Meski sudah meminta Selo Ardi untuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Lila, tetapi Sean tetap melaporkan hilangnya Lila ke pihak kepolisian.Kini Sean sudah berada di kantor polisi, duduk di ruang pelaporan kepolisian dengan wajah tegang. Di sebelahnya, Cyrus, pengacara barunya, sibuk memeriksa dokumen-dokumen yang mereka bawa. Mereka telah melampirkan semua yang diminta, foto terbaru Lila, identitas lengkap, hingga laporan kronologis kejadian.Namun, tanggapan dari pihak kepolisian terasa hambar dan normatif. Sangat tidak memuaskan bagi Sean yang sedang dilanda kepanikan yang sangat.“Kami akan mencatat laporan ini dan memulai penyelidikan,” ucap sang petugas dengan nada datar. “Tolong tunggu kabar berikutanya dari kami.”Sean mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak meledak. “Istri saya hilang, dia sedang hamil, Pak. Dan Anda hanya meminta saya menunggu?W aktu adalah segalanya di sini. Setiap detik yang terbuang bisa memperbesar risiko!”Petugas itu menatap Sean deng
Sean tiba di gerbang rumah Andika dengan amarah yang membara. Dia turun dari mobil tanpa menunggu Cyrus atau Selo, langsung mendekati petugas keamanan yang berjaga.“Saya ingin bertemu Ryan, sekarang juga!” sergah Sean dengan nada kasar, matanya tajam seperti pisau.Petugas keamanan tampak ragu. Ia mencoba bersikap profesional, tetapi gemetar melihat sorot mata Sean yang begitu mengintimidasi. “Maaf, Pak, saya harus melapor dulu ke dalam sebelum ….”Sean tidak memberinya kesempatan. Dengan satu dorongan kuat, gerbang terbuka, membuat petugas kehilangan keseimbangan. Tanpa memedulikan teriakan protes di belakangnya, Sean melangkah masuk dengan langkah lebar, diikuti beberapa orang yang datang bersamanya.Tekanan itu membuat petugas memilih diam, lebih baik menghindar dan mencari aman daripada menghadapi kemarahan yang jelas bukan untuknya.“Pak, ini tidak bisa sembarangan!” seru petugas dengan nada setengah hati.Tetapi Sean tak menggubris. Hanya ada satu hal di pikirannya, menemukan R
“Ryan!” Risda, yang berdiri di belakang Ryan, berteriak kencang, "Hentikan!" Dia segera berdiri di depan putranya, berusaha melindunginya.Sean menunjuk Ryan dengan tangan gemetar. "Katakan … di mana kau menyembunyikan istriku.”Risda menggelengkan kepala, berharap Sean tidak lagi memukul Ryan. Air mata Risda jatuh bercucuran saat melihat darah segar yang keluar dari mulut putra semata wayangnyaRyan sadar dirinya telah banyak melakukan kesalahan kepada Sean. Tetapi dia sama sekali tidak menduga jika kemarahan Sean karena Lila."Aku benar-benar tidak tahu, Sean," ucap Ryan lirih sambil menahan sakit akibat pukulan Sean"Jangan bohong lagi, Ryan!" seru Sean, suaranya bergetar penuh amarah. Ia mendekati Ryan, matanya menyala dengan kemarahan yang tak bisa dibendung. "Aku tahu kau ada hubungannya dengan hilangnya Lila. Berhenti berpura-pura!"Ryan menelan ludah, berusaha mengendalikan napasnya yang mulai memburu. "Aku bersumpah, aku tidak tahu apa-apa soal Lila!" ucap Ryan tegas, meski n
Pagi buta, Sean sudah berada di rumah sakit. Wajahnya lelah, tetapi tatap matanya masih menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. Di depan ruang perawatan Bi Siti, Selo Ardi bersama beberapa orang kepercayaannya berdiri dengan setia, menunggu perkembangan. Mereka menyambut Sean dengan anggukan singkat, paham bahwa situasinya semakin mendesak. Sean langsung masuk ke ruang perawatan Bi Siti. Rangga pun tampak di sana, meskipun kesehatannya belum pulih sepenuhnya, tetapi dari pakaian yang dia kenakan, tampaknya dia sudah siap untuk bekerja hari ini. Sementara itu Bi Siti, yang terbaring lemah di tempat tidur, menoleh perlahan. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyiratkan rasa bersalah. Sean duduk di kursi di sebelahnya, mencoba menahan emosi. "Bi, aku butuh kau jujur sekarang. Tolong, katakan apa yang sebenarnya terjadi." “Waktu saya nunggu Mbak Lila di toilet, tiba-tiba ada yang menyekap saya dari belakang. Saya tidak bisa melawan, tenaganya kuat banget,” ucap Bi Siti yang masih terlih
Sean berdiri di ambang pintu rumah mewah yang ditempati Sekar. Wajahnya penuh kegelisahan, tetapi tubuhnya tetap tegap seperti biasa. Tekadnya bulat untuk mencari tahu apa pun yang bisa membantunya menemukan Lila. Kala pelayan membuka pintu, Sean langsung masuk, melewati ruang tamu menuju ruang kerja di mana Sekar duduk dengan anggun, membaca dokumen-dokumen penting. “Mama,” panggil Sean, suaranya tegas tetapi mengandung nada cemas. Sekar mengangkat wajahnya, menatap anaknya dengan sorot mata dingin tetapi penuh perhatian. “Sean? Apa yang terjadi? Kau terlihat sangat kacau, Lila sudah melahirkan?” Sean menarik napas panjang, menahan letupan emosinya. “Lila hilang, Ma. Aku perlu tahu, apakah dia ada di sini? Apakah Mama tahu sesuatu tentang keberadaannya?” Sekar tertegun, jemarinya berhenti membolak-balik halaman dokumen. “Lila hilang?” Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tidak biasa. “Bagaimana bisa?” Sean menjelaskan secara singkat, termasuk kesaksian Bi Siti yang menyebut
Sekar tidak bisa diam saja dengan menghilangnya Lila. Lila dan anaknya harus selamat, bukan hanya untuk bisa mendapatkan kembali asset keluarganya dan Mehendra Securitas, tetapi karena anak yang dikandung Lila adalah cucunya, darah dagingnya. Sekar menatap Theo dengan mata penuh tekanan. Di ruang kerjanya yang sunyi, dia duduk tegap, tangan meremas sisi kursi dengan kuat. Theo berdiri di hadapannya, wajahnya serius, siap menerima perintah. "Aku ingin kau menemukan Lila. Segera. Dan kau harus lebih dulu dari Sean." Suara Sekar dingin dan tajam. Theo mengangguk, baginya ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, terutama di hadapan Sean yang sekarang menggunakan jasa Selo Ardi untuk urusan keamanan. "Adakah petunjuk lain yang bisa saya gunakan? Selain Pak Andika dan Ryan, adakah orang lain yang bisa dicurigai?" tanya Theo, mencoba menggali informasi lebih sebelum melangkah. Sekar terdiam. Pikirannya berputar cepat, menyisir setiap kemungkinan. Siapa yang mungkin terlibat? U
Hari pertama kembali bekerja setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Rangga sudah disambut oleh kekacauan. Wajahnya masih pucat, tetapi tekadnya untuk menjalankan amanah dari Sean tak tergoyahkan. Namun, harinya langsung dirusak oleh kedatangan Bella yang terlambat hampir dua jam.Bella terkejut saat memasuki ruang kerja Sean, bukan Sean tetapi Rangga yang dia temui.“Di mana Pak Sean?” tanya Bella, wajah menyiratkan rasa kecewa, karena yang membuatnya tetap betah kerja adalah bisa berdua bersama Sean.“Dia sudah mulai cuti hari ini,” jawab Rangga dengan nada ketus dan sinis. “Dan di hari pertama saya mengambil alih tanggung jawab, kamu datang terlambat?” suara Rangga menggema di ruangan kantor Sean yang sekarang menjadi tempatnya bekerja sementara.Bella mendongak santai, tanpa rasa bersalah. “Saya ada urusan, Pak. Lagi pula, saya hanya izin kerja setengah hari.”Amarah Rangga meledak. “Setengah hari? Kau pikir perusahaan ini tempat bermain? Selama ini kau bekerja b
Bella melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tatapannya lurus ke jalan di depan, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Sean. Bibirnya bergerak, berbicara pada dirinya sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya yang tengah berkecamuk.“Aku yang pantas untuk Sean,” gumamnya pelan namun penuh penekanan.Matanya sedikit menyipit, menatap lurus ke depan sambil menahan emosi yang menggelegak di dadanya. “Miranda, aku bisa terima kalah darinya. Dia model, cantik, keluarganya kaya raya. Tapi Lila?” Bella mendengus sinis, jemarinya mencengkeram kemudi lebih erat hingga buku-bukunya memutih. “Perempuan biasa, keluarga miskin. Sean pantas mendapatkan yang lebih baik, dan itu aku!”Bella melirik pantulan dirinya di kaca spion, memastikan penampilan sempurna yang selalu ia banggakan. Rambutnya yang tertata rapi, riasan wajah tanpa bercela, semuanya seolah menjadi bukti bahwa ia adalah pasangan ideal bagi Sean.“Aku telah mendukungnya sejak awal, selalu ada untuknya. Aku lebih dari sekadar s
Jika Ryan sedang merencanakan akan memiliki anak lagi, berbeda dengan Sean yang sedang berbahagia dengan kehamilan kembar Lila.Pagi itu, Lila sedang merapikan dasi Sean. Perutnya yang semakin membesar cukup menghalangi pekerjaan mudah itu. Bukan karena jarak yang semakin menjauh, tetapi lebih karena sean yang sering menunduk dan terus memainkan tangan di perutnya yang mengganggu konsentrasinya.“Kapan pemeriksaan berikutnya?” tanya Sean yang terlihat sudah tidak sabar.“Minggu depan,” jawab singkat Lila, yang terpaksa menyingkirkan tangan Sean dari perutnya.Karena merasa geli, Lila sampai salah mengikatkan dasi. Sesuatu yang sebenarnya sudah hafal di luar kepala.Kehamilan Lila yang kini memasuki bulan kelima membuat semakin penasaran dengan jenis kelamin bayi kembar mereka.“Bukankah pemeriksaan besok sudah bisa melihat jenis kelamin mereka?”Lila hanya menjawab dengan deheman, saat dia menyelesaikan kegiatan mengikat dasi sampai rapi."Aku yakin mereka perempuan," kata Sean penuh
Sesampainya di rumah, Rina sudah menunggu di depan pintu dengan ekspresi penuh harap. Saat pintu mobil terbuka, ia tersenyum lega melihat Renasya melompat keluar dari sisi lain mobil dan berlari menghampirinya."Mama! Lihat ini!" seru Renasya, mengangkat bola basket kecil yang diberikan Brilian.Rina tersenyum, tetapi segera menggeleng. "Tapi Rena tidak boleh main basket di dalam rumah."Renasya mengerucutkan bibir sambil mengalihkan pandangannya ke arah sang papa. "Tapi Papa tadi sudah izinin."Ryan yang baru turun dari mobil tertawa kecil. "Papa mengizinkan main, tapi di taman kompleks. Bukan di dalam rumah."Renasya tampak kecewa. "Tapi aku mau main sekarang..."Ryan mengusap kepala putrinya. "Kalau Rena mau main basket, bisa main lagi ke rumah Kak Brili."Mata Renasya langsung berbinar. "Beneran, Pa? Aku bisa main sama Kak Brili lagi?"Ryan mengangguk, dan Renasya langsung bersorak gembira. Sementara itu, Rina menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. Ada sesuatu dalam cara
Ryan tertawa lepas di hadapan Sekar, sungguh dia tidak menduga perempuan tegar di hadapannya memiliki selera humor yang cukup aneh baginya.“Apa salahnya kau menitipkan Renasya di rumah ini. sekaligus mendekatkan Brili dan Rena, bagaimana pun mereka itu saudara,” ucap Sekar dengan ekspresi wajah yang datar, meski Ryan belum bisa menghentikan tawanya.“Bukan masalah yang itu,” sahut Ryan sambil menahan tawa.“Ya, apa salahnya kalau kamu menikmati bulan madu bersama Rina untuk melepaskan semua kesedihan?” Sekar terdiam menunggu jawaban dari Ryan.Ryan mengalihkan pandangan sambil menyembunyikan senyum. Ayah satu anak tidak pernah menduga jika dia bisa tertawa lepas bersama Sekar.“Apa salahnya Renasya memiliki adik? Biar dia tidak kesepian.”“Tidak ada yang salah,” jawab Ryan dengan kepala menunduk, tawanya meredup, berganti dengan sesuatu yang lain.Mata Ryan berkaca-kaca, napasnya tersendat. Sekar diam, menunggu, membiarkan kata-kata yang tadi meluncur darinya mengendap dalam diri Rya
Begitu melihat Ryan, mata Renasya langsung berbinar. Tanpa ragu, bocah itu berlari ke arahnya dan melompat ke dalam pelukannya.“Papa!” serunya, memeluk erat seolah takut kehilangan lagi. Ryan membalas pelukan itu, mencium puncak kepala putrinya, merasakan kehangatan yang lama ia abaikan.Renasya menatap wajah papanya dengan polos. “Papa sudah nggak pusing lagi?” tanya Renasya, karena setiap kali dia bertanya kenapa harus tinggal bersama Brilian, orang dewasa di rumah itu mengatakan jika papanya sedang pusing.“Kayak Papa Brilian yang selalu pusing, terus minta dimanja sama Mama Lila?” sambung Renasya yang pernah tanpa sengaja melihat Sean yang mengatakan pusing dan langsung mendepat pelukan dari Lila sebelum akhirnya keduanya menuju ke kamar.Ryan mengerutkan kening, sedikit bingung. Ia melirik Sekar, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.“Papa Brilian kalau pusing, katanya Mama harus peluk dia, harus elus kepalanya, biar cepet sembuh.” Renasya melanjutkan dengan nada serius.
Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyingkirkan rasa sedihnya. Ryan lebih memilih diam menyendiri mengasingkan diri dari orang lain. Sepulang kerja, dia akan menyendiri di ruang kerja atau di kamar Risda.Seperti saat ini, Ryan duduk sendiri di ruang kerjanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan begitu saja. Hatinya masih terasa berat. Kepergian Andika meninggalkan lubang besar dalam dirinya, begitu pula kepergian Risda yang masih menyisakan luka.Sungguh jauh berbeda dengan Sean yang memilih untuk sibuk, Ryan justru semakin tenggelam dalam kesedihan. Ia butuh waktu untuk menerima semuanya.Di sisi lain, Sean sibuk membenamkan diri dalam pekerjaan. Setiap harinya ia pulang lebih larut, mencari cara agar pikirannya tidak terlalu banyak melayang pada kehilangan yang ia rasakan.Menjalani biduk rumah tangga hampir delapan tahun, membuat Lila bisa memahami suasana kebatinan suaminya. Termasuk bagaimana dia harus mempersiapkan diri di hadapan Sean dan menuruti
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika