Hari bahagia Rangga dan Nadya akhirnya tiba. Langit cerah seperti memberkati momen yang dinanti-nanti banyak orang ini.Di sebuah ruangan penuh cahaya lembut, Nadya duduk di depan cermin besar, menerima polesan terakhir dari penata rias yang memastikan setiap detail kecantikannya sempurna. Gaun putihnya memancarkan keanggunan, membuatnya tampak seperti ratu di hari pernikahannya.Setelah sang penata rias selesai, Lila mendekat, matanya berbinar-binar melihat sahabatnya yang begitu menawan."Kamu cantik sekali, Nadya," ucap Lila penuh kagum. Kenangan saat pernikahannya dahulu kembali melintas.Nadya tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak sepenuhnya menyentuh matanya.Lila memperhatikan ekspresi Nadya dengan saksama. Ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan sahabatnya, meskipun ia sudah berusaha keras untuk terlihat bahagia.Hati Lila berdebar-debar, dipenuhi rasa khawatir. Ia mendekat lebih dekat, duduk di samping Nadya, lalu dengan lembut bertanya, “Apa ada yang masih mengganjal
Suasana ballroom hotel Bintang lima yang sudah didekorasi dengan nuansa klasik memancarkan kemewahan nan elegan. Lampu kristal besar bergantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya lembut yang membuat ruangan terlihat berkilauan.Dekorasi bunga mawar putih dan lilac menghiasi setiap sudut, memberi sentuhan elegan yang tak terbantahkan. Kursi-kursi tamu berjajar rapi, dilapisi kain satin putih dengan pita ungu muda yang serasi.Di tengah suasana khidmat itu, suara lantang penghulu memecah keheningan.“Sah?” tanyanya dengan tegas. Serentak para saksi menjawab, “Sah!” Suara itu menggema, membawa kelegaan dan kebahagiaan yang seolah memenuhi seluruh ruangan.Tak lama, seluruh tamu serempak mengucapkan “Amin,” diiringi senyum dan tepukan tangan yang hangat. Nadya, yang kini resmi menjadi istri Rangga, menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Rangga, duduk di sampingnya, tampak lega dan tersenyum bangga.Momen itu menjadi awal dari kehidupan baru bagi Rangga dan Nadya, d
Delisa berdiri di sudut ruangan, terpesona oleh sosok Sean yang tengah berbicara dengan Rangga sambil menggendong Brilian. Sean tampak begitu gagah dalam stelan jasnya, dengan senyum hangat yang sesekali menghiasi wajahnya saat Brilian menggeliat di pelukannya.Sean tampak seperti pria sempurna, sosok suami dan ayah yang diimpikan banyak wanita.Tatap mata Delisa tersita pada Sean, membayangkan betapa beruntungnya sang kakak memiliki pria seperti itu di sisinya. Namun, lamunannya tiba-tiba buyar ketika Lila menghampirinya dari arah belakang.“Lisa!” seru Lila dengan antusias, langsung memeluk adiknya.Delisa terkejut namun segera membalas pelukan itu dengan hangat. Lila menatap wajah Delisa penuh kekaguman, lalu berkata dengan nada menggoda.“Kamu cantik banget malam ini. Pasti bakal banyak pria yang tergoda.”Delisa tersipu dan tersenyum kecil mendengar pujian dari sang kakak. Belum sempat Delisa mengeluarkan kata-kata, Lila kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada serius.“Tapi in
Di belahan bumi lain, Rina duduk di sudut sebuah kafe, laptop terbuka di depannya. Jarinya sibuk mengetik, menyelesaikan proyek terbaru yang memberinya penghasilan cukup besar.Tidak mudah bagi Rina untuk bangkit, kasus yang sempat membelitnya membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tetapi karena tekad dan skil yang dia miliki akhirnya dia mendapatkan pekerjaan secara remote dari luar negeri.Meski kehidupannya mulai pulih, ada kehampaan yang tak bisa ia abaikan. Hidup sendirian di kota asing membuat setiap detik terasa lebih sunyi.Ia mengambil jeda sejenak, menyeruput kopi yang mulai dingin. Rina membuka media sosial, berharap ada kabar yang bisa menghangatkan hatinya. Tak disangka, sebuah postingan dari akun salah satu kenalan lamanya muncul di linimasa.Foto pernikahan Nadya dan Rangga terpampang jelas. Nadya terlihat anggun dalam balutan gaun putih, sementara Rangga tampak gagah dalam jas formal. Di samping mereka, Sean dan Lila berdiri dengan senyum lebar, mendampingi kedua
Rina berdiri terpaku, masih gemetar akibat kejadian tadi. Namun, gemetar itu berubah menjadi rasa campur aduk ketika pria berambut gondrong di hadapannya menyebutkan namanya dengan lembut.“Rina, ini benar-benar kamu?”Rina memandang wajah pria itu dengan saksama, dan sebuah nama terlintas di pikirannya. Ryan. Mantan atasannya di Mahendra Securitas, sosok yang dulu begitu ia hormati sebelum akhirnya menjadi sumber malapetaka dalam hidupnya.“Kamu?” ujar Rina dengan suara bergetar, setengah tidak percaya.Ryan tersenyum kaku, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Iya, ini aku.”Ryan mengalihkan pandangannya, dia sedang mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbicara berdua, selama Rina menenangkan dirinya.“Kita bisa duduk di sana sebentar.” Ryan menunjuk ke sebuah halte. “Kau bisa menenangkan dirimu dulu sebelum pulang.”Sebelum melangkah, terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel Rina. Ternyata sopir taksi online membatalkan pesanannya. Mungkin karena dia tadi sempat menghubungi berul
Motor matic Ryan berhenti perlahan di depan sebuah tempat kos mewah berlantai tiga. Rina segera turun, merapikan jaketnya, lalu menatap Ryan. Sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, Ryan berbicara lebih dulu.“Sudah malam, cepat masuk! Aku tidak akan pergi sebelum kamu menghubungiku kalau kamu sudah sampai di kamar dengan selamat," ucap Ryan serius.Rina mengerutkan dahi, merasa sedikit tidak percaya dengan perhatian yang diberikan pria itu. Dia tahu Ryan dulu tidak pernah bersikap seperti ini.“Apa perlu segitunya?” gumamnya, setengah bercanda, tapi Ryan hanya membalas dengan tatapan mantap.“Perlu,” jawab Ryan singkat sambil menggerakkan dagunya seolah menyuruh Rina segera pergi.Rina mendesah kecil, kemudian tanpa banyak bicara lagi, ia melangkah masuk ke dalam tempat kosnya. Kakinya bergegas menaiki tangga, tapi pikirannya masih memikirkan sikap Ryan. Ia tidak tahu harus merasa jengkel atau terharu.Setelah tiba di kamar, Rina meletakkan tasnya dan berjalan ke arah jendela. Di
Sean membuka pintu rumah dengan langkah berat, wajahnya terlihat lelah. Hari-hari ini terasa sangat panjang sejak Rangga memutuskan cuti untuk bulan madu. Semua pekerjaan menumpuk di pundaknya, memaksanya pulang larut hampir setiap malam.Di ruang tamu, Lila duduk di sofa dengan buku di tangan, mencoba mengusir kantuk sambil menunggu suaminya. Begitu mendengar suara pintu, ia langsung menoleh dan tersenyum lembut.“Kamu belum tidur?” tanya Sean sambil melepas jasnya dengan gerakan lamban.“Belum,” jawab Lila. “Aku mau pastikan kamu makan malam dan istirahat dulu.” Lila merasa tidak tenang jika Sean belum tiba di rumah.Sean tersenyum tipis. “Kamu harusnya tidur saja. Jangan terlalu memikirkan aku,” katanya, mendekat dan mengecup kening Lila dengan lembut. “Seharusnya kamu istirahat, bagaimana kalau nanti malam Brili bangun, dan kamu belum sempat tidur?”“Aku bisa menyusuinya sambil tiduran,” jawab Lila sekenanya.Sean tersenyum jahil. “Bagaimana kalau malam ini papanya juga minta disu
Lila turun dari lift dengan langkah tenang, mendorong kereta bayi Brilian, tampak bayi itu asik bermain sendiri di di sana. Satu tangannya mendorong kereta bayi Brilian, sementara yang satunya membawa Tas berisi makan siang untuk Sean.Begitu tiba di lobi kantor Sean, resepsionis muda dengan senyum ramah segera menyambutnya.“Selamat siang, Ibu Lila. Pak Sean sudah memberi tahu kami bahwa Ibu akan datang. Mari, saya antar ke ruangannya,” kata resepsionis itu sambil menganggukkan kepala.“Terima kasih,” jawab Lila lembut, membalas keramahan perempuan itu.Resepsionis itu mengambil alih stroller karena melihat Lila yang tampak kerepotan. Lalu mereka berjalan menuju ruangan Sean.Ketika tiba di depan pintu, resepsionis itu memberi tahu, “Maaf, Ibu, Pak Sean sedang ada rapat. Tapi sepertinya tidak akan lama. Ibu bisa menunggu di dalam.”Lila mengangguk. “Tidak apa-apa, terima kasih sudah mengantar.”Sebelum resepsionis itu pergi, Lila menyodorkan sebungkus makanan ringan dari tasnya. “Ini
Setelah beberapa hari menginap untuk memenuhi keinginan putri sulungnya, kini tiba waktunya bagi Waluya dan Inayah kembali. Ada kelegaan di hati mereka, saat Lila bisa memaafkan kesalahan mereka di masa lalu.Lila bukan hanya memaafkan, tetapi menganggap apa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah tantangan menjadi orang tua. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada Lila dan Sean di kemudian hari. Bagaiman mereka dituntut bersikap adil kepada anak-anak mereka.Tidak ada dendam atau pun kebencian. Jika suatu saat kesalahan ini diungkit kembali, hanya sebagai lembar catatan yang dijadikan sebagai pengingat semata.Lila berdiri di depan pintu utama, menatap mobil yang membawa kedua orang tuanya bergerak semakin menjauh. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak menangis.Sean berdiri di sampingnya, tangannya melingkar di pinggang Lila, memberikan kehangatan dan dukungan."Bapak dan ibu tidak pergi selamanya, Sayang," bisik Sean dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Ki
Impian Lila untuk bisa melepas rindu dengan penuh kebahagiaan justru dipenuhi drama yang menyesakkan dada. Bukan karena dia benci atau menyimpan dendam kepada Delisa, tetapi tidak bisa dipungkiri jika ucapan Brilian sangat menyakitkan.Suasana yang semula hangat seketika berubah saat nama Delisa disebut. Brilian yang sebelumnya mulai menerima kenyataan bahwa adik-adiknya laki-laki, kini kembali teringat akan sesuatu, sesuatu yang pernah dijanjikan oleh Delisa kepadanya.Sean dan Lila saling bertatapan, menyadari perubahan ekspresi putra mereka."Brilian?" panggil Sean dengan penuh kehati-hatian.Brilian tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya terlihat berkabut. Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Dulu Tante Delisa bilang… cuma dia yang bisa kasih aku adik perempuan."Hening.Lila merasakan dadanya mencengkeram. Sementara Sean mengejang, rahangnya mengeras seketika."Apa maksudmu, Nak?" tanya Waluya dengan dahi berkerut.Brilian mena
"Bapak, Ibu." suara Lila bergetar antara terkejut dan bahagia. Ia tidak tahu kapan mereka datang, tapi melihat mereka ada di sini membuat hatinya begitu hangat.Tanpa pikir panjang, Lila menoleh ke arah Sean, matanya berbinar penuh rasa syukur. Dia yakin semua ini pasti karena suaminya.Saking bahagianya, tanpa sadar Lila memeluk dan mencium sang suami dengan penuh kehangatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah memenuhi permintaannya.Baru setelahnya, Lila menyadari bahwa semua orang di ruang makan menyaksikan kemesraan mereka. Orang tuanya tersenyum penuh arti, sementara Brilian yang duduk di kursinya malah menutupi wajah dengan kedua tangan."Aduh, Papa Mama! Aku lagi makan!" protesnya dengan wajah memerah.Lila terkekeh malu, sementara Sean justru tertawa bangga. "Biarin, Brilian. Papa cuma dapat sedikit jatah perhatian dari Mama kamu sekarang, jadi harus dimanfaatkan," ucap Sean dengan santai, menggoda putranya.“Ayo!” Sean menggandeng tangan Lila, mengantarnya menuju ke ked
Sean tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan istrinya. “Apa pun hasilnya, aku hanya ingin kamu dan bayi-bayi kita sehat. Itu yang paling penting.”Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang, membiarkan harapan itu tetap ada, namun tanpa terlalu terikat padanya.Lila menatap Sean penuh haru. Di dalam hatinya, ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Seorang gadis sederhana yang tumbuh dalam keluarga biasa, kini berada di sisi pria sebaik Sean. Ia tidak hanya menikahi laki-laki yang mencintainya dengan tulus, tetapi juga seseorang yang selalu menjadikannya prioritas dalam hidupnya.Namun, kenyataan yang lucu adalah bahwa di dalam keluarga Wismoyojati, Sean justru menjadi yang paling ‘miskin’. Bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam kepemilikan aset. Sekar, dengan ketegasan dan kecermatannya, sudah membagi saham perusahaan tanpa memanjakan putranya sendiri.Sekar masih memegang kendali dengan lima puluh persen saham, memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang bena
Sean yang sejak tadi mendengar dengan saksama langsung menggenggam tangan Lila, merasakan kecemasan yang mulai mengalir dari istrinya.“Tapi kondisi Lila dan bayi sehat, kan, Dok?” tanya Sean memastikan bahwa tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lebih jauh.Dokter Amira mengangguk. “Benar. Semua hasil pemeriksaan sejauh ini sangat baik. Berat bayi dalam rentang normal, tekanan darah Lila juga stabil, tidak ada indikasi komplikasi. Yang perlu kita perhatikan adalah menjaga agar semuanya tetap seperti ini sampai waktu persalinan tiba.”Lila menunduk sejenak, mencerna semua yang dikatakan oleh dokter. Ia mengerti, tetapi di dalam hatinya, ada sedikit kekecewaan.Bukan tentang adu nyali merasakan proses persalinan normal seperti kebanyakan ibu lainnya, tetapi Lila memiliki sejarah buuk dengan persalinan secara caesar.“Jadi, yang paling penting sekarang adalah memastikan Lila tidak terlalu lelah, tetap menjaga pola makan, dan menghindari stres.” Dokter Amira melanjutkan kalimatnya deng
Sekar berdiri di tengah ruangan, tatap matanya menyapu seluruh karyawan Mahendra Securitas yang telah berkumpul. Suaranya tegas namun tetap bersahabat saat dia melontarkan pertanyaan."Apakah kalian mengenal Marina Adriana?"Sejenak suasana hening, lalu beberapa karyawan lama saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan mantap. Nama itu bukanlah nama asing bagi mereka. Rina, begitu mereka biasa memanggilnya, adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Mahendra Securitas.Sekar tersenyum kecil, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, "Nah, kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan suaminya."Sekar menoleh ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya. "Yang berdiri di sampingku ini adalah Ryan Aditya Mahendra, suami dari Marina Adriana. Dan mulai hari ini, dia yang akan menggantikan posisi Lila sebagai pemimpin di Mahendra Securitas."Tawa meriah langsung memenuhi ruangan. Tidak hanya karena cara Sekar memperkenalkan Ryan, tetapi juga karena Ryan sendiri bukanlah
Lila menghela napas panjang sambil merapikan meja kerjanya. Semua dokumen penting sudah disortir, file-file tersusun rapi, dan barang pribadinya mulai dikemasi. Esok hari, Ryan sudah akan menggantikan posisinya.Saat itu, pintu ruangannya diketuk. Lila menoleh dan melihat Ryan berdiri di ambang pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum Lila melempar senyum dan memberi isyarat agar adik iparnya itu masuk.Di hadapan banyak orang, mereka bisa bersikap biasa saja. Profesional, seperti dua rekan kerja yang hanya berbagi tanggung jawab. Namun, saat hanya berdua, kecanggungan itu muncul begitu saja.Ryan berjalan mendekat, melihat meja yang hampir kosong. “Jadi, ini hari terakhirmu di sini,” ucap Ryan yang mencoba bersikap santai kala berhadapan dengan Lila.Lila mengangguk. “Ya. Besok semua yang ada di sini sudah menjadi tanggung jawabmu.”Ryan menatap sekeliling. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Bukan tentang masa lalu dirinya yang sudah pernah berada di posisi Lila, tetapi tenta
Anggap saja nekat, Sekar kembali melakukan pertemuan dengan Tetapi pertemuan mereka tidak seprivate pertemuan-pertemuan terdahulu. Mereja hanya melakukan pertemuan sambil makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ryan.Wajah Sekar tetap tampak serius seperti biasanya, mencerminkan kegelisahan yang sudah ia tahan sejak pagi. Senyum sumir terukir di bibir Sekar saat Ryan duduk tepat di hadapannya.“Kau sudah urus pengunduran dirimu?” tanya Sekar tanpa basa-basi.Ryan mengangkat kepala, melihat Sekar yang tampak terburu-buru. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Tinggal menunggu serah terima saja. Masih ada beberapa tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”Sekar menatapnya lekat, seakan memastikan bahwa Ryan benar-benar serius dengan keputusannya.“Tapi aku pastikan awal bulan nanti aku sudah bisa ke Mahendra Securitas,” lanjut Ryan dengan nada meyakinkan.Seketika ketegangan di wajah Sekar mereda. Ada kelegaan di matanya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu
Sean menyendiri di ruang kerja, bukan karena banyaknya pekerjaan yang belum dia selesaikan, tetapi ada beban pikiran lain yang sulit dia singkirkan. Dan dia tidak ingin Lila mengetahuinya.Sekar yang sedang mengambil air minum di dapur melihat lampu ruang kerja putranya belum juga padam. Hal itu membuatnya penasaran hingga ingin melihat dan mengetahui apa yang sedang dilakukan putranya saat tengah malam begini.Sekar berjalan pelan menuju ruang kerja Sean. Ia melihat putranya duduk di belakang meja, bahunya sedikit membungkuk, tatapan matanya kosong menatap layar laptop yang bahkan belum menyala.“Sean?” panggil Sekar lembut.Sean mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “Ma?”Sekar melangkah masuk, menaruh gelas air yang dibawanya di meja. “Kamu belum tidur?”Sean menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Belum ngantuk.”Sekar mengamati wajah putranya yang terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang mengganggu