“Kamu keliru, ini adalah keputusanku. Aku akan membiarkanmu menciumku atau tidak akan terjadi apa-apa,” kataku akhirnya, lalu dia mulai menyadari rencanaku sebenarnya. Aku berencana untuk mengakhiri semua kekonyolan itu. Aku berniat untuk mendayung sekali untuk melampaui dua tiga pulau.“Dasar gila…” Dia menggeleng kepalanya, tidak siap untuk merelakan aku.“Ayolah, Jason. Aku tahu kamu sangat ingin menciumku. Apakah kamu akan membiarkan aku pergi tanpa berciuman?” tanyaku dengan suara menggoda, matanya yang enggan menatap mataku, kemudian bibirku dan berhenti di sana, menatapku dengan penuh hasrat.“Aku tahu kamu memimpikan berciuman denganku setiap malam. Begitu aku ada di sini, kamu malah membiarkanku pergi tanpa mendapatkan apa-apa?” Aku hampir bisa mendengar isi kepalanya yang sedang berpikir.Apakah itu ide buruk untuknya, menyerahkan seluruh kendali yang dia miliki terhadapku hanya untuk satu momen? Namun, dia juga akan menyesalinya selamanya jika dia tidak menciumku sekaran
JasonAku tidak bisa bergerak ketika menyaksikan Laura kabur dari rumah besar itu, kabur dariku. Dadaku naik turun tertekan dan jantungku berdegup dengan liar.Aku terhuyung melintasi ruangan itu, berpegangan pada sofa, dan melemparkan diriku ke lantai, berbaring telentang. “Apa-apaan itu tadi? Sial…” seruku, masih tergila-gila. Astaga, apa yang baru saja terjadi?Aku mengira itu hanya akan berupa ciuman biasa, tapi tingkatan yang aku dan Laura capai sudah keluar dari batas. Cara kami melingkari satu sama lain dalam dekapan kami, cara kami memberikan diri kami sudah cukup untuk menggantikan lima tahun yang kosong itu.Aku tertawa terbahak-bahak dan berubah menjadi sedikit gila. Laura mencintaiku, aku bisa merasakannya dari caranya menciumku kembali. Aku berpikir bahwa dia hanya ingin menyingkirkan aku. Dia mengenakan gaun merah yang membuatnya terlihat seksi dan memoles bibirnya dengan lipstik merah itu hanya untuk menggodaku supaya aku tidak akan menolak syarat yang dia berikan da
“Itu luar biasa, Tama,” kataku, tersenyum seperti orang bodoh. “Kami berciuman dan ciuman itu pantas dicatat dalam sejarah.”“Wah, jadi kalian berciuman seperti itu?” Tama terdengar bersemangat juga.“Berciuman seperti itu, kawan. Seperti itu.” Aku terbata-bata, menyandarkan kepalaku di sofa dan menatap langit-langit sementara pikiranku dipenuhi oleh wanita itu. “Dia sangat sempurna, kamu seharusnya menyaksikan bagaimana dia membalas ciumanku dengan baik.”“Wah… Selamat, kamu berhasil membuatnya mengingat rasa cintanya padamu,” katanya menyelamatiku.“Iya, aku tahu wanita itu mencintaiku.” Aku tersenyum, merasa berhasil.“Aku senang mendengarnya. Kalian berciuman, menelan satu sama lain, memakan satu sama lain…” Tama sudah gila.“Diamlah, kami tidak sampai tidur bersama. Yah, dia hampir mau melakukannya, tapi dia menggumamkan sesuatu tentang anaknya dan lari kabur,” kataku, mengingat ketika dia berlutut di hadapanku, wajahnya menyadar pada perutku, dan tanganku mencengkeram rambu
LauraDering teleponku mengejutkanku sampai aku terbangun ketakutan, lalu aku meringis, merasakan sakit kepala dan memijat pelipisku. Aku tertidur masih mengenakan gaunku dan yang lainnya. Aku menggerutu, meraih ponselku yang masih berdering dan mengangkatnya. Aku meregangkan leherku yang sakit karena posisi tidurku yang buruk.“Halo, Laura di sini,” kataku, suaraku masih tidak jelas karena baru bangun tidur.“Kamu berciuman dengan Jason Santoso?” Kudengar suara histeris temanku Fia di ujung telepon dan aku menghela nafas.“Apa?”“Tidak ada gunanya menyembunyikannya dariku, oke? Tama memberi tahu aku semuanya. Kamu mengunjungi Jason dan menciumnya,” katanya dengan nada menuduh. Aku melirik jam di dinding. Saat itu sedang pukul 4:47 pagi dan Fia sudah bersemangat.“Hei, lihatlah waktunya!” Aku memarahinya dan bangkit untuk beranjak ke kamar mandi. Dasar gila, aku bahkan tertidur masih mengenakan sepatuku.Aku ingat setelah meninggalkan rumah Jason, aku begitu merasa lega dan kehi
Laura“Astaga, besar sekali bekasnya! Kalian benar-benar menikmati ciumannya kemarin, ya?” tanya Fia jahil ketika dia melihat foto leherku yang aku kirimkan padanya. Aku memutar mataku sambil menghela nafas.“Bukan seperti itu, itu hanya ciuman biasa.” Aku berbohong, mengangkat bahuku mencoba membuat situasinya lebih ringan.“Sejak kapan ciuman biasa akan meninggalkan bekas besar di lehermu? Kalian memanfaatkan kesempatan dan itu hanya akan membuatnya makin buruk.”“Apa maksudmu dengan makin buruk?”“Lau, sudah berapa lama sejak kamu terakhir berpacaran dengan seseorang? Sudah berapa lama sejak kamu memiliki hubungan atau terlibat dengan seorang pria?” tanyanya langsung dan aku merona karena pertanyaan itu.Itu terlalu pribadi, tapi Fia adalah orang kepercayaanku, jadi aku hanya menghembuskan nafas dan menjawab, “Di antara mengurus anakku dan membangun karierku, aku tidak punya banyak waktu untuk hal-hal seperti itu.”“Kedengarannya seperti alasan, sayang. Aku yakin jika pria ya
LauraUntungnya, Jason tidak muncul pada peluncuran koleksi pakaian baru Nemesis hari itu. Itu membuatku lega karena aku tidak ingin merasa gelisah terus-terusan karena kehadirannya di tempat itu, tapi tidak berarti bahwa aku tidak merindukannya.Kami menerima banyak orang-orang penting, selebritas dan tokoh internet, orang-orang kaya dan terkenal, dan sebagian besar dari mereka terkesima oleh proyek indah yang kami persiapkan hari itu, mulai dari taktik pemasaran brilian yang aku ciptakan hingga pakaian-pakaian indah yang dikembangkan oleh para desainer dari Nemesis.Singkatnya, peluncuran tersebut sukses besar dan di penghujung hari, timku, aku, dan beberapa direktur pergi keluar untuk merayakan kesuksesan kami. Mereka memanggilku pahlawan Nemesis karena telah menyelamatkan pekerjaan mereka dan aku hanya bisa bersyukur semua hal berjalan dengan lancar.Minggu itu berlalu dengan cepat dan lambat di waktu yang sama, karena setelah pekerjaan itu selesai, ada hal lain yang harus kula
LauraAda apa denganmu, Jason? Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu begitu dekat denganku, lalu kenapa kamu tidak menciumku? Kenapa kamu menghindariku? Siapa bilang aku ingin membicarakan urusan pekerjaan? Aku ingin kamu menciumku. Aku membutuhkanmu menggenggamku dan menciumku dengan penuh nafsu. Aku ingin merasakanmu lagi. Tidak bisakah kamu melihat bahwa aku merasa buruk? Aku muak padamu. Aku merasa muak. Berhenti jual mahal dan ciumlah aku. Katakan bahwa kamu menginginkanku dan kali ini aku akan memberikannya padamu. Kumohon, Jason, tataplah aku…Namun, dia tidak menatapku sama sekali.“Panas, ya? Kudengar musim kemarau tahun ini akan lebih lama dari biasanya,” komentarnya dengan tenang setelah melihat jam di tangannya.“Oh, ya. Panas sekali,” komentarku yang diiringi tawa canggung. Aku sedang merasakan panas yang tidak ada hubungannya dengan cuaca. Kami masih berada di dalam lift sementara sistemnya naik dengan normal.“Kuharap Natal tahun ini akan dingin,” komentarnya dengan te
Jason“Yah, satu-satunya hal yang dapat membuatku bahagia adalah jika kamu berkunjung ke rumah untuk Natal tahun ini. Maukah kamu berkunjung?” undang ibuku, ingin aku untuk menghadiri Natal dengannya dan Nenek di rumah besar mereka di Bekasi.“Sepertinya jadwalku akan padat, jadi jangan terlalu berharap,” kataku tanpa banyak emosi, masih menatap layar komputer.“Astaga! Siapa yang masih bekerja saat Natal?” Dia terlihat tertegun.“Aku sedang mempertahankan warisan yang diturunkan oleh Kakek.” Aku menuduhnya secara tidak langsung karena seluruh kekayaan Santoso diturunkan oleh keluarga ibuku, jadi karena aku harus meneruskan warisan kakekku, aku harus menjalankannya dengan baik.“Kakekmu pasti sedang gelisah di kuburannya sekarang, dia pasti tidak menginginkan cucu satu-satunya untuk terkurung di dalam kantornya bekerja seperti seorang tahanan bahkan saat Natal,” katanya, tidak setuju dengan tindakanku.“Jadi, Ibu harusnya memikirkan hal itu dan memiliki anak lainnya ketika masih
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat
AnnaKetika aku kembali ke mobil dan melihat kaca spion seraya aku melaju menuju pintu masuk sekolahku, aku bisa melihat Ciko dengan tangan di kepalanya dan pundak yang merosot, terlihat sedih tentang apa yang baru saja terjadi. Aku menghela napas pasrah dan memutuskan untuk melihat ke depan dan melanjutkan hidupku. Itu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.“Hei, Anna,” panggil Abel padaku begitu dia melihatku berjalan memasuki aula sekolah.“Hai, Abel.” Aku tersenyum kepadanya saat aku melihat dia, beranjak untuk memeluknya. Abel adalah anak kandung dari Bibi Fia, sahabat ibuku. Dia dan aku tumbuh besar bersama sebagai teman dan selalu terhubung dengan satu sama lain.“Apa yang terjadi? Kamu sedikit terlambat hari ini,” katanya sambil memandangku.“Em … itu karena aku tadi berbicara dengan Ciko di luar,” kataku padanya sambil menyelipkan rambutku di belakang telingaku, merasa tidak nyaman hanya memikirkan tentang Ciko.“Oh! Ciko ada di luar? Astaga, dia manis sekali! Kamu beru
Anna“Aku ingin putus denganmu, Ciko.”Ketika kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, aku hampir tidak dapat memercayainya. Aku sudah ingin mengatakannya sejak lama sekali hingga aku berpikir bahwa saat ini aku hanya membayangkan diriku sendiri mengatakannya seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini, itu sungguhan. Aku bisa melihat wajah Ciko hancur di hadapanku—wajahnya yang sesaat yang lalu penuh harapan, sekarang terkejut dan bahkan merasa jijik dengan kata-kataku.Dia tersenyum dengan lemah, seakan-akan dia tidak memahami apa pun. “Kamu ingin putus denganku? Apa maksudmu? Apa yang kamu bicarakan?” tanyanya, terlihat benar-benar kebingungan.Aku menghela napas, menyadari bahwa aku seharusnya tidak mengatakan itu padanya tanpa pendahuluan apa-apa. Namun, aku bukannya bersikap tidak sensitif, itu hanyalah cinta monyet dan aku berhak mengakhirinya.“Kurasa sebaiknya kita bicara lagi nanti, Ciko,” kataku dan berbalik untuk pergi, tapi dia tidak membiarkan aku pergi menjauh da
AnnaKarena adik-adikku sudah marah padaku, salah satu dari mereka sudah tidak menanggapi apa yang kukatakan ketika aku berusaha berkomunikasi dengannya, dan yang satunya menendang-nendang kakinya ke belakang tempat dudukku berkali-kali dan membuatku merasa tidak nyaman, menyebutku anak yang terlalu dimanja.“Hentikan, Daniel,” pintaku, tapi anak itu tampaknya tidak mau menurut.“Kamu mengatakan sesuatu? Aku tidak bisa mendengarnya, aku tidak mendengarkan anak-anak perempuan menyebalkan seperti dirimu,” katanya padaku, membuatku makin jengkel.Aku hanya mengesampingkannya dan bersabar hingga aku akhirnya tiba di sekolah mereka. Apa yang bisa kulakukan tentang itu? Itu adalah hubungan asmaraku, oke? Mereka seharusnya tidak terlibat dalam hal ini seperti itu. Itu bukan urusan mereka.“Kamu bisa turun sekarang,” kataku pada mereka begitu aku berhenti di depan sekolah mereka.Mereka pergi tanpa bahkan berpamitan, tapi Stefan berbalik ke arahku dan berkata, “Kuharap harimu buruk hari
AnnaAku sedang berada di depan cermin sambil duduk di meja riasku selagi. Dengan penuh konsentrasi, aku mencoba memakai eyeliner di atas mataku, tapi suara adikku yang menyebalkan mengagetkanku ketika dia tiba-tiba memasuki ruang gantiku, berteriak-teriak dan meminta perhatianku. Aku berakhir memiliki garis hitam di wajahku, menghancurkan seluruh riasan wajahku.“Kenapa kamu berteriak-teriak, sih, Daniel Williams Santoso?” tanyaku dengan mata yang setengah terpejam, hampir mencekik lehernya dan menarik kepalanya.“Ew, menjijikkan! Kamu terlihat mengerikan dengan riasan wajah itu. Apakah kamu tidak tahu cara memakainya dengan benar?” ejeknya padaku dengan raut wajah jijik.Aku tidak dapat memercayai perkataannya. Dialah yang menghancurkan momen damaiku ketika aku sedang memakai riasan wajah di kamarku sendiri! Aku tidak mau mendengar hal itu dari anak ini yang tidak mengenal apa yang dimaksud dengan ruang pribadi.“Omong-omong, apa yang kamu inginkan?” tanyaku seraya aku mengambil