“Sean ….”Sean tertegun ketika mendengar suara lemah memanggil namanya. "Sean..." suara itu hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk membuatnya menegakkan kepala dengan cepat. Awalnya, ia berpikir bahwa rasa lelah dan kerinduannya membuatnya berhalusinasi. Namun, ketika ia melihat mata Lila perlahan terbuka dan jemari halusnya bergerak, menyeka air mata di pipinya, Sean tersadar bahwa ini nyata. "Lila!" serunya penuh haru. Sean menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Kamu sadar, sayang. Syukurlah ... syukurlah kamu sadar." Lila tersenyum lemah, bibirnya bergetar seolah ingin berkata lebih banyak, tetapi ia hanya mampu mengucapkan, "Sean..." Suaranya parau, tetapi cukup untuk membuat Sean tersenyum bahagia. Sean menunduk, mencium dahi Lila dengan penuh kasih. Bibirnya berlabuh di dahi Lila, tetapi tangannya dengan cepat menekan tombol pemanggil perawat. Sambil menunggu dokter dan perawat datang Sean terus memandangi wajah Lila, berharap ini semua nyata dan ti
Sekar tersenyum lega melihat Lila yang sudah sadar, meski masih terlihat lemah. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tulus.Setelah dokter dan perawat yang menangani Lila keluar, Sekar segera memasuki ruangan. Dia melangkah lebih dekat, mengambil posisi di samping tempat tidur Lila, sementara Sean tetap berada di sisi lain, memegang tangan istrinya dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Mama senang sekali kamu sudah sadar," ucap Sekar penuh emosi, suaranya lembut namun terdengar sedikit bergetar.Lila membalas senyum Sekar. "Terima kasih, Ma," ucapnya pelan, suaranya serak tetapi penuh kehangatan.Ini adalah pertemuan pertama Lila dengan Sekar sejak dia rujuk dengan Sean. Dan Lila bisa melihat Sekar yang tersenyum tulus kepadanya seperti saat pertama mereka bertemu, seperti saat awal pernikahannya dengan Sean."Ada beberapa hal penting yang perlu kita bicarakan, terutama mengenai ….""Mama sudah menyetujui nama yang aku berikan untuk anak kita.” Sean segera memotong kal
Di ruang perawatan, seorang perawat mendekati Lila dengan membawa breast pump dan perlengkapan steril lainnya."Untuk sementara pakai ini dulu ya, Bu. Nanti kalau Adik bayi keadaan sudah membaik bisa diberi ASI secara langsung,” ujar perawat itu dengan lembut. “Saya bantu cara pakainya,” sambungnya dengan ramah.Lila mengangguk pelan, meski tubuhnya masih lemah. Dengan sabar, perawat tersebut menjelaskan cara memasang breast pump dan mengatur tingkat sedotan yang nyaman."Awalnya mungkin hanya sedikit yang keluar, tetapi ini proses yang normal. Yang penting, kita rutin mencobanya agar produksi ASI bisa meningkat," ucap perawat itu sambil tersenyum.Sean duduk di samping Lila, menggenggam tangannya dengan penuh dukungan. Tatap matanya tertuju pada bagian tubuh sang istri yang selama ini menjadi candu baginya.Dan sekarang dia harus berbagi dengan putranya. Ya, untuk sementara waktu, bagian tubuh itu yang akan menjadi sumber penghidupan putranya. Demi putranya Sean harus mengalah, toh s
“Apa maksudmu Risda? Kenapa sekarang?”Risda menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apa yang harus aku pertahankan lagi dalam rumah tangga kita. Jika selama ini aku berusaha bertahan demi kebahagiaan Ryan, lalu apa gunanya jika ternyata Ryan tidak pernah bahagia?”Risda menyeka air mata. Dia tidak sedang menghakimi Andika, karena sadar akan kesalahan yang telah dia lakukan. Saat masih muda, Risda merasa tawaran Andika adalah sebuah keberuntungan yang akan membuatnya hidup senang tanpa bersusah payah, tetapi ternyata ada konsekuensi besar yang harus dia terima.“Bukan aku tidak bersyukur, Mas. Mungkin sudah waktunya kita mencari kebahagiaan masing-masing. Aku tahu kau sangat menderita setelah meninggalkan Bu Sekar dan Sean.”Andika terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Ryan muncul dari kamarnya, membawa koper terakhir. “Mama benar, Pa. Sudah waktunya Mama memikirkan dirinya sendiri.”Andika memandang Ryan, lalu Risda. Hatinya bergejolak, namun ia tidak tahu apa yang harus dikatakan
Kedatangan Theo di sambut hangat, mereka seperti teman yang sudah lama tidak bertemu.“Abang ada?”“Di dalam,” jawab singkat pria berbadan tegap di hadapannya.Setelah berbasa-basi sebentar, Theo melangkah mantap menuju ke sebuah ruang yang sepertinya sudah sangat dia kenal.“Bang!” sapa Theo sambil membuka pintu.Selo Ardi tersenyum tipis melihat kedatangan Theo. Pria itu sedang duduk di balik meja kayu besar dengan secangkir kopi di tangannya.Selo Ardi bergegas bangkit menyambut kedatangan Theo yang dahulu adalah anak buahnya. Mereka berpelukan sebentar sambil menepuk punggung."Duduklah," ucap Selo Ardi sambil menunjuk kursi di depan meja."Terima kasih, Bang," sahut Theo dengan penuh rasa hormat setelah mengambil tempat.Sejenak kedua saling beradu pandang. Selo Ardi menghembuskan napas kasar sambil tersenyum lebar kala menatap mantan anak buahnya dulu.“Aku bangga padamu.” Selo Ardi merasa Theo banyak belajar dan bisa menjalankan setiap misi dengan baik.“Ini semua juga karena A
Ruangan bayi itu terasa hangat dengan sinar matahari pagi yang masuk melalui tirai jendela. Di sebuah kursi empuk, Lila duduk dengan Brilian di pelukannya. Bayi kecil itu, dengan kulitnya yang mulai merona sehat, menyusu dengan tenang. Sean duduk di sampingnya, matanya tidak pernah lepas dari pemandangan menakjubkan di depannya.“Dia sangat kuat,” bisik Sean dengan suara penuh rasa syukur, tangannya menyentuh lembut bahu Lila.Lila tersenyum, meski matanya masih sedikit berkaca-kaca. “Aku tidak pernah merasa sebahagia ini, Sean. Melihatnya seperti ini, mendekapnya ... Semua rasa sakit itu terasa sepadan.”Dokter spesialis anak yang selama ini menangani Brilian tampak lega melihat interaksi keluarga kecil di hadapannya. Dia pun langsung menyampaikan kabar baik untuk mereka.“Brilian telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Berat badannya sudah meningkat stabil, dan paru-parunya bekerja dengan baik. Jika tidak ada perubahan signifikan, dalam beberapa hari ke depan, kalian bisa me
Sean mengepalkan tangannya, tetapi tetap menjaga nada suaranya rendah, mengingat Lila dan Brilian ada di sana. “Aku tidak memperumit apa pun. Aku hanya meminta waktu, Mama.”Sekar mendesah berat, lalu mengalihkan pandangannya ke Lila. “Lila, kau tahu aku hanya ingin yang terbaik untuk Brilian. Tetapi lihat saja apa yang sudah Sean lakukan. Bertahun-tahun kau dibuat seperti wanita yang tidak bisa memberikan keturunan. Siapa yang melakukan semua itu, Lila? Bukankah Sean?”Lila hanya diam. Ucapan Sekar seolah mengorek luka lama yang membuatnya pernah bercerai dengan Sean.“Itu sudah masa lalu. Aku mohon jangan mengungkitnya lagi.” Sean tidak ingin pembicaraan tentang masa lalu itu kembali mempengaruhi Lila.Saat ini dia dan Lila ingin memperbaiki rumah tangganya. Apalagi saat ini sudah ada Brilian di antara mereka“Masa lalu itu berpengaruh pada masa kini, Sean. Kalau saja kau tidak keras kepala, semua ini tidak perlu terjadi,” Sekar balas menukas.Melihat Lila semakin tertekan, Sean men
Rumah Sean dan Lila penuh dengan kebahagiaan saat acara akikah Brilian berlangsung. Tamu-tamu datang silih berganti, membawa doa dan harapan terbaik untuk bayi mungil itu.Sean tampak sibuk menyapa tamu, sementara Sekar dengan sigap memonopoli perhatian Brilian. Sekar hampir tidak memberikan kesempatan bagi Lila untuk menggendong anaknya sendiri."Kamu masih dalam masa pemulihan, Lila. Jangan memaksakan diri," ucap Sekar yang terdengar sangat otoriter dan tidak ingin dibantah. Ia bahkan menambahkan alasan yang terdengar aneh, "Kalau sampai Brilian menendang perutmu bagaimana? Bahaya kalau sampai bekas jahitanmu terbuka lagi?"Lila hanya tersenyum tipis, memilih untuk tidak memperdebatkan hal itu. Dia tahu, meskipun terkadang menyebalkan, perhatian Sekar adalah bentuk kasih sayangnya.Di tengah keramaian, hadir Waluya dan Inayah, orang tua Lila. Kehadiran mereka membuat mata Lila berbinar."Bapak, Ibu!" seru Lila dengan penuh haru. Dia bergegas bangkit dari duduknya untuk menyambut ked
Motor matic Ryan berhenti perlahan di depan sebuah tempat kos mewah berlantai tiga. Rina segera turun, merapikan jaketnya, lalu menatap Ryan. Sebelum ia sempat mengucapkan terima kasih, Ryan berbicara lebih dulu.“Sudah malam, cepat masuk! Aku tidak akan pergi sebelum kamu menghubungiku kalau kamu sudah sampai di kamar dengan selamat," ucap Ryan serius.Rina mengerutkan dahi, merasa sedikit tidak percaya dengan perhatian yang diberikan pria itu. Dia tahu Ryan dulu tidak pernah bersikap seperti ini.“Apa perlu segitunya?” gumamnya, setengah bercanda, tapi Ryan hanya membalas dengan tatapan mantap.“Perlu,” jawab Ryan singkat sambil menggerakkan dagunya seolah menyuruh Rina segera pergi.Rina mendesah kecil, kemudian tanpa banyak bicara lagi, ia melangkah masuk ke dalam tempat kosnya. Kakinya bergegas menaiki tangga, tapi pikirannya masih memikirkan sikap Ryan. Ia tidak tahu harus merasa jengkel atau terharu.Setelah tiba di kamar, Rina meletakkan tasnya dan berjalan ke arah jendela. Di
Rina berdiri terpaku, masih gemetar akibat kejadian tadi. Namun, gemetar itu berubah menjadi rasa campur aduk ketika pria berambut gondrong di hadapannya menyebutkan namanya dengan lembut.“Rina, ini benar-benar kamu?”Rina memandang wajah pria itu dengan saksama, dan sebuah nama terlintas di pikirannya. Ryan. Mantan atasannya di Mahendra Securitas, sosok yang dulu begitu ia hormati sebelum akhirnya menjadi sumber malapetaka dalam hidupnya.“Kamu?” ujar Rina dengan suara bergetar, setengah tidak percaya.Ryan tersenyum kaku, matanya dipenuhi rasa bersalah. “Iya, ini aku.”Ryan mengalihkan pandangannya, dia sedang mencari tempat yang lebih nyaman untuk berbicara berdua, selama Rina menenangkan dirinya.“Kita bisa duduk di sana sebentar.” Ryan menunjuk ke sebuah halte. “Kau bisa menenangkan dirimu dulu sebelum pulang.”Sebelum melangkah, terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel Rina. Ternyata sopir taksi online membatalkan pesanannya. Mungkin karena dia tadi sempat menghubungi berul
Di belahan bumi lain, Rina duduk di sudut sebuah kafe, laptop terbuka di depannya. Jarinya sibuk mengetik, menyelesaikan proyek terbaru yang memberinya penghasilan cukup besar.Tidak mudah bagi Rina untuk bangkit, kasus yang sempat membelitnya membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tetapi karena tekad dan skil yang dia miliki akhirnya dia mendapatkan pekerjaan secara remote dari luar negeri.Meski kehidupannya mulai pulih, ada kehampaan yang tak bisa ia abaikan. Hidup sendirian di kota asing membuat setiap detik terasa lebih sunyi.Ia mengambil jeda sejenak, menyeruput kopi yang mulai dingin. Rina membuka media sosial, berharap ada kabar yang bisa menghangatkan hatinya. Tak disangka, sebuah postingan dari akun salah satu kenalan lamanya muncul di linimasa.Foto pernikahan Nadya dan Rangga terpampang jelas. Nadya terlihat anggun dalam balutan gaun putih, sementara Rangga tampak gagah dalam jas formal. Di samping mereka, Sean dan Lila berdiri dengan senyum lebar, mendampingi kedua
Delisa berdiri di sudut ruangan, terpesona oleh sosok Sean yang tengah berbicara dengan Rangga sambil menggendong Brilian. Sean tampak begitu gagah dalam stelan jasnya, dengan senyum hangat yang sesekali menghiasi wajahnya saat Brilian menggeliat di pelukannya.Sean tampak seperti pria sempurna, sosok suami dan ayah yang diimpikan banyak wanita.Tatap mata Delisa tersita pada Sean, membayangkan betapa beruntungnya sang kakak memiliki pria seperti itu di sisinya. Namun, lamunannya tiba-tiba buyar ketika Lila menghampirinya dari arah belakang.“Lisa!” seru Lila dengan antusias, langsung memeluk adiknya.Delisa terkejut namun segera membalas pelukan itu dengan hangat. Lila menatap wajah Delisa penuh kekaguman, lalu berkata dengan nada menggoda.“Kamu cantik banget malam ini. Pasti bakal banyak pria yang tergoda.”Delisa tersipu dan tersenyum kecil mendengar pujian dari sang kakak. Belum sempat Delisa mengeluarkan kata-kata, Lila kembali melanjutkan kalimatnya dengan nada serius.“Tapi in
Suasana ballroom hotel Bintang lima yang sudah didekorasi dengan nuansa klasik memancarkan kemewahan nan elegan. Lampu kristal besar bergantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya lembut yang membuat ruangan terlihat berkilauan.Dekorasi bunga mawar putih dan lilac menghiasi setiap sudut, memberi sentuhan elegan yang tak terbantahkan. Kursi-kursi tamu berjajar rapi, dilapisi kain satin putih dengan pita ungu muda yang serasi.Di tengah suasana khidmat itu, suara lantang penghulu memecah keheningan.“Sah?” tanyanya dengan tegas. Serentak para saksi menjawab, “Sah!” Suara itu menggema, membawa kelegaan dan kebahagiaan yang seolah memenuhi seluruh ruangan.Tak lama, seluruh tamu serempak mengucapkan “Amin,” diiringi senyum dan tepukan tangan yang hangat. Nadya, yang kini resmi menjadi istri Rangga, menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Rangga, duduk di sampingnya, tampak lega dan tersenyum bangga.Momen itu menjadi awal dari kehidupan baru bagi Rangga dan Nadya, d
Hari bahagia Rangga dan Nadya akhirnya tiba. Langit cerah seperti memberkati momen yang dinanti-nanti banyak orang ini.Di sebuah ruangan penuh cahaya lembut, Nadya duduk di depan cermin besar, menerima polesan terakhir dari penata rias yang memastikan setiap detail kecantikannya sempurna. Gaun putihnya memancarkan keanggunan, membuatnya tampak seperti ratu di hari pernikahannya.Setelah sang penata rias selesai, Lila mendekat, matanya berbinar-binar melihat sahabatnya yang begitu menawan."Kamu cantik sekali, Nadya," ucap Lila penuh kagum. Kenangan saat pernikahannya dahulu kembali melintas.Nadya tersenyum tipis, tetapi senyuman itu tidak sepenuhnya menyentuh matanya.Lila memperhatikan ekspresi Nadya dengan saksama. Ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan sahabatnya, meskipun ia sudah berusaha keras untuk terlihat bahagia.Hati Lila berdebar-debar, dipenuhi rasa khawatir. Ia mendekat lebih dekat, duduk di samping Nadya, lalu dengan lembut bertanya, “Apa ada yang masih mengganjal
Di ruang kerja yang penuh dengan suasana santai, Rangga duduk di belakang meja dengan beberapa berkas yang tersusun rapi. Di depannya, Alex berdiri dengan tangan terlipat, memperhatikan Rangga yang sibuk memberi instruksi."Alex, ini hari terakhirku sebelum cuti panjang. Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar selama aku tidak ada," kata Rangga, suaranya tenang namun tegas.Alex mengangguk. "Ya, Pak Rangga. Apa saja yang perlu saya perhatikan?"Rangga memutar layar laptopnya, menunjukkan beberapa file. "Ini daftar pekerjaan yang harus kamu awasi. Fokus utamanya ada pada proyek merger ini. Pastikan semua dokumen sudah selesai sebelum tenggat waktu."Alex mencatat dengan cepat di buku kecilnya."Dan satu hal lagi," tambah Rangga, menatap Alex serius. "Kalau Sean sedang marah, jangan terlalu diambil hati. Dia bos besar kita, dan tekanan yang dia hadapi kadang membuat emosinya meledak. Tapi selama dia tidak merendahkan harga dirimu, kamu harus tetap profesional."Alex tersenyum tipi
Sean menekan tombol di ponselnya, berbicara dengan nada tegas namun santai. “Titipkan saja berkasnya di pos satpam. Nanti orangku akan mengambil ke rumah,” katanya sebelum mengakhiri panggilan.Setelah meletakkan ponselnya di meja, Sean menekan tombol interkom dan memanggil sekretarisnya. Tak lama, Alex, sekretarisnya yang selalu sigap, masuk ke ruangan.“Ya, Pak?” tanya Alex dengan sopan, berdiri tegak di depan meja kerja Sean.Sean langsung memberikan instruksi, suaranya serius namun tetap tenang. “Alex, berkas yang kita butuhkan untuk meeting nanti siang tertinggal di rumah. Aku sempat membawanya saat makan siang tadi, tapi lupa memasukkan kembali ke tas. Tolong kamu ke rumahku sekarang, ambil di pos satpam. Berkasnya akan dititipkan di sana.”Alex mengangguk cepat. “Baik, Pak. Saya berangkat sekarang.”“Jangan ganggu istri saya!” ucap Sean dengan tegas dan terdengar penuh ancaman.“I iya, Pak!” Alex terlihat ketakutan. Mana berani Alex mengganggu istri bosnya yang galak tersebut.
Lila berdiri di depan cermin panjang, memandang pantulan dirinya dalam gaun satin berwarna biru tua yang elegan. Gaun itu dirancang dengan detail lipatan halus di bagian pinggang dan potongan bagian leher berbentuk sabrina yang agak rendah. Meski wajahnya dihiasi senyum tipis, matanya menyiratkan keraguan.Sean duduk di sofa dekat cermin, pandangannya tajam namun tak banyak bicara. Wajahnya yang serius membuat Lila merasa tidak percaya diri.“Sean, gaunnya kurang cocok, ya?” Lila bertanya ragu, melirik Sean dari cermin. “Ini rekomendasi langsung dari yang punya butik lho.”Sean tidak menjawab. Ia berdiri dan berjalan mendekat, hingga berdiri tepat di belakang Lila. Tatapan mereka bertemu dalam pantulan cermin, dan Sean meletakkan kedua tangannya di bahu Lila.“Katanya model ini untuk menutupi perutku yang masih buncit,” ucap Lila sambil menunduk karena merasa kurang percaya diri.Meskipun dokter sudah mengatakan jika bekas jahitan sembuh, tetapi Lila belum berani menggunakan korset un