi arak panas, uapnya mengepul tipis di udara.Di sisinya, tungku pemanas menyala untuk menghangatkan tubuhnya. Dia yang paling menderita dengan cuaca di desa Yuhua ini. Penyakit dinginnya tak kunjung mereda, justru semakin bertambah parah. Bibirnya sampai begitu pucat, jauh dari rona merah seperti biasanya."Aku sudah berkirim kabar pada