Bella menggertakkan giginya, berusaha menarik tubuh Lila yang lunglai untuk kembali ke kamarnya. Tubuh perempuan hamil itu berat, terlalu berat untuk dipindahkan oleh Bella seorang diri. Matanya berkilat jijik saat melihat cairan yang membasahi pakaian Lila.“Benar-benar manusia tidak berguna, bisanya hanya nyusahin saja,” ucap Bella yang terlihap putus asa karena tubuh Lila yang berat.Bella hampir menyerah ketika suara ketukan pintu menggetarkan udara. Dia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Harapan melintas di wajahnya. Pasti Vicky, pikirnya, satu-satunya orang yang tahu bahwa dia ada di sini. Tanpa berpikir panjang, Bella berjalan tergesa ke pintu.Namun, saat pintu terbuka, harapannya langsung berubah menjadi mimpi buruk. Bukan Vicky yang berdiri di sana, melainkan Sekar, Theo, dan beberapa pria berbadan besar yang menatapnya seperti singa lapar. Tatapan dingin Sekar menembus seperti pisau, memaku Bella di tempat. Bibirnya melengkung tipis, seperti menyimpan amarah yang siap
Mobil berhenti mendadak tepat di depan pintu unit gawat darurat. Theo keluar dengan langkah cepat, menghampiri petugas medis yang berjaga di depan pintu. Wajahnya tegang, napasnya memburu."Saya butuh bantuan segera! Pasien dalam kondisi kritis!" suara Theo terdengar keras dan tegas, hampir seperti perintah.Petugas medis yang berjaga tidak membuang waktu. Dalam hitungan detik, mereka memanggil tim perawat dengan brankar. Theo membuka pintu belakang mobil, menunjuk ke arah Lila yang terbaring pucat, matanya terpejam, tubuhnya terlihat tak berdaya.“Hati-hati,” ucap Sekar dengan nada rendah namun mendesak saat para perawat memindahkan tubuh Lila ke atas brankar.Sekar turun dari mobil, mengikuti di belakang dengan langkah cepat. Wajah perempuan paruh baya itu dipenuhi kecemasan, namun dia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lila.Brankar meluncur dengan cepat melewati pintu unit gawat darurat menuju ruang pemeriksaan. Di ujung lorong, Dokt
Sean berdiri membeku di depan Sekar. Wajahnya tertunduk, tangan menggenggam erat di sisinya. Tamparan di pipinya masih terasa panas, namun itu tak seberapa dibandingkan kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan ibunya, Sekar. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti belati yang terus-menerus menorehkan luka baru di hatinya.“Ini semua salahmu, Sean!” Suara Sekar meledak, penuh amarah yang sudah lama dipendam. Sekar menatap putranya dengan api kemarahan di matanya. Suaranya naik turun, penuh emosi.“Apa kau tahu betapa menderitanya Lila? Apa kau tahu betapa dekatnya dia dengan bahaya? Tidak, tentu saja kau tidak tahu! Kau terlalu sibuk melindungi Andika dan Ryan, orang-orang yang bahkan tidak layak untuk kau bela!”Sean hanya bisa menunduk mendengar segala ucapan Sekar. Dia tahu apa yang dikatakan sang mama benar, meskipun terdengar begitu menyakitkan. Ia tidak bisa membela diri, tidak bisa menyangkal. Sekar melangkah mendekat, menatap putranya dengan pandangan penuh amarah yang me
Sean berdiri mematung di depan pintu ruang perawatan Lila. Dari tempatnya, dia bisa melihat penjagaan ketat yang diatur oleh Sekar. Meski tidak mencolok, keberadaan beberapa pria bertubuh kekar di sekitar area itu sudah cukup memberi peringatan bahwa Sekar tak main-main. Perempuan itu bersikeras melindungi Lila dan tidak akan membiarkan Sean mendekat begitu saja.Perasaan bersalah dan amarah bercampur dalam dada Sean. Dia tahu situasinya rumit, tapi hati kecilnya tetap berbisik bahwa sebagai suami dan ayah, dirinya punya hak.Dengan berat Sean bergerak menjauh dari pintu itu. Dia mengayunkan langkahnya menuju arah yang lain, ruang NICU. Di sana, dua anak buah Theo berjaga dengan postur kaku dan wajah tanpa ekspresi. Mereka mencoba menghalangi Sean untuk memasuki ruang tersebut.“Aku hanya ingin melihat keadaan anakku,” ucap Sean terdengar memohon.“Kami hanya menjalankan perintah, hanya Bu Sekar yang boleh melihat cucunya.” Salah satu dari anak buah Theo memberanikan diri untuk mengha
Ryan duduk diam di hadapan ayahnya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan. Dia yang mendampingi masa-masa awal kehamilan Lila masih ingat kapan seharusnya persalinan itu terjadi.“Bukankah ini belum waktunya?” tanya Ryan mencoba memastikan.“Ya, bayi itu lahir prematur. Dan sekarang harus mendapat perawat intensif di inkubator.” Andika tidak bisa menutupi kesedihannya, meskipun kelahiran bayi itu akan membuatnya kehilangan kekayaan tetapi dia tetap menyayangi cucunya.“Apa ini ada hubungannya dengan penculikan itu? Papa tahu siapa yang melakukannya?”Andika mengangguk pelan lalu menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Sekretaris Sean,” jawab Andika singkat.“Sekar berhasil melacaknya dan menyelamatkan Lila. Tapi Lila harus melahirkan sebelum waktunya, karena sekretaris Sean memberikan obat yang memacu kontraksi.”Ryan mengangguk, merasakan ketegangan menggumpal di dadanya. “Bagaimana keadaan bayinya?” tanyanya pelan.“Bayinya di NICU,” Andika menjawab, w
“Ma, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah harta. Bagiku Lila dan putranya jauh lebih berharga dari itu semua.”“Kau mengatakan mereka lebih berharga, tapi nyatakan keselamatan mereka yang kau abaikan. Apa yang menimpa Lila dan anakmu itu semua karena kebodohanmu, dan sampai sekarang tampaknya kau belum menyadarinya.” Sekar menggelengkan kepala menunjukkan rasa kecewa yang mendalam kepada Sean. “Sampai saat ini kau masih mempertahankan pendirianmu untuk menjadi penjaga bagi tukang selingkuh itu dan anak haramnya.”“Bukan begitu, Ma. Aku hanya ingin ….”“Jika tidak seperti itu, seharusnya sejak mengetahui Lila hamil, kau sudah menandatangi surat-surat pengalihan perusahaan, dan juga kau bisa membuat Lila melakukah hal sama. Bukan malah menjauhkan dia dari aku.”Sean hanya diam, saat ini otaknya sedang dipenuhi oleh Lila dan anaknya yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Tetapi di sini dia justru sibuk membicarakan harta yang tidak aka nada harganya lagi jika sa
Sean melangkah memasuki ruang perawatan Lila dengan napas tertahan. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap inci mendekat ke tempat Lila berbaring menambah beban yang menghimpit dadanya.Di hadapannya, tubuh istrinya yang dulu penuh energi kini terbaring lemah, tak berdaya. Beberapa alat bantu medis menempel di tubuh Lila, memberikan tanda-tanda kehidupan yang rapuh.Sean mendekat, tangan gemetar menyentuh ujung jari Lila yang dingin. Wajahnya pucat, seakan kehilangan cahaya yang dulu selalu membuatnya tersenyum."Maafkan aku, Lil," bisik Sean lirih, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk dirinya sendiri.Dia mengingat setiap kejadian yang membawa mereka ke titik ini. Keputusannya, kelalaiannya, kesalahannya, semua berputar di kepalanya seperti film buruk yang tak kunjung usai. Pandangannya beralih ke perut Lila yang rata, tempat di mana putra mereka pernah berada. Brilian Anugrah Wismoyojati, nama yang ia berikan untuk bayi kecil yang kini juga berjuang di ruang NICU.Ai
Sean tertegun ketika mendengar suara lemah memanggil namanya."Sean..." suara itu hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk membuatnya menegakkan kepala dengan cepat.Awalnya, ia berpikir bahwa rasa lelah dan kerinduannya membuatnya berhalusinasi. Namun, ketika ia melihat mata Lila perlahan terbuka dan jemari halusnya bergerak, menyeka air mata di pipinya, Sean tersadar bahwa ini nyata."Lila!" serunya penuh haru. Sean menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Kamu sadar, sayang. Syukurlah ... syukurlah kamu sadar."Lila tersenyum lemah, bibirnya bergetar seolah ingin berkata lebih banyak, tetapi ia hanya mampu mengucapkan, "Sean..." Suaranya parau, tetapi cukup untuk membuat Sean tersenyum bahagia.Sean menunduk, mencium dahi Lila dengan penuh kasih. Bibirnya berlabuh di dahi Lila, tetapi tangannya dengan cepat menekan tombol pemanggil perawat. Sambil menunggu dokter dan perawat datang Sean terus memandangi wajah Lila, berharap ini semua nyata dan tidak berakhir dalam
Ryan pulang dengan langkah berat, pikirannya berkecamuk. Begitu memasuki rumah, ia langsung menuju ruang keluarga di mana Risda sedang sibuk dengan hobi barunya, merajut. Tanpa menunggu, ia duduk di hadapan sang mama."Aku sudah memutuskan, Ma," ucap Ryan lirih, suaranya terdengar penuh beban. "Aku akan meninggalkan Mahendra Securitas."Risda terkejut, tetapi ada senyum yang tertahan. Lalu dia meletakkan benang dan hookpen di meja."Kenapa, Ryan? Apa yang terjadi?" tanya Risda penuh selidik.Ryan menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Tadi aku bertemu Sean dan mamanya. Ternyata mamanya yang menyelamatkan Lila dari penculikan. Tapi Ma ... keadaan Lila sangat buruk. Dia belum sadar sampai sekarang, dan bayinya ... bayi Sean harus dirawat di inkubator karena lahir prematur."Risda menatap putranya dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutannya."Dalam keadaan seperti itu Sean bahkan tidak diizinkan melihat Lila dan bayinya," lanjut Ryan. "Mamanya memberi sy
Sean tertegun ketika mendengar suara lemah memanggil namanya."Sean..." suara itu hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk membuatnya menegakkan kepala dengan cepat.Awalnya, ia berpikir bahwa rasa lelah dan kerinduannya membuatnya berhalusinasi. Namun, ketika ia melihat mata Lila perlahan terbuka dan jemari halusnya bergerak, menyeka air mata di pipinya, Sean tersadar bahwa ini nyata."Lila!" serunya penuh haru. Sean menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Kamu sadar, sayang. Syukurlah ... syukurlah kamu sadar."Lila tersenyum lemah, bibirnya bergetar seolah ingin berkata lebih banyak, tetapi ia hanya mampu mengucapkan, "Sean..." Suaranya parau, tetapi cukup untuk membuat Sean tersenyum bahagia.Sean menunduk, mencium dahi Lila dengan penuh kasih. Bibirnya berlabuh di dahi Lila, tetapi tangannya dengan cepat menekan tombol pemanggil perawat. Sambil menunggu dokter dan perawat datang Sean terus memandangi wajah Lila, berharap ini semua nyata dan tidak berakhir dalam
Sean melangkah memasuki ruang perawatan Lila dengan napas tertahan. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap inci mendekat ke tempat Lila berbaring menambah beban yang menghimpit dadanya.Di hadapannya, tubuh istrinya yang dulu penuh energi kini terbaring lemah, tak berdaya. Beberapa alat bantu medis menempel di tubuh Lila, memberikan tanda-tanda kehidupan yang rapuh.Sean mendekat, tangan gemetar menyentuh ujung jari Lila yang dingin. Wajahnya pucat, seakan kehilangan cahaya yang dulu selalu membuatnya tersenyum."Maafkan aku, Lil," bisik Sean lirih, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk dirinya sendiri.Dia mengingat setiap kejadian yang membawa mereka ke titik ini. Keputusannya, kelalaiannya, kesalahannya, semua berputar di kepalanya seperti film buruk yang tak kunjung usai. Pandangannya beralih ke perut Lila yang rata, tempat di mana putra mereka pernah berada. Brilian Anugrah Wismoyojati, nama yang ia berikan untuk bayi kecil yang kini juga berjuang di ruang NICU.Ai
“Ma, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah harta. Bagiku Lila dan putranya jauh lebih berharga dari itu semua.”“Kau mengatakan mereka lebih berharga, tapi nyatakan keselamatan mereka yang kau abaikan. Apa yang menimpa Lila dan anakmu itu semua karena kebodohanmu, dan sampai sekarang tampaknya kau belum menyadarinya.” Sekar menggelengkan kepala menunjukkan rasa kecewa yang mendalam kepada Sean. “Sampai saat ini kau masih mempertahankan pendirianmu untuk menjadi penjaga bagi tukang selingkuh itu dan anak haramnya.”“Bukan begitu, Ma. Aku hanya ingin ….”“Jika tidak seperti itu, seharusnya sejak mengetahui Lila hamil, kau sudah menandatangi surat-surat pengalihan perusahaan, dan juga kau bisa membuat Lila melakukah hal sama. Bukan malah menjauhkan dia dari aku.”Sean hanya diam, saat ini otaknya sedang dipenuhi oleh Lila dan anaknya yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Tetapi di sini dia justru sibuk membicarakan harta yang tidak aka nada harganya lagi jika sa
Ryan duduk diam di hadapan ayahnya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan. Dia yang mendampingi masa-masa awal kehamilan Lila masih ingat kapan seharusnya persalinan itu terjadi.“Bukankah ini belum waktunya?” tanya Ryan mencoba memastikan.“Ya, bayi itu lahir prematur. Dan sekarang harus mendapat perawat intensif di inkubator.” Andika tidak bisa menutupi kesedihannya, meskipun kelahiran bayi itu akan membuatnya kehilangan kekayaan tetapi dia tetap menyayangi cucunya.“Apa ini ada hubungannya dengan penculikan itu? Papa tahu siapa yang melakukannya?”Andika mengangguk pelan lalu menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Sekretaris Sean,” jawab Andika singkat.“Sekar berhasil melacaknya dan menyelamatkan Lila. Tapi Lila harus melahirkan sebelum waktunya, karena sekretaris Sean memberikan obat yang memacu kontraksi.”Ryan mengangguk, merasakan ketegangan menggumpal di dadanya. “Bagaimana keadaan bayinya?” tanyanya pelan.“Bayinya di NICU,” Andika menjawab, w
Sean berdiri mematung di depan pintu ruang perawatan Lila. Dari tempatnya, dia bisa melihat penjagaan ketat yang diatur oleh Sekar. Meski tidak mencolok, keberadaan beberapa pria bertubuh kekar di sekitar area itu sudah cukup memberi peringatan bahwa Sekar tak main-main. Perempuan itu bersikeras melindungi Lila dan tidak akan membiarkan Sean mendekat begitu saja.Perasaan bersalah dan amarah bercampur dalam dada Sean. Dia tahu situasinya rumit, tapi hati kecilnya tetap berbisik bahwa sebagai suami dan ayah, dirinya punya hak.Dengan berat Sean bergerak menjauh dari pintu itu. Dia mengayunkan langkahnya menuju arah yang lain, ruang NICU. Di sana, dua anak buah Theo berjaga dengan postur kaku dan wajah tanpa ekspresi. Mereka mencoba menghalangi Sean untuk memasuki ruang tersebut.“Aku hanya ingin melihat keadaan anakku,” ucap Sean terdengar memohon.“Kami hanya menjalankan perintah, hanya Bu Sekar yang boleh melihat cucunya.” Salah satu dari anak buah Theo memberanikan diri untuk mengha
Sean berdiri membeku di depan Sekar. Wajahnya tertunduk, tangan menggenggam erat di sisinya. Tamparan di pipinya masih terasa panas, namun itu tak seberapa dibandingkan kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan ibunya, Sekar. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti belati yang terus-menerus menorehkan luka baru di hatinya.“Ini semua salahmu, Sean!” Suara Sekar meledak, penuh amarah yang sudah lama dipendam. Sekar menatap putranya dengan api kemarahan di matanya. Suaranya naik turun, penuh emosi.“Apa kau tahu betapa menderitanya Lila? Apa kau tahu betapa dekatnya dia dengan bahaya? Tidak, tentu saja kau tidak tahu! Kau terlalu sibuk melindungi Andika dan Ryan, orang-orang yang bahkan tidak layak untuk kau bela!”Sean hanya bisa menunduk mendengar segala ucapan Sekar. Dia tahu apa yang dikatakan sang mama benar, meskipun terdengar begitu menyakitkan. Ia tidak bisa membela diri, tidak bisa menyangkal. Sekar melangkah mendekat, menatap putranya dengan pandangan penuh amarah yang me
Mobil berhenti mendadak tepat di depan pintu unit gawat darurat. Theo keluar dengan langkah cepat, menghampiri petugas medis yang berjaga di depan pintu. Wajahnya tegang, napasnya memburu."Saya butuh bantuan segera! Pasien dalam kondisi kritis!" suara Theo terdengar keras dan tegas, hampir seperti perintah.Petugas medis yang berjaga tidak membuang waktu. Dalam hitungan detik, mereka memanggil tim perawat dengan brankar. Theo membuka pintu belakang mobil, menunjuk ke arah Lila yang terbaring pucat, matanya terpejam, tubuhnya terlihat tak berdaya.“Hati-hati,” ucap Sekar dengan nada rendah namun mendesak saat para perawat memindahkan tubuh Lila ke atas brankar.Sekar turun dari mobil, mengikuti di belakang dengan langkah cepat. Wajah perempuan paruh baya itu dipenuhi kecemasan, namun dia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Tatapan matanya tidak lepas dari tubuh Lila.Brankar meluncur dengan cepat melewati pintu unit gawat darurat menuju ruang pemeriksaan. Di ujung lorong, Dokt
Bella menggertakkan giginya, berusaha menarik tubuh Lila yang lunglai untuk kembali ke kamarnya. Tubuh perempuan hamil itu berat, terlalu berat untuk dipindahkan oleh Bella seorang diri. Matanya berkilat jijik saat melihat cairan yang membasahi pakaian Lila.“Benar-benar manusia tidak berguna, bisanya hanya nyusahin saja,” ucap Bella yang terlihap putus asa karena tubuh Lila yang berat.Bella hampir menyerah ketika suara ketukan pintu menggetarkan udara. Dia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Harapan melintas di wajahnya. Pasti Vicky, pikirnya, satu-satunya orang yang tahu bahwa dia ada di sini. Tanpa berpikir panjang, Bella berjalan tergesa ke pintu.Namun, saat pintu terbuka, harapannya langsung berubah menjadi mimpi buruk. Bukan Vicky yang berdiri di sana, melainkan Sekar, Theo, dan beberapa pria berbadan besar yang menatapnya seperti singa lapar. Tatapan dingin Sekar menembus seperti pisau, memaku Bella di tempat. Bibirnya melengkung tipis, seperti menyimpan amarah yang siap