Pagi buta, Sean sudah berada di rumah sakit. Wajahnya lelah, tetapi tatap matanya masih menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. Di depan ruang perawatan Bi Siti, Selo Ardi bersama beberapa orang kepercayaannya berdiri dengan setia, menunggu perkembangan. Mereka menyambut Sean dengan anggukan singkat, paham bahwa situasinya semakin mendesak. Sean langsung masuk ke ruang perawatan Bi Siti. Rangga pun tampak di sana, meskipun kesehatannya belum pulih sepenuhnya, tetapi dari pakaian yang dia kenakan, tampaknya dia sudah siap untuk bekerja hari ini. Sementara itu Bi Siti, yang terbaring lemah di tempat tidur, menoleh perlahan. Wajahnya pucat, tetapi matanya menyiratkan rasa bersalah. Sean duduk di kursi di sebelahnya, mencoba menahan emosi. "Bi, aku butuh kau jujur sekarang. Tolong, katakan apa yang sebenarnya terjadi." “Waktu saya nunggu Mbak Lila di toilet, tiba-tiba ada yang menyekap saya dari belakang. Saya tidak bisa melawan, tenaganya kuat banget,” ucap Bi Siti yang masih terlih
Sean berdiri di ambang pintu rumah mewah yang ditempati Sekar. Wajahnya penuh kegelisahan, tetapi tubuhnya tetap tegap seperti biasa. Tekadnya bulat untuk mencari tahu apa pun yang bisa membantunya menemukan Lila. Kala pelayan membuka pintu, Sean langsung masuk, melewati ruang tamu menuju ruang kerja di mana Sekar duduk dengan anggun, membaca dokumen-dokumen penting. “Mama,” panggil Sean, suaranya tegas tetapi mengandung nada cemas. Sekar mengangkat wajahnya, menatap anaknya dengan sorot mata dingin tetapi penuh perhatian. “Sean? Apa yang terjadi? Kau terlihat sangat kacau, Lila sudah melahirkan?” Sean menarik napas panjang, menahan letupan emosinya. “Lila hilang, Ma. Aku perlu tahu, apakah dia ada di sini? Apakah Mama tahu sesuatu tentang keberadaannya?” Sekar tertegun, jemarinya berhenti membolak-balik halaman dokumen. “Lila hilang?” Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tidak biasa. “Bagaimana bisa?” Sean menjelaskan secara singkat, termasuk kesaksian Bi Siti yang menyebut
Sekar tidak bisa diam saja dengan menghilangnya Lila. Lila dan anaknya harus selamat, bukan hanya untuk bisa mendapatkan kembali asset keluarganya dan Mehendra Securitas, tetapi karena anak yang dikandung Lila adalah cucunya, darah dagingnya. Sekar menatap Theo dengan mata penuh tekanan. Di ruang kerjanya yang sunyi, dia duduk tegap, tangan meremas sisi kursi dengan kuat. Theo berdiri di hadapannya, wajahnya serius, siap menerima perintah. "Aku ingin kau menemukan Lila. Segera. Dan kau harus lebih dulu dari Sean." Suara Sekar dingin dan tajam. Theo mengangguk, baginya ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, terutama di hadapan Sean yang sekarang menggunakan jasa Selo Ardi untuk urusan keamanan. "Adakah petunjuk lain yang bisa saya gunakan? Selain Pak Andika dan Ryan, adakah orang lain yang bisa dicurigai?" tanya Theo, mencoba menggali informasi lebih sebelum melangkah. Sekar terdiam. Pikirannya berputar cepat, menyisir setiap kemungkinan. Siapa yang mungkin terlibat? U
Hari pertama kembali bekerja setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Rangga sudah disambut oleh kekacauan. Wajahnya masih pucat, tetapi tekadnya untuk menjalankan amanah dari Sean tak tergoyahkan. Namun, harinya langsung dirusak oleh kedatangan Bella yang terlambat hampir dua jam.Bella terkejut saat memasuki ruang kerja Sean, bukan Sean tetapi Rangga yang dia temui.“Di mana Pak Sean?” tanya Bella, wajah menyiratkan rasa kecewa, karena yang membuatnya tetap betah kerja adalah bisa berdua bersama Sean.“Dia sudah mulai cuti hari ini,” jawab Rangga dengan nada ketus dan sinis. “Dan di hari pertama saya mengambil alih tanggung jawab, kamu datang terlambat?” suara Rangga menggema di ruangan kantor Sean yang sekarang menjadi tempatnya bekerja sementara.Bella mendongak santai, tanpa rasa bersalah. “Saya ada urusan, Pak. Lagi pula, saya hanya izin kerja setengah hari.”Amarah Rangga meledak. “Setengah hari? Kau pikir perusahaan ini tempat bermain? Selama ini kau bekerja b
Bella melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tatapannya lurus ke jalan di depan, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Sean. Bibirnya bergerak, berbicara pada dirinya sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya yang tengah berkecamuk.“Aku yang pantas untuk Sean,” gumamnya pelan namun penuh penekanan.Matanya sedikit menyipit, menatap lurus ke depan sambil menahan emosi yang menggelegak di dadanya. “Miranda, aku bisa terima kalah darinya. Dia model, cantik, keluarganya kaya raya. Tapi Lila?” Bella mendengus sinis, jemarinya mencengkeram kemudi lebih erat hingga buku-bukunya memutih. “Perempuan biasa, keluarga miskin. Sean pantas mendapatkan yang lebih baik, dan itu aku!”Bella melirik pantulan dirinya di kaca spion, memastikan penampilan sempurna yang selalu ia banggakan. Rambutnya yang tertata rapi, riasan wajah tanpa bercela, semuanya seolah menjadi bukti bahwa ia adalah pasangan ideal bagi Sean.“Aku telah mendukungnya sejak awal, selalu ada untuknya. Aku lebih dari sekadar s
Bella melangkah memasuki bangunan apartemen sederhana yang lebih menyerupai rumah susun kumuh. Dindingnya penuh coretan dan retakan, lantainya kotor dengan aroma pengap yang menyeruak. Dia berjalan menyusuri koridor sempit menuju salah satu unit di ujung lorong, lalu membuka pintu tanpa ragu.Di dalam, ruangan itu tampak suram dengan perabotan tua dan minim pencahayaan. Bella meletakkan bungkus makanan dan obat-obatan yang dibawanya di atas meja. Wajahnya terlihat dingin, seperti menahan sesuatu yang berat di hatinya.Dia melangkah ke kamar sebelah, mendorong pintunya yang berderit. Di sana, Lila duduk di sudut ruangan di atas kasur tipis. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan matanya tampak kehilangan harapan. Tangannya memegangi perut seolah ingin memberi perlindungan kepada anaknya.“Cepat keluar! Jangan cuma duduk seperti orang bodoh!” Bella membentak dengan nada kasar, matanya penuh amarah yang tak terselubung.Lila mendongak perlahan, tatapannya penuh ketakutan. “Untuk apa?” suar
Lila memegangi perutnya yang mulai terasa nyeri. Ia tahu ini bukan pertanda baik. Air mata terus mengalir, rasa takut merayapi tubuhnya. Bella, di sisi lain, tidak menunjukkan belas kasih sedikit pun.“Anak itu tidak seharusnya ada,” ucap Bella tanpa belas kasih. “Dan kau, Lila, tidak seharusnya hadir dalam hidup Sean.”Lila ingin membalas, ingin berkata sesuatu, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya bisa menggigit bibir, menahan erangan yang nyaris lolos.Keringat dingin membasahi pelipis Lila, dan ia merasa cairan hangat mengalir dari jalan lahirnya, membasahi kain lusuh yang menutupi kakinya. Matanya membelalak, kepanikan menjalari tubuhnya. Tangannya mencoba meraih Bella, memohon dengan suara yang serak, hampir tak terdengar.“Bella...” suara Lila terdengar serak, hampir tak terdengar. Ia mencoba meraih perhatian wanita itu, memohon dengan lirih.Rasa sakit semakin kuat di perut Lila. Ia menunduk, tubuhnya gemetar. Dalam hati, ia berdoa, memohon kekuatan untuk melindungi bayi ya
Sean berdiri tegak, menatap Vicky dengan tatapan penuh kewaspadaan. Tubuhnya menegang, instingnya mengatakan bahwa ini bukan pertemuan biasa.“Di mana Lila?” tanya Sean sekali lagi, nadanya lebih tajam kali ini.Vicky tersenyum, berjalan perlahan mendekati Sean. Setiap langkahnya terasa seperti ancaman, meskipun ia tetap menjaga senyumnya yang memikat.“Saya tahu di mana dia,” ucap Vicky lembut, tetapi penuh kepastian. “Tapi, ada syaratnya.”Sean mengerutkan kening. “Syarat apa?”Vicky berhenti tepat di depannya, matanya menatap langsung ke dalam mata Sean. “Setelah kau menemukan Lila, kau harus menikahiku. Lila tak perlu tahu, Sean. Dia hanya masalah kecil. Kau dan aku ... kita bisa menjadi sesuatu yang lebih.”Sean menggelengkan kepala, ekspresinya berubah menjadi jijik. “Kau gila, Vicky. Permintaanmu tidak masuk akal.”Namun, Vicky tidak mundur. Senyumnya menghilang, digantikan oleh tatapan yang lebih serius. “Pikirkan baik-baik, Sean. Kau mencintainya, bukan? Jika kau ingin anak d
Sean membuka pintu kamar hotel dengan santai, bathrobe putih membalut tubuhnya, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Dengan senyum hangat, dia menerima trolley yang berisi makan siang mereka dari petugas room service."Terima kasih," ucap Sean sebelum menutup pintu kembali.Lila masih berbaring di atas ranjang, matanya terpejam sejenak, menikmati kenyamanan kasur empuk setelah pergulatan panas yang cukup melelahkan. Kesibukan membuat mereka harus pintar-pintar mencari waktu untuk bisa menjaga keharmonisan rumah tangga.Saat Sean menghampiri dengan meja makan yang telah disiapkan, Lila perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Ada rasa kecewa saat melihat istrinya mulai mengenakan jubah tidur, karena sebenarnya Sean ingin makan sambil menatap tubuh indah istrinya.Sean harus menekan ego dan imajinasi liarnya tersebut, karena baginya kenyamanan Lila lebih penting."Ayo makan," kata Sean sambil menuangkan segelas air putih untuk Lila. Setelah mendapat pelayanan yang sangat memua
Lila berpikir cepat. Dia tidak ingin membuat Sean menunggu lama di hotel, tetapi juga tahu jika menolak permintaan Delisa begitu saja. Adiknya itu pasti akan mengadu pada Ibu mereka, jika keinginannya tidak terpenuhi. Ujung-ujungnya, Lila akan menerima ceramah panjang lebar yang menyakitkan hati dari sang ibu."Sebagai mbak, kamu itu harusnya lebih sayang sama adikmu!" Inayah pasti akan berkata begitu. "Dulu kita sama-sama hidup susah, setelah hidup enak kenapa sekarang lupa pada adikmu?" "Delisa itu adikmu, Lila. Kalau bukan kamu yang memperhatikannya, siapa lagi?" Kalimat-kalimat yang sebenarnya menyakitkan bagi Lila, seolah-olah selama ini dia tidak pernah peduli pada adiknya. Seolah-olah semua yang sudah dia lakukan tidak ada artinya.Lila menarik napas panjang, menahan kesal yang mulai menguasai pikirannya. Dia tidak ingin berdebat dengan Inayah lagi. Lila berusaha berpikir cepat agar bisa menemukan solusi lain.Tanpa ragu, Lila mengeluarkan ponselnya dan segera memesan makana
Ryan menunduk, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh rendah restoran. "Ibuku seorang penderita skizofrenia."Rina terkejut. Matanya membulat, menatap Ryan yang kini tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia tidak menyangka, di balik sikapnya yang selalu tenang dan terkendali, Ryan menyimpan luka sedalam ini.Rina bertanya dalam hati, apakah ini yang membuatnya selalu terlihat murung?Ryan menghela napas, menatap ke arah lain. "Aku sadar, menikah denganku tidak akan mudah, Rina. Aku tidak bisa menjanjikan hidup yang sempurna. Aku tidak bisa menjanjikan segalanya akan baik-baik saja. Tapi ..." Ia menatap Rina, dalam dan tulus. "Aku bisa menjanjikan ketulusan."Rina masih diam, hatinya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangkan beban yang harus ditanggung Ryan. Ia tahu, memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental bukanlah sesuatu yang mudah. Ada tanggung jawab, ada pengorbanan, ada kesedihan yang mungkin tidak bisa dimengerti orang lain.Tanpa sadar, Rina meraih tangan Ryan. Ia menggenggam
Ryan menatap bayangannya di cermin, menyisir rambutnya dengan perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya tidak. Rina masih memenuhi benaknya.Sejak perpisahan mereka, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tetapi bayangan gadis itu selalu muncul, terutama di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, berdiri di depan cermin, menghadapi dirinya sendiri.Dengan helaan napas panjang, Ryan meraih ponselnya dari meja. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan."Rina, bisakah kita bertemu? Mungkin untuk yang terakhir kali."Ia menatap layar, mempertimbangkan apakah ini keputusan yang tepat. Namun sebelum bisa berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.Detik-detik berlalu terasa lambat. Ia menunggu dalam diam, berharap, tapi juga takut akan jawaban yang mungkin ia terima. Lalu, ponselnya bergetar."Baiklah, di mana?"Ryan merasakan dadanya sedikit lega, meski di baliknya ada kegelisahan. Ia segera mengetik balasan."Bagaimana kalau di Restor
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut