“Aku sudah katakan, aku bukan wanita biasa!” ujar Glara berbisik di telinga Damian setelah itu ia tersenyum sinis dan menggenggam kembali tangan Gama, ia berjalan meninggalkan Damian yang masih termenung di tempat.
Damian menatap kepergian Glara dan Bhuvi yang berjalan beriringan bak sebuah keluarga harmonis. Entah kenapa, hari ini Glara terlihat begitu cantik di matanya, padahal selama ini ia tak pernah sedikit pun melihat kecantikan Glara. Karena tak mau membuat malu diri sendiri, Damian pun mengalah dan duduk di meja yang tak jauh dari meja Glara.
Acara pun berlangsung sangat meriah, beberapa kategori award sudah dibacakan dan tibalah pada kategori terakhir. Darel yang ditunjuk sebagai salah satu pembaca nominasi pun maju ke atas panggung dan berdiri di depan podium.
“Dan pemenang untuk nominasi pengusaha paling berpengaruh jatuh kepada,” ujarnya seraya menunjuk ke layar lcd besar di belakangny
Damian mengendarai mobilnya dengan terburu-buru, ia bahkan mengabaikan lampu lalu lintas tujuannya saat ini adalah rumah masa kecil Martha. Butuh waktu 1 jam untuk Damian bisa sampai ke rumah itu.Setibanya di sana, Damian mengetuk pintu dan tak lama seorang wanita paruh baya keluar dari dalam. “Maaf bapak siapa ya?” tanya dengan raut wajah kebingungan.“Di mana Martha?”Wanita itu semakin mengerutkan keningnya bingung. “Martha? Martha siapa? Di sini tidak ada yang bernama Martha. Mungkin anda salah alamat.”“Tidak, ini benar rumah Martha.”“Maaf pak, saya sudah membeli rumah ini beberapa bulan yang lalu. Mungkin orang yang bapak cari sudah pindah rumah. maaf ini sudah larut malam, saya harus istirahat. Permisi.” Wanita itu segera menutup pintu tanpa mendengar jawaban Damian.Pria itu termenung di de
Mereka terkejut dengan sikap Gama yang langsung berlarian ke sana ke mari dan mencoba bermain lego di sana. Glara tersenyum pada Bhuvi. “Temani saja di sini, aku akan mengurus administrasinya.” Glara mengangguk dan membiarkan Bhuvi meninggalkannya di dalam kelas.Seorang guru mendekati Glara ia menyapa dan menjelaskan tentang sistem belajar di kelas pemula ini. Dari sanalah, Glara tahu kalau sekolah yang ia pilih memang tepat untuk anak-anak seperti Gama.“Glara kamu lupa denganku?” ujar salah seorang guru di sana. dari wajah dan gaya berpakaiannya terlihat jika usianya tak berbeda jauh dengan Glara.Kening Glara berkerut mendengar ucapan wanita itu, ia mengamati wajahnya dengan seksama namun, hasilnya nihil ia tak bisa mengingat siapa sosok yang berdiri di depannya. “Aku Berlin. Kamu lupa? Kita dulu teman satu fakultas.”“Sungguh ini dirimu Berlin?” ta
Glara pun mendongak, ia menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. “Ya tuhan, aku sampai tidak sadar. Kalian saja, aku nanti. Saya titip Gama ya.” Glara melihat ke arah Gama yang sudah bersiap mengenakan sepatunya.“Nona tidak ikut?” tanya Boy bingung.Glara menggeleng lemah, “ada banyak berkas yang harus saya periksa, tidak papa saya nanti makan di sini saja.”“Baik, Nona. Saya berangkat sekarang. permisi.” Glara mengangguk.Ia beranjak menghampiri Gama yang sudah menunggunya di tepi meja. Setelah berpamitan dan mengatakan jika dirinya tidak bisa ikut, Gama, Boy dan pengawal lain bergegas meninggalkan ruang kerja Glara. Walau awalnya Gama memaksa Glara untuk ikut, pada akhirnya Glara berhasil membujuknya.Perjalanan dari perusahaan Glara ke perusahaan Bhuvi memakan waktu yang cukup lama. Namun, karena keahlian Boy dalam membaw
Issabella menatap wanita itu dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Berbeda dengan wanita yang berdiri di ambang pintu, ia menatap Issabella penuh selidik.“Sayang, ke marilah,” ujar Damian mencairkan suasana tegang yang terjadi di sana.“Dia siapa?” tanya wanita itu masih bergeming di tempatnya.Damian berusaha untuk duduk, ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kasur. “Martha, kenalkan ini Bella. Dia rekan kerjaku.”“Rekan kerja? hanya rekan kerja?” selidik Martha menatap Damian dan Issabella curiga.“Ayolah Martha, jangan berprasangka buruk terus padaku. Bella kebetulan menjenguk saudaranya dan ya singgah ke sini sebentar. Tidak usah terlalu berlebihan.”Martha menatap Damian dalam-dalam. “Em, sorry jika kedatanganku menganggu dan mengusikmu. Saya pamit, Pak Damian rekan kerjamu ini pe
“Lupakan saja,” balas Glara cepat, ia tak enak hati melanjutkan penjelasannya tadi.Bhuvi masih menatapnya penuh selidik dan dalam-dalam. Namun, perhatian keduanya teralihkan karena teriakan Gama yang menggema ke seluruh penjuru bangunan.Glara dan Bhuvi bertukar pandang lantas berlari mendekati balita itu. Dari kejauhan Glara dan Bhuvi melihat Gama sedang berada di dalam gendongan Boy dan dua orang pengawal tengah berdebat dengan seorang yang tertutupi sebagian tubuh boy.“Ada apa?” tanya Bhuvi seraya mendekat ke arah Boy.“Paman‼” rengek Gama dan menarik baju Bhuvi. Bhuvi langsung mengambil alih Gama dan membawanya di dalam dekapan hangatnya.Bhuvi menoleh dan mendapati Glara tengah menatap dua orang wanita berbeda usia di depannya dengan sorot mata tajam dan menusuk. “Oh jadi ini alasanmu menolak permintaan maaf Damian?” ujarnya
“Tidak apa. Kita akan segera menemukan kebenarannya.” Bhuvi mencoba menenangkan Glara. “Oh, iya bagaimana dengan persiapan besuk pagi?”Glara mengangguk, “aku sudah selesai merapikan pakaian dan urusan kantor.”“Setelah pulang dari sana, kita cari tim audit untuk memeriksa data perusahaan agar ketahuan apakah memang ada kenakalan di sana atau hanya kesalahan saat memasukkan data.”Glara dan Bhuvi pun bercerita ia lantas menanyakan tentang rencana balas dendamnya. “Sepertinya kita tidak perlu mengotori tangan kita. Karena sebentar lagi dia akan mendapatkan karmanya.”“Sungguh? Bagaimana bisa?”Bhuvi tersenyum dan menunjukkan beberapa foto pada Glara. “Namanya Issabella. Kamu sudah tahu, ‘kan?”Glara menoleh dan mengangguk dengan kening berkerut. “Dia adalah wa
Bhuvi mengurai dekapannya, ia menatap lurus ke depan dan mengabaikan tatapan tanya yang Glara lempar untuknya. “Bhuvi, enam tahun silam ada apa?”Bhuvi menoleh dan tersenyum tipis pada Glara. “Ayolah Bhuvi, aku tidak ingat apapun.”Glara terus menuntut penjelasan dari Bhuvi sayangnya, ia harus berhenti sejenak karena Gama dan Boy sudah kembali dari arena bermain. Gama terlihat sangat bahagia, berbeda dengan Boy yang tampak berbanding terbalik dengan Gama.“Ayah, oboy payah!” ujar Gama mendekati tubuh Bhuvi yang berjongkok di depannya.“Kenapa payah?”Gama mengangguk, balita itu mengalungkan tangannya di leher Bhuvi dan mengejek Boy. “Oboy tadi berteriak-teriak ketakutan padahal hanya permainan seperti itu.”Bhuvi tertawa kecil. “Berarti anak ayah hebat karena tidak takut. Tetapi, Gama kita tida
Sejak kejadian di mobil tadi, Glara mencoba menghindari Bhuvi. padahal Bhuvi terlihat biasa saja, ia justru senang karena Glara membanggakan kehadirannya dan menggangapnya selama ini. Terlihat seperti sekarang ini, Bhuvi sedang asyik bermain bersama dengan Gama, mereka mencoba mainan yang tadi mereka beli dan Glara justru mengurung diri di kamar dengan alasan mengerjakan urusan kantor, padahal wanita itu hanya diam dan membolak-balik berkas saja.Karena terlalu asyik bermain bersama Gama, Bhuvi tak sadar jika waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ia pun meminta pelayannya untuk menyiapkan makan malam. “Gama boleh ayah minta bantuan?”Gama mendongak dan menatap Bhuvi dengan wajah polosnya. “Apa ayah?”“Panggil ibu untuk makan malam yuk?” Gama mengangguk riang, ia segera merapikan mainannya dan berdiri.Bhuvi dan Gama berjalan beiringan menuju ke kamar Glara. Setiba