“Nanti pulang malam lagi?” tanya Lila sambil merapikan pakaiannya.Sean langsung memeluk Lila dari belakang dan melabuhkan kecupan di leher jenjang istrinya. “Pengennya pulang lebih awal, bisa main bareng Brilian lebih lama, dan malamnya bisa memberi nafkah mamanya sepuasnya.”Lila tertawa renyah mendengar ucapan Sean. Lalu dia membalikkan tubuhnya hingga berhadapan dengan sang suami.“Kalau main buru-buru, pusingnya saja yang sembuh, kangennya belum.” Sean semakin mengeratkan pelukannya. Ucapan Sean terdengar seperti anak manja yang sedang mengadu kepada ibunya.“Aku akan sabar menunggumu di rumah.” Lila melabuhkan kecupan lembut di bibir Sean.“Mau lebih lama lagi,” ucap Sean dengan suara yang terdengar serak.Sean seperti tidak rela melepas bibir Lila. Tetapi saat dia kembali ingin mencium istrinya, terdengar suara ketukan pintu.Sean menghembuskan napas kasar, lalu melangkah melangkah ke kursinya dengan santai, tetapi sorot matanya memperhatikan pintu yang baru saja diketuk."Masu
Di sela makan siang di salah satu restoran favorit Delisa, Lila mulai bercerita tentang perjalanan pernikahannya dengan Sean. Delisa, yang awalnya asyik menikmati makanannya, menatap kakaknya dengan penuh perhatian."Pernikahan itu nggak selalu mulus, Lis," Lila memulai. "Aku dan Sean juga pernah melewati masa-masa sulit. Kau pasti sudah dengar dari bapak dan ibu, kalau kami bahkan sempat terpisah karena perceraian."Delisa mengangkat alis, sedikit terkejut. "Tapi sekarang kalian baik-baik saja, kan, Mbak?"Lila tersenyum tipis, matanya terlihat sendu. "Iya, sekarang kami sedang berusaha memperbaiki semuanya. Tapi itu nggak mudah. Ada ego kami yang merasa yang merasa paling benar, masalah dengan orang-orang di sekitar yang mungkin memiliki kepentingan lain."Delisa mengangguk pelan, mencoba memahami. "Apa yang bikin kalian memutuskan untuk kembali bersama?""Brilian," jawab Lila tanpa ragu sambil melirik putranya yang tidur pulas di stroller. “Saat Sean mengetahui aku hamil dia langs
Sekar memasuki rumah Sean dengan senyum hangat yang langsung disambut oleh Lila. Di ruang keluarga, Sekar menemukan cucunya, Brilian, yang sedang bermain di bouncer.Wajah Sekar terlihat berseri-seri saat dia mendekati Brilian, mengangkatnya, dan mencium pipinya dengan penuh kasih. "Cucu nenek makin ganteng saja," ujarnya lembut sambil menggendong Brilian.Tak lama kemudian, Sean pulang. Dia menyapa ibunya dengan pelukan hangat. "Mama kelihatan bahagia sekali hari ini," kata Sean. Namun, Sekar hanya tersenyum dan berbisik pelan di telinganya, "Ada yang ingin Mama bicarakan nanti."Setelah makan malam bersama, Sekar mengajak Lila dan Sean berbicara di ruang kerja. Kebetulan, Brilian sudah tertidur lelap di kamar. Suasana mendadak menjadi serius, membuat Sean dan Lila saling bertukar pandang dengan penuh tanya.Sekar memulai pembicaraan dengan nada lembut, tetapi jelas ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya."Lila, Mama ingin tahu bagaimana kesehatanmu sekarang. Kamu terlihat lebi
Pagi itu, Rangga memasuki kantor untuk pertama kalinya setelah libur bulan madu. Rambutnya masih basah seolah sengaja tidak dikeringkan sepenuhnya, dan wajahnya memancarkan kebahagiaan. Begitu dia melangkah ke ruangan utama, para karyawan serempak mengucapkan selamat dengan senyum dan sapaan riang."Selamat ya, Pak Rangga!" seru salah satu karyawan perempuan dengan antusias."Terima kasih," balas Rangga ramah sambil mengangguk."Kapan kabar bahagianya, Pak?" goda karyawan itu, memancing tawa kecil di sekitarnya.Rangga hanya tersenyum lebar. "Doakan saja, secepatnya," jawabnya, membuat suasana semakin ceria.Setelah menyalami beberapa karyawan, Rangga menuju ruang kerja Sean dengan langkah santai. Saat membuka pintu, dia masuk dengan senyum lebar sambil mengibaskan rambut basahnya, sengaja membuat beberapa tetes air melayang di udara.Sean yang sedang bekerja buru-buru menutup laptopnya. "Hei! Jangan sampai airnya bikin korsleting di sini," ujar Sean setengah kesal, setengah bercanda.
Lila membuka pintu, senyumnya merekah lebar saat melihat kedatangan Nadya."Lila! Ini aku bawakan oleh-oleh dari liburan kemarin," ujar Nadya riang.Lila menyambut Nadya dengan pelukan hangat. "Nadya, kamu nggak perlu repot-repot. Tapi, terima kasih banyak!""Aku harus bawa sesuatu, dong. Apalagi buat sahabat sekaligus ibu dari Brili ini," canda Nadya sambil mengangkat kotaknya.Lila mengarahkan Nadya masuk ke kamar Brili, tempat bayi kecil itu tertidur lelap di dalam boksnya. "Kita ngobrol di sini saja, sambil jagain Brili," kata Lila.Setelah mereka duduk, Nadya membuka kotaknya, mengeluarkan beberapa kain batik cantik dan perhiasan sederhana. "Aku pilih ini untukmu. Aku tahu kamu suka sesuatu yang klasik," ujar Nadya.Lila tersenyum, mengelus kain batik itu dengan lembut. "Terima kasih, Nad. Kamu selalu tahu apa yang aku suka. Padahal hadiah dari liburan yang paling ditunggu kabar baiknya."Nadya tersenyum malu, mengetahui arah pembicaraan sahabatnya tersebut. “Doakan, ya!” sahut N
“Terima kasih informasinya.”Pesan pendek balasan dari Rina membuat Ryan merasa diabaikan. Setelah berpikir lama untuk merangkai kata, penuh pertimbangan untuk mengirim atau membatalkannya, tetapi setelah pesan itu terkirim, Rina hanya membalas dengan kalimat yang sangat sangat formal.“Memangnya dia siapa sampai memperlakukan aku seperti ini?” gumam Ryan sambil membanting ponselnya ke sofa, lalu membenamkan tubuhnya di sandarannya. Napasnya berat, dan tangannya meremas rambutnya dengan frustrasi.“Ada masalah apa Yan?” Suara lembut Risda memecah keheningan. Wanita itu muncul dari balik pintu, membawa segelas air di tangannya. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya tetap lebar.“Tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Ryan dengan gugup. Dia cepat-cepat duduk dengan tegak, menghapus jejak kekecewaan di wajahnyaApa pun masalah yang sedang dia hadapi saat ini, Ryan tidak ingin sampai sang mama mengetahuinya. Dia berusaha untuk menjaga suasana hati sang mama tetap baik, agar pengobatannya bisa berjalan
Ruang rapat dipenuhi oleh anggota tim pemasaran yang menatap layar presentasi. Ryan berdiri di depan, mengenakan kemeja putih yang rapi dengan lengan yang digulung hingga siku.Mata tajam Ryan menyapu setiap wajah di ruangan, memastikan semua orang memberi perhatian penuh. Aura kepemimpinannya terasa kuat, seperti bayangan Andika dan Sean, ayah dan kakak tirinya, yang selalu tampil dominan dalam dunia bisnis."Baik, kita langsung ke inti pembahasan," ujar Ryan dengan suara tegas namun tenang. "Strategi pemasaran sepatu olahraga kita harus lebih agresif di kuartal ini. Saya ingin kita memanfaatkan tren olahraga yang sedang booming di media sosial. Kita tidak hanya menjual produk, tapi gaya hidup."Dia mengarahkan pandangannya ke salah satu tim, Dinda, yang bertanggung jawab atas konten media sosial. "Dinda, bagaimana progres kolaborasi dengan influencer olahraga yang kita bahas minggu lalu?"Dinda gugup, namun menjawab dengan jelas. Ryan mendengarkan dengan saksama, lalu memberi arahan
Ryan mengemudikan mobilnya perlahan melewati jalan yang mulai lengang menjelang malam. Lampu-lampu kota berpendar di kaca depan, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Ryan merasa janggal, bahkan dengan dirinya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia bertemu Rina selama bertahun-tahun, di ruang rapat, di kantor, atau di tengah diskusi panjang tentang strategi perusahaan. Semuanya berjalan profesional, tanpa ada rasa yang melampaui batas.Namun sekarang, setiap pesan dari Rina, bahkan yang sesederhana “terima kasih,” bisa membuatnya tak tenang. Sosoknya yang dulu hanya sekadar bawahan kini terasa begitu mengganggu pikirannya. Ryan menghela napas, matanya menatap lurus ke jalan, tapi bayangan wajah Rina terus terlintas di benaknya.“Apa yang salah dengan aku?” gumamnya lirih, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir.Ryan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, karena mobilnya sudah memasuki kompleks tempat tinggalnya. Dia tidak ingin sang mama nantinya mengetahui ad
Setelah beberapa hari menginap untuk memenuhi keinginan putri sulungnya, kini tiba waktunya bagi Waluya dan Inayah kembali. Ada kelegaan di hati mereka, saat Lila bisa memaafkan kesalahan mereka di masa lalu.Lila bukan hanya memaafkan, tetapi menganggap apa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah tantangan menjadi orang tua. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada Lila dan Sean di kemudian hari. Bagaiman mereka dituntut bersikap adil kepada anak-anak mereka.Tidak ada dendam atau pun kebencian. Jika suatu saat kesalahan ini diungkit kembali, hanya sebagai lembar catatan yang dijadikan sebagai pengingat semata.Lila berdiri di depan pintu utama, menatap mobil yang membawa kedua orang tuanya bergerak semakin menjauh. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak menangis.Sean berdiri di sampingnya, tangannya melingkar di pinggang Lila, memberikan kehangatan dan dukungan."Bapak dan ibu tidak pergi selamanya, Sayang," bisik Sean dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Ki
Impian Lila untuk bisa melepas rindu dengan penuh kebahagiaan justru dipenuhi drama yang menyesakkan dada. Bukan karena dia benci atau menyimpan dendam kepada Delisa, tetapi tidak bisa dipungkiri jika ucapan Brilian sangat menyakitkan.Suasana yang semula hangat seketika berubah saat nama Delisa disebut. Brilian yang sebelumnya mulai menerima kenyataan bahwa adik-adiknya laki-laki, kini kembali teringat akan sesuatu, sesuatu yang pernah dijanjikan oleh Delisa kepadanya.Sean dan Lila saling bertatapan, menyadari perubahan ekspresi putra mereka."Brilian?" panggil Sean dengan penuh kehati-hatian.Brilian tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya terlihat berkabut. Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Dulu Tante Delisa bilang… cuma dia yang bisa kasih aku adik perempuan."Hening.Lila merasakan dadanya mencengkeram. Sementara Sean mengejang, rahangnya mengeras seketika."Apa maksudmu, Nak?" tanya Waluya dengan dahi berkerut.Brilian mena
"Bapak, Ibu." suara Lila bergetar antara terkejut dan bahagia. Ia tidak tahu kapan mereka datang, tapi melihat mereka ada di sini membuat hatinya begitu hangat.Tanpa pikir panjang, Lila menoleh ke arah Sean, matanya berbinar penuh rasa syukur. Dia yakin semua ini pasti karena suaminya.Saking bahagianya, tanpa sadar Lila memeluk dan mencium sang suami dengan penuh kehangatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah memenuhi permintaannya.Baru setelahnya, Lila menyadari bahwa semua orang di ruang makan menyaksikan kemesraan mereka. Orang tuanya tersenyum penuh arti, sementara Brilian yang duduk di kursinya malah menutupi wajah dengan kedua tangan."Aduh, Papa Mama! Aku lagi makan!" protesnya dengan wajah memerah.Lila terkekeh malu, sementara Sean justru tertawa bangga. "Biarin, Brilian. Papa cuma dapat sedikit jatah perhatian dari Mama kamu sekarang, jadi harus dimanfaatkan," ucap Sean dengan santai, menggoda putranya.“Ayo!” Sean menggandeng tangan Lila, mengantarnya menuju ke ked
Sean tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan istrinya. “Apa pun hasilnya, aku hanya ingin kamu dan bayi-bayi kita sehat. Itu yang paling penting.”Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang, membiarkan harapan itu tetap ada, namun tanpa terlalu terikat padanya.Lila menatap Sean penuh haru. Di dalam hatinya, ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Seorang gadis sederhana yang tumbuh dalam keluarga biasa, kini berada di sisi pria sebaik Sean. Ia tidak hanya menikahi laki-laki yang mencintainya dengan tulus, tetapi juga seseorang yang selalu menjadikannya prioritas dalam hidupnya.Namun, kenyataan yang lucu adalah bahwa di dalam keluarga Wismoyojati, Sean justru menjadi yang paling ‘miskin’. Bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam kepemilikan aset. Sekar, dengan ketegasan dan kecermatannya, sudah membagi saham perusahaan tanpa memanjakan putranya sendiri.Sekar masih memegang kendali dengan lima puluh persen saham, memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang bena
Sean yang sejak tadi mendengar dengan saksama langsung menggenggam tangan Lila, merasakan kecemasan yang mulai mengalir dari istrinya.“Tapi kondisi Lila dan bayi sehat, kan, Dok?” tanya Sean memastikan bahwa tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lebih jauh.Dokter Amira mengangguk. “Benar. Semua hasil pemeriksaan sejauh ini sangat baik. Berat bayi dalam rentang normal, tekanan darah Lila juga stabil, tidak ada indikasi komplikasi. Yang perlu kita perhatikan adalah menjaga agar semuanya tetap seperti ini sampai waktu persalinan tiba.”Lila menunduk sejenak, mencerna semua yang dikatakan oleh dokter. Ia mengerti, tetapi di dalam hatinya, ada sedikit kekecewaan.Bukan tentang adu nyali merasakan proses persalinan normal seperti kebanyakan ibu lainnya, tetapi Lila memiliki sejarah buuk dengan persalinan secara caesar.“Jadi, yang paling penting sekarang adalah memastikan Lila tidak terlalu lelah, tetap menjaga pola makan, dan menghindari stres.” Dokter Amira melanjutkan kalimatnya deng
Sekar berdiri di tengah ruangan, tatap matanya menyapu seluruh karyawan Mahendra Securitas yang telah berkumpul. Suaranya tegas namun tetap bersahabat saat dia melontarkan pertanyaan."Apakah kalian mengenal Marina Adriana?"Sejenak suasana hening, lalu beberapa karyawan lama saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan mantap. Nama itu bukanlah nama asing bagi mereka. Rina, begitu mereka biasa memanggilnya, adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Mahendra Securitas.Sekar tersenyum kecil, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, "Nah, kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan suaminya."Sekar menoleh ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya. "Yang berdiri di sampingku ini adalah Ryan Aditya Mahendra, suami dari Marina Adriana. Dan mulai hari ini, dia yang akan menggantikan posisi Lila sebagai pemimpin di Mahendra Securitas."Tawa meriah langsung memenuhi ruangan. Tidak hanya karena cara Sekar memperkenalkan Ryan, tetapi juga karena Ryan sendiri bukanlah
Lila menghela napas panjang sambil merapikan meja kerjanya. Semua dokumen penting sudah disortir, file-file tersusun rapi, dan barang pribadinya mulai dikemasi. Esok hari, Ryan sudah akan menggantikan posisinya.Saat itu, pintu ruangannya diketuk. Lila menoleh dan melihat Ryan berdiri di ambang pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum Lila melempar senyum dan memberi isyarat agar adik iparnya itu masuk.Di hadapan banyak orang, mereka bisa bersikap biasa saja. Profesional, seperti dua rekan kerja yang hanya berbagi tanggung jawab. Namun, saat hanya berdua, kecanggungan itu muncul begitu saja.Ryan berjalan mendekat, melihat meja yang hampir kosong. “Jadi, ini hari terakhirmu di sini,” ucap Ryan yang mencoba bersikap santai kala berhadapan dengan Lila.Lila mengangguk. “Ya. Besok semua yang ada di sini sudah menjadi tanggung jawabmu.”Ryan menatap sekeliling. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Bukan tentang masa lalu dirinya yang sudah pernah berada di posisi Lila, tetapi tenta
Anggap saja nekat, Sekar kembali melakukan pertemuan dengan Tetapi pertemuan mereka tidak seprivate pertemuan-pertemuan terdahulu. Mereja hanya melakukan pertemuan sambil makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ryan.Wajah Sekar tetap tampak serius seperti biasanya, mencerminkan kegelisahan yang sudah ia tahan sejak pagi. Senyum sumir terukir di bibir Sekar saat Ryan duduk tepat di hadapannya.“Kau sudah urus pengunduran dirimu?” tanya Sekar tanpa basa-basi.Ryan mengangkat kepala, melihat Sekar yang tampak terburu-buru. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Tinggal menunggu serah terima saja. Masih ada beberapa tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”Sekar menatapnya lekat, seakan memastikan bahwa Ryan benar-benar serius dengan keputusannya.“Tapi aku pastikan awal bulan nanti aku sudah bisa ke Mahendra Securitas,” lanjut Ryan dengan nada meyakinkan.Seketika ketegangan di wajah Sekar mereda. Ada kelegaan di matanya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu
Sean menyendiri di ruang kerja, bukan karena banyaknya pekerjaan yang belum dia selesaikan, tetapi ada beban pikiran lain yang sulit dia singkirkan. Dan dia tidak ingin Lila mengetahuinya.Sekar yang sedang mengambil air minum di dapur melihat lampu ruang kerja putranya belum juga padam. Hal itu membuatnya penasaran hingga ingin melihat dan mengetahui apa yang sedang dilakukan putranya saat tengah malam begini.Sekar berjalan pelan menuju ruang kerja Sean. Ia melihat putranya duduk di belakang meja, bahunya sedikit membungkuk, tatapan matanya kosong menatap layar laptop yang bahkan belum menyala.“Sean?” panggil Sekar lembut.Sean mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “Ma?”Sekar melangkah masuk, menaruh gelas air yang dibawanya di meja. “Kamu belum tidur?”Sean menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Belum ngantuk.”Sekar mengamati wajah putranya yang terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang mengganggu