Diandra terdiam sejenak, mencerna perkataan Felix yang tampaknya masuk akal. “Jadi… kau berpikir bahwa Moza akan semakin menunjukkan dirinya jika aku lebih dekat dengan Samy?” tanyanya pelan, masih ragu.Felix mengangguk yakin. “Tepat. Jika benar Moza yang ada di balik semua ini, dia akan melakukan apa pun untuk menjauhkanmu dari Samy. Itu berarti semakin kau mendekat, semakin dia terpicu untuk bertindak.”Tania yang berdiri di samping Felix ikut menimpali, “Ini mungkin bisa jadi cara untuk mengungkap apakah dia yang mengambil Nick. Moza tidak bisa menyembunyikan rasa cemburu atau rasa bersalahnya, dan itu akan memperlihatkan niat sebenarnya.”Diandra menatap Felix dan Tania bergantian, mencoba menemukan keberanian di dalam dirinya. “Tapi… bagaimana kalau itu membuat situasi lebih buruk? Bagaimana kalau Moza semakin berbahaya?”Felix menggeleng pelan, menatap Diandra dengan tegas. “Kita tidak bisa membiarkan ketakutan menguasai kita, Diandra. Jika kau ingin Nick kembali, kita harus me
Setelah puas berbelanja, Moza memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran paling mewah di mall tersebut. Dia tak pernah merasa khawatir soal uang, karena Samy selalu memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Namun, satu hal yang masih terasa kosong—hati Samy yang belum sepenuhnya ia miliki.Sambil menunggu pesanan datang, Moza meraih ponselnya. Dia memutuskan untuk membuat acara spesial malam ini. Mungkin, pikirnya, acara yang romantis akan membantu mengembalikan kehangatan dalam hubungan mereka. Ia pun melakukan reservasi untuk makan malam di rooftop hotel paling eksklusif di kota.Setelah memastikan semuanya sudah diatur sesuai rencana, Moza tersenyum puas. Sesaat kemudian, ia menghubungi Samy, berharap memberitahunya akan membuat pria itu sedikit antusias."Sam, aku sudah memesan tempat untuk kita besok malam di rooftop hotel. Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama di tempat yang spesial," katanya dengan nada yang manis dan berharap.Di ujung telepon, Samy terdengar ragu
Diandra bersembunyi di salah satu sudut ruangan ketika Samy keluar, berusaha menenangkan napasnya yang berdebar keras. Sambil menunggu keadaan aman, telinganya menangkap suara samar percakapan Samy dengan Damian. Mereka berbicara tentang sesuatu yang terdengar serius, namun Diandra tak bisa mendengar semuanya dengan jelas. Meski begitu, instingnya mengatakan ada yang lebih dari sekadar pertemuan profesional di balik obrolan itu.Setelah Samy pergi, Diandra cepat-cepat meninggalkan rumah Damian, menyusup keluar tanpa terlihat. Malam itu, Samy menuju hotel yang telah dipesan oleh Moza untuk makan malam, dan Diandra yang sudah mempersiapkan rencananya sejak tadi sore langsung mengikuti mobil yang dikendarai sopir Samy. Dalam kesunyian malam, Diandra memastikan jaraknya cukup aman, namun cukup dekat agar tidak kehilangan jejak. Mobil Samy melaju dengan tenang menuju hotel, sementara Diandra berusaha menjaga konsentrasinya, dia sudah memikirkan apa yang akan ia lakukan nanti.Moza sudah du
Samy menatap Diandra yang tertidur di kursi penumpang, cahaya lampu jalan menyinari wajahnya dengan lembut. Semakin lama ia memandang, semakin dalam rasa terpesonanya. Ada sesuatu tentang Diandra—ketenangan, kelembutan, atau mungkin hanya kenyataan bahwa dia terlihat begitu damai dalam tidurnya. Bibirnya, dengan lekukan sempurna, menggoda pikirannya.Tanpa bisa mengendalikan dorongan hatinya, Samy mendekatkan wajahnya perlahan, seakan tertarik oleh magnet yang tak terlihat. Jarak antara mereka semakin tipis, napasnya tertahan ketika bibirnya hampir menyentuh bibir Diandra. Tapi tiba-tiba, Diandra membuka matanya dengan kaget, refleks menampar pipi Samy."Samy!" serunya, terkejut dan sedikit bingung. Namun, yang terjadi selanjutnya membuat Diandra tak kalah terkejut.Bukannya mundur atau marah, Samy justru semakin mendekat, memegang wajahnya dengan lembut dan, tanpa berkata apa-apa, mencium bibir Diandra. Ciuman itu penuh dengan intensitas, seakan ada hal yang terpendam lama dan baru s
Samy merasa bahagia karena Diandra tidak menolaknya, namun di saat yang sama hatinya masih diliputi kebingungan soal hubungannya dengan Moza. Perasaannya pada Moza lebih terasa seperti rasa kasihan daripada cinta, namun ia tak bisa begitu saja mengabaikannya.Pagi itu, Samy turun ke ruang makan dan bertanya pada pelayan yang sedang menata meja, "Moza belum bangun?"Pelayan itu menghentikan pekerjaannya sejenak dan menjawab dengan sopan, "Nona Moza sudah pergi, Tuan. Katanya melakukan pengobatan."Alis Samy terangkat. "Pengobatan apa? Bukankah dokter yang dibawa ibunya sering datang ke sini?"Pelayan itu tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "Nona bilang ada pengobatan akupuntur yang direkomendasikan oleh dokter dari China itu.""Maksudmu dia pergi ke China?" Samy bertanya dengan nada heran, merasa ada sesuatu yang aneh."Sepertinya begitu, Tuan," jawab pelayan tersebut dengan hati-hati.Samy terdiam, rasa bingung memenuhi pikirannya. Hal sebesar itu pergi ke luar negeri untuk peng
Moza meremas ponselnya dengan kuat, amarah yang tersimpan begitu jelas di matanya saat dia menyaksikan video dari CCTV yang merekam momen Samy membawa Diandra ke rumahnya. Tatapan dingin Moza semakin mengeras saat melihat Diandra sibuk memasak di dapur, sebuah pemandangan yang seharusnya hanya miliknya. Dengan itu, Moza tahu bahwa Diandra bukan sekadar dokter biasa. Hubungan mereka lebih dari sekadar profesional.Alma, ibu Moza, yang juga ikut memperhatikan dari samping, bertanya, “Moza, dokter itu yang dipilihkan Samy untukmu, kan?”Moza mengangguk dengan geram. "Iya, dia. Tapi dia juga wanita yang ingin merebut Samy dariku."Alma menatap putrinya dengan prihatin. "Apa yang akan kau lakukan? Samy sepertinya mulai berubah sikap."Moza tidak ragu sedikit pun. Matanya memancarkan keteguhan saat dia menjawab, "Ibu, lihat saja. Tidak ada yang bisa mengambil Samy dariku. Aku akan pastikan itu."Moza segera mengambil tindakan. Dia menghubungi salah satu orang suruhannya dan memberikan instr
Samy menatap pintu yang tak bisa terbuka, napasnya memburu. Berkali-kali ia mencoba mendobraknya dengan bahu, namun pintu itu tetap kokoh. "Kita harus cari jalan lain," ujarnya, suaranya tenang namun penuh urgensi.Diandra, berdiri di tengah ruangan yang gelap, menggigit bibirnya. Ia menyesali keputusannya yang tergesa-gesa. Seharusnya ia lebih waspada, seharusnya dia tidak mempercayai pesan itu. "Samy, aku... aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya terdengar gemetar.Samy menoleh ke arahnya, melihat kepanikan yang mulai melanda wanita yang selama ini berusaha tegar. Ia berjalan mendekat, menempatkan tangannya di puncak kepala Diandra, mengusap lembut rambutnya. "Tenang, Diandra. Aku akan cari cara."Mata Samy menyapu sekeliling ruangan. Satu-satunya sumber cahaya datang dari jendela kecil yang terletak cukup tinggi di dinding sebelah kanan. "Ada jendela, mungkin kita bisa keluar dari sana," katanya menunjuk jendela.Diandra menatap jendela itu, sedikit harapan
"Diandra...!" panggil Felix yang ada di luar.Diandra langsung mengenali suara Felix, hatinya sedikit lega. "Felix! Felix, tolong buka pintunya!" teriaknya dengan suara penuh harap sambil mendekat ke pintu.Samy, yang masih dalam posisi siaga, segera bergeser ke samping pintu, memastikan situasi aman sebelum melakukan tindakan lebih lanjut. Suara Felix terdengar lagi dari luar, "Tenang, aku sedang mencari cara untuk membuka pintunya. Tunggu sebentar!"Samy menatap Diandra dengan ekspresi tegang namun lebih tenang. "Syukurlah, itu Felix," katanya sambil menghela napas lega. Diandra mengangguk, merasa harapan mulai muncul setelah ketegangan yang mencekam.Beberapa menit kemudian terdengar bunyi keras dari kunci yang sedang didobrak. Tidak lama kemudian, pintu terbuka, dan di baliknya terlihat Felix yang sedikit terengah-engah setelah berusaha keras."Diandra, Samy! Kalian baik-baik saja?" tanya Felix sambil memeriksa kondisi mereka berdua. Diandra berlari ke arahnya dan memeluknya sejen
Di bawah selimut Nick melakukan pencarian, begitu banyak nama Felis membuat ia bingung sendiri.Sampai terdengar suara pintu kamarnya dibuka dari luar, Nick segera meletakkan ponselnya lalu memejamkan mata."Astaga, dia tidur dengan ponsel menyala," ucap suara itu yang ternyata adalah Veny.Veny mengambilnya dan tanpa sengaja menatap nama pencarian di sebuah situs 'Felis.'Dia hanya menghela napas setelah berpikir sesaat lalu mematikan ponsel itu dan memasukkannya ke dalam laci.Veny mengecup kening Nick lembut. "Mommy menyayangimu, mimpi indah sayang!"Setelahnya Veny keluar dari kamar Nick dan bertemu dengan Samy yang sepertinya baru saja tiba."Kau mau melihat Nick?" tanya Veny."Apa dia sudah tidur?""Ya, baru saja," jawab Veny. Ia segera ingin kembali ke kamarnya."Aku ingin bicara." Samy mencegah kepergian Veny.Veny membawa langkah menuju dapur, Samy duduk dan dia membuat dua gelas minuman sebelum menyusul Samy."Aku akan mengembalikan semua yang kau berikan padaku," kata Veny
Veny merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ia tidak mencurigai Samy sedikitpun di luar sana, selama ini yang menjadi penghalang untuknya hanyalah Moza.Tapi tidak dengan Nick, ia merasa hubungan mommy dan daddynya yang belum harmonis semakin terancam, oleh karena itu ia ingin memastikannya sendiri."Paman Peto, apa kau tidak memiliki pekerjaan?" Nick menghampiri sopir di rumah besar itu."Oh, Tuan muda, paman ingin mencuci mobil ini." Peto memang terlihat sudah mengganti bajunya dengan yang lebih ringan."Paman, bagaimana kalau ditunda?"Peto tersenyum. "Sayang sekali ini harus segera dicuci, karena mobil ini akan dipakai oleh Daddy, malam nanti.""Tapi aku ingin bantuanmu Paman," kata Nick.Peto mengeryitkan keningnya. "Apa yang kau inginkan anak tampan?"Mendengar itu, Nick segera mendekat, ia meminta Paman Peto menurunkan tubuhnya agar ia bisa berbisik di telinganya."Baiklah, Paman Peto siap mengantarmu."Nick mengangguk penuh arti, memperlihatkan di kepalanya sedang tersusun
"Kau memberikan semua hartamu padaku dan Nick, apa kau masih waras?"Tak cukup hanya di jalan bahkan di rumah pun Samy mendapat pertanyaan dari Veny."Aku memang gila jika kau tidak menerimaku sebagai suamimu," jawab Samy."Memangnya kapan aku menolakmu." Veny melipat tangannya di dada."Kau bilang apa? Jadi kau menerimaku?" Mata Samy berbinar terang.Veny jadi salah tingkah. "A-aku tidak bilang begitu." Wajahnya memerah malu.Dan Samy menikmati itu.Samy tersenyum lebar, senyuman yang jarang Veny lihat selama ini. Dia mendekatkan wajahnya pada Veny, membuat wanita itu mundur selangkah dengan gugup."Jadi, kau benar-benar tidak menolakku?" goda Samy, matanya bersinar penuh harapan.Veny mengalihkan pandangannya, pura-pura sibuk merapikan hiasan di meja. "Aku hanya bilang... aku tidak bilang menolak. Itu saja."Samy tertawa kecil, suara tawanya terdengar ringan namun penuh kebahagiaan. "Veny, kau tidak tahu betapa kalimat itu membuatku merasa seperti memenangkan dunia."Veny memutar bo
Sesuai dengan janji mereka, Mary mengunjungi putrinya ke apartemen. Dia dan suaminya mengajak Veny bicara."Apa yang membuatmu belum menerima Samy? Bukankah semua masalahnya sudah selesai?" Mary menggenggam tangan putrinya."Ayah berpikir untuk kebaikanmu, apa lagi Nick sebentar lagi akan punya adik. Pasti lebih mudah jika membesarkannya bersama suami."Veny terdiam merenung."Ibu berharap kalian akur dan membangun keluarga yang bahagia, kau putri kami satu-satunya, ibu ingin kau ada yang menjaganya.""Aku masih memikirkannya Bu.""Tidak mudah memang melupakan kejadian tujuh tahun yang lalu, ayah bisa memahami perasaanmu, tapi bukan berarti tidak bisa, Nak."Veny nampak menghela napasnya. Ia pun tidak memahami apa keinginan hatinya saat ini.Mary menggenggam tangan Veny dengan lembut, matanya menatap penuh kasih. "Ibu tahu kau merasa ragu, tapi lihatlah situasi ini dari sisi lain. Bukankah Samy sudah berusaha keras untuk menebus kesalahannya?"Darius, yang duduk di sofa di samping mer
Prok prok prokSamy muncul tanpa diduga."Kau ingin mengkambinghitamkan Tuan Hong demi ambisimu?"Moza terdiam, seluruh tubuhnya mendadak kaku, ia menelan salivanya kasar. Bagaimana mungkin Samy muncul?"Tuan Brown, tolong, aku tidak bersalah, aku hanya mengerjakan perintah." Tuan Hong mengatupkan tangannya ketakutan.Samy menahannya dengan mengangkat kelima jarinya, Ran yang ada di sana meminta agar Tuan Hong diam.Samy maju semakin dekat pada Moza."Kenapa kau lakukan ini Moza? Apa yang salah pada dirimu? Dulu kau begitu baik padaku dan penuh perhatian sampai aku selalu memaafkan setiap kesalahanmu."Moza menatap Samy dengan mata yang memancarkan campuran ketakutan dan kebencian. Dia mundur selangkah, namun Samy tetap mendekat, suaranya rendah dan tajam seperti pisau yang menusuk ke dalam hati."Jawab aku, Moza," tuntut Samy. "Kenapa kau begitu terobsesi menghancurkan hidupku? Hidup Veny? Apa kau tidak pernah merasa puas dengan apa yang kau miliki?"Moza menghela napas panjang, beru
"Kenapa begitu sulit untuk kita?" tanya Veny.Mereka berdua sedang jalan pagi, Samy sengaja datang ingin membicarakan tentang masalah mereka."Ini kesalahanku, aku terlalu percaya pada Moza hingga mengorbankan perasaanmu." Samy mengakui kebodohannya dulu."Pada akhirnya kau membiarkan dia lolos?""Kesalahannya kali ini tak cukup fatal, polisi tidak menahannya, sedangkan kasusmu dulu, sudah terlalu lama dan tidak ada bukti.""Jika aku mengatakan sesuatu apa kau mau mempercayaiku?""Tentu, katakan apa itu?""Moza yang menculik Nick waktu itu.""A-apa?""Buktiku tidak akurat, jika kau sungguh-sungguh ingin membuatnya di penjara, cari buktinya dan aku akan memikirkan untuk kembali denganmu."Samy terdiam mendengar ucapan Veny. Wajahnya tampak tegang, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu, apa yang dikatakan Veny bukanlah tuduhan tanpa dasar. Moza memang selalu memiliki cara untuk menimbulkan kekacauan dalam hidup mereka."Moza menculik Nick?" Samy mengulang, seolah mema
Adolfo mengangguk. "Baik, saya akan segera menyiapkan dokumen resmi dan melaporkannya ke pihak berwenang. Tapi saya perlu bertanya, apakah Anda sudah siap menghadapi kemungkinan tekanan balik dari pihak Moza?"Samy menatap Adolfo tajam. "Tekanan apa pun yang dia coba berikan tidak akan mengubah keputusanku. Lakukan apa yang harus kau lakukan, Adolfo."---Di sisi lain, MozaMoza sedang menikmati teh paginya ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Itu dari Alma, ibunya."Moza, ada kabar buruk," kata Alma panik."Apa maksud Ibu?" Moza mengerutkan kening, tidak suka mendengar nada suara ibunya."Samy mengajukan laporan hukum terhadapmu. Aku baru mendengar ini dari seorang kenalan di pengadilan."Cangkir teh di tangan Moza hampir jatuh. Wajahnya memucat. "Apa? Samy berani melakukannya?""Iya, dia sepertinya punya bukti kuat. Moza, kau harus segera bertindak! Ini bisa menghancurkanmu."Moza menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Tidak mungkin aku kalah semudah itu, B
Semua kembali seperti dulu, Veny merasa dejavu. Walau bagaimanapun Samy menginginkannya, tapi dia tidak pernah bisa tegas terhadap Moza.Jujur, Veny kecewa, ia mengusap perutnya yang sedikit menonjol. Nasibnya sama dengan Nick, tanpa didampingi oleh Samy."Nyonya, Tuan sepertinya sangat terpukul dengan kepergian kita." Isla menghampiri Veny.Dia baru saja menidurkan Nick. Mereka kembali ke apartemen.Segelas teh hangat di atas meja belum disentuh sama sekali, bohong jika Veny baik-baik saja."Faktanya dia tidak bisa bertindak tegas. Lagi pula Moza hamil, lebih baik aku pergi dari sana.""Apa Nyonya yakin itu anak Tuan Samy? Mendengar kelicikan Nona Moza selama ini, aku rasa itu tidak mungkin." Isla sedikit membela Samy. Sebagai orang asing ia melihat ketulusan Samy pada Veny dan Nick.Mendengar itu Veny menerawang ke depan. Tak dipungkiri apa yang dikatakan oleh Isla cukup masuk akal. Sebagaimana dulu Moza tega memfitnahnya."Kasihan Tuan Samy, dia tidak berdaya karena Moza adalah ora
"Buka saja aku tidak akan marah," kata Veny. Dia melihat keraguan di mata Samy saat menatap kotak pemberian Moza."Aku rasa ini tidak penting," ucap Samy."Kau yakin? Bagaimana jika itu benda berbahaya?" sahut Veny, dia lebih penasaran dari pada Samy."Segala sesuatu tentang dia sudah berakhir. Aku hanya fokus padamu dan Nick juga calon bayi kita." Samy mengenyampingkan kotak itu. Ia menyentuh tangan Veny seolah meyakinkan wanita itu."Kenapa aku ingin melihatnya?" Veny bertanya lebih ke dirinya sendiri. Bukan karena apa, tapi Veny tau berapa liciknya Moza. Bisa saja kotak itu berisi benda berbahaya.Samy menarik napas panjang, mengerti keraguan yang terlihat di wajah Veny. Ia meraih kotak kecil itu kembali dan menatapnya lekat-lekat, seolah memastikan bahwa benda tersebut tidak memiliki niat buruk."Baiklah," kata Samy akhirnya. "Jika itu membuatmu tenang, aku akan membukanya."Samy mengambil gunting dari meja terdekat dan dengan hati-hati membuka pita yang melilit kotak kecil terse