Tampaknya hari-hari Samy telah berubah, kesuraman itu kini menjadi berwarna. Hubungannya dengan Veny sudah membaik. Kini dia sedang menyusun sebuah rencana untuk mereka bertiga.Saat ini kehamilan Veny sudah menginjak delapan bulan, dan itu semakin memperlengkap kebahagiaan mereka tatkala dokter mengatakan bahwa seorang putri akan menjadi keluarga baru di tengah-tengah mereka."Aku tidak percaya kita akan dapat sepasang sayang," ucap Samy saat mereka berada di mobil."Aku sudah menebaknya dan itu benar," sahut Veny yang duduk di samping suaminya."Nick pasti senang, dia pernah mengatakan menginginkan adik perempuan." Bibir Samy seolah enggan melepas senyumannya. "Bagaimana kalau kita ke sekolahnya?"Veny mengangguk saja sambil asyik menyuapkan makanan ke dalam mulutnya."Kau sudah makan tiga bungkus dan itu tidak baik buat bayi kita." Samy mengambil bungkus Snack itu dan memindahkannya ke kursi belakang.Veny jadi cemberut. "Padahal bayinya masih lapar.""Kita cari makanan sehat, apa
Veny memakai gaun berwarna putih dengan rambut tersanggul yang dihiasi dengan Tiara berwarna silver. Kecantikannya terpancar terlebih saat ini dia tengah berbadan dua."Sungguh aku malu untuk keluar," katanya saat mereka berada di ruangan tertutup.Veny menatap perutnya yang membuncit."Kau cantik dengan perutmu itu dan terlihat sexi." Samy mengedipkan sebelah matanya membuat Veny cemberut."Sepertinya matamu bermasalah," komentar Veny."Dan aku senang jika itu benar."Veny memalingkan dirinya."Kau cantik dengan bentuk tubuhmu, seperti apapun itu kau tetap yang tercantik di mataku." Pujian itu mengalir seiring dengan tangan yang melingkar di pinggang Veny.Veny tersipu mendengar pujian itu, apa lagi saat Samy mengecup lehernya dari samping."Astaga, Daddy ternyata di sini, apa Daddy lupa acaranya akan dimulai." Nick yang sudah rapi dengan jas senada dengan Samy berdiri di pintu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya."Daddy tidak mau jauh dari mom." Samy sudah seperti anak kecil."Kal
Kejutan itu belum berakhir sepenuhnya saat Samy tiba-tiba menjatuhkan dirinya di hadapan Veny. Lelaki itu mengedipkan mata pada Nick.Nick datang menyerahkan kotak kecil pada daddynya.Samy membuka kotak itu hingga menampilkan isinya yang berkilau, membuat Veny menutup mulutnya semakin terharu, Samy suaminya menyematkan cincin itu di jari manisnya lalu di akhiri dengan kecupan."I love you more!" ucap Samy dengan kalimat yang begitu dalam dan indah.Veny terpaku, matanya berkaca-kaca menatap cincin yang kini melingkar di jari manisnya. Cahaya dari berlian itu berkilauan, tetapi lebih dari itu, momen ini menghangatkan hatinya lebih dari yang pernah ia bayangkan.Samy menatapnya dengan senyum penuh cinta, tangannya masih menggenggam lembut tangan Veny. "Aku tahu perjalanan kita tidak mudah, tapi aku ingin kau tahu, aku mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini."Air mata haru mengalir di pipi Veny. "Samy..." Hanya itu yang mampu keluar dari bibirnya, hatinya terlalu penuh dengan emosi
Veny mengangguk, meskipun perasaannya tidak karuan. Semua kebahagiaan yang baru saja mereka rasakan seolah terguncang oleh ancaman yang tidak diketahui ini.Samy memegang tangan Veny, mencoba menenangkannya. "Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkan apapun mengganggu kita lagi. Aku berjanji."Namun, jauh di dalam hati, baik Samy maupun Veny tahu bahwa masa lalu mereka mungkin belum sepenuhnya selesai."Aku membebaskanmu karena aku masih menghargaimu, karena kau pernah menyelamatkan hidupku," kata Samy yang mengunjungi Moza hari ini dan tentu saja tanpa sepengetahuan Veny."Aku berterima kasih, meskipun nyawa tidak sebanding dengan ini, kau membuangku, Sam." Moza tampak emosional dan ia ingin mempengaruhi Samy sekali lagi."Kau yang menghilang sampai aku menemukan Veny," ucap Samy. Mengesampingkan rasa bersalahnya.Dia sadar tak bisa memenuhi keinginan Moza, namun wanita itu tidak mau yang lain selain dirinya sendiri."Karena kau tidak mau menikahi ku." Air mata Moza jatuh."Maaf!" S
"Menurutmu, jika kau telah menyelamatkan nyawa seseorang, apa yang pantas sebagai balasannya?" Moza mulai memainkan emosi Veny."Moza, hentikan!" Samy takut istrinya sedih karena hal itu, namun di luar dugaan Veny menjawabnya dengan tenang."Tergantung dari orang yang menyelamatkan itu, dia ikhlas menolong atau karena sesuatu."Jawaban Veny membuat Moza terdiam, tapi dia tidak akan kalah semudah itu. "Aku pikir kau harus tau kalau Samy dulu nyaris mati jika saja aku tidak menyelamatkannya."Samy menatap istrinya berharap Veny tidak meninggalkannya.Di luar dugaan, Veny masih terlihat tenang sampai Moza mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya."Benda ini milik seseorang yang diselamatkan itu, dia berjanji akan selalu ada untukku." Moza menaruh robot itu di atas meja.Hening cukup lama, saat Veny terus menatapnya membuat Samy sangat ketakutan, berbeda dengan Moza yang justru seolah senang karena merasa dirinya akan menang."Oh, jadi kau pencurinya?"Moza terkejut mendengar pertanyaa
"Samy menolakku, semua yang kulakukan sia-sia dan apa ibu tau? Ternyata Veny lah gadis kecil yang menyelamatkannya dulu." Moza bercerita setelah seharian menangisi kegagalannya."Apa yang kau lakukan selanjutnya?" Alma akan mendukung apapun keputusan anaknya kali ini."Aku ingin pergi jauh, Bu." Moza terlihat sangat sedih. Cinta yang diperjuangkannya selama ini tidak berbalas indah.Samy terlalu sulit untuk digapai oleh cintanya.Alma mengangguk. Mereka memutuskan untuk pindah jauh tanpa ada yang tau keberadaan mereka.Waktu terus berlalu, tak ada seharipun yang terlewati tanpa rasa syukur oleh Veny dan Samy. Mereka baru saja menyambut kelahiran putri mereka yang akan di beri nama Diandra Brown.Matanya mewarisi mata Veny sebelum di operasi waktu itu, yaitu abu-abu."Dia cantik sepertimu!" Samy yang menggendong bayi itu memperlihatkannya pada Veny."Kau ingin memberinya nama apa?" Veny bertanya."Kau mengizinkannya?" Samy berbinar tak percaya.Veny mengangguk. "Kenapa tidak, kau daddy
"Ah, persediaanku habis, hufft, sepertinya aku harus belanja malam ini."Diandra menutup pintu lemari pendinginnya, beranjak ke kamar mengambil jaket untuk menghalau udara dingin malam ini.Hidup di kota besar tanpa kekurangan membuatnya sangat bersyukur. Diandra memilih untuk berjalan kaki menuju minimarket terdekat.Sambil menatap hiruk pikuk kendaraan yang malam itu terlihat cukup ramai. Diandra melewati beberapa gang yang sedikit gelap.Ia pun mempercepat langkahnya."Dasar bodoh, pengemis tak berguna." Seseorang mengumpat mengundang tatap Diandra.Dia melihat seorang pengemis dirundung dan di sepak bergantian."Hei, bisu, kau belum mau menjawab?" ucap mereka lagi.Diandra mengabaikan itu, dia takut berurusan dengan preman jalanan sedangkan dia hanya seorang wanita."Mana uangmu?" Suara tanya di ikuti dengan tendangan membuat lelaki yang tersungkur itu meringis kesakitan.Diandra yang sudah lewat itu berbalik ke belakang, sungguh ia kasihan melihat laki-laki itu."Nona, saat ini s
Dengan itu, wanita tersebut memberi isyarat pada bodyguard-nya untuk membawa Diandra keluar. "Bawa dia ke tempat aman, tapi pastikan dia tidak lupa siapa yang memegang kendali."Diandra meronta, tapi kekuatannya tidak cukup untuk melawan dua pria bertubuh besar itu. Mereka menyeretnya keluar dari ruangan dan memasukkannya ke dalam mobil hitam. Diandra mencoba menghafal jalan, tapi malam yang gelap dan jendela mobil yang gelap membuatnya sulit mengenali lokasi.Saat mobil berhenti, Diandra mendapati dirinya di sebuah tempat yang jauh lebih bersih dan terang, seperti apartemen mewah. Bodyguard itu melepaskan ikatan di tangannya dan berkata, "Kau akan tinggal di sini untuk sementara. Jangan coba-coba kabur.""Kenapa kalian melakukan ini padaku?" teriak Diandra.Bodyguard itu tidak menjawab, hanya menutup pintu keras-keras. Diandra duduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia tahu satu hal: ia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini dan mencari tahu siapa pria yang ia bantu sebenarnya.
Alex terdiam, mencerna semua informasi itu. "Lalu siapa sekutu yang paman maksud?"Felix tersenyum tipis. "Masih ada beberapa orang di perusahaan yang setia pada ayahmu. Mereka mungkin takut, tapi jika kau bisa menunjukkan bahwa kau punya kekuatan untuk melawan Celia, mereka akan berpihak padamu."Alex mengepalkan tangannya. "Baik, aku akan mengikuti rencana paman. Tapi ingat, aku tidak akan mundur. Celia harus membayar untuk semua yang dia lakukan."Felix menepuk bahu Alex. "Itu semangat yang ingin kulihat. Tapi ingat, sabar dan cerdas adalah kunci kemenangan. Kita tidak akan bermain dengan emosi."Alex mengangguk. Ia tahu ini bukan pertarungan yang mudah, tetapi ia sudah bertekad. Untuk ayahnya, untuk keluarganya, dan untuk keadilan, ia tidak akan mundur.Sore ini Felix mengajak Alex untuk keluar, dan ini sudah untuk ketiga kalinya. Felix melakukannya agar Alex tidak merasa bosan, meskipun ia hanya ada di dalam mobil saja."Betapa angkuhnya Celia, dia merasa sudah memiliki semuanya,
Di sebuah rumah yang terpencil, di tengah hutan pinus, seorang lelaki tengah membersihkan ikan di atas wastafel, tangannya tertutupi oleh sarung tangan yang terbuat dari plastik.Pria itu menaruh ikan tersebut ke dalam sebuah mangkuk sebelum akhirnya dibaluri oleh bumbu.Disalah satu ruangan di rumah itu seseorang baru saja membuka matanya. Asing, itulah yang ia rasakan setelah mengamati keadaan sekitar.Alex mencoba untuk bangkit, namun ia tersadar tangannya sedang terpasang cairan infus, Alex lebih berhati-hati melakukannya."Kau sudah bangun?" Seorang pria tadi datang membawa nampan berisi makanan."Pa-paman Felix!" Alex tak menyangka jika ia bertemu adik lelaki ayahnya.Felix meletakkan nampan di atas meja lalu mendekati keponakannya. "Aku mendengar apa yang terjadi di sini.""Termasuk kepergian ayah?"Felix mengangguk. "Kau, kenapa tidak mengabari paman?""Aku tidak berdaya, ayah dinyatakan hilang dalam kecelakaan dan aku bangun sudah terkurung di gudang. Seluruh fasilitas ku dic
Dua hari pasca kejadian itu, Diandra sudah pulang ke apartemennya. Tapi dia belum bisa melupakan apa yang telah menimpanya dan juga pria bernama Alex itu.Sebelum masuk kuliah, Diandra menyempatkan diri membeli handphone baru ditemani oleh sahabatnya."Lain kali jangan ceroboh, kalau tidak handphone mahal ini bisa hilang lagi," ucap temannya.Diandra hanya bilang jika ponselnya hilang saat ia berbelanja ke mini market.Diandra hanya tersenyum tipis menanggapi komentar sahabatnya, Amanda. Tidak mungkin ia menceritakan kejadian yang sebenarnya—terlalu rumit dan berbahaya. "Iya, aku akan lebih hati-hati," balasnya singkat sambil menyimpan ponsel baru ke dalam tas.Mereka berjalan keluar dari toko elektronik di tengah kota yang ramai. Udara musim semi terasa sejuk, tapi pikiran Diandra terus melayang pada peristiwa dua hari lalu. Amanda meliriknya dengan pandangan penasaran."Kau masih terlihat sedikit linglung. Apa kau masih kesal soal ponsel lamamu hilang?" tanya Amanda sambil membetulk
Alex menatap langsung ke mata Diandra. Ada keteguhan dalam pandangannya, seolah berkata ia tidak akan membiarkannya terluka. "Lepaskan dia terlebih dahulu," katanya, suaranya tenang tapi tegas.Celia tertawa kecil. "Kau tidak dalam posisi untuk membuat tuntutan, Alex.""Kalau begitu, aku tidak menandatangani apa pun," jawab Alex sambil merogoh sesuatu dari balik jaketnya—sebuah alat kecil yang tampak seperti pemancar. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi. "Kau tahu apa ini, kan, Celia? Aku tidak datang tanpa rencana."Wajah Celia berubah, senyumnya pudar seketika. "Apa yang kau lakukan?""Ini akan mengakhiri semua permainanmu, jika aku menekan tombol ini. Jadi, sekarang lepaskan dia, atau kita semua rugi." Alex tetap berdiri tegap, meskipun tubuhnya terasa berat. Dia tidak akan mundur.Celia terlihat ragu, anak buahnya saling bertukar pandang, menunggu perintah. Diandra menahan napas, berharap Celia memilih mundur.Rod dan Celia saling menatap lalu tersenyum."Coba saja tekan, aku tidak aka
Celia tertawa kecil, tapi nada suaranya dingin. "Itu memang ide bagus, Rod. Tapi tidak sekarang. Gadis itu mungkin hanya alat baginya, atau mungkin dia memiliki nilai lebih yang bisa kita gunakan."Rod mengerutkan dahi. "Apa kau yakin? Membiarkan dia tetap hidup bisa menjadi risiko.""Segalanya harus dilakukan dengan hati-hati. Kita tidak bisa membuat langkah gegabah," kata Celia sambil menyilangkan tangan. "Aku akan mencari cara untuk membuat mereka menyerah. Jika harus menggunakan gadis itu sebagai umpan, maka begitu lah."Rod mengangguk pelan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. "Baiklah, Celia. Tapi jangan lupa, waktu kita tidak banyak. Jika dia terus bertahan, kau tahu apa yang harus kita lakukan."Celia menatap Rod dengan penuh keyakinan. "Aku tahu, Rod. Dan aku tidak akan membiarkan anak itu menghancurkan apa yang seharusnya menjadi milikku.""Di luar banyak penjaga, akan sangat sulit untuk mengeluarkan mu dari sini," ucap laki-laki itu setelah memperhatikan dari jendela kaca."Sepe
Dengan itu, wanita tersebut memberi isyarat pada bodyguard-nya untuk membawa Diandra keluar. "Bawa dia ke tempat aman, tapi pastikan dia tidak lupa siapa yang memegang kendali."Diandra meronta, tapi kekuatannya tidak cukup untuk melawan dua pria bertubuh besar itu. Mereka menyeretnya keluar dari ruangan dan memasukkannya ke dalam mobil hitam. Diandra mencoba menghafal jalan, tapi malam yang gelap dan jendela mobil yang gelap membuatnya sulit mengenali lokasi.Saat mobil berhenti, Diandra mendapati dirinya di sebuah tempat yang jauh lebih bersih dan terang, seperti apartemen mewah. Bodyguard itu melepaskan ikatan di tangannya dan berkata, "Kau akan tinggal di sini untuk sementara. Jangan coba-coba kabur.""Kenapa kalian melakukan ini padaku?" teriak Diandra.Bodyguard itu tidak menjawab, hanya menutup pintu keras-keras. Diandra duduk di lantai, tubuhnya gemetar. Ia tahu satu hal: ia harus mencari cara untuk keluar dari situasi ini dan mencari tahu siapa pria yang ia bantu sebenarnya.
"Ah, persediaanku habis, hufft, sepertinya aku harus belanja malam ini."Diandra menutup pintu lemari pendinginnya, beranjak ke kamar mengambil jaket untuk menghalau udara dingin malam ini.Hidup di kota besar tanpa kekurangan membuatnya sangat bersyukur. Diandra memilih untuk berjalan kaki menuju minimarket terdekat.Sambil menatap hiruk pikuk kendaraan yang malam itu terlihat cukup ramai. Diandra melewati beberapa gang yang sedikit gelap.Ia pun mempercepat langkahnya."Dasar bodoh, pengemis tak berguna." Seseorang mengumpat mengundang tatap Diandra.Dia melihat seorang pengemis dirundung dan di sepak bergantian."Hei, bisu, kau belum mau menjawab?" ucap mereka lagi.Diandra mengabaikan itu, dia takut berurusan dengan preman jalanan sedangkan dia hanya seorang wanita."Mana uangmu?" Suara tanya di ikuti dengan tendangan membuat lelaki yang tersungkur itu meringis kesakitan.Diandra yang sudah lewat itu berbalik ke belakang, sungguh ia kasihan melihat laki-laki itu."Nona, saat ini s
"Samy menolakku, semua yang kulakukan sia-sia dan apa ibu tau? Ternyata Veny lah gadis kecil yang menyelamatkannya dulu." Moza bercerita setelah seharian menangisi kegagalannya."Apa yang kau lakukan selanjutnya?" Alma akan mendukung apapun keputusan anaknya kali ini."Aku ingin pergi jauh, Bu." Moza terlihat sangat sedih. Cinta yang diperjuangkannya selama ini tidak berbalas indah.Samy terlalu sulit untuk digapai oleh cintanya.Alma mengangguk. Mereka memutuskan untuk pindah jauh tanpa ada yang tau keberadaan mereka.Waktu terus berlalu, tak ada seharipun yang terlewati tanpa rasa syukur oleh Veny dan Samy. Mereka baru saja menyambut kelahiran putri mereka yang akan di beri nama Diandra Brown.Matanya mewarisi mata Veny sebelum di operasi waktu itu, yaitu abu-abu."Dia cantik sepertimu!" Samy yang menggendong bayi itu memperlihatkannya pada Veny."Kau ingin memberinya nama apa?" Veny bertanya."Kau mengizinkannya?" Samy berbinar tak percaya.Veny mengangguk. "Kenapa tidak, kau daddy
"Menurutmu, jika kau telah menyelamatkan nyawa seseorang, apa yang pantas sebagai balasannya?" Moza mulai memainkan emosi Veny."Moza, hentikan!" Samy takut istrinya sedih karena hal itu, namun di luar dugaan Veny menjawabnya dengan tenang."Tergantung dari orang yang menyelamatkan itu, dia ikhlas menolong atau karena sesuatu."Jawaban Veny membuat Moza terdiam, tapi dia tidak akan kalah semudah itu. "Aku pikir kau harus tau kalau Samy dulu nyaris mati jika saja aku tidak menyelamatkannya."Samy menatap istrinya berharap Veny tidak meninggalkannya.Di luar dugaan, Veny masih terlihat tenang sampai Moza mengeluarkan sebuah benda dari dalam tasnya."Benda ini milik seseorang yang diselamatkan itu, dia berjanji akan selalu ada untukku." Moza menaruh robot itu di atas meja.Hening cukup lama, saat Veny terus menatapnya membuat Samy sangat ketakutan, berbeda dengan Moza yang justru seolah senang karena merasa dirinya akan menang."Oh, jadi kau pencurinya?"Moza terkejut mendengar pertanyaa