Suzy“Dia masih tidak mengangkat teleponmu?” tanya Clara seraya dia mencoba membuat Emy diam karena bayi itu terus menangis tanpa henti.“Iya, dia terus mengabaikan aku,” jawabku dengan gugup sambil menelepon Tama lagi.“Dasar bodoh! Apakah dia hanya menghamilimu dan kemudian membuangmu seolah-olah kamu bukan siapa-siapa? Benar-benar bodoh!” amuk Clara, merasa jijik.“Kurasa aku harus pergi ke sana secara langsung dengan Emy,” kataku sambil meraih sebuah tas dan beranjak untuk memasukkan baju-baju bayi ke dalamnya.“Aku tidak akan melakukan ini jika aku adalah kamu, Suzy. Kamu terlalu pasrah dengan situasi ini. Jika aku jadi kamu, aku tidak akan memberikan dia kepuasan sedikit pun dan akan mengirimkan anak ini ke tempat mana pun yang menerima bayi untuk diadopsi. Si bodoh itu tidak pantas mendapatkan kepuasan apa pun darimu,” saran temanku, masih menggendong putriku.Aku mengernyit dengan ekspresi sedih, memikirkan hal itu. Aku baru-baru ini menemukan bahwa Emy memiliki penyakit
Fia“Apa?” seru Tama ketika Neli, anggota staf kami, memberitahunya bahwa seorang wanita bernama Suzy ada di luar dan berkata bahwa wanita itu ingin berbicara dengannya. “Sungguh? Suzy ada di sini?” tanya Tama tercengang.“Mungkin saja benar. Pasti terjadi sesuatu pada bayinya. Dia terus meneleponmu beberapa kali,” kataku padanya, mengingatkannya akan hal itu.“Omong-omong, wanita yang bersama dengannya sangat agresif,” ujar Neli, membuatku mengernyit.“Agresif?” tanyaku, mencoba memahaminya.“Wanita ini mungkin Clara, temannya,” jelas Tama.“Gadis yang hampir Laura korbankan nyawanya untuknya di Tangerang Selatan? Oh, ya ampun. Dia pasti pengguna narkoba nakal lainnya,” kataku sambil memeluk bayiku seakan-akan secara naluriah ingin melindunginya.“Tidak apa-apa, Fia. Kamu tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Aku hanya akan berbicara padanya, lalu aku akan kembali untuk mengurus anak-anak kita,” katanya padaku sambil beranjak ke arah pintu. Kami sedang menikmati siang hari be
Fia“Apa?” seru Tama ketika Neli, anggota staf kami, memberitahunya bahwa seorang wanita bernama Suzy ada di luar dan berkata bahwa wanita itu ingin berbicara dengannya. “Sungguh? Suzy ada di sini?” tanya Tama tercengang.“Mungkin saja benar. Pasti terjadi sesuatu pada bayinya. Dia terus meneleponmu beberapa kali,” kataku padanya, mengingatkannya akan hal itu.“Omong-omong, wanita yang bersama dengannya sangat agresif,” ujar Neli, membuatku mengernyit.“Agresif?” tanyaku, mencoba memahaminya.“Wanita ini mungkin Clara, temannya,” jelas Tama.“Gadis yang hampir Laura korbankan nyawanya untuknya di Tangerang Selatan? Oh, ya ampun. Dia pasti pengguna narkoba nakal lainnya,” kataku sambil memeluk bayiku seakan-akan secara naluriah ingin melindunginya.“Tidak apa-apa, Fia. Kamu tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Aku hanya akan berbicara padanya, lalu aku akan kembali untuk mengurus anak-anak kita,” katanya padaku sambil beranjak ke arah pintu. Kami sedang menikmati siang hari be
Suzy“Kalau begitu, selamat, Fia, jika itulah yang kamu inginkan,” katanya sambil menatapku dengan muram. “Kamu bilang temanku dan aku tidak disambut di sini, tapi bagaimana dengan Emy? Apakah dia disambut di sini? Kamu pernah ingin aku menyerahkan putriku padamu dan aku menolaknya, tapi aku kembali memikirkannya dengan lebih baik. Kamu akan tahu bagaimana caranya mengasuh putriku, jadi aku memintamu untuk menjaganya,” katanya padaku.Kuharap keputusan ini bisa kuambil dengan mudah, tapi tidak—sebaliknya, keputusan ini menyakiti jiwaku.“Apa? Apa yang kamu lakukan?” tanya Tama dengan raut wajah kebingungan. “Apakah kamu menyerah terhadap Emy?” Clara, aku, pasangan suami-istri itu, dan bayi-bayi kami masih berada di ruang tengah rumah Keluarga Kusuma seraya mereka menatap kami dengan terkejut setelah mendengar permintaanku.“Aku tidak dapat menjaganya, Tama. Emy baru-baru ini jatuh sakit dan ketika aku pergi ke rumah sakit, mereka mendiagnosisnya dengan masalah jantung kronis,” jela
SuzyKemudian, aku merasa Clara menarik lenganku ke arah pintu keluar. “Ayo cepat pergi, Suzy, sebelum mereka melepaskan anjing-anjing mereka dan mengusir kita dari sini dengan kasar,” ujarnya sambil menuntunku pergi. Begitu kami memasuki mobil, Clara dengan cepat melaju pergi dan kemudian memberiku tisu supaya aku bisa menghapus air mataku. “Oh, kawan, jangan menangis. Itu adalah sebuah pembebasan. Gadis itu akan membuatmu kerepotan dan kamu hanya akan menderita jika kamu terus mempertahankannya. Wah, kamu terlalu muda dan cantik jika hidupmu terhambat karena ini. Semangatlah! Hidupmu masih panjang dan masih banyak uang yang akan kamu dapatkan, tahu? Jangan lupakan bahwa anak-anak selalu berujung memaafkan orang tua mereka. Gadis itu suatu hari pasti akan memaafkanmu, aku yakin.”*****Fia“Aku masih tercengang olah apa yang baru saja terjadi di sini. Suzy baru saja meninggalkan anaknya di sini bersamamu dan pergi begitu saja?” komentarku, berpikir bahwa itu sangat konyol. “Hal in
Laura“Suzy melakukan apa?” tanyaku terkejut setelah mendengar apa yang baru saja Fia ceritakan padaku di panggilan telepon. “Aku tidak percaya dia meninggalkan putrinya sendiri …. Astaga, dasar wanita yang tidak tahu apa-apa!”Aku tidak dapat memercayainya. Sulit untuk memercayai sesuatu seperti itu, apalagi dari Suzy, terutama karena dia sendiri pernah ditelantarkan di masa kecilnya. “Wah, aku tidak menduga hal itu,” komentarku.“Tidak ada yang dapat diharapkan dari wanita seperti Suzy, Laura. Dia bodoh dan sembrono. Tidak ada satu hal pun yang membuatnya puas selain uang. Jadi, aku tidak berharap lebih darinya,” kata Fia padaku.Aku menghela napas kesal. “Oh, kawan. Aku seharusnya ada di sana bersamamu, tapi hari ini adalah hari hakim akan membuat keputusan tentang siapa yang akan mendapatkan hak asuh Anna. Situasinya juga cukup sulit di sini,” kataku sambil menyisir rambut cokelatku yang bergelombang yang mencapai bawah pundakku dengan jariku. Ada cermin di ruang tunggu pengadi
Laura“Saya mengerti rasa sakit yang mungkin Anda alami pada saat itu, tapi akhir dari sebuah hubungan tidak boleh melukai anak-anak Anda. Ketika Anda menyebutkan bahwa Pak Santoso adalah pria yang jahat, apa yang Anda maksud? Apakah dia seorang agresor? Apakah Anda melihat adanya perilaku yang tidak pantas pada saat itu? Mungkin gangguan psikologis atau bahkan pedofilia?” tanya hakim dengan nada merendahkan, ingin memahami keputusan yang kubuat beberapa tahun yang lalu. Menurutku, jika Jason menunjukkan perilaku yang tidak pantas, itu akan sangat membantu keputusan hakim, tapi aku tidak bisa mengarang hal yang tidak benar.Namun, sebelum aku dapat mengatakan apa-apa, Jason berkomentar, “Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak relevan, Yang Mulia. Mantan istri saya hanya menyembunyikan putri saya dari saya karena rasa bencinya—karena dia memiliki dendam pada saya karena perceraian kami. Dia hanya menjadi terlalu emosional dan membiarkan kebenciannya terhadapku memengaruhi keputusanny
LauraSidang itu panjang dan melelahkan karena kami membahas tentang seorang anak yang pantas tumbuh dikelilingi oleh cinta dan perhatian. Selain itu, pengacara Jason terus bersikeras untuk meninjau kepentingan finansial karena Anna adalah putri dan pewaris tunggal dari pebisnis Jason Santoso. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Sementara itu, aku hanya berpikir putriku baru berusia enam tahun, bahagia dan tersenyum, sangat polos di dunia yang jahat ini, dan semua hal ini terjadi padanya ketika dia masih terlalu muda untuk memahami alasan-alasannya. Putriku tidak salah apa-apa dalam semua hal yang terjadi. Ini semua adalah kesalahanku dan Jason karena pernikahan kami berjalan dengan buruk dan sekarang anak itu harus menanggung semua konsekuensinya.Aku merasa malu pada diriku sendiri karena sangat egois dan mendahului perasaanku sebelum hak-hak putriku.Aku dapat melihat bahwa sang hakim, sebagai seorang penegak hukum dan pembela hak-hak anak di bawah umur, menganalisis denga
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak