Share

Bab 2

Author: Sarana
last update Last Updated: 2025-03-19 00:21:38

"Tante, aku mau ke toilet dulu, ya?" ucap Sienna setelah selesai salat. Dengan cepat, ia melepaskan mukena merah mudanya dengan gerakan yang sedikit tergesa-gesa.

"Baik, Tante akan menunggumu di kamar. Setelah itu, kita lanjutkan pelajarannya," jawab Eliana.

Sienna mengangguk cepat, namun sebelum melangkah pergi, ia memohon, "Tapi, setelah belajar, antar aku beli cokelat ya, Tante?"

Eliana menatapnya sejenak, terperangah oleh paksaan kecil dari anak itu. Akhirnya, ia mengangguk. "Oke, setelah belajar selesai, Tante antar."

Sienna tersenyum lebar, lalu berlari keluar dengan ceria. Eliana tersenyum tipis melihat tingkah gadis kecil itu.

Dengan tenang, Eliana mulai melipat mukenanya. Namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar suara langkah kaki yang mendekat.

Seseorang sudah berdiri di sana, di ambang pintu kamar.

Adrian.

Pria itu bersandar santai pada dinding, kedua tangan terlipat di depan dada.

"Apa kabar, Eliana?" suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka.

Tubuh Eliana kaku sejenak. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun, meski di dalam hatinya, beragam perasaan mengalir begitu cepat. Sudah bertahun-tahun, dan tiba-tiba dia kembali hadir di sini, di hadapannya.

Namun, alih-alih menjawab atau memberikan reaksi apa pun, Eliana memilih untuk melangkah pergi. Ia tidak ingin terjebak dalam perasaan yang mungkin datang kembali jika ia terlalu lama berhadapan dengan Adrian. Kehadirannya tak lagi memiliki arti apa pun, dan ia berniat membuktikannya.

Adrian mengernyit, merasa tersinggung dengan sikap Eliana yang memilih mengabaikannya begitu saja. Tubuhnya tegak, menatap punggung wanita itu yang berjalan menjauh.

"Kau–" Adrian membuka mulutnya, mencoba menghentikan langkah Eliana dan mendapatkan perhatian darinya.

Namun, sebelum kata-kata itu keluar lebih jauh, langkah Laras terdengar mendekat. Dengan cepat, ia muncul di hadapan Adrian, menatapnya tajam dan memberi peringatan.

"Adrian, sudah Kakak bilang jangan ganggu Sienna, dia sedang belajar," ujar Laras tegas sambil menarik lengan adiknya untuk mengajaknya pergi. 

"Aku… Aku hanya—" 

Ucapan Adrian terputus saat matanya tak sengaja bertemu dengan Eliana, yang kini sudah berada di ambang pintu kamar Sienna. 

Namun detik berikutnya, Eliana mengalihkan pandangannya begitu saja. 

Adrian terdiam, dadanya terasa sesak. Langkahnya terhenti, dan untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di tempat, membiarkan Laras menggenggam lengannya tanpa perlawanan. 

Apa dia benar-benar tak mengenaliku? Atau memang sengaja bersikap seperti itu? 

Dulu… dia yang selalu mengejarku. Selalu tersenyum bahkan saat aku menyakitinya. Tapi sekarang…

Harga dirinya terhina. Bukan karena makian. Tapi karena sikap dingin Eliana.

Sikap diam Eliana berbicara lebih lantang daripada apa pun. 

***

Adrian berjalan mondar-mandir di ruang tengah, gelisah. Pikirannya tak henti memutar ulang sikap dingin Eliana yang baru saja ia temui. Terlalu tenang, terlalu jauh… dan sangat berbeda dengan Eliana yang ia kenal sepuluh tahun lalu. 

Gadis yang dulu lugu, kini menjelma menjadi sosok tenang yang sulit ditebak—dan lebih menyakitkannya, ia bersikap seolah Adrian hanyalah bayangan masa lalu yang tak layak diingat. 

Adrian mengusap wajahnya kasar, berusaha mengusir kegelisahan. Namun, lamunannya terputus oleh suara gemericik hujan yang mulai turun membasahi halaman rumah. Ia menoleh ke arah jendela—hujan turun dengan deras. 

Tiba-tiba, ingatan akan permintaan Sienna menyambar pikirannya. Cokelat. Minimarket. Eliana.

Belum sempat ia bereaksi, suara langkah cepat terdengar dari arah tangga. 

"Yeay! Akhirnya belajarnya selesai juga! Tante, ayo kita pergi sekarang sebelum hujannya makin besar!" seru Sienna riang. 

Eliana muncul tak jauh di belakangnya, langkahnya tenang seperti biasa. Namun sebelum ia sempat berbicara, Adrian sudah lebih dulu menghampiri keduanya. 

"Hujan. Kalian mau ke minimarket saat cuaca begini?" ucap Adrian cepat, menatap Eliana lalu Sienna bergantian. 

"Iya, cuma sebentar kok," jawab Sienna sambil menggenggam tangan Eliana. 

"Tunggu dulu," potong Adrian. "Biar Om saja yang antar."

Namun, Sienna langsung menggeleng cepat. "Enggak mau! Aku mau sama Tante Eliana aja!"  

Adrian menahan napas. Ia menatap tangan kecil Sienna yang menggenggam erat tangan Eliana.

Eliana hanya diam. Tak menolak, tak menyetujui. Seperti biasa—dingin dan sulit ditebak. 

Adrian akhirnya bersuara lagi, namun lebih pelan dari sebelumnya. "Hujannya deras, Siena. Setidaknya tunggu reda dulu." 

Sienna mendesah, terlihat kesal, tapi akhirnya mengangguk enggan. 

"Ya udah… tapi nanti tetap Tante Eliana yang antar ya, bukan Om." 

Lalu ia berbalik, kembali ke ruang tamu untuk menunggu. 

Adrian menatap Eliana. Ia ingin mengatakan sesuatu—apapun—tapi tak tahu harus mulai dari mana. 

Namun seperti tadi, Eliana hanya menunduk sedikit, memberi isyarat sopan, lalu mengikuti Sienna tanpa sepatah kata pun. 

***

Eliana duduk di salah satu sudut restoran, menyesap teh hangatnya dengan tenang. Tempat ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pegawai kantor yang menikmati waktu istirahat mereka. 

Langkah seseorang mendekat, lalu berhenti tepat di depan mejanya. 

"Eliana?" 

Eliana mendongak, matanya membelalak sejenak sebelum senyumnya muncul perlahan. "Kirana?" 

Sosok wanita berambut sebahu itu menatapnya dengan ekspresi tak percaya sebelum menarik kursi di depan Eliana dan duduk tanpa menunggu persetujuan. 

"Astaga… ini benar-benar kamu?" 

Eliana tersenyum kecil. "Ya, ini aku." 

Kirana menggeleng pelan, masih terlihat sulit mempercayai apa yang ia lihat. "Sepuluh tahun, Eliana. Ke mana saja kau selama ini?" 

Eliana menunduk, jemarinya menggenggam cangkir teh yang mulai kehilangan kehangatannya. Suaranya pelan saat ia menjawab, "Banyak hal terjadi, Kirana. Maaf aku pergi tanpa kabar." 

Kirana menghela napas, matanya menatap Eliana penuh makna. "Kau tidak berubah… masih suka menghilang begitu saja. Masih suka memendam semuanya sendiri." 

Eliana tersenyum tipis, kali ini ada getir yang tersembunyi di baliknya. "Aku tak bermaksud membuat siapa pun khawatir. Saat itu… aku hanya perlu menjauh." 

Kirana menatap sahabat lamanya itu lebih dalam, seolah ingin membaca semua luka yang tak sempat diceritakan. 

"Kalau begitu, bolehkah sekarang aku tahu alasannya?" 

Eliana tersenyum tipis sambil menggelengkan kepala. Pandangannya jatuh ke cangkir teh yang kini hanya menyisakan sisa hangat. Ia diam sejenak, seolah sedang memilah kata yang tepat—atau mungkin sedang mencari keberanian yang entah terselip di mana. 

Kirana menatapnya lekat-lekat, lalu bertanya hati-hati, "Apa ini… karena Adrian?" 

Eliana tertawa kecil, namun ada nada getir yang menyusup di balik suara itu. "Kau masih sama seperti dulu, Kirana. Selalu ingin tahu segalanya." 

"Tentu saja! Karena aku peduli!" sahut Kirana cepat sambil menyilangkan tangan di dada, ekspresinya serius. "Aku mencarimu ke mana-mana, Eliana. Apa kau tahu betapa khawatirnya aku?" 

"Maaf." 

"Sekarang kau kembali. Apa kau akan menetap di sini?" tanya Kirana.

Eliana mengangkat bahu santai. "Aku belum tahu. Bisa jadi."

Kirana menyipitkan mata, tak puas dengan jawaban itu. "Jujur saja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?"

Eliana tidak langsung menjawab. Pandangannya menerobos kaca jendela restoran yang sedikit buram, mengamati lalu lalang orang di trotoar.


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 3

    “Jujursaja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?”“Mungkinsemesta yang membawaku kembali.”Kiranamendengus pelan. “Jawaban yang terlalu klise.”Merekaberdua tertawa kecil, namun, tawa itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba suara seorangpria terdengar dari samping mereka.“Kirana?”Kiranadan Eliana serempak menoleh. Arya berdiri di sana bersama seorang pria yanglangsung membuat napas Eliana tertahan—Adrian.Tatapanmata Adrian langsung mengunci pada sosok Eliana, seolah ia tengah melihat hantudari masa lalu. Sorot matanya tajam, namun ada riak emosi yang sulitdisembunyikan.Aryamelirik cepat ke arah Kirana, Eliana, dan Adrian, lalu bergumam pelan,“Sepertinya aku melewatkan sesuatu yang menarik di sini.”Ialangsung menarik kursi dan duduk tanpa menunggu persetujuan. “Boleh kamibergabung?”Kiranatersenyum dan mengangguk ringan. “Tentu, kalau Eliana tidak keberatan.”Elianamenatap Adrian sekilas, lalu mengangguk. “Silakan.”Adrianduduk dengan perlahan, nam

    Last Updated : 2025-03-19
  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 4

    "Maafya, Kirana. Aku ke meja sebelah dulu, Satriya sudah menungguku," kataEliana.Kiranatersenyum, mengangguk. "Silakan, El. Santai saja, nanti kita lanjutngobrol.""Terimakasih," ujar Eliana sebelum beranjak menuju meja tempat Satriya duduk.Berbedadari Kirana yang tampak santai, Adrian justru menatap Eliana lekat-lekat.Pandangannya mengikuti setiap langkah wanita itu, seolah ada magnet yangmenahannya untuk tidak berpaling. Ia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu dalamdiri Eliana yang... berubah. Dan entah kenapa, itu terasa asing baginya.Elianatiba di meja Satriya. Wajahnya berseri saat menyapa pria itu, lalu merekaterlibat dalam percakapan yang tampak akrab dan penuh tawa. Suara tawaEliana—yang tak dibuat-buat membuat Adrian terdiam.Beberapadetik kemudian, Adrian bangkit dari kursinya tanpa mengatakan apa pun."Adrian?"Arya memanggil, bingung.TapiAdrian tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja mereka dan langsung duduk dikursi kosong tanpa meminta izin.Elianadan Sa

    Last Updated : 2025-03-23
  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 5

    Malamitu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saatmobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungisebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk disampingnya di kursi mobil.“Inirumah siapa, Ma?” Lydiamelepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."Adrianmengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.“Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."“Kamuakan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.“Ck!”Denganmalas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subratayang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaanbingung.Sesampainyadi depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata,dan istrinya, Vio. “Selamatdatang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak

    Last Updated : 2025-04-22
  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 6

    "Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" "Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.Prang!Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. "Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. "Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. "Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."Eliana menoleh, semp

    Last Updated : 2025-04-23
  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 7

    Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang

    Last Updated : 2025-04-24
  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 1

    "Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar."Ta-Tapi apa salahku—""Maaf, Eliana."Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sek

    Last Updated : 2025-03-19

Latest chapter

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 7

    Keesokan harinya, Eliana kembali ke rumah Yusuf setelah semalam menginap di rumah Kirana. Meskipun sudah memberitahu Vio melalui telepon, ada rasa tidak enak dan canggung karena keputusan mendadak semalam. Saat ia memasuki kamar, pandangannya langsung bertemu dengan Melani yang sudah duduk di sana, seakan menunggunya. "Eliana, semalam kamu nginap di mana?" "Aku nginap di rumah sahabatku."Melani menghela napas lega, tapi ekspresi cemasnya tak langsung hilang. Dengan langkah cepat, ia bangkit dan mendekat, memeluk Eliana erat. "Aku khawatir, El," bisiknya. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu mau keluar malam itu? Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."Eliana tersenyum kecil dan mengelus punggung Melani dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Mel. Jangan khawatir."Melani melepaskan pelukannya dan menarik Eliana untuk duduk bersama. "Tapi, kenapa kamu tiba-tiba nginap di luar? Nggak biasanya kamu seperti itu. Ada apa?"Eliana ragu sejenak, hatinya bergolak antara ingin menceritakan yang

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 6

    "Apa kalian… sudah saling mengenal sebelumnya?" "Kami—" Baru saja Adrian hendak menjawab, tiba-tiba suara keras menghentikannya.Prang!Semangkuk sup tumpah dengan derasnya, jatuh tepat mengenai pakaian Eliana. Cairan panas itu menciprat, membuat suasana menjadi riuh seketika. Mbok Inah, asisten rumah tangga berusia tua itu, tampak terkejut dan segera membungkuk, cemas. "Maaf, Non. Mbok nggak sengaja," ucapnya dengan wajah pucat pasi.Eliana mengangkat tangannya, memberikan senyuman lembut untuk menenangkan Mbok Inah. "Nggak apa-apa, Mbok," jawabnya lembut. Ia lalu mulai memunguti pecahan mangkuk yang berserakan di lantai.Namun, Mbok Inah buru-buru melarangnya, takut Eliana terluka. "Jangan, Non. Biarkan Mbok yang mengurusnya," katanya dengan tergesa-gesa, berusaha untuk mengambil alih.Melihat situasi yang mulai kacau, Vio segera angkat suara, "Eliana, lebih baik kamu ganti pakaian dulu. Sup itu pasti panas, tanganmu bisa iritasi kalau tidak segera dibasuh."Eliana menoleh, semp

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 5

    Malamitu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Adrian mengerutkan kening saatmobil yang ia naiki berhenti di depan sebuah rumah yang tak pernah ia kunjungisebelumnya. Rumah itu tampak besar, dengan lampu-lampu yang menyala disepanjang jalan masuk. Ia menoleh ke arah ibunya, Lydia, yang duduk disampingnya di kursi mobil.“Inirumah siapa, Ma?” Lydiamelepaskan seat belt dan menoleh ke arah Adrian. “Ini rumah Om Yusuf."Adrianmengerutkan kening. “Om Yusuf?” Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.“Kenapa Mama mengajakku kemari? Aku bahkan tidak mengenalnya."“Kamuakan tahu nanti, Adrian,” jawab Subrata, ayah Adrian yang sejak tadi diam.“Ck!”Denganmalas Adrian membuka pintu mobil dan keluar. Ia mengikuti Lydia dan Subratayang sudah lebih dulu melangkah menuju rumah itu, masih dengan perasaanbingung.Sesampainyadi depan pintu, mereka disambut dengan hangat oleh Yusuf, teman lama Subrata,dan istrinya, Vio. “Selamatdatang, Subrata, Lydia! Sudah lama sekali tidak

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 4

    "Maafya, Kirana. Aku ke meja sebelah dulu, Satriya sudah menungguku," kataEliana.Kiranatersenyum, mengangguk. "Silakan, El. Santai saja, nanti kita lanjutngobrol.""Terimakasih," ujar Eliana sebelum beranjak menuju meja tempat Satriya duduk.Berbedadari Kirana yang tampak santai, Adrian justru menatap Eliana lekat-lekat.Pandangannya mengikuti setiap langkah wanita itu, seolah ada magnet yangmenahannya untuk tidak berpaling. Ia tak tahu kenapa. Tapi ada sesuatu dalamdiri Eliana yang... berubah. Dan entah kenapa, itu terasa asing baginya.Elianatiba di meja Satriya. Wajahnya berseri saat menyapa pria itu, lalu merekaterlibat dalam percakapan yang tampak akrab dan penuh tawa. Suara tawaEliana—yang tak dibuat-buat membuat Adrian terdiam.Beberapadetik kemudian, Adrian bangkit dari kursinya tanpa mengatakan apa pun."Adrian?"Arya memanggil, bingung.TapiAdrian tidak menjawab. Ia berjalan menuju meja mereka dan langsung duduk dikursi kosong tanpa meminta izin.Elianadan Sa

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 3

    “Jujursaja, kau kembali karena ada urusan atau... seseorang?”“Mungkinsemesta yang membawaku kembali.”Kiranamendengus pelan. “Jawaban yang terlalu klise.”Merekaberdua tertawa kecil, namun, tawa itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba suara seorangpria terdengar dari samping mereka.“Kirana?”Kiranadan Eliana serempak menoleh. Arya berdiri di sana bersama seorang pria yanglangsung membuat napas Eliana tertahan—Adrian.Tatapanmata Adrian langsung mengunci pada sosok Eliana, seolah ia tengah melihat hantudari masa lalu. Sorot matanya tajam, namun ada riak emosi yang sulitdisembunyikan.Aryamelirik cepat ke arah Kirana, Eliana, dan Adrian, lalu bergumam pelan,“Sepertinya aku melewatkan sesuatu yang menarik di sini.”Ialangsung menarik kursi dan duduk tanpa menunggu persetujuan. “Boleh kamibergabung?”Kiranatersenyum dan mengangguk ringan. “Tentu, kalau Eliana tidak keberatan.”Elianamenatap Adrian sekilas, lalu mengangguk. “Silakan.”Adrianduduk dengan perlahan, nam

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 2

    "Tante,aku mau ke toilet dulu, ya?" ucap Sienna setelah selesai salat. Dengancepat, ia melepaskan mukena merah mudanya dengan gerakan yang sedikittergesa-gesa."Baik,Tante akan menunggumu di kamar. Setelah itu, kita lanjutkan pelajarannya,"jawab Eliana.Siennamengangguk cepat, namun sebelum melangkah pergi, ia memohon, "Tapi,setelah belajar, antar aku beli cokelat ya, Tante?"Elianamenatapnya sejenak, terperangah oleh paksaan kecil dari anak itu. Akhirnya, iamengangguk. "Oke, setelah belajar selesai, Tante antar."Siennatersenyum lebar, lalu berlari keluar dengan ceria. Eliana tersenyum tipismelihat tingkah gadis kecil itu. Dengantenang, Eliana mulai melipat mukenanya. Namun, langkahnya terhenti saat iamendengar suara langkah kaki yang mendekat. Seseorangsudah berdiri di sana, di ambang pintu kamar.Adrian.Priaitu bersandar santai pada dinding, kedua tangan terlipat di depan dada."Apakabar, Eliana?" suara Adrian memecah kesunyian di antara mereka.TubuhEliana kaku

  • Kembalinya Mantan yang Kujadikan Taruhan   Bab 1

    "Maaf, Eliana. Sepertinya aku tidak bisa meneruskan hubungan ini lagi."Kata-kata itu keluar begitu saja, menghantam Eliana tanpa peringatan. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Lorong sekolah yang tadi dipenuhi suara langkah dan tawa riuh kini mendadak sunyi di telinganya. Jemarinya yang gemetar mencengkeram erat tali tas di bahunya, mencoba mencari pegangan di tengah guncangan yang baru saja menerpanya.Dihadapannya, Adrian Mahendra berdiri dengan wajah datar."Ta-Tapi apa salahku—""Maaf, Eliana."Adrian memotongnya. Dingin. Tanpa ragu. Tanpa memberikan kesempatan bagi Eliana untuk berbicara. Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia melangkah mundur. Satu langkah. Dua langkah. Hingga akhirnya berbalik, pergi meninggalkannya begitu saja di lorong sekolah.Eliana hanya bisa terpaku. Kedua kakinya seolah tertanam di lantai, membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran emosi yang bercampur antara keterkejutan, kesedihan, dan kebingungan. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu sek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status