“Lepaskan Bu Glara atau peluru ini akan bersarang di kepala anda!” ancam seorang pria bertubuh tegap berdiri tepat di belakang Damian.
“Haha anda kira saya takut? Tidak akan!”
Pria itu justru tertawa kecil, jemarinya menarik pelatuk dan dalam hitungan detik saja peluru itu bisa benar-benar melesat masuk ke kepala Damian. “Anda kira saya main-main? Saya beri kesempatan anda menyelamatkan nyawa anda sendiri dalam lima detik,” ujar pria itu tak gentar sedikit pun, ia tetap dengan pistol di kepala Damian.
“Kali ini lo lolos!” ujar Damian seraya melepaskan Glara dan berlari masuk ke dalam mobil pick up dan bergegas pergi dari sana.
Glara menghela napas lega, ia menoleh dan menatap pria yang sedang menyimpan kembali ponselnya. “Maaf saya terlambat menyelamatkan anda.”
“Apa kamu di bawah naungan Bhuvi?”
 
“Tenang dulu, jangan panik. Kita lihat cctv dulu.” Bhuvi pun menepuk kursi di sampingnya dan menyalakan layar televisi.Glara tampak patuh, ia lantas duduk di samping Bhuvi dengan raut wajah panik dan khawatir. Bhuvi mulai menyalakan rekaman cctv mulai dari siang tadi hingga malam tiba. “Tasha membawa anak-anak?” tanya Glara tak percaya dengan apa yang tersaji di layar monitor.“Bukankah dia terlihat baik?” lanjut Glara mencoba meraih ponselnya.“Tuan dan nyonya, maaf saya baru sempat ke mari. Saya baru selesai merapikan massion belakang. Tadi perawat Tasha berpesan untuk menyampaikan pada tuan dan nyonya jika Perawat Tasha mengajak Gama dan Erina ke tempat nyonya Lana karena sedari Nyonya pergi, Gama terus menangis dan meminta bertemu dengan tuan dan nyonya,” ujar seorang wanita paruh baya yang memakai seragam pembantu.Tanpa sadar Glara dan Bhuvi pun
Kini Martha sedang duduk berhadapan dengan Glara yang diawasi penuh oleh pengawal yang dipimpin langsung oleh Leo. Glara tampak ramah menatap Martha, berbeda dengan wanita itu yang tampak menundukkan kepala karena malu. “Apa sudah ketahuan siapa yang meretas data perusahaan?” tanya Glara membuka perbincangan mereka.Martha pun menggelengkan kepala. “Hampir seluruh karyawanku sudah pergi dan mogok kerja. aku tidak lagi memiliki kekuatan. Maka dari itu, aku menghubungi Bu Glara untuk… .”“Membeli saham perusahaan? Atau membeli perusahaannya?” Martha mendongak menatap Glara bingung dan malu. “Martha apa kamu tahu kalau Damian yang dirawat di rumah sakit itu palsu?” tanya Glara membuat Martha mengerutkan keningnya bingung.“Bagaimana bisa? Maksudku, bukannya dia mengalami kecelakaan? Pihak kepolisian sendiri yang mengatakannya.”Glara men
“Aku rasa dia tidak punya alasan untuk menolaknya, Bhuvi. Lebih baik memperbaiki daripada mengganti kepemilikan yang belum tentu bisa lebih baik dari sebelumnya, ‘kan?”“Kamu tidak berniat membelinya?”Glara terdiam sejenak ia tampak berpikir. “tidak enak rasanya merebut yang bukan milikku.”“Bukannya kamu membeli bukan merebut?” tanya Bhuvi menatap Glara.Glara menarik napas dalam-dalam dan berkata, “memang iya aku membelinya namun, tetap saja perusahaan itu bukan aku yang mendirikan dan bukan aku juga yang membesarkannya. Kalau aku mengambilnya sama saja aku merebut satu-satunya peninggalan ayahnya Martha kan?”Bhuvi pun mengangguk dan melanjutkan sarapannya. Mereka pun menikmati makanannya dengan tenang dan sesekali mendengarkan celoteh Gama dan Erina tentang mimpi yang mereka alami semalam.
“Menjual perusahaan ini,” ujar Martha dengan tatapan yang sedih.“Tidak perlu sampai dijual, bu Martha.”“Iya saya rasa tidak perlu sampai dijual atau bahkan dilelang. Kita coba pikirkan jalan keluarnya bersama-sama.” Ucapan wanita tadi disambut anggukan dan persetujuan dari peserta rapat yang lainnya. Membuat wanita menor tadi kehilangan suara dan bantuan. “Menurut Bu Glara, apa yang harus dilakukan perusahaan ini?”“Menurut saya, perusahaan Bu Martha ini masih sangat menjual dan bagus. Hanya saja, sistem keamanan dan sistem kerjanya yang kurang tersusun rapi. Selain itu, kita yang menanam modal di sini juga harus sadar jika perusahaan ini baru saja sadar dari komanya, dan kita butuh waktu untuk memulihkan keadaannya sampai ia bisa berjalan seperti normal lagi.”Para tamu pun berdebat masalah perusahaan apakah harus dijual atau membiarkanny
“Aku yakin kok. Walau dia baru tetapi pemahamannya tentang konsep yang aku minta begitu cepat. Dia juga kreatif dan memberi masukan yang baik. Aku rasa gak ada alasan untuk aku ragu sama vendor ini. Kenapa kamu gak mendukung aku?”Bhuvi tersenyum tipis. “bukannya tidak mendukung, kita harus memilih vendor yang terbaik untuk acara sebesar ini, ‘kan?”“Acara besar? Bukannya hanya peluncuran produk seperti biasanya?” tanya Glara heran dengan ucapan Bhuvi yang terkesan melebih-lebihkan acaranya.“Kamu baru ini kan meluncurkan produk sendiri? Jadi gak ada salahnya kita buat sesuatu yang berbeda dari perusahaan lain lakukan. dan untuk merealisasikan itu, kita butuh vendor terpercaya dan handal.”“Bhuvi… percaya padaku. Vendor ini bisa dipercaya dan tidak akan mengecewakanku.” Bhuvi menatap wajah Glara yang sedang menatapnya dengan tat
Glara lantas mematikan kompor dan bergegas menghampiri Gama di lantai atas. “Ada apa?” tanya Glara seraya mengatur napasnya.“Ibu, ini apa?” tanya Gama seraya memberikan box kecil yang ia dapatkan dari dalam tas sekolahnya.Glara mengambil box itu dengan kening berkerut dan raut wajah bingungnya. Ia lantas memeriksa isi tas Gama dan membantu anaknya merapikan tas dan isinya. “Bu maaf tadi saya sedang di kamar Erina. Ada apa ya?” tanya Tasha yang tiba dengan raut wajah panik.“Tidak apa. Oh iya, kemarin apa ada yang membuka tas Gama?” tanya Glara seraya berjalan mendekati Tasha yang berdiri di ambang pintu kamar Gama.Tasha tampak berpikir sejenak, ia mencoba mengingat-ingat kejadian kemarin di sekolah. “Atau kamu tahu ini box apa?”“Ah itu, kemarin saya menemukannya dari almari loker Gama di sekolah Bu. Saya kira i
“Sepertinya bukan. Karena pegawai di sini semuanya mengenakan id card. Dan tidak diperkenankan mengenakan penutup wajah kecuali karena sakit atau keadaan tertentu,” jelas Berlin pada Glara dan Bhuvi yang menatapnya penuh tanya.“Artinya itu orang dari luar?” ujar Bhuvi menyimpulkan ucapan Berlin. “Kalau begitu keamanan di sekolah ini kurang?”“Bukan begitu, pak.” Satpam itu terlihat panik saat menyangkal ucapan Bhuvi. “Mungkin itu salah satu babysitter dari murid di sini yang sedang menyimpan barang di loker majikannya.”Bhuvi tersenyum tipis. “loker majikannya? Saya tidak punya babysitter seperti itu. itu loker putra saya.”Berlin dan satpam pun terdiam, mereka tak bisa membuat alasan lagi. “Maaf pak kami lalai untuk menyeleksi orang-orang yang berlalu lalang, tapi kami akan mencari tahu apa yang dia perbuat di loker putra
“Maaf Gama tidak bisa menjaga Erina seperti pesan ayah dan ibu,” ujar Gama dengan raut wajah sedih.Glara pun segera mendekap Gama dan mengusap puncak kepalanya, begitu juga dengan Bhuvi pria itu segera mengusap punggung Gama. “sayang, ini bukan kesalahan Gama. kita semua tidak tahu kalau kejadiannya akan begini. Sekarang kita berdoa saja ya, semoga Erina baik-baik saja dan segera berkumpul lagi dengan kita,” balas Glara menenangkan putranya.Gama menangis dalam dekapan Glara, entah kenapa anak kecil itu merasa bersalah karena membuat Erina berada di dalam ruang igd, padahal ia juga tak berbuat apapun yang membahayakan Erina. Saat sedang berpelukan dan menenangkan Gama. seorang perawat keluar dari dalam ruang igd dengan seorang dokter di belakangnya.“Kepada keluarga pasien?” ujar perawat itu menatap Glara dan Bhuvi.Dua orang dewasa itu bergegas mendekat ke