Di bawah langit malam dan cahaya rembulan, sosok lelaki itu tampak tinggi dan tegap. Rachel menyingkap selimut dan turun dari kasur dengan perlahan. Di tangannya menggenggam belati yang disimpan dalam laci.Dia mendekat dengan perlahan dan kemudian langsung membuka pintu balkon. Dia melangkah dengan cepat dan dengan sebelah tangannya menahan bahu lelaki itu. Belati yang ada di tangan Rachel membentang di leher lelaki itu.Lelaki itu menoleh ke samping dan cahaya bulan membuat wajah tampannya terlihat jelas tetapi juga sedikit buram.“Ronald, ka-kamu kok berdiri di sini?”Rachel buru-buru melepaskan pegangannya dan melempar belati tersebut ke meja balkon. Perempuan itu memandangi lelaki di hadapannya dengan teliti. Ekspresi Ronald terlihat dingin dan seluruh tubuhnya memancarkan aura yang membuat Rachel menggigil.Mendadak Rachel seperti bertemu dengan Ronald yang awal dia temui dulu. Bahkan jauh lebih dingin dibandingkan Ronald yang dulu. Rachel menatapnya dan berkata, “Kebakaran hari
Sebuah aroma asing hinggap di hidung Rachel dan membuat perempuan itu mendorong Ronald dengan cepat. Dia berbalik ke samping kasur dan langsung membuka lampu kamar. Detik ketika kamar itu berubah terang, Ronald langsung buru-buru menutup wajahnya sendiri.Kening Rachel berkerut, mata tajamnya melihat ke arah Ronald. Ketika lelaki itu menutup wajahnya, entah mengapa mendadak dia merasa sangat asing sekali. Dia seperti tidak menemukan sosok Ronald yang dulu.“Mataku terluka karena kebakaran tadi. Kamu matiin lampunya dulu.”Rachel merangkak dari ujung kasur dan berkata, “Biar aku lihat, kalau parah harus pakai obat.”Dia menggeser jari tangan lelaki itu dengan kuat hingga akhirnya sebuah wajah familiar terpampang di hadapan Rachel.“Rachel, kenapa kamu melihatku seperti itu?” tanya lelaki itu dengan suaranya yang serak.Rachel mencoba menekan perasaan aneh yang menyerangnya sambil bertanya, “Kenapa kamu nggak balas pesanku dan angkat teleponku?”Lelaki itu tersenyum dan berkata, “Ponselk
Farah bercerita sepanjang pagi hingga siang hari. Rachel mendengar cerita perempuan itu dengan pikiran yang berkelana pada kejadian kemarin malam. Entah mengapa hatinya merasa aneh dan tidak tenang.Rachel mengulas senyum dan berkata, “Ma, Ronald ke kantor? Aku mau ajak dia makan siang bersama.”“Wah! Pengantin baru memang romantis sekali,” goda Farah.“Padahal Mama mau ajak kamu makan siang bersama,” tambah perempuan itu lagi.Dengan wajah penuh permintaan maaf, Rachel berkata, “Ada hal penting yang mau aku bicarakan dengan Ronald. Aku hanya bisa menemani Mama makan malam nanti.”“Kalau begitu pergilah, hati-hati di jalan.”Farah berdiri di depan gerbang dan mengantarkan kepergian Rachel hingga mobil perempuan itu menghilang. Sorot khawatir di kedua matanya perlahan-lahan kembali muncul.Mobil Rachel melintas di jalanan dengan lancar. Tidak butuh waktu yang lama baginya untuk tiba di depan gedung Tanjaya Group. Semua orang di kota ini tahu kalau tentang pernikahan keluarga Tanjaya kem
“Benar-benar sibuk,” jawab Rendy.“Sore ini aku harus terbang ke luar negeri dan minimal setengah bulan baru kembali.”Rachel terdiam ketika mendengar kalimat lelaki itu. Mereka baru menikah satu hari dan suaminya sudah akan meninggalkannya untuk dinas? Bukannya tidak boleh, tetapi berdasarkan perasaan lelaki itu padanya, seharusnya Ronald tidak akan melakukan hal ini.“Kamu mau hadiah apa dari Ontara? Biar aku belikan dan bawa pulang,” tanya Rendy sambil menyentuh bibirnya. Dia memiliki ketergantungan berat pada rokok. Sekarang dia sangat ingin merokok lagi.Rachel membasahi bibirnya dan berkata, “Kamu mau dinas selama setengah bulan, kalau Michelle tahu dia pasti akan sedih sekali.”Michelle?Sosok seorang gadis kecil muncul di benak Rendy. Dia pernah melihat sosok gadis itu dari kejauhan. Dia masih belum pernah bertemu dengan bocah itu setelah menjadi sosok Ronald.Rendy tersenyum dan berkata, “Aku akan membelikan dia hadiah, dia nggak akan sedih.”Setelah itu Rendy bangkit dan berk
Begitu gadis itu menangis, ketiga kakaknya langsung kebingungan.Eddy membantunya mengusap air mata sambil berkata, “Papa setengah bulanan lagi akan pulang. Nanti kamu setiap harinya bisa bersama dengan Papa.”Michael mengelus rambut adiknya sambil berkata, “Ada Mama dan Kakak yang menemanimu, nggak masalah kalau nggak ada Papa.”“Michelle, ayo makan permen!” seru Darren sambil memberikan permen rasa stroberi ke dalam mulut gadis itu.“Enak?” tanya Darren.“Manis!” jawab Michelle sambil tersenyum ditengah isakannya.Rachel tersenyum paksa ketika melihat pemandangan tersebut. Dunianya anak-anak memang sangat sederhana. Hanya dengan permen saja, mereka bisa melupakan kesedihannya. Sedangkan dunianya orang dewasa justru begitu membingungkan.Perempuan itu duduk di sofa dan memikirkan apakah dia harus mengirimkan pesan pada Ronald. Agar lelaki itu menghubungi Michelle ketika dia tiba. Rachel mencari nama lelaki itu di kontaknya dan tiba-tiba gerakan tangannya berhenti. Kenapa dia bisa lupa
Rachel menyandarkan tubuhnya dan tersenyum tipis sambil berkata, “Mungkin mau kasih aku uang. biarkan mereka masuk.”Beberapa hari terakhir perasaannya gelisah, hanya uang yang bisa membuat perasaannya membaik. Sharon dan Hanna masuk bersamaan ke dalam ruang tunggu. Jenny mengantarkan kopi untuk kedua orang tersebut dan setelah itu duduk di sisinya Rachel.Dengan senyum lebar Rachel berkata, “Bu Sharon, Bu Hanna, ada apa kalian datang kemari?”Hanna mendengus dan membuang wajahnya. Ekspresi perempuan itu terlihat menahan kesal.“Sebelumnya saya ucapkan selamat untuk pernikahan Bu Rachel,” kata Sharon sambil menyesap kopi panasnya. Kemudian dengan perlahan lanjut berkata, “Hari ini saya baru dengar kalau ketika pertemuan pertama Yelitos mengenai rancangan chip yang baru putri saya bersikap kasar dengan Bu Rachel. Oleh karena itu saya membawanya datang untuk meminta maaf,”“Semoga Bu Rachel bisa memaklumi dan memaafkan anak kecil seperti dia.”Dengan perlahan Rachel berkata, “Bu Hanna ta
Tatapan itu bagaikan pisau tajam yang menghujam Hanna dan membuatnya tidak berani membalas tatapan itu.“Siapa yang sebenarnya keterlaluan? Kalian meminjam kekuasaan dari Pak Bara untuk menjadikannya rekan kerja sama proyek ini. Kemudian meminta saya menyelesaikan proyek ini, tapi kalian mau mengambil keuntungan sebanyak 40 persen?! Kalau saya mau, saya bisa langsung mendepak kalian dan nggak akan memberikan keuntungan sebanyak 20 persen sama sekali!”Hanna hampir meledak karena emosinya sendiri. Akan tetapi dia tidak memiliki cara lain. Kalau proyek ini menjadi satu-satunya batu loncatan bagi Hanna untuk menjadi pewaris keluarga. Hanna harus menyelesaikannya dengan sempurna dan membuat kakeknya mengakuinya. Kalau tidak ada Rachel, dia sudah bisa menyelesaikannya dengan sukses.Hanna berkata dengan nada menggeram, “Rachel, kamu memang sengaja membuat kerangka rancangan chip yang memang nggak pernah ada. Kamu sengaja membuat para perancang lainnya nggak bisa melanjutkannya! Kamu benar-b
Rachel bahkan hampir tidak memercayainya.“Bu Rachel, siang ini Ibu harus kembali, kan? Urusan kantor biar serahkan pada saya saja. Ibu pulang saja dengan tenang.”Ucapan Jenny membuat Rachel teringat kalau kemarin malam Rima menghubunginya dan bertanya makanan kesukaan anak-anak dan dirinya. Sebuah adat kebiasaan di tempatnya kalau pengantin perempuan harus kembali ke rumah di hari ketiga menikah.Rachel membereskan barangnya dan pulang ke rumah dengan mobilnya.“Non, ini barang-barang yang disiapkan untuk pulang nanti,” kata Hilmi yang tampak memegang puluhan kotak besar bersama dengan pelayan lainnya. Dia menjelaskan kotak itu satu per satu.“Ini disiapkan untuk Bu Rima. Ini untuk Pak Hengy dan Bu Lili. Dan ini untuk Bu Mila dan juga suaminya. Ini untuk para junior yang lainnya.”Setiap kotak ditempel tanda akan diberikan pada siapa barang-barang tersebut. Rasa haru memenuhi hati Rachel. Sebagai seorang junior, Rachel tidak mengerti dengan adat seperti ini. Akan tetapi Farah justru