Acara akikah Brilian akhirnya selesai menjelang sore. Para tamu mulai berpamitan satu per satu, meninggalkan rumah yang kembali tenang setelah hiruk-pikuk sejak pagi. Sean mengantar tamu terakhir hingga ke gerbang, sementara Lila duduk di ruang keluarga bersama orang tuanya.Waluya melihat jam tangannya, merasa waktunya untuk pulang sudah tiba. "Kami pamit pulang, Nak," katanya kepada Lila, suaranya terdengar lembut tetapi ada rasa yang belum tertuntaskan."Sudah malam, Pak. Menginap saja di sini," Lila mencoba membujuk, rasa rindunya terhadap sang bapa belum terobati.Waluya menggeleng, tersenyum tipis. "Sekarang bapak sudah tidak nganggur lagi di rumah, Lila. Bapak diberi modal Sean untuk beternak ayam. Daripada bapak tidak ngapa-ngapain, bikin badan sakit semua.”Sebenarnya alasan Waluya beternak karena dia tidak ingin terus bergantung pada Sean. Dia ingin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Baginya sudah terlalu banyak pemberian dari menantunya tersebut.Lila terdiam, menata
Pagi itu matahari bersinar cerah, menembus tirai jendela rumah Sean dan Lila. Waluya sudah bersiap dengan tas kecilnya, berdiri di ruang tamu dengan wajah tenang dan tatap mata hangat penuh kasih sayang.Waluya ingin segera pulang untuk kembali ke kesibukannya beternak, bukan karena tidak betah, tetapi dia tidak ingin mengganggu kehidupan pribadi anaknya. Namun, berbeda dengan Waluya, Inayah terlihat masih enggan meninggalkan rumah putrinya yang besar dan mewah. Pandangannya terus menyapu setiap sudut ruangan, seolah tidak rela meninggalkan kenyamanan yang baru saja dirasakannya.“Lila, Sean,” ujar Waluya dengan suara lembut namun penuh wibawa. Ia memandang putrinya dan menantunya bergantian. “Jaga rumah tangga kalian baik-baik. Suami istri itu harus bisa saling memahami dan bekerja sama. Jangan sampai masalah kecil memicu perpecahan. Dan ingat, Brilian adalah titipan Tuhan. Besarkan dia dengan kasih sayang dan ajarkan dia menjadi manusia yang berguna.”Lila menatap ayahnya dengan mat
Pagi itu, sinar matahari menerpa lembut taman kecil di depan rumah. Sean tampak berdiri di bawah bayangan pohon sambil menggendong Brilian. Ia memiringkan tubuhnya sedikit agar wajah mungil putranya terkena sinar matahari pagi yang hangat. Wajah Sean terlihat begitu damai, penuh kasih, saat ia berbicara pada bayi kecil itu."Brilian, lihat itu burung di sana," ujar Sean sambil menunjuk burung pipit yang hinggap di cabang pohon. "Kamu tahu nggak? Burung itu terbang untuk mencari makan. Papa juga bekerja untuk memastikan kamu selalu punya makanan yang bergizi. Biar nanti kamu tumbuh kuat."Di dalam rumah, Lila memperhatikan pemandangan itu dari balik jendela. Senyum hangat tersungging di bibirnya. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa Sean, yang dahulu tidak mau memiliki anak, bahkan melakukan segala cara untuk mencegahnya, kini berubah menjadi seorang ayah yang begitu penuh cinta dan perhatian.Bi Siti datang dengan langkah ringan, kini sudah berdiri di belakang Lila. "Mbak, sarapan s
Pagi itu, Sean kembali tenggelam dalam rutinitas pekerjaannya. Setelah beberapa minggu cuti untuk mendampingi Lila dan Brilian, ia merasa harus segera mengejar pekerjaan yang sempat tertunda. Beruntung, Alex, sekretaris baru yang sebelumnya dilatih Rangga selama masa trainee, sudah cukup paham dengan ritme kerja Sean.Di ruang kerjanya, Alex dengan serius membacakan jadwal hari ini. "Pukul sepuluh, ada rapat dengan tim pemasaran. Setelah itu, makan siang dengan klien potensial dari Singapura. Dan sore, wawancara dengan media terkait peluncuran produk baru."Sean mengangguk mendengarkan, sesekali mencatat poin penting. Meskipun Alex masih baru, Sean menghargai kerja kerasnya. Ia paham bahwa semua orang butuh waktu untuk beradaptasi, termasuk dirinya yang kini harus terbiasa bekerja dengan Alex.Saat Rangga masuk ke ruangan, ia melihat Sean masih tampak canggung dengan sekretaris barunya. Dengan gaya santai, Rangga melemparkan komentar sambil tertawa kecil. "Setidaknya sekarang Mas Sean
Lila sedang menimang Brilian dengan lembut, membisikkan lagu nina bobo hingga bayinya tertidur lelap. Tepat saat dia meletakkan Brilian ke dalam boks bayi, pintu rumah terbuka, dan Sean muncul dengan wajah lelah dan cemberut."Sudah pulang?" Lila menyapa dengan senyum kecil.Sean mengangguk pelan, menghempaskan diri ke sofa. Matanya melirik ke arah Brilian yang sudah terlelap."Terlambat lagi. Nggak bisa main sama Brili hari ini," gumamnya, nada suaranya penuh penyesalan.Beberapa hari terakhir, pekerjaan Sean terasa mulai menumpuk. Sean tidak lagi menyerahkan pekerjaan pada Rangga, karena Rangga sendiri sedang mempersiapkan pernikahannya.Lila mendekat, menyentuh bahu Sean dengan lembut, mencoba menenangkan hati suaminya. "Kamu masih bisa bermain dengannya besok pagi. Brilian juga butuh istirahat yang cukup supaya tumbuh sehat," ujarnya, mencoba menghibur. "Sekarang, kenapa nggak kamu mandi dulu? Aku siapkan air hangat, ya?"Sean menggeleng samar, lalu menarik tangan Lila hingga jatu
Dua tubuh polos tertutupi selimut tebal. Sean dengan posisi miring merapikan anakan rambut yang menjuntai ke wajah Lila, seolah menghalangi pemandangan indah dari matanya.Sementara itu Lila dengan wajah lelahnya menatap langit-langit kamar dengan senyum lembut, mengingat kejadian-kejadian kecil yang menyenangkan hari ini.“Hari ini Brilian hebat sekali,” ucap Lila membuka pembicaraan, suaranya penuh kebahagiaan dan rasa bangga kepada putranya. “Dia sempat menendang kuat waktu aku ganti popoknya. Aku tidak pernah menyangka, anak yang lahir prematur bisa punya tenaga seperti itu.”Sean tersenyum tipis, menoleh ke arah Lila. “Dia anak kita. Aku yakin dia akan tumbuh jadi anak yang kuat.”Lila melanjutkan, sorot matanya memperlihatkan binar kebahagiaan. “Waktu aku ajak dia berjemur pagi tadi, dia terlihat begitu menikmati matahari. Rasanya tidak sabar melihat dia mulai belajar berguling, merangkak, dan ... ya, semua yang dia lakukan akan jadi momen berharga buat kita.”“Jangan buru-buru
Sean dan Andika duduk bersama di taman, ditemani secangkir teh hangat. Udara sore terasa sejuk, membawa aroma bunga dari taman yang baru saja disiram. Sean diam sejenak, memandangi sang ayah yang tampak lebih tua dari terakhir kali dia ingat. Garis-garis lelah di wajah Andika menunjukkan perjalanan hidup yang berat, namun matanya masih menyimpan semangat yang sama.“Bagaimana kabar mamamu?” tanya Andika tiba-tiba, memecah keheningan. Ada kerinduan yang tersirat dalam suaranya, meski berusaha disembunyikan.Sean mengangguk perlahan. “Mama baik-baik saja. Dia bahagia sekarang, terutama setelah Brilian lahir.”Mendengar itu, Andika tersenyum kecil. Namun, senyuman itu juga membawa sedikit kesedihan. “Syukurlah ... papa senang mendengarnya. Mamamu wanita yang hebat.”Suasana menjadi hening sesaat. Sean menggenggam cangkir teh di tangannya, matanya menatap ke arah taman. Ada rasa bersalah yang mulai menghantuinya.“Aku minta maaf,” ujar Sean akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. “Karena kel
Sean duduk di sofa ruang keluarga, memangku Brilian yang tertidur pulas di pelukannya. Biasanya, momen seperti ini membuat Sean tersenyum lebar, menikmati kehangatan menjadi seorang ayah. Tapi kali ini, wajahnya terlihat murung, matanya menerawang jauh seolah ada beban berat yang menghimpit hatinya.Lila, yang sedang membuat susu dirinya dan kopi panas Sean, memperhatikan keheningan itu. Setelah dua minuman itu jadi, dengan nampan Lila membawanya ke ruang keluarga."Ada masalah?" tanya Lila dengan suara lembut sambil menjatuhkan tubuhnya di samping sang suami.Sean menghela napas panjang, menatap wajah mungil Brilian yang damai dalam tidurnya."Aku baru pulang dari rumah Papa," jawab Sean pelan, suaranya terdengar berat. "Sekarang Papa sendirian. Ryan dan mamanya meninggalkan Papa setelah semua yang terjadi."Sean tidak bisa menyembunyikan kesedihannya di hadapan sang istri. Melihat betapa rapuhnya Sean saat berbicara tentang papanya, membuat Lila bisa memahami alasan Sean yang dahulu
Sekar berdiri di tengah ruangan, tatap matanya menyapu seluruh karyawan Mahendra Securitas yang telah berkumpul. Suaranya tegas namun tetap bersahabat saat dia melontarkan pertanyaan."Apakah kalian mengenal Marina Adriana?"Sejenak suasana hening, lalu beberapa karyawan lama saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan mantap. Nama itu bukanlah nama asing bagi mereka. Rina, begitu mereka biasa memanggilnya, adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Mahendra Securitas.Sekar tersenyum kecil, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, "Nah, kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan suaminya."Sekar menoleh ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya. "Yang berdiri di sampingku ini adalah Ryan Aditya Mahendra, suami dari Marina Adriana. Dan mulai hari ini, dia yang akan menggantikan posisi Lila sebagai pemimpin di Mahendra Securitas."Tawa meriah langsung memenuhi ruangan. Tidak hanya karena cara Sekar memperkenalkan Ryan, tetapi juga karena Ryan sendiri bukanlah
Lila menghela napas panjang sambil merapikan meja kerjanya. Semua dokumen penting sudah disortir, file-file tersusun rapi, dan barang pribadinya mulai dikemasi. Esok hari, Ryan sudah akan menggantikan posisinya.Saat itu, pintu ruangannya diketuk. Lila menoleh dan melihat Ryan berdiri di ambang pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum Lila melempar senyum dan memberi isyarat agar adik iparnya itu masuk.Di hadapan banyak orang, mereka bisa bersikap biasa saja. Profesional, seperti dua rekan kerja yang hanya berbagi tanggung jawab. Namun, saat hanya berdua, kecanggungan itu muncul begitu saja.Ryan berjalan mendekat, melihat meja yang hampir kosong. “Jadi, ini hari terakhirmu di sini,” ucap Ryan yang mencoba bersikap santai kala berhadapan dengan Lila.Lila mengangguk. “Ya. Besok semua yang ada di sini sudah menjadi tanggung jawabmu.”Ryan menatap sekeliling. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Bukan tentang masa lalu dirinya yang sudah pernah berada di posisi Lila, tetapi tenta
Anggap saja nekat, Sekar kembali melakukan pertemuan dengan Tetapi pertemuan mereka tidak seprivate pertemuan-pertemuan terdahulu. Mereja hanya melakukan pertemuan sambil makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ryan.Wajah Sekar tetap tampak serius seperti biasanya, mencerminkan kegelisahan yang sudah ia tahan sejak pagi. Senyum sumir terukir di bibir Sekar saat Ryan duduk tepat di hadapannya.“Kau sudah urus pengunduran dirimu?” tanya Sekar tanpa basa-basi.Ryan mengangkat kepala, melihat Sekar yang tampak terburu-buru. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Tinggal menunggu serah terima saja. Masih ada beberapa tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”Sekar menatapnya lekat, seakan memastikan bahwa Ryan benar-benar serius dengan keputusannya.“Tapi aku pastikan awal bulan nanti aku sudah bisa ke Mahendra Securitas,” lanjut Ryan dengan nada meyakinkan.Seketika ketegangan di wajah Sekar mereda. Ada kelegaan di matanya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu
Sean menyendiri di ruang kerja, bukan karena banyaknya pekerjaan yang belum dia selesaikan, tetapi ada beban pikiran lain yang sulit dia singkirkan. Dan dia tidak ingin Lila mengetahuinya.Sekar yang sedang mengambil air minum di dapur melihat lampu ruang kerja putranya belum juga padam. Hal itu membuatnya penasaran hingga ingin melihat dan mengetahui apa yang sedang dilakukan putranya saat tengah malam begini.Sekar berjalan pelan menuju ruang kerja Sean. Ia melihat putranya duduk di belakang meja, bahunya sedikit membungkuk, tatapan matanya kosong menatap layar laptop yang bahkan belum menyala.“Sean?” panggil Sekar lembut.Sean mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “Ma?”Sekar melangkah masuk, menaruh gelas air yang dibawanya di meja. “Kamu belum tidur?”Sean menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Belum ngantuk.”Sekar mengamati wajah putranya yang terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang mengganggu
Setelah mobil terparkir sempurna di garasi, Lila masih terlihat ragu untuk turun. Rasa takut itu belum sepenuhnya pergi dari hati Lila. Dia tidak ingin mengecewakan anak dan ibu mertuanya.Sean mematikan mesin mobil, lalu meletakkan tangannya di atas perut istrinya. “Jangan membuat kehadiran mereka seperti tidak diterima. Aku yakin kita semua sangat menyayanginya.”Lila mengangguk samar. Saat Sean akan membuka pintu, Lila menahan tangannya seolah tidak ingin keluar.“Beri aku kekuatan,” ucap Lila sambil mengangkat dagunya, dengan senyum menggoda.“Manja banget mama yang satu ini.” Tanpa ragu, Sean melabuhkan satu kecupan yang mendalam. “Kamu harus tanggung jawab untuk melanjutkan semua ini nanti malam.”“Tapi aku harus banyak istirahat, lho.”“Aku yakin kamu akan beristirahat dengan lebih baik, setelah semua tanggung jawabmu selesai.”“Sean ….”Sean bergegas keluar tanpa mempedulikan rengekan Lila. Bukan karena tidak peduli, dia hanya tidak ingin menerkam istrinya di garasi saat hari
Sean menggenggam erat tangan Lila saat mengemudikan mobil, sesekali melirik istrinya yang duduk diam di sampingnya. Lila menatap keluar jendela, dan Sean bisa melihat sudut matanya yang mulai basah.Hatinya mencelos. Lila jarang menangis tanpa alasan.Sean menghela napas, lalu menepikan mobil ke bahu jalan. Dia mematikan mesin, lalu berbalik menghadap istrinya.“Sayang, ada apa?” tanya Sean lembut meski dia sudah tahu alasan sebenarnya yang membuat istrinya menangis.Lila menggeleng, menundukkan wajahnya. Tapi Sean tahu lebih baik. Dia meraih bahu istrinya dan menariknya ke dalam pelukan.“Maaf...” suara Lila terdengar lirih, hampir tak terdengar.Sean mengerutkan kening. “Maaf untuk apa?”Lila mengusap matanya yang mulai basah. “Aku tahu ini konyol, tapi... aku merasa mengecewakan. Aku berharap ada anak perempuan di antara mereka. Aku ingin ada satu anak perempuan di rumah kita.”Sean tersenyum kecil, lalu mengangkat dagu Lila, menatap mata istrinya dengan penuh kelembutan. “Sayang,
Jika Ryan sedang merencanakan akan memiliki anak lagi, berbeda dengan Sean yang sedang berbahagia dengan kehamilan kembar Lila.Pagi itu, Lila sedang merapikan dasi Sean. Perutnya yang semakin membesar cukup menghalangi pekerjaan mudah itu. Bukan karena jarak yang semakin menjauh, tetapi lebih karena sean yang sering menunduk dan terus memainkan tangan di perutnya yang mengganggu konsentrasinya.“Kapan pemeriksaan berikutnya?” tanya Sean yang terlihat sudah tidak sabar.“Minggu depan,” jawab singkat Lila, yang terpaksa menyingkirkan tangan Sean dari perutnya.Karena merasa geli, Lila sampai salah mengikatkan dasi. Sesuatu yang sebenarnya sudah hafal di luar kepala.Kehamilan Lila yang kini memasuki bulan kelima membuat semakin penasaran dengan jenis kelamin bayi kembar mereka.“Bukankah pemeriksaan besok sudah bisa melihat jenis kelamin mereka?”Lila hanya menjawab dengan deheman, saat dia menyelesaikan kegiatan mengikat dasi sampai rapi."Aku yakin mereka perempuan," kata Sean penuh
Sesampainya di rumah, Rina sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi penuh harap. Saat pintu mobil terbuka, ia tersenyum lega melihat Renasya melompat keluar dari sisi lain mobil dan berlari menghampirinya."Mama! Lihat ini!" seru Renasya, mengangkat bola basket kecil yang diberikan Brilian.Rina tersenyum, tetapi segera menggeleng. "Tapi Rena tidak boleh main basket di dalam rumah."Renasya mengerucutkan bibir sambil mengalihkan pandangannya ke arah sang papa. "Tapi Papa tadi sudah izinin."Ryan yang baru turun dari mobil tertawa kecil. "Papa mengizinkan main, tapi di taman kompleks. Bukan di dalam rumah."Renasya tampak kecewa. "Tapi aku mau main sekarang..."Ryan mengusap kepala putrinya. "Kalau Rena mau main basket, bisa main lagi ke rumah Kak Brili."Mata Renasya langsung berbinar. "Beneran, Pa? Aku bisa main sama Kak Brili lagi?"Ryan mengangguk, dan Renasya langsung bersorak gembira. Sementara itu, Rina menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. Ada sesuatu dalam cara
Ryan tertawa lepas di hadapan Sekar, sungguh dia tidak menduga perempuan tegar di hadapannya memiliki selera humor yang cukup aneh baginya.“Apa salahnya kau menitipkan Renasya di rumah ini. sekaligus mendekatkan Brili dan Rena, bagaimana pun mereka itu saudara,” ucap Sekar dengan ekspresi wajah yang datar, meski Ryan belum bisa menghentikan tawanya.“Bukan masalah yang itu,” sahut Ryan sambil menahan tawa.“Ya, apa salahnya kalau kamu menikmati bulan madu bersama Rina untuk melepaskan semua kesedihan?” Sekar terdiam menunggu jawaban dari Ryan.Ryan mengalihkan pandangan sambil menyembunyikan senyum. Ayah satu anak tidak pernah menduga jika dia bisa tertawa lepas bersama Sekar.“Apa salahnya Renasya memiliki adik? Biar dia tidak kesepian.”“Tidak ada yang salah,” jawab Ryan dengan kepala menunduk, tawanya meredup, berganti dengan sesuatu yang lain.Mata Ryan berkaca-kaca, napasnya tersendat. Sekar diam, menunggu, membiarkan kata-kata yang tadi meluncur darinya mengendap dalam diri Rya