Rashel berbaring di ranjang pemeriksaan dan mengizinkan dokter untuk memeriksa kandungannya. “Tubuh Ibu sehat, kok. Tidak ada masalah yang serius,” ujar dokter itu.Kemudian Rashel mengangkat pakaiannya dan menunjukkan bekas luka di perutnya. “Apa luka ini karena operasi usus buntu?” tanya Rashel penasaran. Dokter itu mendorong kacamatanya naik lalu menyentuh daerah bekas luka yang ditunjukkan oleh Rashel. “Bekas luka operasi usus buntu biasanya tidak berada di sini. Bekas luka operasi ini seperti bekas operasi Caesar untuk melahirkan bayi,” jawab dokter itu sambil mengerutkan keningnya. Rashel langsung tersentak setelah mendengar perkataan dokter itu. Jadi, dia memang sudah pernah melahirkan bayi sebelumnya. Keluarga Rolando pasti tahu akan hal ini. Namun, Sania tidak pernah menceritakan masalah itu kepadanya. Rashel langsung menarik napas panjang lalu berkata, “Apa Dokter bisa tahu kapan operasi Caesar ini dilakukan dari bekas luka saya?” Dokter itu tampak ragu. Selama ini, d
Kalung itu juga tidak pernah lagi muncul di pelelangan setelah Anna menjadi kaya raya seperti saat ini. Harga pasaran 100 miliar untuk kalung itu bisa dibilang teralu rendah. Karena siapa pun tidak ada yang bisa membelinya, bahkan dengan harga penawaran sebesar 200 miliar sekalipun. “Kamu bilang kalau kalung itu ada di leher anak angkatmu?” tanya Anna sambil mengambil kalung itu. Sania mengangguk lalu berkata, “Aku berniat menjodohkannya dengan Jefri karena anak angkatku ini pastinya memiliki latar belakang yang nggak biasa. Hanya keluarga Subekti saja yang sepadan untuk meminangnya.”Anna mengetukkan tangannya di atas meja mencoba berpikir selama beberapa saat. Sebenarnya, dia ingin menikahkan putranya dengan kalangan kelas atas di Kota Suwanda. Namun, orang-orang Suwanda selalu saja menganggap remeh orang-orang dari Kota Abrha. Bahkan Anna masih saja tidak bisa bergaul dengan kalangan atas Kota Suwanda setelah cukup lama berusaha sekuat tenaganya. Sekarang pilihan keluarga Subekt
Kalimat dari Bu Anna seketika langsung membuat Sania bisa bernafas lega."Sudah aku bilang ‘kan, aku nggak mau," wajah Rashel memerah, "Bu Anna, silakan pergi. Mohon jangan ungkit masalah ini lagi di kemudian hari."Mata Bu Anna semakin menyipit, "Kamu sadar nggak sih kamu nolak siapa?" Rashel hanya menarik sudut bibirnya. Anna adalah orang yang suka sok tinggi, merasa diri lebih unggul, merasa semua orang ingin mendekati keluarga Subekti.Rashel tidak mau lagi berdebat dengan Anna. Dia juga tidak mau diganggu terus-menerus.Rashel membuka tas kecilnya, mengambil selembar kertas dan menyodorkan pada Anna, "Bu Anna, silakan baca laporan pemeriksaan ini, kalau Bu Anna masih mau saya jadi menantumu, ya sudah, saya terima saja."Bu Anna dengan curiga mengambil kertas itu, mengamati sebentar. Dia kaget dan bertanya, "Ini beneran atau bohong?""Siapa yang mau bikin fitnah tentang diri sendiri?" Rashel tersenyum sinis, "Sekarang, Bu Anna bisa ninggalin saya?"Wajah Anna tampak pucat, dia men
"Kenapa ini nggak diceritain ke aku?"Rashel makin menekan Sania, tatapannya terasa begitu menusuk.Sania menundukkan matanya sejenak, "Pas kamu pertama kali datang, tiap malam kamu selalu mimpi buruk. Kamu sering mengigau, ngomong-ngomong sendiri, 'anakku, jangan sakiti anakku …' Ibu jadi mikir, mungkin kamu dikejar sambil gendong anakmu dan terakhir terpaksa loncat ke laut … Kamu berhasil selamat, tapi mungkin anakmu nggak seberuntung itu ... Rashel, Ibu nggak mau kamu sedih, makanya Ibu nggak pernah ngomongin ini."Bibir Rashel seketika pucat.Dia menutup mata, jari-jarinya mengerat.Di perjalanan pulang ke keluarga Rolando dari rumah sakit, Rashel memikirkan berbagai kemungkinan. Hanya saja, dia tidak pernah membayangkan bahwa anaknya sudah meninggal."Rashel, jangan sedih, kamu masih bisa punya anak lagi kok …." Sania dengan cemas memandanginya, "Ibu akan carikan kamu suami yang baik, kamu masih muda, pasti bisa punya anak lagi ….""Aku nggak mau nikah." Rashel berkata dengan nada
Zendy memicingkan matanya. Dia menatap tanaman merambat yang menghias halaman rumahnya. Memang, keluarga Rolando memiliki banyak hutang budi pada anak angkat mereka yang satu ini. Jadi, saat Sania memutuskan untuk mengadopsi Rashel, Zendy tanpa ragu setuju. Tapi, setelah tinggal bersama gadis itu selama tiga tahun, Zendy baru menyadari bahwa ternyata karakter Rashel tidak semudah itu untuk diatasi. Pada pertemuan keluarga, ketika matanya bertemu dengan mata Rashel, ada rasa tidak nyaman yang muncul di kepala Zendy.“Bayi itu sudah nggak ada, dan itu adalah kenyataan yang nggak bisa kita ubah. Sekarang, kita harus membuatnya menikah, punya anak lagi. Kalau dia sudah punya anak baru, dia nggak akan peduli lagi sama masa lalunya,” kata Zendy dengan nada tegas. "Dua sepupu Ivone lagi cari istri, ‘kan? Gimana kalau kita jodohkan Rashel dengan salah satu dari mereka?"Sania terdiam, "Tapi …."“Kalau dia jadi bagian dari keluarga Rolando dan punya anak kandung dari keluarga ini, maka dia p
Anak perempuan itu terlihat berusia sekitar delapan atau sembilan tahun. Rambut hitam panjangnya terurai di bahu. Dia mengenakan pita kupu-kupu pink di kepala, dengan mata besar yang terlihat sangat tenang.Pembicaraan orang-orang di sekelilingnya tampaknya tidak memberikan dampak apa pun pada gadis kecil ini. Wajahnya tetap tenang, tanpa ekspresi berlebihan. Meski tampak seperti berusia delapan atau sembilan tahun, tapi ekspresi wajahnya lebih mirip orang dewasa yang sudah berusia delapan belas atau sembilan belas tahun.Rashel memandangi gadis itu beberapa saat. Dia semakin tertarik untuk melihat gadis kecil itu. Rashel merasa seperti mengenal gadis itu. Rashel tidak biasa mendengarkan musik piano, juga tidak menonton konser piano. Berarti seharusnya Rashel tidak pernah melihat gadis kecil ini sebelumnya, ‘kan? Kenapa dia merasa familiar?"Nona, silakan naik mobil." Pengawal membuka pintu mobil dan dengan hormat mempersilahkan gadis kecil itu masuk. Gadis itu mengangguk, membungkuk
Suara tangis gadis itu terasa menggema di telinga Rashel. Para penonton di sekitar sana terkejut."Kenapa Si Gadis Pianis Berbakat itu manggil dia 'Mama'?""Aku pernah nonton konser Michelle. Waktu itu dia memainkan sebuah lagu, judulnya ‘Untuk Ibu’, katanya itu untuk mengenang ibunya.""Apa dia nggak punya ibu sejak kecil?""Tapi bukan berarti dia bisa manggil siapa saja ‘Mama’, ‘kan? Lihat, wanita itu sampai terkejut.""Aku juga akan kaget kalau tiba-tiba punya anak segede itu ....""Seandainya Michelle manggil aku 'Mama', aku langsung panggil dia “Anak Baik'!""Mimpi! Mana mungkin, ngaca dong wajahmu kayak apa. Hahaha."" …. "Suara tangisan Michelle dan suara orang-orang yang berbicara di sana terdengar gaduh di telinga Rashel.Dia menarik nafas dalam-dalam, "Dik, aku bukan ibumu. Tapi kalau kamu rindu Mama kamu, Tante bisa temani kamu ngobrol."Michelle menghela nafas panjang.Mata jernihnya menatap Rashel, tangan kecilnya menarik lengan Rashel, seolah takut Rashel akan kabur."Ak
Rashel sebenarnya ingin bertanya siapa saja keluarga Michelle. Tapi dia urung bertanya karena tadi Rashel mendengar orang-orang bilang gadis kecil ini mungkin tak punya Ibu. Michelle menatapnya dengan penuh harap, “Mama berasal dari kota Abrha, ya?” Rashel tersenyum getir, “Kamu panggil aku Tante Rashel saja, jangan Mama. Tante benar-benar nggak punya anak seumuran kamu, Sayang.” Kalimat itu membuat Michelle hampir menangis. Orang di depan Michelle saat ini sangat mirip dengan Mamanya. Namun memang, ada yang berbeda jika dilihat lebih teliti. Apa mungkin Michelle salah kenal? Tidak mungkin, dia pasti mengenali Mamanya. “Kamu Mama-ku.” Michelle bersikukuh, matanya berkaca-kaca, “Papa sudah cari Mama empat tahun. Mama kemana aja selama ini?” Rashel terkejut, “Mamamu hilang empat tahun yang lalu?” Michelle mengangguk, “Mama waktu itu pergi malam-malam, terus nggak pernah balik lagi. Mama nggak ingat kejadian malam itu?” Malam itu adalah mimpi buruk yang tak pernah mau diingat lagi