"Maaf ya, Kirana. Aku ke meja sebelah dulu, Satriya sudah menungguku," kata Eliana.
Kirana tersenyum, mengangguk. "Silakan, El. Santai saja, nanti kita lanjut ngobrol."
"Terima kasih," ujar Eliana sebelum beranjak menuju meja tempat Satriya duduk.
Berbeda dari Kirana yang tampak santai, Adrian justru menatap Eliana lekat-lekat. Pandangannya mengikuti setiap langkah wanita itu, seolah ada magnet yang menahannya untuk tidak berpaling. Ia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu dalam diri Eliana yang... berubah. Dan entah kenapa, itu terasa asing baginya.
Eliana tiba di meja Satriya. Wajahnya berseri saat menyapa pria itu, lalu mereka terlibat dalam percakapan yang tampak akrab dan penuh tawa. Suara tawa Eliana—yang tak dibuat-buat membuat Adrian terdiam.
Beberapa detik kemudian, Adrian bangkit dari kursinya tanpa mengatakan apa pun.
"Adrian?" Arya memanggil, bingung.
Tapi Adrian tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja mereka dan langsung duduk di kursi kosong tanpa meminta izin.
Eliana dan Satriya menoleh bersamaan, sama-sama terkejut.
“Kamu masih suka beef steak, kan?” tanya Eliana, sengaja mengalihkan.
Satriya mengangguk. “Iya, pilihkan saja yang terbaik.”
Eliana memanggil pelayan dan memesan steak favorit Satriya, lalu menoleh ke pelayan lagi untuk memastikan pesanan. Namun, belum sempat pelayan itu pergi, Adrian menyela.
“Satu lagi yang sama untukku,” ucap Adrian sambil menutup menu.
Eliana menatap Adrian dengan heran. “Kamu pesan yang sama?”
Adrian menoleh sekilas dan mengangguk. “Ya. Hanya ingin tahu, apakah selera Satriya dan aku sama.”
Tak lama, makanan datang. Eliana tampak begitu perhatian pada Satriya. Ia mengambil pisau dan garpu, mulai memotong steak Satriya dengan telaten, senyum lembutnya tidak berubah.
“Makanlah yang banyak,” ujar Eliana sambil tersenyum, berbicara dengan lembut yang hanya Satriya yang bisa menerima dengan tenang.
Satriya hanya tertawa kecil. “Ya.”
Namun tiba-tiba, Adrian menggeser piring miliknya dan dengan tenang menukar piring itu dengan milik Satriya, yang sudah dipotong oleh Eliana.
“Sepertinya potongan ini lebih cocok untukku,” ucap Adrian santai, lalu mulai menyantap daging itu tanpa ragu.
Eliana terpaku, begitu pula Satriya. Eliana menatap Adrian, bingung.
“Adrian, itu…” tegur Eliana.
Adrian menoleh. “Kenapa? Bukankah kamu sudah repot-repot memotongnya? Rasanya sayang kalau tidak aku hargai.”
Satriya mengangkat alis, lalu tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Aku bisa potong sendiri.”
Eliana tampak tidak nyaman, namun ia hanya mengangguk, berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.
Adrian, yang sejak tadi diam, terus menyantap makanannya dengan tenang, namun matanya tak lepas dari Eliana dan Satriya.
Mata Adrian terus mencuri pandang ke arah Eliana dan Satriya, berusaha membaca hubungan keduanya. Namun, tak satu pun tanda yang bisa ia simpulkan dengan pasti. Mereka tampak begitu akrab, namun tidak ada yang bisa ia buktikan. Apakah mereka hanya teman biasa? Atau ada lebih dari itu?
Namun satu hal yang pasti, ada sesuatu yang membuat ia tidak tenang sejak pertama ia bertemu kembali dengan Eliana. Apakah rasa bersalah? Apalagi setelah tadi Eliana menyebutkan kata kata cupu dan kumal, yang ia yakin dulu ia katakan ketika taruhannya selesai.
“Uhuk! Uhuk!”
Lamunan Adrian terhenti karena Satriya yang mendadak tersedak. Adrian langsung menegakkan punggungnya. Namun, sebelum ia sempat melakukan apapun, Eliana lebih dulu panik dan buru-buru mengambil gelas miliknya — yang jelas sudah ia minum sebelumnya — lalu menyodorkannya ke Satriya.
“Minum ini cepat!” kata Eliana cemas.
Tanpa berpikir panjang, Satriya menerima gelas itu dan meneguk isinya dengan terburu-buru. Melihat itu, mata Adrian langsung membulat lebar. Pemandangan itu begitu janggal baginya, membuat rasa tidak nyaman. Ia ingin berkata sesuatu, ingin menegur, ingin protes — tapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan.
"Itu… jus milik Eliana. Dia—dia minum dari gelas yang sama?" batinnya, kaget sekaligus kesal. Rasa aneh menggelitik hatinya, sesuatu yang seolah tidak bisa ia tafsirkan. Apa yang sedang terjadi? Mengapa itu terasa begitu mengganggu?
Adrian membuka mulut hendak bicara, namun kata-kata itu tak kunjung keluar. Sebelum ia sempat melontarkan apapun, Satriya lebih dulu menoleh ke Eliana, memberikan senyum lembut, lalu berkata, “Terima kasih, Kak.”
"Kamu baik-baik saja?”
Satriya mengangguk. “Ya, sudah lega sekarang.”
Sontak ucapan Satriya membuat Adrian terdiam, matanya berpindah-pindah antara Eliana dan Satriya, kini bukan hanya kaget… melainkan bingung.
“Kak?” gumam Adrian, masih berusaha mencerna informasi itu.
Eliana hanya tersenyum kecil, menatap Satriya dengan tatapan hangat, namun tidak memberikan penjelasan lebih lanjut.
Adrian mengerutkan kening, mencoba memahami. “Kak?” ulangnya lagi, kali ini lebih jelas dan langsung.
“Iya, Kak Eliana. Dia memang kakakku.”
Adrian terpaku, kata-kata itu memukulnya sedikit lebih keras dari yang ia duga. “Kakak?”
Eliana menatap Adrian sekilas lalu mengangguk ringan. “Ya. Satriya adikku.”
Mendengar itu, Adrian tertawa kecil, napasnya lega seketika. Pertanyaan-pertanyaan yang sempat memenuhi pikirannya seketika hilang, tergantikan oleh rasa canggung atas sikapnya yang tadi terkesan konfrontatif terhadap Satriya. Ia menyandarkan tubuh ke kursi dengan senyum kecil, lalu menjulurkan tangannya ke arah Satriya.
"Maaf, Satriya. Sepertinya aku terlalu berlebihan tadi." Adrian tersenyum, mencoba mengatasi ketegangan yang masih mengambang di antara mereka.
"Tidak apa-apa."
"Perkenalkan. Aku, Adrian."
Baru saja nama itu meluncur dari bibir pria itu, Satriya mendadak menoleh ke arah Eliana. Tatapan matanya seolah bertanya, namun tidak terucap. Eliana yang menyadari tatapan itu hanya menunduk, jemarinya menggenggam erat ponselnya di atas meja, tanpa sepatah kata pun.
Adrian menangkap semua itu, dan sempat terdiam sesaat sebelum kembali bicara.
“Aku tahu,” jawab Satriya dingin, menatap Adrian datar, tanpa menjabat tangannya.
Adrian mengerjap, kaget dengan nada bicara Satriya yang mendadak dingin.
“Kau tahu?” tanya Adrian, heran. “Eliana cerita banyak tentangku, ya?”
Satriya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Adrian sejenak sebelum menoleh lagi ke Eliana, lalu menjawab pendek, “Tidak."
Adrian sedikit mengernyit, namun tidak bertanya lebih jauh.
Suasana makan siang itu terasa hening, meski mereka bertiga menikmati hidangan masing-masing, ada ketegangan yang terasa di antara mereka. Tidak ada percakapan yang berarti, hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar. Masing-masing dari mereka tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri, hanya sesekali saling melirik tanpa berkata apa-apa.
Setelah beberapa waktu, saat makanan mereka hampir habis, Adrian mengangkat tangan hendak memanggil pelayan untuk membayar. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, Satriya lebih dulu berdiri, lalu mengeluarkan dompet dari sakunya.
“Biar aku yang bayar makananku dan Kak Eliana."
Adrian sempat ingin menanggapi, tapi Satriya sudah meletakkan uang di atas meja. Tanpa banyak kata, Satriya beranjak pergi, diikuti oleh Eliana yang tampak ragu, namun akhirnya ikut melangkah.
Adrian hanya bisa memperhatikan mereka berjalan menjauh. Ia bersandar di kursinya, menatap piring yang kini kosong di hadapannya.
“Kenapa sikap adik Eliana mendadak dingin sekali? Apa aku pernah melakukan sesuatu… atau dia tahu sesuatu yang nggak aku tahu?”
Malamitu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saatmobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungisebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk disampingnya di kursi mobil.“Inirumah siapa, Ma?” Lydiamelepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."Adrianmengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.“Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."“Kamuakan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.“Ck!”Denganmalas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subratayang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaanbingung.Sesampainyadi depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata,dan istrinya, Vio. “Selamatdatang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak
"Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" "Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.Prang!Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. "Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. "Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. "Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."Eliana menoleh, semp
Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang
"Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar."Ta-Tapi apa salahku—""Maaf, Eliana."Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sek
"Tante,aku mau ke toilet dulu, ya?" ucap Sienna setelah selesai salat. Dengancepat, ia melepaskan mukena merah mudanya dengan gerakan yang sedikittergesa-gesa."Baik,Tante akan menunggumu di kamar. Setelah itu, kita lanjutkan pelajarannya,"jawab Eliana.Siennamengangguk cepat, namun sebelum melangkah pergi, ia memohon, "Tapi,setelah belajar, antar aku beli cokelat ya, Tante?"Elianamenatapnya sejenak, terperangah oleh paksaan kecil dari anak itu. Akhirnya, iamengangguk. "Oke, setelah belajar selesai, Tante antar."Siennatersenyum lebar, lalu berlari keluar dengan ceria. Eliana tersenyum tipismelihat tingkah gadis kecil itu. Dengantenang, Eliana mulai melipat mukenanya. Namun, langkahnya terhenti saat iamendengar suara langkah kaki yang mendekat. Seseorangsudah berdiri di sana, di ambang pintu kamar.Adrian.Priaitu bersandar santai pada dinding, kedua tangan terlipat di depan dada."Apakabar, Eliana?" suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka.TubuhEliana kaku
“Jujursaja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?”“Mungkinsemesta yang membawaku kembali.”Kiranamendengus pelan. “Jawaban yang terlalu klise.”Merekaberdua tertawa kecil, namun, tawa itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba suara seorangpria terdengar dari samping mereka.“Kirana?”Kiranadan Eliana serempak menoleh. Arya berdiri di sana bersama seorang pria yanglangsung membuat napas Eliana tertahan—Adrian.Tatapanmata Adrian langsung mengunci pada sosok Eliana, seolah ia tengah melihat hantudari masa lalu. Sorot matanya tajam, namun ada riak emosi yang sulitdisembunyikan.Aryamelirik cepat ke arah Kirana, Eliana, dan Adrian, lalu bergumam pelan,“Sepertinya aku melewatkan sesuatu yang menarik di sini.”Ialangsung menarik kursi dan duduk tanpa menunggu persetujuan. “Boleh kamibergabung?”Kiranatersenyum dan mengangguk ringan. “Tentu, kalau Eliana tidak keberatan.”Elianamenatap Adrian sekilas, lalu mengangguk. “Silakan.”Adrianduduk dengan perlahan, nam
Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang
"Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" "Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.Prang!Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. "Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. "Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. "Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."Eliana menoleh, semp
Malamitu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saatmobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungisebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk disampingnya di kursi mobil.“Inirumah siapa, Ma?” Lydiamelepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."Adrianmengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.“Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."“Kamuakan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.“Ck!”Denganmalas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subratayang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaanbingung.Sesampainyadi depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata,dan istrinya, Vio. “Selamatdatang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak
"Maafya, Kirana. Aku ke meja sebelah dulu, Satriya sudah menungguku," kataEliana.Kiranatersenyum, mengangguk. "Silakan, El. Santai saja, nanti kita lanjutngobrol.""Terimakasih," ujar Eliana sebelum beranjak menuju meja tempat Satriya duduk.Berbedadari Kirana yang tampak santai, Adrian justru menatap Eliana lekat-lekat.Pandangannya mengikuti setiap langkah wanita itu, seolah ada magnet yangmenahannya untuk tidak berpaling. Ia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu dalamdiri Eliana yang... berubah. Dan entah kenapa, itu terasa asing baginya.Elianatiba di meja Satriya. Wajahnya berseri saat menyapa pria itu, lalu merekaterlibat dalam percakapan yang tampak akrab dan penuh tawa. Suara tawaEliana—yang tak dibuat-buat membuat Adrian terdiam.Beberapadetik kemudian, Adrian bangkit dari kursinya tanpa mengatakan apa pun."Adrian?"Arya memanggil, bingung.TapiAdrian tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja mereka dan langsung duduk dikursi kosong tanpa meminta izin.Elianadan Sa
“Jujursaja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?”“Mungkinsemesta yang membawaku kembali.”Kiranamendengus pelan. “Jawaban yang terlalu klise.”Merekaberdua tertawa kecil, namun, tawa itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba suara seorangpria terdengar dari samping mereka.“Kirana?”Kiranadan Eliana serempak menoleh. Arya berdiri di sana bersama seorang pria yanglangsung membuat napas Eliana tertahan—Adrian.Tatapanmata Adrian langsung mengunci pada sosok Eliana, seolah ia tengah melihat hantudari masa lalu. Sorot matanya tajam, namun ada riak emosi yang sulitdisembunyikan.Aryamelirik cepat ke arah Kirana, Eliana, dan Adrian, lalu bergumam pelan,“Sepertinya aku melewatkan sesuatu yang menarik di sini.”Ialangsung menarik kursi dan duduk tanpa menunggu persetujuan. “Boleh kamibergabung?”Kiranatersenyum dan mengangguk ringan. “Tentu, kalau Eliana tidak keberatan.”Elianamenatap Adrian sekilas, lalu mengangguk. “Silakan.”Adrianduduk dengan perlahan, nam
"Tante,aku mau ke toilet dulu, ya?" ucap Sienna setelah selesai salat. Dengancepat, ia melepaskan mukena merah mudanya dengan gerakan yang sedikittergesa-gesa."Baik,Tante akan menunggumu di kamar. Setelah itu, kita lanjutkan pelajarannya,"jawab Eliana.Siennamengangguk cepat, namun sebelum melangkah pergi, ia memohon, "Tapi,setelah belajar, antar aku beli cokelat ya, Tante?"Elianamenatapnya sejenak, terperangah oleh paksaan kecil dari anak itu. Akhirnya, iamengangguk. "Oke, setelah belajar selesai, Tante antar."Siennatersenyum lebar, lalu berlari keluar dengan ceria. Eliana tersenyum tipismelihat tingkah gadis kecil itu. Dengantenang, Eliana mulai melipat mukenanya. Namun, langkahnya terhenti saat iamendengar suara langkah kaki yang mendekat. Seseorangsudah berdiri di sana, di ambang pintu kamar.Adrian.Priaitu bersandar santai pada dinding, kedua tangan terlipat di depan dada."Apakabar, Eliana?" suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka.TubuhEliana kaku
"Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar."Ta-Tapi apa salahku—""Maaf, Eliana."Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sek