Matahari sudah mulai menurun ke arah barat, hari ini sudah ada tiga pembeli buku yang datang. Leary tengah menikmati makan siangnya dengan memakan roti pemberian Willis. Suara langkah seseorang terdengar, seorang pria masuk ke dalam toko, pria paruh baya itu melihat ke sekitar dan berakhir melihat Leary. “Di mana Willis?” tanya pria asing itu. Leary segera beranjak dan mengusap bibirnya dan ditempeli remahan roti kering. “Bibi Willis sedang pergi, ada yang bisa saya bantu, Paman?” Sejenak pria asing itu terdiam, namun matanya yang berwarna brown itu bergerak memperhatikan Leary dari atas sampai bawah. “Kau siapanya Willis? Aku baru pertama kali melihatmu.” “Saya saudara bibi Willis,” jawab Leary polos. Pria asing itu tersenyum menyeringai, langkahnya yang pelan secara perlahan mendekat dan menjangkau Leary, lalu mengusap kepalanya. “Kau lebih cantik dari Willis.” “Anda mau membeli buku apa? Saya bisa membantu.” “Aku tidak mau membeli buku, tapi ingin bertemu Willis,” jawabnya
“Aku tidak bisa pulang bersamamu, pergilah dengan cepat sebelum kemalaman, kau mengerti?” Tanya Willis yang hanya mengantar Leary pulang sampai persimpangan jalan dan dari tempat itu menuju toko masih jauh. Willis memilih menghentikan sebuah bus dan meminta sopir untuk menurunkan Leary di depan tokonya. “Saya mengerti Bibi, terima kasih banyak.” Willis mengangguk, wanita itu langsung pergi karena tujuan selanjutnya adalah tempat club sirkus Alven yang bisa mengantarnya pergi ke London. Bibir merah Willis mengukir senyuman, wanita itu terlihat menggenggam beberapa helai rambut perak leary dan memasukannya ke dalam kantong. Untuk orang-orang kaya seperti keluarga suami Olivia, Willis tidak boleh datang secara omong kosong. Untuk saat ini dia hanya akan mengaku jika dia tahu keberadaan Olivia dan memberitahukan jika anak mereka masih hidup. Besar kemungkinan akan terjadi keraguan pada Darrel, karena hal itulah Willis akan meminta melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa dia tidak b
Pagi telah datang dengan cepat, Leary terlihat sudah berpakaian rapi karena hari ini dia akan pergi ke toko, lalu membeli kue. Leary membawa rebusan kentang yang dia buat bersama segelas air putih dan susu kotak pemberian Willis yang selama ini tidak pernah dia minum karena Leary ingin Olivia meminumnya, Leary berpikir jika Olivia banyak minum susu, itu akan membantunya untuk tetap kuat. Leary meninggalkan sarapan yang dibuatnya di sisi ranjang Olivia yang kini masih terbaring tidur meski matahari sudah mulai muncul. Leary duduk di sisi ranjang, mengusap wajah Olivia yang tertidur tenang sejak semalam. “Ibu, bangunlah,” panggil Leary. Bulu mata Olivia bergetar, tidak berapa lama Olivia membuka matanya dan menatap Leary dengan hangat, bibirnya yang pucat tersenyum. Tangan dingin Olivia mengenggam tangan kecil Leary yang kini berada di wajahnya. Olivia tidak berbicara, namun ketenangan di wajahnya membuat Leary tersenyum merasakan jika kini keadaan ibunya membaik. “Ibu, aku suda
Hangat sinar matahari sore mengusap wajah Olivia, wanita itu masih terbaring di tempatnya. Makanan yang Leary siapkan sejak pagi masih belum tersentuh, dia masih belum beranjak sedikitpun dari ranjangnya. Wajah Olivia terlihat pucat tersapu cahaya matahari yang kekuningan, dia membuka setengah matanya, wanita itu menatap langit yang indah dan cerah. Sebentar lagi Leary pulang, dia ingin memandangi wajah Leary di antara cahaya yang dilihatnya untuk terakhir kalinya, melihat senyuman dan sepasang matanya yang indah. Tubuh Olivia terlihat diam membeku, wanita itu hanya menggerakan jari sedikit. Kesadaran Olivia menurun, perlahan dia tidak bisa mendengar apapun lagi, tidak bisa lagi merasakan hangat sinar matahari yang menyentuh kulitnya, tidak juga bisa menggerakan lidahnyah yang kini menurun. Ini sudah waktunya untuk dia pergi.. Pandangan Olivia beberapa kali mengabur, jiwa dan pikirkannya di tarik dalam, tenggelam dalam sebuah mimpi kecil tentang dirinya yang menghabiskan waktu
Malam yang begitu gelap dan sunyi telah berlalu begitu lambat.. Disetiap detik yang terlewatkan sangat menyesakan dada. Segelintir orang terlihat ikut mengantarkan Olivia pada tempat peristirahatan terakhirnya yang akan di makamkan di desa Bibury. Leary berdiri dengan tegak mengenakan gaun biru terakhir yang Olivia belikan untuknya, anak itu termenung dalam diam dan tatapan yang kosong. Sejak semalam dia tidak berhenti memandangi peti yang menyimpan jenazah Olivia. Tangan mungil Leary terkepal, menggenggam setangkai daun semanggi dan bunga Liar yang dia dapatkan dari belakang rumah. Bibir Leary menekan kuat, menahan diri untuk tidak menangis dan tetap berdiri tegar karena teringat janjinya kepada Olivia untuk menjadi anak yang kuat. Kepala Leary bergerak pelan, kekosongan di matanya berkilauan seperti manik-manik. Leary tersadar jika kini dia berdiri sendirian di antara orang asing yang tidak dekat dengannya, bahkan Willis yang disebut sebagai bibinya tidak datang sejak kemarin.
Bibury, Gloucestershire 1998Seorang gadis kecil berdiri di depan tumpukan bunga yang tersusun indah mengitari sebuah photo perempuan, gadis kecil itu mengenakan pakaian serba hitam, rambut yang berwarna perak sebahu terlihat sangat kontras dengan pakaian yang dia kenakan. Anak kecil itu menatap sendu photo wanita cantik yang ada di depannya, matanya yang berwarna hijau jernih tidak berhenti meneteskan air mata dengan bibir gemetar terus menerus di tekan agar tidak menimbulkan suara.Leary tertunduk seraya menghapus air matanya dengan kepalan tangan.Hari yang kelam ini adalah hari ucapara pemakaman ibunya, ibu Leary meninggal setelah tiga tahun sakit parah karena sebuah kecelakaan. Hari ini, perjuangan ibunya untuk kembali sembuh sudah selesai, semua sakit dan deritanya sudah hilang.Leary tidak dapat menjabarkan seberapa sedih dan hancur hatinya saat ini, bahkan jika harus menangis sampai air matanya mengering, kesedihan masih akan tenumpuk tidak beranjak sedikitpun dari dalam hati
Hari yang tidak pernah Leary harapkan telah tiba, bibi Willis datang menjemputnya begitu pagi. Leary hanya membawa sebuah koper kuno dan memakai sebuah dress putih selutut, dress itu adalah pakaian terbaik yang di milikinya karena sejak ibunya mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu, Olivia tidak lagi bekerja. Leary dan Olivia bertahan hidup melalui bantuan orang lain. Kaki Olivia yang lumpuh membuat dia tidak bisa melakukan banyak hal lagi, Olivia hanya menghabiskan waktunya dengan merenung dalam kesedihan. Bibi Willis membawa Leary pergi naik sebuah truk, mereka menumpang perjalanan menuju stasiun kereta. Leary yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa diam dan menikmati perjalanan jauhnya untuk pertama kali, Leary tidak berhenti melihat ke sana-kemari, memperhatikan keindahan dunia luar selain desa cantik Bibury. Begitu mereka sampai stasiun dan membeli tiket, bibi Willis segera membawa Leary naik kereta. Keberadaan bibi Willis yang berpakaian cantik dan berpenampilan bagus sa
“Selamat siang, Tuan Darrel McCwin.” Bibi Willis membungkuk memberi hormat. Leary yang berada di sisinya membungkuk mengikuti bibi Willis. Darrel McCwin tidak menjawab, pria itu hanya menatap Leary tanpa bisa mengalihkan perhatiannya dari anak kecil itu. Pakaian sederhana hampir lusuh yang kenakan Leary tidak dapat menghalangi kecantikannya yang mengingatkan dia pada Olivia. “Dia, anak yang kau ceritakan?” Tanya Darrel seraya bangkit dari duduknya dan mengitari meja, pria itu tetap menatap Leary yang kini tertunduk gemetar ketakutan. “Benar Tuan, dia Leary McCwin, anak dari Olivia, sepuluh hari yang lalu pengacara dan dokter pribadi Anda sudah melakukan tes dna, mungkin sekarang Anda sudah mendapatkan hasilnya.” Pandangan Darrel bertemu dengan mata Leary, mereka saling menatap seperti sedang berkaca, hal itu jelas memberitahukan bahwa mata Leary di turunkan dari Darrel. “Jika kau membawanya seperti ini, aku tidak perlu melakukan tes DNA,” jawab Darrel. Bibi Willis tersenyum sam