Pagi itu, Rangga memasuki kantor untuk pertama kalinya setelah libur bulan madu. Rambutnya masih basah seolah sengaja tidak dikeringkan sepenuhnya, dan wajahnya memancarkan kebahagiaan. Begitu dia melangkah ke ruangan utama, para karyawan serempak mengucapkan selamat dengan senyum dan sapaan riang."Selamat ya, Pak Rangga!" seru salah satu karyawan perempuan dengan antusias."Terima kasih," balas Rangga ramah sambil mengangguk."Kapan kabar bahagianya, Pak?" goda karyawan itu, memancing tawa kecil di sekitarnya.Rangga hanya tersenyum lebar. "Doakan saja, secepatnya," jawabnya, membuat suasana semakin ceria.Setelah menyalami beberapa karyawan, Rangga menuju ruang kerja Sean dengan langkah santai. Saat membuka pintu, dia masuk dengan senyum lebar sambil mengibaskan rambut basahnya, sengaja membuat beberapa tetes air melayang di udara.Sean yang sedang bekerja buru-buru menutup laptopnya. "Hei! Jangan sampai airnya bikin korsleting di sini," ujar Sean setengah kesal, setengah bercanda.
Lila membuka pintu, senyumnya merekah lebar saat melihat kedatangan Nadya."Lila! Ini aku bawakan oleh-oleh dari liburan kemarin," ujar Nadya riang.Lila menyambut Nadya dengan pelukan hangat. "Nadya, kamu nggak perlu repot-repot. Tapi, terima kasih banyak!""Aku harus bawa sesuatu, dong. Apalagi buat sahabat sekaligus ibu dari Brili ini," canda Nadya sambil mengangkat kotaknya.Lila mengarahkan Nadya masuk ke kamar Brili, tempat bayi kecil itu tertidur lelap di dalam boksnya. "Kita ngobrol di sini saja, sambil jagain Brili," kata Lila.Setelah mereka duduk, Nadya membuka kotaknya, mengeluarkan beberapa kain batik cantik dan perhiasan sederhana. "Aku pilih ini untukmu. Aku tahu kamu suka sesuatu yang klasik," ujar Nadya.Lila tersenyum, mengelus kain batik itu dengan lembut. "Terima kasih, Nad. Kamu selalu tahu apa yang aku suka. Padahal hadiah dari liburan yang paling ditunggu kabar baiknya."Nadya tersenyum malu, mengetahui arah pembicaraan sahabatnya tersebut. “Doakan, ya!” sahut N
“Terima kasih informasinya.”Pesan pendek balasan dari Rina membuat Ryan merasa diabaikan. Setelah berpikir lama untuk merangkai kata, penuh pertimbangan untuk mengirim atau membatalkannya, tetapi setelah pesan itu terkirim, Rina hanya membalas dengan kalimat yang sangat sangat formal.“Memangnya dia siapa sampai memperlakukan aku seperti ini?” gumam Ryan sambil membanting ponselnya ke sofa, lalu membenamkan tubuhnya di sandarannya. Napasnya berat, dan tangannya meremas rambutnya dengan frustrasi.“Ada masalah apa Yan?” Suara lembut Risda memecah keheningan. Wanita itu muncul dari balik pintu, membawa segelas air di tangannya. Wajahnya pucat, tetapi senyumnya tetap lebar.“Tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Ryan dengan gugup. Dia cepat-cepat duduk dengan tegak, menghapus jejak kekecewaan di wajahnyaApa pun masalah yang sedang dia hadapi saat ini, Ryan tidak ingin sampai sang mama mengetahuinya. Dia berusaha untuk menjaga suasana hati sang mama tetap baik, agar pengobatannya bisa berjalan
Ruang rapat dipenuhi oleh anggota tim pemasaran yang menatap layar presentasi. Ryan berdiri di depan, mengenakan kemeja putih yang rapi dengan lengan yang digulung hingga siku.Mata tajam Ryan menyapu setiap wajah di ruangan, memastikan semua orang memberi perhatian penuh. Aura kepemimpinannya terasa kuat, seperti bayangan Andika dan Sean, ayah dan kakak tirinya, yang selalu tampil dominan dalam dunia bisnis."Baik, kita langsung ke inti pembahasan," ujar Ryan dengan suara tegas namun tenang. "Strategi pemasaran sepatu olahraga kita harus lebih agresif di kuartal ini. Saya ingin kita memanfaatkan tren olahraga yang sedang booming di media sosial. Kita tidak hanya menjual produk, tapi gaya hidup."Dia mengarahkan pandangannya ke salah satu tim, Dinda, yang bertanggung jawab atas konten media sosial. "Dinda, bagaimana progres kolaborasi dengan influencer olahraga yang kita bahas minggu lalu?"Dinda gugup, namun menjawab dengan jelas. Ryan mendengarkan dengan saksama, lalu memberi arahan
Ryan mengemudikan mobilnya perlahan melewati jalan yang mulai lengang menjelang malam. Lampu-lampu kota berpendar di kaca depan, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Ryan merasa janggal, bahkan dengan dirinya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia bertemu Rina selama bertahun-tahun, di ruang rapat, di kantor, atau di tengah diskusi panjang tentang strategi perusahaan. Semuanya berjalan profesional, tanpa ada rasa yang melampaui batas.Namun sekarang, setiap pesan dari Rina, bahkan yang sesederhana “terima kasih,” bisa membuatnya tak tenang. Sosoknya yang dulu hanya sekadar bawahan kini terasa begitu mengganggu pikirannya. Ryan menghela napas, matanya menatap lurus ke jalan, tapi bayangan wajah Rina terus terlintas di benaknya.“Apa yang salah dengan aku?” gumamnya lirih, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir.Ryan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, karena mobilnya sudah memasuki kompleks tempat tinggalnya. Dia tidak ingin sang mama nantinya mengetahui ad
“Ada yang bisa saya bantu?”Rina menoleh menuju ke sumber suara, dia sangat tertegun melihat keberadaan Ryan di hadapannya menggunakan apron dengan bordir nama restaurant tempat mereka berada saat ini. Penampilan pria itu tetap memikat, meski tak lagi berbalut setelan mahal seperti saat masih memimpin di Mahendra Securitas.“Sekarang Pak Ryan bekerja di sini?”Rina menatapnya tajam, ada campuran rasa heran dan kagum dalam pandangannya. Suara gemericik air mancur dari sudut ruangan mengalun lembut, seakan menjadi latar bagi momen tak terduga ini.“Jangan panggil ‘Pak’, panggil Ryan saja,” katanya sambil tersenyum kecil, nyaris canggung.Rina mengangguk ragu, membalas dengan senyum tipis. Canggung menjalar di antara mereka, seperti bayangan tak kasat mata yang mengisi celah.“Mungkin butuh camilan atau minuman hangat untuk menemani bekerja,” tawar Ryan dengan nada santai, berusaha mencairkan suasana.“Itu masih ada,” jawab Rina, sambil melirik secangkir wedang sereh yang tinggal setenga
Lila duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas menatap wajah kecil Brilian yang terlelap pulas. Napas bayi itu teratur, bibir mungilnya sedikit terbuka, memberi kesan lucu yang membuat Lila menjadi semakin sulit untuk meninggalkanya.Lila tersenyum kecil, tapi senyumnya mengandung rasa pahit. Cahaya lampu tidur yang redup menerangi ruangan dengan hangat, tapi di hatinya terasa sebaliknya, dingin, penuh kebingungan.Dia menghela napas panjang, mengusap lembut kepala Brilian. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu untuk bekerja? pikirnya. Brilian masih terlalu kecil untuk mengerti, dan waktu bersama anak itu adalah sesuatu yang tak akan pernah kembali.Tetapi Lila juga sadar, ada tanggung jawab besar sebagai menantu di keluarga Wismoyojati. Dia tidak bisa hanya ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaan yang keluarga itu, ada kontribusi yang harus dia berikan.Dahulu, setelah menikah dengan Sean, Sekar langsung memberi Lila tanggung jawab untuk mengurus Yayasan amal yang didirikan keluarga Wi
Suara rintik hujan menenggelamkan desah dan erang di dalam kamar mewah. Di atas ranjang king size Sean dan Lila memburu kenikmatan bersama, sebelum putra mereka terbangun nanti.Setelah hampir satu jam, akhirnya keduanya terkapar setelah mencapai puncak bersama. Sean dan Lila tidak langsung tidur, tapi melanjutkan dengan berbincang ringan tentang rencana ke depan untuk rumah tangga mereka.Lila bersandar di dada Sean, tubuh polos mereka terbungkus selimut hangat. Aroma hujan yang samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.“Lila.” Sean memulai dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan. “Aku tahu, mungkin kamu kadang tidak setuju dengan keinginanku supaya kamu lebih banyak di rumah, fokus sama anak-anak.”Lila mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sean yang terlihat menerawang ke langit-langit. “Aku hanya ingin memastikan Brilian tumbuh dalam keluarga yang utuh, tidak seperti aku dulu.”Sean mengeratkan pelukannya, menghela napas panjang sebelum melanj
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P