LauraKetika aku terbangun, hal pertama yang kusadari adalah rasa sakit yang menusuk di kepalaku. Aku menyadari bahwa aku kembali terikat ke kursi, tapi sekarang ikatannya begitu kencang sehinga aku bahkan tidak bisa bergerak sedikit pun. Aku mengerang kesakitan, pelan-pelan mengangkat kepalaku dan melihat Richard terduduk di hadapanku. Ada darah di baju dan tangannya dan dia sedang terduduk seolah dia baru saja membunuh seseorang.“Apa…Apa yang terjadi?” tanyaku, masih linglung. Kepalaku sakit luar biasa, seolah sebuah kereta telah melewati kepalaku, jadi aku hanya bisa mengingat samar-samar apa yang telah terjadi. Seorang wanita yang merupakan komplotan Richard ingin membantu anakku dan aku melarikan dari dari tahanan, tapi aku tidak bisa ikut bersama mereka. Aku mengingatnya.Aku mulai gemetaran di kursiku seraya ingatanku mulai kembali bersama dengan rasa cemas, takut, dan panik. Apakah wanita itu tidak berhasil melarikan diri bersama putriku? Apakah Richard berhasil menyusul me
”Oh, sayang, maafkan aku,” katanya, memelukku dan mencium pipiku. “Namun, kamu bukan satu-satunya yang bisa disalahkan atas kematian putrimu. Maksudku, bagaimana bisa kamu memercayai wanita jalang seperti Suzy padahal dialah yang menculik Anna untukku demi seonggok uang? Wanita itu adalah pencari kesempatan. Dia tahu bahwa Anna adalah orang yang sangat berharga untukku, jadi dia menculiknya lagi untuk mendapatkan lebih banyak uang. Apa artinya 750 juta rupiah jika aku bisa memberinya belasan miliar rupiah untuk nyawa anak kita? Lagi pula, aku selalu bersedia untuk melakukan apa pun untuk memastikan keamanan dan kenyamananmu dan Anna. Kamulah yang bodoh karena telah memercayainya dan sekarang anak kita telah tiada. Ini semua salahmu, sayangku,” katanya, memelukku dan mengelus tubuhku yang terikat.Aku sangat terguncang sampai aku tidak mampu memikirkan tindakannya yang menjijikkan. Aku bahkan tidak memiliki tenaga untuk menyalahkannya karena telah mengambil hal terpenting dalam hidupku
SuzyAku tidak pernah memiliki seorang ibu. Tentunya, para biarawati yang merawat anak-anak di panti asuhan tempatku dibesarkan bukanlah contoh seorang ibu. Aku harus berusaha untuk tetap hidup setiap harinya dan bahkan di ingatan terindahku di masa kanak-kanak tidak akan pernah menggantikan ketiadaan sosok ibu di hidupku. Aku hidup dengan berpura-pura bahwa aku tidak memedulikannya dan tidak mengindahkannya, tapi sejujurnya, aku akan melakukan apa pun untuk memiliki seorang ibu yang mencintaiku seperti Laura mencintai Anna.Kita baru hendak melarikan diri melalui jendela, tapi dia tahu bahwa jika dia ikut melarikan diri, itu akan menjadi akhir dari hidup putrinya. “Kumohon, pergilah,” pintanya, menatapku dengan penuh kesedihan seolah dia sedang meminta sejuta hal padaku dan melepaskan tanganku dari pundaknya, mendorongku menjauh, dan menutup jendela di hadapanku.Aku ingin berdebat dan memintanya untuk mengubah pikirannya, tapi kami tidak memiliki waktu dan aku harus bertindak deng
Aku akhirnya bisa bernafas lega walaupun bahuku berdenyut kesakitan. Aku menyadari bahwa ban belakang mobilku kempes, mungkin Richard sialan itu telah menembak bannya juga, tapi aku tidak bisa berhenti sekarang sampai aku yakin bahwa dia tidak mengikuti kami.“Anna? Anna, sayang,” panggilku padanya yang masih terbaring dengan tidak berdaya di kursi penumpang. Aku bahkan belum memasangkan sabuk pengaman padanya karena aku terburu-buru untuk kabur dari Richard. Aku menjulurkan tanganku dan membetulkan posisi duduknya, lalu aku memasangkan sabuk pengaman padanya dengan kesusahan karena aku harus mengendalikan setir mobil dengan tanganku yang kesakitan. Rasanya sakit sekali, seperti bahuku sedang terbakar.“Kamu harus hidup, aku tidak bisa hidup dengan rasa bersalah ini, tolonglah,” kataku, melihat gadis itu yang masih memejamkan matanya dan terdiam, dengan kepalanya jatuh ke depan tanpa keseimbangan apa pun. Aku meluruskan kepalanya dan menepuk pundaknya sambil melaju dalam kecepatan pe
JasonAku sedang mencari Laura dan putriku seperti orang gila. Apakah itu benar? Seseorang tidak akan menghilang seperti itu tanpa meninggalkan jejak. Ketika aku menelepon sekolah Anna, mereka bilang bahwa ibunya telah mengirimkan seseorang untuk menjemputnya lebih cepat, tapi bahkan jika Laura sudah pergi, dia pasti akan memberi tahu Fia yang merupakan sahabatnya, tapi dia bahkan tidak memberi tahu Fia. Aku tidak mengetahui apa-apa yang membuat semuanya tidak masuk akal.“Sejujurnya, tidak ada hal yang menyanggah bahwa dia memutuskan untuk pergi,” komentar Tama melalui telepon denganku.“Astaga, Tama, diamlah,” kataku, benar-benar frustrasi. Aku tidak ingin memikirkan kemungkinan mengerikan bahwa Laura akan meninggalkan aku dan pergi bersama Anna.Aku tidak ingin memikirkan kemungkinan itu karena kemungkinan besar bahwa itu memang benar. Maksudku, sejak kami kembali bersama, Laura dan aku tidak pernah berhenti memiliki masalah. Dia telah memaafkan masa laluku, tapi walaupun begitu
JasonTiga jam telah berlalu sejak aku mengetahui kebenaran mengenai hilangnya Laura dan Anna. Mereka telah diculik oleh Richard yang penakut itu dan sekarang hanya Langit yang tahu apa yang sedang mereka lalui. Aku telah mengumpulkan seluruh pasukan polisi yang bisa kukumpulkan dalam kurun waktu yang singkat dan mereka sekarang sedang melacak keberadaan Richard.Masalahnya adalah psikopat sialan itu benar-benar teliti dan tampaknya dia telah merencanakan penculikan itu dari lama. Bajingan berengsek. Segalanya begitu sempurna dan tertata dengan rapi sehingga para profesional kesulitan melakukan pekerjaan mereka.“Ponsel pelaku menunjukkan bahwa dia sedang berada di Bali sekarang,” kata seorang agen sambil memandang layar komputer.“Bagaimana dia bisa berada di Bali sekarang jika siang ini dia menculik putriku dari sekolah?” tanyaku, benar-benar kebingungan. Aku hampir tidak bisa menahan amarahku. Aku tidak sabar ingin menghajar pria berengsek itu.“Dia mungkin tidak menculik anak
”Baguslah, kita mendapatkannya! Kita harus pergi ke sana sekarang,” kata detektif yang memimpin.“Aku ikut denganmu. Aku akan mengikutimu dengan helikopterku,” kataku.“Tuan Santoso, mungkin saja akan ada baku tembak di sana, akan sangat berbahaya,” kata detektif itu.“Aku tidak peduli. Kita sedang membicarakan istriku dan anakku!” teriakku marah.Pria itu mengangguk. “Baiklah, kalau begitu. Ayo pergi,” katanya, menggerakkan semua garda terdepan.Untuk keamanan, mereka mengenakan rompi antipeluru dan sekarang kami sedang melayang di atas Jakarta. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari bawah sana, yang mana aku hanya bisa melihat lautan dan ujung pepohonan. Fajar terus membentang dan aku merasa sedikit lagi kami akan menemukan Laura dan Anna. Rasa gelisah menggerogotiku dengan dahsyat.Segera ketika helikopter mendarat di ruang terbuka di depan sebuah rumah kayu, polisi mengatur penyerangan, mengacungkan senjata mereka dan menunggu perintah dari atasan mereka. Ada cahaya redu
SuzyAku berdiri di depan rumah besar yang sangat mewah, terkagum melihat tempat itu. “Ini tempat tinggalmu?” tanyaku, masih terpaku.“Iya, tapi rumah kami ada di sebelah sana,” kata Anna. Kami berdua masih di dalam mobil dan aku khawatir mobil tuaku tidak akan dibiarkan masuk oleh para satpam karena mobilku tidak cocok dengan tempat itu.“Wah, beruntungnya dirimu, Anna, pewaris miliarder,” komentarku, menyalakan mobil dan melaju menuju rumah mewah itu.Rumah Anna adalah rumah besar berwarna putih dan dari tampilannya saja, aku yakin mereka tidak makan pasta dan sosis untuk makan malam. Sekarang sudah pukul 4:45 pagi dan hari mulai cerah. Anna masih sedikit mengomel mengenai kakinya walaupun aku sudah memberinya obat pereda sakit dan bahuku rasanya makin parah. Aku turun dari mobil dengan kesulitan dan beranjak untuk membukakan pintu Anna, menggendongnya di tanganku karena anak itu tidak bisa berjalan sendiri.“Ayo, Anna. Mari kita pergi ke papamu,” kataku, menghampiri rumah utama
AnnaAku sedang bersandar di toilet kamar kecil itu, memuntahkan semua yang telah kumakan hari itu. Aku mual dan seluruh tubuhku gemetar, merasa sangat buruk. Aku seharusnya benar-benar tidak minum alkohol sebanyak itu.Lalu, aku mendengar ketukan di pintu bilik. “An, apakah kamu butuh bantuan?” Itu adalah Panca. Dia berada di sisi lain pintu, mengkhawatirkan aku.“Tunggu sebentar. Aku akan keluar,” kataku dengan suara yang tercekat. Aku menyiram toiletnya dan hampir pingsan di lantai. Saat itu sudah pagi. Panca dan aku sedang berada di dalam klub malam, mencoba bersenang-senang. Aku telah memintanya melakukan itu karena aku ingin melupakan masalah-masalah si*lanku, tapi rupanya aku tidak cukup kuat untuk minum alkohol sebanyak itu dalam sekali minum.“Kalau kamu butuh aku, teriak saja,” kata Panca lagi. Dia mengkhawatirkan aku.Aku menghela napas berat dan meninggalkan bilik, beranjak ke wastafel untuk mencuci wajahku. “Ini adalah kamar kecil wanita. Kamu tidak boleh ada di sini,
LauraAku duduk di ranjangku sambil memandang ponsel di tanganku. Aku sedang menelepon Anna lagi, setelah ratusan panggilan yang kucoba lakukan. Dia menolak menjawab semua panggilan teleponku. Ponsel dia di luar jangkauan, tapi aku tetap menelepon karena jika tidak, aku akan merasa benar-benar tidak berguna.Aku belum melakukan apa-apa sejak Anna pergi. Berhari-hari telah berlalu dan Anna belum pulang. Kami bahkan tidak bisa menemukan dia. Meskipun kami memiliki kuasa dan pengaruh yang besar, itu semua terlihat tidak berguna ketika berurusan dengan menemukan seseorang yang tidak ingin ditemukan. Tampaknya, Anna berusaha keras sekali untuk tidak ditemukan.Aku meletakkan ponselku di pojokan ranjangku dan menghela napas dengan bahu yang merosot ke depan, merasa sangat kehilangan arah. Ini tampaknya terlalu kejam. Cara putriku bertingkah tidak normal, setidaknya tidak bagi anak perempuan yang jatuh cinta dan pada umumnya membuat keputusan buruk atas nama cinta. Anna mungkin mencintai a
AnnaPanca dan aku harus meninggalkan hotel itu karena orang-orang yang dikirimkan ayahku sudah hampir sampai di pintu kami dengan niat untuk menangkap kami.“Bagaimana mereka bisa menemukan kita?” tanya Panca, gundah, seraya dia dan aku berlari pergi dari penginapan itu.Aku juga sangat kebingungan. Aku yakin kami tidak meninggalkan apa-apa. Kami berlari dan bersembunyi di balik sebuah gang, melihat bawahan-bawahan ayahku berlari ke arah yang berlawanan tanpa mengetahui bahwa kami ada di balik pojokan itu.“Apakan mereka akan kembali?” tanyaku, melihat orang-orang itu menghilang.“Jika mereka berhasil menemukan kita di sini, aku yakin mereka akan menemukan kita lagi,” ujar Panca. “Sepertinya ada yang kita lewatkan ….” Dia berpikir, lalu dia menoleh ke arahku dan mulai meraba-rabaku.“Hei! Apa yang kamu lakukan?’ tanyaku, terkejut dengan cara dia merogoh-rogoh tubuhku.“Pasti ada GPS pada dirimu. Itu akan menjelaskan segalanya,” katanya, meraih tasku, membuka ritsletingnya, dan
AnnaPanca dan aku berakhir harus pergi ke sebuah penginapan karena saat itu sudah larut malam dan orang-orang yang dikerahkan ayahku tersebar ke seluruh penjuru kota. Kami harus tetap bersembunyi dan menunggu orang-orang itu pergi supaya mereka bisa memberikan kami minuman agar kami bisa melanjutkan perjalanan kami.Ruangan itu biasa saja dengan dekor kasar dan dua kasur di tengah. Karena uang kami menipis, kami tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik. Bukan hanya itu, jika kami melakukan itu, kami bisa menarik perhatian. Begitu kami tiba di sana, Panca langsung mengintip melalui gorden jendela.“Bisakah kamu melihat mereka?” tanyaku, masih ketakutan. Ingatan tentang apa yang terjadi di taman masih segar di dalam diriku.“Sayangnya tidak,” jawab Panca sambil masih melihat-lihat. “Kita berhasil melarikan diri dari mereka. Namun, kita sebaiknya pergi dari kota ini sesegera mungkin.”Aku menghela napas sambil mengangguk dan duduk dengan berat di ranjang, merasa lelah dan kehabisa
Anna“Namaku tidak penting,” jawabnya, dengan ketenangan yang membuatku curiga. “Ayahmu menyuruhku untuk menjemputmu. Waktunya pulang.”Jantungku berdegup di dalam tulang rusukku. Bagaimana bisa ayahku menemukanku? Panca dan aku telah sangat berhati-hati hingga sekarang, kami tidak meninggalkan banyak petunjuk yang akan membuat dia atau siapa pun menemukan kami dengan mudah, tapi pria yang dikirimkan oleh ayahku ini mengatakan bahwa dia ada di sana untuk menjemputku pulang.“Dengar, pasti kamu salah orang, oke? Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku pada pria itu, tetap waspada.“Ayolah, Nona Santoso,” jawab pria itu. “Ikutlah bersamaku. Keluargamu membutuhkanmu.” Dia mengulurkan tangannya dan mencoba menggenggam lenganku, tapi aku dengan cepat menghindarinya, menyembunyikan lenganku di balik tubuhku.“Sudah kubilang kamu salah orang. Aku bukan orang yang kamu cari,” kataku lagi, dengan cepat melihat ke arah Panca pergi. Aku telah meminta minum di waktu yang tidak tepat.“Untung
AnnaTamannya terang, disinari oleh ribuan lampu berwarna-warni. Aku melihat-lihat ke sekitar, terkagum oleh tempat itu. Aku tidak pernah pergi ke taman hiburan di malam hari dan suasana yang semarak membuatku seperti sedang berada di dalam film. Panca terlihat sama gembiranya seperti diriku, dengan mata yang berbinar dan senyuman lebar di wajahnya.“Jadi, apa rencananya?” tanyanya, menawarkan lengannya untukku seperti seorang tuan.“Bianglala,” jawabku dengan cepat. “Aku ingin melihat semuanya dari atas!”Panca tertawa dan membuat gestur dramatis dengan tangannya. “Sesuai keinginan Anda, Nona An!” candanya. Kami pun beranjak ke arah bianglala.Di samping kami, taman itu sangat ramai. Anak-anak tertawa dan berlari di mana-mana. Seorang penjual berondong jagung, mengenakan topi yang besar dan penuh warna, berteriak untuk menarik lebih banyak pembeli. “Berondong jagung panas, berondong jagung manis, berondong jagung asin! Ayo, ayo, jangan lewatkan!”Aku menatap Panca dan tertawa. “
Layla“Aku sedang membicarakan dirimu, Layla,” katanya. “Kembalilah padaku.”Aku terkekeh skeptis. “Apa yang kamu lakukan sekarang? Kenapa kamu mengatakan ini? Apakah kamu benar-benar ingin aku memercayai itu?” tanyaku, skeptis terhadap perkataannya.Maksudku, pernikahan kami sudah berjalan selama bertahun-tahun dan sepanjang waktu itu, aku melakukan segala hal yang bisa kulakukan untuk membuat dia menyadari bahwa ini adalah hal yang penting bagi kami berdua, untuk membuat dia sadar betapa aku mencintainya dan betapa aku bersedia untuk membuat dia bahagia, tapi dia tidak pernah mendengarkan aku. Kebalikannya, malah. Gideon membenciku dan memperlakukan aku seolah-olah dia membenciku.Aku harus menelan banyak hal dalam pernikahan itu untuk tetap berada di sisinya dan berjuang untuk kami berdua. Akan tetapi, begitu aku telah memutuskan untuk akhirnya melihat diriku sendiri dan meninggalkan hubungan yang tidak sehat itu, dia muncul dan mengatakan bahwa dia menginginkan aku kembali. Apa
LaylaKetika bel pintuku berbunyi dan aku pergi menjawabnya, aku mengernyit ketika Gideon Nalendra ada di pintuku. “Kamu? Apa yang kamu inginkan di sini?” tanyaku, lebih terkejut dibandingkan tertarik. Sejak aku bercerai dengannya, dia tidak pernah mendatangiku secara langsung, dia selalu mengirimkan seseorang untuk menjemput putranya dan kemudian mengembalikan dia dengan aman setelah beberapa hari, tapi dia tidak pernah datang secara langsung sebelumnya.“Em, hai, Layla,” gumamnya, masih berdiri di pintu apartemenku.“Papa!” Itu adalah Wira kecil yang berlari begitu dia melihat ayahnya di pintu.“Hei, petarung kecil!” seru Gideon, berjongkok untuk menggendong putranya dan memeluknya.“Aku senang sekali bertemu dengan Papa!” ucap anak itu dengan bahagia, memeluk ayahnya. Meninggalkan Surabaya adalah hal yang sulit, terutama karena anak itu sangat menempel dengan ayahnya, tapi dia masih terlalu muda untuk berada jauh dari ibunya bagiku untuk meninggalkan dia bersama Gideon, bukanny
AnnaRasanya seakan-akan dunia di sekitar kami menghilang. Panca dan aku sedang menjalani hari yang sempurna, yang mana segala hal tampak memungkinkan, yang mana tidak ada kekhawatiran, hanya kebahagiaan. Musik pop tahun 2000-an terputar dengan lembut melalui pengeras suara toko dan rasanya seperti musik pengiring untuk kisah kami yang mulai tertulis sendiri.Panca menggenggam tanganku dan menarikku ke area aksesori dengan senyuman konyolnya. “Lihat ini!” Dia mengambil sepasang kacamata besar dengan lensa bundar dan bingkai berwarna neon. Dia memasang itu di wajahnya dan membuat pose yang dilebih-lebihkan seolah-olah dia adalah seorang model papan atas. “Sempurna untuk tampilan futuristik, ‘kan?”Aku tertawa dan mengambil kacamata lain, hanya saja kacamata itu memiliki bingkai berbentuk hati. Aku memakainya di wajahku dan menatap Panca sambil tersenyum. “Sekarang iya! Kita siap untuk mendominasi dunia!”Dia tertawa dan mencium pipiku. “Tentunya dunia tidak akan sama jika kita memak