Gui Mu duduk berhadapan dengan Nyonya Gao. Seorang pelayan menuangkannya teh untuk mereka. Setelah itu berpamitan dalam diam, mengundurkan diri.
"Nyonya Gao, jika kau tidak keberatan, aku ingin menggunakan satu kamar lagi untuk menyimpan barang di dalam kereta." Tuan Gui Mu membuka percakapan begitu pelayan meninggalkan mereka berdua."Tentu saja. Tetapi, masalahnya hanya ada satu kamar tersisa." Nyonya Gao menyahut dengan santai. Baginya selama ada uang dan tidak membuat penginapan maupun desa mengalami masalah maka semua bisa diatur."Tidak mengapa, Nyonya. Itu sudah cukup. Karena kali ini kami membawa sesuatu yang mungkin menarik perhatian banyak pihak." Tuan Gui Mu menghela napas pelan."Tuan Gui, kapan biromu membawa barang yang biasa-biasa saja? Bukankah ini sudah sering terjadi? Mengapa kau begitu cemas?" Nyonya Gao tersenyum menggodanya.Biro Kupu-kupu Emas memang kerap membawa sesuatu yang kadang menarik perhatian, terutama paraRen Hui berdiri terpaku di depan pintu kamar yang setengah terbuka. Begitu juga Junjie dan Song Mingyu. Belum lepas dari keterkejutan karena suara barang terjatuh, tiba-tiba saja hujan turun. Bak tak diundang, air seperti ditumpahkan ke permukaan bumi dengan derasnya."Ayo cepat! Masukkan barangnya ke dalam kamar!" Salah seorang pria, sepertinya pemimpin biro itu, berteriak memerintahkan para anak buahnya untuk bergerak cepat.Namun, mereka cukup kesulitan karena benda itu terlihat sangat berat. Mereka telah berusaha sekuat tenaga, tetapi benda itu hanya bergerak sedikit saja.Ren Hui pun bergegas membantu mereka. Begitu juga Song Mingyu dan Junjie. Song Mingyu sengaja menggunakan tenaga dalamnya meski tanpa kentara. Akhirnya, benda itu pun bergegas dan dapat dipindahkan ke dalam kamar."Tuan, terima kasih atas bantuannya." Pemimpin biro mendekati mereka dan mengucapkan terima kasih kepada mereka bertiga."Ti
Song Mingyu menatap Junjie dengan serius. Dia ingin bertanya ada apa dengan Ren Hui. Namun, Junjie pun bersikap sama dengan Ren Hui tadi. Duduk terpekur, tidak berbicara sama sekali."Jika barang itu di tangan Biro Kupu-kupu Emas, maka dapat dipastikan itu dimiliki oleh seseorang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, atau kekayaan. Atau mungkin ketiganya." Junjie membatin dalam hatinya.Song Mingyu sungguh kesal melihatnya terpaku diam tak menganggapnya ada. Dia pun pergi meninggalkan gazebo tanpa disadari Junjie. Pemuda itu berjalan-jalan di sekitar taman. Namun, hanya menelusuri selasar saja karena hujan masih turun dengan deras."Peti tadi berat sekali." Terdengar suara beberapa orang bercakap-cakap.Song Mingyu berhenti berjalan dan tanpa sadar menyembunyikan diri di balik tiang gazebo. Tak jauh darinya bersembunyi, empat orang yang dikenalinya sebagai orang-orang yang tadi mengangkat peti dari dalam kereta. Sepertinya mereka tengah membicarakan
Junjie duduk bergeming. Pandangan matanya lurus ke depan. Enggan menatap sosok wanita cantik yang berdiri di dekat pagar yang dirambati bunga mawar musim gugur.Aroma harumnya samar-samar tercium berbaur dengan aroma khas tanah yang terguyur air hujan. Sungguh suatu perpaduan yang memabukkan, menciptakan ilusi aroma yang akan selalu dirindukan."Pangeran Yongle, apa kabarmu?" Wanita cantik berhanfu merah muda bak buah persik itu bertanya dengan sopan.Meski tanpa menggunakan sebutan seperti yang biasanya digunakan rakyat biasa saat berbicara dengan anggota keluarga kerajaan. Begitupun dengan sikapnya yang justru terkesan arogan. Namun, Junjie tidak merasa tersinggung karenanya."Seperti yang Bibi lihat, aku baik-baik saja," sahutnya dengan sopan. Tanpa sekalipun menatap wanita cantik yang memang merupakan bibinya, karena dia adalah salah satu adik perempuan ayahandanya, kaisar yang saat ini bertahta."Oh ya? Jika kau baik-baik saja, menga
Ren Hui berjalan perlahan ditemani Baihua. Dengan berpayungan, dia menelusuri jalan setapak yang membawanya masuk lebih jauh ke dalam hutan bambu. Hujan masih turun rintik-rintik, membasahi permukaan bumi.Perlahan dia mendongakkan kepalanya, menatap langit yang tertutup mendung. Menadahkan tangan kirinya, membiarkan air hujan membasahi telapak tangannya. Ingatannya kembali melayang ke masa lalu, masa-masa yang sangat ingin diulanginya meski hanya sekejap.Di suatu masa, di suatu tempat yang dia sendiri tidak pernah ingat namanya, pertama kalinya dia bertemu dengan Guru Liuxing. Dia yang hidup sendiri di jalanan. Seorang bocah cilik berusia empat atau lima tahun, meringkuk di sudut bangunan kosong terlantar."Siapa namamu, Nak?" Seorang pria berjubah putih sederhana berjongkok di dekatnya. Menatapnya lekat-lekat dengan tatapan iba.Ren Hui menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingat namanya sendiri. Bahkan mengapa dia ada di jalanan pun dia tak perna
Hujan masih turun dengan deras, menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Suasana di hutan bambu semakin sepi, seolah-olah seluruh dunia terhenti. Tidak ada seorang pun, bahkan hewan, yang berkeliaran di cuaca seperti ini. Hanya ada Ren Hui yang masih berdiri terpaku, ditemani oleh Baihua yang setia. Rubah putih itu berteduh di bawah sebongkah batu besar yang menaunginya, melindunginya dari air hujan yang deras.Ren Hui perlahan menurunkan payungnya, memutar payung yang terbuka. Awalnya pelan, tetapi semakin lama semakin cepat. Tubuhnya juga berputar cepat, bak tengah memutar pedangnya yang tajam. Air hujan yang tercurah membasahi payung itu turut berputar, menciptakan gelombang air yang semakin lama semakin membesar. Serpihan air berhamburan bak ujung pisau yang tajam, mencipratkan kilauan di udara.Akibatnya, sebuah gelombang berkekuatan besar menghantam pohon-pohon bambu, membuatnya tumbang bak terpotong pedang yang tajam. Suaranya bergemuruh hingga terdengar k
Suasana malam di Pondok Bambu Hijau begitu sunyi. Hanya gemericik hujan disertai desau angin yang terdengar. Hujan sedari siang tidak berhenti. Hanya sesekali mereda kemudian turun deras lagi.Song Mingyu duduk di kursi di dekat tempat tidur. Menjaga Ren Hui yang masih terbaring pulas. Begitu juga dengan Junjie. Sepertinya obat yang mereka minum mengandung bahan yang membuat mereka tertidur begitu pulas."Aku tidak mengerti. Mengapa mereka berdua seperti orang yang putus asa. Junjie seharian ini bungkam dan tidak mau berbicara. Sedangkan Ren Hui jatuh sakit." Song Mingyu mengeluh di dalam hati."Eh, sebenarnya apa yang dilakukannya di hutan bambu tadi? Apakah dia hendak mengambil batang bambu saat sakitnya tiba-tiba kambuh?" Song Mingyu teringat akan batang-batang bambu yang berserakan di sekitar tempat Ren Hui ditemukannya.Song Mingyu berdiri karena mendengar sesuatu di luar kamarnya. Bergegas dia mengintip melalui celah di pintu kamarnya. Rupan
Song Mingyu meluncur turun dari atap, memilih memasuki kamar melalui jendela. Dengan cekatan, ia mencongkel jendela tanpa kesulitan. Begitu masuk, ia segera menemukan benda yang dicarinya.Peti mati itu terletak di tengah kamar. Suasana kamar yang cukup terang, berkat lentera dan lilin yang menyala di beberapa sudut, memudahkannya untuk menyelidiki.Dengan hati-hati, ia mendekati peti mati yang diletakkan dalam peti kayu. Dengan sekali dorong, ia membuka tutup peti kayu itu. Song Mingyu tertegun menatap benda di dalamnya."Peti mati giok lavender," gumamnya pelan. Ia menyentuh permukaan peti mati yang terbuat dari giok langka dan berharga itu. "Bagaimana cara membuka peti ini?" pikirnya, mencoba mengingat apa yang pernah didengarnya tentang Ren Jie."Ada dua cara untuk membuka peti itu. Yang pertama dengan mekanisme yang hanya bisa dioperasikan oleh Guru Liuxing serta dua muridnya, Ye Hun dan aku. Cara kedua dengan kunci giok milik Ren Jie." Demik
Song Mingyu menghabiskan tehnya dengan tergesa-gesa. Hatinya masih berdebar kencang. Meskipun, orang-orang Biro Kupu-kupu Emas tidak menyadari mereka berdua telah menyelinap ke dalam kamar tempat peti mati giok lavender disimpan, tetapi dia tidak dapat menahan gejolak di dalam hatinya."Ren Hui, wanita itu masih hidup bukan?" tanyanya pada pedagang arak yang tengah duduk terpekur di depannya. Pria itu sama sekali tidak merespon pertanyaannya.Song Mingyu tertegun. Ren Hui sepertinya juga masih syok dengan apa yang dilihatnya di dalam peti mati giok lavender tadi. Bagaimana pun juga, bukan hal yang wajar jika menemukan sosok manusia yang terbaring dalam peti mati, entah itu hidup atau mati."Dia masih hidup," gumam Ren Hui pelan. Lebih pada dirinya sendiri, bukan jawaban untuk pertanyaan Song Mingyu barusan."Apakah kita bisa meminta pertolongan Yue Yingying untuk mengobatinya?" Song Mingyu bertanya dengan hati-hati. Ren Hui seperti tersa
Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil
Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk
Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh