Tama“Di mana Jason? Aku tidak melihat dia pergi,” tanya Niken, mulai curiga. Sudah beberapa menit berlalu sejak Jason berhasil menemui Laura dan aku sedang berada di ruang tengah dan berbincang dengan Gideon dan dokter itu, mengalihkan perhatian mereka.Aku mengangkat bahu untuk menanggapi pertanyaannya. “Terakhir aku melihat dia, dia bilang dia ingin ke kamar mandi,” jawabku sambil tersenyum, tapi kami semua adalah orang dewasa di sana dan aku bisa melihat dengan jelas di mana Jason sekarang.Niken mengangguk sambil tersenyum tipis. “Omong-omong, aku ingin menemui istrimu juga dan memberi selamat kepadanya,” katanya, ingin berkeliling rumah untuk mencari Jason, tapi aku tidak akan membiarkannya. Ini adalah rumahku.“Oh, kurasa itu bukan ide bagus sekarang. Fia dan Laura itu sangat dekat. Sekarang mereka pasti sedang membicarakan hal-hal yang intim, jadi lebih baik jangan mengganggu mereka. Fia baru saja melahirkan seorang bayi, tapi lain kali aku yakin dia tidak akan masalah bert
TamaEsok paginya, aku berada di kamar bersama Fia dan putri kami Abel, berbincang dan terkagum pada bayi yang baru lahir.“Bolehkah aku menggendongnya? Aku berjanji aku tidak akan menjatuhkannya,” tanyaku, mataku berbinar seraya aku menatap tuan putri di dalam tempat tidur bayi itu.Fia dan Abel tertawa mendengar perkataanku. “Kamu harus lebih berhati-hati, Papa,” kata gadis itu sambil menggelengkan kepalanya, meniru tingkah Fia yang selalu dia lakukan ketika Fia ingin mengajari kami.“Oh, tapi aku berhati-hati, kok,” komentarku, terlihat tersinggung, membuat mereka tertawa lagi.“Kamu itu sangat ceroboh, Tama,” kata Fia sambil mengangkat bayi Hansel dari tempat tidur bayi dan menggendongnya. “Duduklah di kursi itu. Lebih baik melakukannya di sana.” Dia menunjuk ke arah kursi dengan matanya dan aku pun duduk di sana sambil menghela napas.“Sekarang aku sudah siap. Bawa si kecil itu ke sini. Bawa dia,” kataku dengan lengan yang terentang. Fia menghampiriku bersama Abel dan dia me
Suzy“Dia masih tidak mengangkat teleponmu?” tanya Clara seraya dia mencoba membuat Emy diam karena bayi itu terus menangis tanpa henti.“Iya, dia terus mengabaikan aku,” jawabku dengan gugup sambil menelepon Tama lagi.“Dasar bodoh! Apakah dia hanya menghamilimu dan kemudian membuangmu seolah-olah kamu bukan siapa-siapa? Benar-benar bodoh!” amuk Clara, merasa jijik.“Kurasa aku harus pergi ke sana secara langsung dengan Emy,” kataku sambil meraih sebuah tas dan beranjak untuk memasukkan baju-baju bayi ke dalamnya.“Aku tidak akan melakukan ini jika aku adalah kamu, Suzy. Kamu terlalu pasrah dengan situasi ini. Jika aku jadi kamu, aku tidak akan memberikan dia kepuasan sedikit pun dan akan mengirimkan anak ini ke tempat mana pun yang menerima bayi untuk diadopsi. Si bodoh itu tidak pantas mendapatkan kepuasan apa pun darimu,” saran temanku, masih menggendong putriku.Aku mengernyit dengan ekspresi sedih, memikirkan hal itu. Aku baru-baru ini menemukan bahwa Emy memiliki penyakit
Fia“Apa?” seru Tama ketika Neli, anggota staf kami, memberitahunya bahwa seorang wanita bernama Suzy ada di luar dan berkata bahwa wanita itu ingin berbicara dengannya. “Sungguh? Suzy ada di sini?” tanya Tama tercengang.“Mungkin saja benar. Pasti terjadi sesuatu pada bayinya. Dia terus meneleponmu beberapa kali,” kataku padanya, mengingatkannya akan hal itu.“Omong-omong, wanita yang bersama dengannya sangat agresif,” ujar Neli, membuatku mengernyit.“Agresif?” tanyaku, mencoba memahaminya.“Wanita ini mungkin Clara, temannya,” jelas Tama.“Gadis yang hampir Laura korbankan nyawanya untuknya di Tangerang Selatan? Oh, ya ampun. Dia pasti pengguna narkoba nakal lainnya,” kataku sambil memeluk bayiku seakan-akan secara naluriah ingin melindunginya.“Tidak apa-apa, Fia. Kamu tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Aku hanya akan berbicara padanya, lalu aku akan kembali untuk mengurus anak-anak kita,” katanya padaku sambil beranjak ke arah pintu. Kami sedang menikmati siang hari be
Fia“Apa?” seru Tama ketika Neli, anggota staf kami, memberitahunya bahwa seorang wanita bernama Suzy ada di luar dan berkata bahwa wanita itu ingin berbicara dengannya. “Sungguh? Suzy ada di sini?” tanya Tama tercengang.“Mungkin saja benar. Pasti terjadi sesuatu pada bayinya. Dia terus meneleponmu beberapa kali,” kataku padanya, mengingatkannya akan hal itu.“Omong-omong, wanita yang bersama dengannya sangat agresif,” ujar Neli, membuatku mengernyit.“Agresif?” tanyaku, mencoba memahaminya.“Wanita ini mungkin Clara, temannya,” jelas Tama.“Gadis yang hampir Laura korbankan nyawanya untuknya di Tangerang Selatan? Oh, ya ampun. Dia pasti pengguna narkoba nakal lainnya,” kataku sambil memeluk bayiku seakan-akan secara naluriah ingin melindunginya.“Tidak apa-apa, Fia. Kamu tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Aku hanya akan berbicara padanya, lalu aku akan kembali untuk mengurus anak-anak kita,” katanya padaku sambil beranjak ke arah pintu. Kami sedang menikmati siang hari be
Suzy“Kalau begitu, selamat, Fia, jika itulah yang kamu inginkan,” katanya sambil menatapku dengan muram. “Kamu bilang temanku dan aku tidak disambut di sini, tapi bagaimana dengan Emy? Apakah dia disambut di sini? Kamu pernah ingin aku menyerahkan putriku padamu dan aku menolaknya, tapi aku kembali memikirkannya dengan lebih baik. Kamu akan tahu bagaimana caranya mengasuh putriku, jadi aku memintamu untuk menjaganya,” katanya padaku.Kuharap keputusan ini bisa kuambil dengan mudah, tapi tidak—sebaliknya, keputusan ini menyakiti jiwaku.“Apa? Apa yang kamu lakukan?” tanya Tama dengan raut wajah kebingungan. “Apakah kamu menyerah terhadap Emy?” Clara, aku, pasangan suami-istri itu, dan bayi-bayi kami masih berada di ruang tengah rumah Keluarga Kusuma seraya mereka menatap kami dengan terkejut setelah mendengar permintaanku.“Aku tidak dapat menjaganya, Tama. Emy baru-baru ini jatuh sakit dan ketika aku pergi ke rumah sakit, mereka mendiagnosisnya dengan masalah jantung kronis,” jela
SuzyKemudian, aku merasa Clara menarik lenganku ke arah pintu keluar. “Ayo cepat pergi, Suzy, sebelum mereka melepaskan anjing-anjing mereka dan mengusir kita dari sini dengan kasar,” ujarnya sambil menuntunku pergi. Begitu kami memasuki mobil, Clara dengan cepat melaju pergi dan kemudian memberiku tisu supaya aku bisa menghapus air mataku. “Oh, kawan, jangan menangis. Itu adalah sebuah pembebasan. Gadis itu akan membuatmu kerepotan dan kamu hanya akan menderita jika kamu terus mempertahankannya. Wah, kamu terlalu muda dan cantik jika hidupmu terhambat karena ini. Semangatlah! Hidupmu masih panjang dan masih banyak uang yang akan kamu dapatkan, tahu? Jangan lupakan bahwa anak-anak selalu berujung memaafkan orang tua mereka. Gadis itu suatu hari pasti akan memaafkanmu, aku yakin.”*****Fia“Aku masih tercengang olah apa yang baru saja terjadi di sini. Suzy baru saja meninggalkan anaknya di sini bersamamu dan pergi begitu saja?” komentarku, berpikir bahwa itu sangat konyol. “Hal in
Laura“Suzy melakukan apa?” tanyaku terkejut setelah mendengar apa yang baru saja Fia ceritakan padaku di panggilan telepon. “Aku tidak percaya dia meninggalkan putrinya sendiri …. Astaga, dasar wanita yang tidak tahu apa-apa!”Aku tidak dapat memercayainya. Sulit untuk memercayai sesuatu seperti itu, apalagi dari Suzy, terutama karena dia sendiri pernah ditelantarkan di masa kecilnya. “Wah, aku tidak menduga hal itu,” komentarku.“Tidak ada yang dapat diharapkan dari wanita seperti Suzy, Laura. Dia bodoh dan sembrono. Tidak ada satu hal pun yang membuatnya puas selain uang. Jadi, aku tidak berharap lebih darinya,” kata Fia padaku.Aku menghela napas kesal. “Oh, kawan. Aku seharusnya ada di sana bersamamu, tapi hari ini adalah hari hakim akan membuat keputusan tentang siapa yang akan mendapatkan hak asuh Anna. Situasinya juga cukup sulit di sini,” kataku sambil menyisir rambut cokelatku yang bergelombang yang mencapai bawah pundakku dengan jariku. Ada cermin di ruang tunggu pengadi
Albert sedih. Hancur, malah. Dia tidak bermaksud untuk bersikap kasar pada Max, tapi dia sangat kebingungan dan dia tidak paham kenapa Max masih mengungkit masa lalu. Dia sedang berjalan sendirian di tengah malam, tidak ingin tahu apakah dia sudah tersesat atau tidak. Jika dia tersesat, ya sudah, dia tidak peduli lagi.Ada taman di dekat sana, jadi dia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku supaya, setidaknya sendirian, di heningnya malam, jauh dari rumah, dia bisa menangis, meratapi, dan memikirkan tentang bagaimana caranya keluar dari lubang tempat dia sedang terjebak sekarang.Namun, dia melihat seorang pria muda lebih cepat darinya dan beranjak duduk di bangku lebih dulu. Meskipun pria muda itu tidak menyadarinya, dia tidak menyukainya, jadi dia menghampirinya.“Hei, kawan. Aku melihat bangku ini lebih dulu,” ujarnya pada pria itu.Tetap terdiam, pria itu mengamati pendatang baru, sementara Albert masih berdiri, menunggu orang itu meninggalkan bangku itu.“Apakah aku bena
“Perhatikan caramu berbicara padaku!” balas Max. “Itu bukan karena Albert mendukungmu di sini bahwa aku harus bertahan denganmu. Perset*n denganmu! Apakah kamu mengisi mulut itu untuk menyebutnya kencan teater, dasar tukang khayal? Dia bahkan tidak menyukaimu sedari awal. Kamu harus membetulkan badut itu di sana untuk membuatnya cemburu. Kasihan sekali kamu, mau kamu ada di sampingnya ataupun tidak, itu tidak berarti apa-apa bagi dia.”“Apakah kalian berdua sedang membicarakan aku?” tanya Albert, sedikit kebingungan.“Iya!” jawab gadis berambut merah yang sedang bersama Rick. “Jelas sekali.”“Ini semua karena gadis aneh di sana menyukaimu, Albert,” bentak Kim, menunjuk ke arah Max. “Sejak dulu. Mungkin itulah sebabnya dia menjadi seorang laki-laki—untuk melihat apakah dia bisa mendapatkan perhatianmu dengan cara yang aneh.”“Apa hubungannya genderku dengan semua omong kosong ini? Aku ini laki-laki, ya!” bentak Max dengan murka. Albert bangkit berdiri, memegangi lengan Kim.“Tarik
Albert“Abel? Abel.” Dia bisa mendengar suara Max yang samar-samar memanggilnya seakan-akan dia sedang berada di bawah air. Albert membenamkan wajahnya di antara kedua kakinya, sedang putus asa. “Rick dan yang lain sudah khawatir. Apakah kamu akan keluar dari toilet atau tidak?” Max masih membanting-banting pintu bilik.“Aku akan ke …,” ujarnya, tapi mulutnya tidak dapat bersuara pada awalnya, jadi dia berdeham dan berbicara dengan lebih lantang sekarang. “Aku akan ke sana.”Tidak lama, dia pun meninggalkan bilik. Max ada di depan cermin, sedang membetulkan rambutnya. Beberapa pria sedang keluar-masuk di kamar mandi pria klub itu yang canggih itu ketika Max melihat Albert melalui cermin, berbalik ke arahnya, dan menyentuh wajahnya dengan kedua tangannya. Tangannya yang hangat mengenai kulit wajah Albert yang dingin. Dengan cahaya terang dari kamar kecil di sana, Albert bisa melihat lagi betapa tampannya Max. Mata Max berbinar-binar saat dia menatap mata Albert.“Apakah kamu sungguh
“Williams Muda,” ujar salah satu pemegang saham. “Aku memahami posisimu, tapi apa yang menjamin kami bahwa perubahan radikal ini tidak akan membawa kehancuran bagi perusahaan?”Beberapa pemegang saham mengekspresikan persetujuan mereka mengenai masalah itu, kegaduhan mulai terdengar di sana.“Saya jamin, kami telah meneliti proyek ini selama berbulan-bulan, batas untuk kesalahannya sangat kecil.”“Kenapa kami harus memercayaimu? Lagi pula, ini berhubungan dengan miliaran rupiah,” ujar seseorang, jadi Ernest bangkit berdiri.“Hadirin sekalian, masalah ini harus didiskusikan dengan lebih tenang dan lebih banyak waktu. Kita tidak bisa menyetujui segala hal sekarang. Jadi, dalam satu kuarter, kita akan putuskan lagi apakah proyek ini akan diterima atau tidak. Untuk sekarang, rapatnya ditutup.”Orang-orang masih gaduh seraya mereka memindahkan kertas-kertas, membawa folder mereka dan pergi, masih membicarakan topik yang baru saja dibicarakan.Rick, teman Albert, berjalan menghampiriny
“Jangan naif. Kamu tahu seberbahaya apa dunia ini. Kita tidak boleh hanya berniat untuk melakukan hal baik, tapi melaksanakannya juga.”“Aku juga begitu, tapi tidak dengan niat baik.” Albert pergi keluar dari sana dengan terburu-buru sehingga Max tidak dapat mengejarnya.Terkadang, dia tidak tahan dengan Max dan semua orang di dunia. Ada hal-hal sangat sederhana yang dia ingin bisa lakukan tanpa harus menyuruh seseorang melakukannya untuknya. Kurangnya privasi adalah puncaknya. Dia tidak bisa menahannya lagi. Dari balkon kompartemen studio kosong, Albert terus melihat ke bawah sana, menyadari orang-orang bergerak di jalanan untuk menjalankan kehidupan mereka masing-masing. Albert terkadang hanya ingin memiliki kebebasan seperti yang mereka miliki. Dia hanya ingin menjadi salah satu orang-orang itu. Ponselnya bergetar dengan Max meneleponnya. Lagi pula, masih ada hal-hal yang harus dia lakukan dalam jadwalnya.Siang itu, Albert mempresentasikan usulannya untuk inovasi di perusahaan.
Kebenaran pahit di balik layarAlbert suka mengemudi mobilnya sendiri, jadi begitu mereka memasuki mobil, dia menyalakan mesin, roda-rodanya meluncur dengan lancar di atas jalanan Jakarta. Max dalam diam memainkan ponselnya sementara Albert mengemudi dengan lancar.“Kenapa kamu tidak terima tawaran ibuku saja dan langsung tinggal di mansion Williams?” kata Albert. “Maksudku, kamu hampir sudah menjadi bagian dari keluarga, tidak masuk akal kamu masih tinggal sendirian.”“Apakah kamu pernah mempertimbangkan bahwa aku suka dan ingin tinggal sendirian?” jawab Max dengan sarkastis.“Kamu bahkan tidak tinggal di apartemenmu, kamu selalu ada di rumah. Aku sudah tidak bisa menghitung berapa kali kamu tidur di sana, dasar bodoh. Jelas-jelas, kamu ingin tinggal bersama kami.” Itu benar, bahkan pakaian Max bisa ditemukan di kamar Albert.“Aku tidak mau membicarakan itu.“Hei, kamu bahkan tidak mau menjelaskannya padaku?” Dia menghela napas dengan lantang dan dramatis.“Karena aku tidak ing
“Tidak bisakah kamu batalkan akademinya, Nalendra?”“Lagi, Williams? Kenapa tidak tutup tempatnya saja sekalian?” jawabnya dengan tegas.“Wah, kamu keras sekali hari ini, ya?”“Seperti batangku!”“Seperti apa?” Itu adalah suara Emily Raya Williams, ibu Albert, yang menatap mereka dengan penasaran. Mereka baru saja tiba di ruang makan. Di tengah-tengah begitu banyak pelayan mansion yang sibuk dengan tugas pagi mereka, Albert dan Max tidak menyadari bahwa wanita itu sudah duduk di sana, menunggu ditemani supaya dia bisa mulai sarapan.“Seperti …,” Max terbata-bata, malu. Lagi pula, dia tidak bisa mengulang kata kasar yang biasanya dia lontarkan pada putra wanita itu.“Seperti barang barunya, Bu.” Albert dengan cepat membantu temannya dengan senyuman lembut yang diarahkan kepada ibu tersayangnya. Dia menghampirinya dan mencium pipinya. “Selamat pagi, ibuku yang cantik,” katanya.Wanita itu membalas kasih sayang putranya dan mengundang mereka untuk duduk bersamanya. Max juga duduk s
Kisah Williams muda dimulai bertahun-tahun yang lalu, ketika dia masih tidak dapat memahami ayahnya dan kehidupan rumit yang dia jalani sebagai miliarder berpengaruh.Ketika Albert terbangun di pagi itu, dia berguling-guling di ranjang besarnya dengan malas, sudah membayangkan bagaimana harinya akan berlalu—membosankan seperti biasa. Dia bangkit sambil menggeram, beranjak membersihkan dirinya, dan mengambil kesempatan untuk berendam dengan santai. Garam mandi membuat tempat itu senyaman ranjangnya. Setelah beberapa menit, dia berhenti di depan cermin besar di dalam kamar mandinya di depan wastafel untuk membasuh wajahnya.Dia mengamati wajahnya. Rambutnya masih basah, ada lingkaran hitam menutupi matanya karena tidak tidur dengan teratur, mata kehijauannya terlihat lelah, dan bibirnya gemetar, masih memandang bayangannya di cermin. Kehidupan itu terlalu melelahkan baginya dan dia baru berusia 25 tahun. Itu berarti dia ingin bepergian keliling dunia, menikmati masa mudanya yang singka
LauraAku mengamati Layla pergi dan hatiku hancur. Aku tidak bisa mengatakan bahwa dia adalah sahabatku, tapi setelah waktu yang kami habiskan, bekerja bersama dan mengembangkan perusahaan ini, tentu saja aku merasakan keterikatan emosional dengannya. Lagi pula, aku sedang membicarakan Layla.Kemudian, aku menghela napas pasrah, merasa kasihan tentang apa yang sedang dia lalui. Aku tahu dia benar-benar mencintai Gideon, tapi apa gunanya gairah dan cinta jika itu tidak terbalas dan jika hubungan itu beracun?Bukannya aku tidak mau melihat dia bahagia dengan pria yang dia cintai, tapi masalahnya adalah Gideon lebih menghancurkan Layla dibandingkan membantunya. Namun, segala hal yang harus kulakukan sudah kulakukan. Aku sudah memberikan saranku. Jika Layla tidak mau mendengarnya, maka itu bukan masalahku lagi. Aku hanya bisa menyesal melakukan itu.“Dia benar-benar mengatakan hal-hal itu padamu di depan istrinya sendiri?” komentar Jason, terlihat terkejut. Saat itu sedang jam makan si