Sekar tidak bisa diam saja dengan menghilangnya Lila. Lila dan anaknya harus selamat, bukan hanya untuk bisa mendapatkan kembali asset keluarganya dan Mehendra Securitas, tetapi karena anak yang dikandung Lila adalah cucunya, darah dagingnya. Sekar menatap Theo dengan mata penuh tekanan. Di ruang kerjanya yang sunyi, dia duduk tegap, tangan meremas sisi kursi dengan kuat. Theo berdiri di hadapannya, wajahnya serius, siap menerima perintah. "Aku ingin kau menemukan Lila. Segera. Dan kau harus lebih dulu dari Sean." Suara Sekar dingin dan tajam. Theo mengangguk, baginya ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, terutama di hadapan Sean yang sekarang menggunakan jasa Selo Ardi untuk urusan keamanan. "Adakah petunjuk lain yang bisa saya gunakan? Selain Pak Andika dan Ryan, adakah orang lain yang bisa dicurigai?" tanya Theo, mencoba menggali informasi lebih sebelum melangkah. Sekar terdiam. Pikirannya berputar cepat, menyisir setiap kemungkinan. Siapa yang mungkin terlibat? U
Hari pertama kembali bekerja setelah beberapa hari menjalani perawatan di rumah sakit, Rangga sudah disambut oleh kekacauan. Wajahnya masih pucat, tetapi tekadnya untuk menjalankan amanah dari Sean tak tergoyahkan. Namun, harinya langsung dirusak oleh kedatangan Bella yang terlambat hampir dua jam.Bella terkejut saat memasuki ruang kerja Sean, bukan Sean tetapi Rangga yang dia temui.“Di mana Pak Sean?” tanya Bella, wajah menyiratkan rasa kecewa, karena yang membuatnya tetap betah kerja adalah bisa berdua bersama Sean.“Dia sudah mulai cuti hari ini,” jawab Rangga dengan nada ketus dan sinis. “Dan di hari pertama saya mengambil alih tanggung jawab, kamu datang terlambat?” suara Rangga menggema di ruangan kantor Sean yang sekarang menjadi tempatnya bekerja sementara.Bella mendongak santai, tanpa rasa bersalah. “Saya ada urusan, Pak. Lagi pula, saya hanya izin kerja setengah hari.”Amarah Rangga meledak. “Setengah hari? Kau pikir perusahaan ini tempat bermain? Selama ini kau bekerja b
Bella melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, tatapannya lurus ke jalan di depan, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Sean. Bibirnya bergerak, berbicara pada dirinya sendiri, seolah mencoba meyakinkan hatinya yang tengah berkecamuk.“Aku yang pantas untuk Sean,” gumamnya pelan namun penuh penekanan.Matanya sedikit menyipit, menatap lurus ke depan sambil menahan emosi yang menggelegak di dadanya. “Miranda, aku bisa terima kalah darinya. Dia model, cantik, keluarganya kaya raya. Tapi Lila?” Bella mendengus sinis, jemarinya mencengkeram kemudi lebih erat hingga buku-bukunya memutih. “Perempuan biasa, keluarga miskin. Sean pantas mendapatkan yang lebih baik, dan itu aku!”Bella melirik pantulan dirinya di kaca spion, memastikan penampilan sempurna yang selalu ia banggakan. Rambutnya yang tertata rapi, riasan wajah tanpa bercela, semuanya seolah menjadi bukti bahwa ia adalah pasangan ideal bagi Sean.“Aku telah mendukungnya sejak awal, selalu ada untuknya. Aku lebih dari sekadar s
Bella melangkah memasuki bangunan apartemen sederhana yang lebih menyerupai rumah susun kumuh. Dindingnya penuh coretan dan retakan, lantainya kotor dengan aroma pengap yang menyeruak. Dia berjalan menyusuri koridor sempit menuju salah satu unit di ujung lorong, lalu membuka pintu tanpa ragu.Di dalam, ruangan itu tampak suram dengan perabotan tua dan minim pencahayaan. Bella meletakkan bungkus makanan dan obat-obatan yang dibawanya di atas meja. Wajahnya terlihat dingin, seperti menahan sesuatu yang berat di hatinya.Dia melangkah ke kamar sebelah, mendorong pintunya yang berderit. Di sana, Lila duduk di sudut ruangan di atas kasur tipis. Wajahnya pucat, rambutnya kusut, dan matanya tampak kehilangan harapan. Tangannya memegangi perut seolah ingin memberi perlindungan kepada anaknya.“Cepat keluar! Jangan cuma duduk seperti orang bodoh!” Bella membentak dengan nada kasar, matanya penuh amarah yang tak terselubung.Lila mendongak perlahan, tatapannya penuh ketakutan. “Untuk apa?” suar
Lila memegangi perutnya yang mulai terasa nyeri. Ia tahu ini bukan pertanda baik. Air mata terus mengalir, rasa takut merayapi tubuhnya. Bella, di sisi lain, tidak menunjukkan belas kasih sedikit pun.“Anak itu tidak seharusnya ada,” ucap Bella tanpa belas kasih. “Dan kau, Lila, tidak seharusnya hadir dalam hidup Sean.”Lila ingin membalas, ingin berkata sesuatu, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya bisa menggigit bibir, menahan erangan yang nyaris lolos.Keringat dingin membasahi pelipis Lila, dan ia merasa cairan hangat mengalir dari jalan lahirnya, membasahi kain lusuh yang menutupi kakinya. Matanya membelalak, kepanikan menjalari tubuhnya. Tangannya mencoba meraih Bella, memohon dengan suara yang serak, hampir tak terdengar.“Bella...” suara Lila terdengar serak, hampir tak terdengar. Ia mencoba meraih perhatian wanita itu, memohon dengan lirih.Rasa sakit semakin kuat di perut Lila. Ia menunduk, tubuhnya gemetar. Dalam hati, ia berdoa, memohon kekuatan untuk melindungi bayi ya
Sean berdiri tegak, menatap Vicky dengan tatapan penuh kewaspadaan. Tubuhnya menegang, instingnya mengatakan bahwa ini bukan pertemuan biasa.“Di mana Lila?” tanya Sean sekali lagi, nadanya lebih tajam kali ini.Vicky tersenyum, berjalan perlahan mendekati Sean. Setiap langkahnya terasa seperti ancaman, meskipun ia tetap menjaga senyumnya yang memikat.“Saya tahu di mana dia,” ucap Vicky lembut, tetapi penuh kepastian. “Tapi, ada syaratnya.”Sean mengerutkan kening. “Syarat apa?”Vicky berhenti tepat di depannya, matanya menatap langsung ke dalam mata Sean. “Setelah kau menemukan Lila, kau harus menikahiku. Lila tak perlu tahu, Sean. Dia hanya masalah kecil. Kau dan aku ... kita bisa menjadi sesuatu yang lebih.”Sean menggelengkan kepala, ekspresinya berubah menjadi jijik. “Kau gila, Vicky. Permintaanmu tidak masuk akal.”Namun, Vicky tidak mundur. Senyumnya menghilang, digantikan oleh tatapan yang lebih serius. “Pikirkan baik-baik, Sean. Kau mencintainya, bukan? Jika kau ingin anak d
Vicky merasakan impiannya menjadi nyata, dia bisa begitu dekat dengan Sean. Bahkan, saat ini dia bisa dengan liar melabuhkan bibirnya di dada bidang Sean yang selama ini hanya bisa dia bayangkan.Suara desahan penuh frustasi dari Sean dianggap lampu hijau bagi Vicky. Hingga instruktur senam bertubuh aduhai itu, menggerakkan tangan mencoba membuka gesper sabuk yang melingkar di pinggang Sean.“Oh ... Sean!” teriak Vicky dengan keras.Belum sempat terbuka, Vicky dikejutkan oleh Sean yang tiba-tiba menarik rambutnya dengan sekuat tenaga. Bukan hanya rambutnya yang terasa hampir tercerabut, tetapi Vicky merasakan sakit di kulit kepala hingga lehernya.“Katakan di mana Lila berada?” Sean berteriak dengan keras sambil menarik rambut Vicky.Tidak peduli dengan Vicky yang mengaduh kesakitan, Sean menarik rambut semakin keras saat jawaban tidak juga dia dapatkan.“Katakan di mana Lila berada?” tanya Sean sekali lagi, dengan gigi yang beradu dan rahang yang mengeras.“Aku akan mengatakan padamu
Sean menatap Selo Ardi dengan tatapan tajam, seperti bara api yang tak kunjung padam. Tetapi tak ada perlawanan dari Sean. Amarah Sean mulai surut, meski dadanya masih naik turun, menunjukkan jika dia berusaha untuk mengendalikan dirinya."Dia tahu di mana Lila," gumam Sean dengan suara serak. “Tapi dia mencoba mempermainkan aku," sambung Sean, suaranya lebih lirih namun tetap penuh bara dan luka.Selo Ardi, yang berdiri dengan punggung tegap, melirik sekilas ke arah Vicky. Sebuah pemandangan yang sangat mengenaskan."Kalian urus perempuan ini," perintah Selo Ardi kepada dua anak buahnya yang berdiri di sudut ruangan. "Pastikan dia mendapat perawatan yang layak. Dan jangan ada yang melaporkan hal ini ke polisi. Kita tidak butuh masalah tambahan."Vicky hanya bisa menangis pelan di lantai, tubuhnya menggigil. Hatinya penuh penyesalan, tetapi juga ketakutan. Wajah garang Sean masih terbayang di benaknya, seperti bayangan buruk yang sulit dihapus. Dahulu Vicky pernah mendengar cerita d
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P