Hari yang tidak pernah Leary harapkan telah tiba, bibi Willis datang menjemputnya begitu pagi. Leary hanya membawa sebuah koper kuno dan memakai sebuah dress putih selutut, dress itu adalah pakaian terbaik yang di milikinya karena sejak ibunya mengalami kecelakaan tiga tahun yang lalu, Olivia tidak lagi bekerja. Leary dan Olivia bertahan hidup melalui bantuan orang lain. Kaki Olivia yang lumpuh membuat dia tidak bisa melakukan banyak hal lagi, Olivia hanya menghabiskan waktunya dengan merenung dalam kesedihan. Bibi Willis membawa Leary pergi naik sebuah truk, mereka menumpang perjalanan menuju stasiun kereta. Leary yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa diam dan menikmati perjalanan jauhnya untuk pertama kali, Leary tidak berhenti melihat ke sana-kemari, memperhatikan keindahan dunia luar selain desa cantik Bibury. Begitu mereka sampai stasiun dan membeli tiket, bibi Willis segera membawa Leary naik kereta. Keberadaan bibi Willis yang berpakaian cantik dan berpenampilan bagus sa
“Selamat siang, Tuan Darrel McCwin.” Bibi Willis membungkuk memberi hormat. Leary yang berada di sisinya membungkuk mengikuti bibi Willis. Darrel McCwin tidak menjawab, pria itu hanya menatap Leary tanpa bisa mengalihkan perhatiannya dari anak kecil itu. Pakaian sederhana hampir lusuh yang kenakan Leary tidak dapat menghalangi kecantikannya yang mengingatkan dia pada Olivia. “Dia, anak yang kau ceritakan?” Tanya Darrel seraya bangkit dari duduknya dan mengitari meja, pria itu tetap menatap Leary yang kini tertunduk gemetar ketakutan. “Benar Tuan, dia Leary McCwin, anak dari Olivia, sepuluh hari yang lalu pengacara dan dokter pribadi Anda sudah melakukan tes dna, mungkin sekarang Anda sudah mendapatkan hasilnya.” Pandangan Darrel bertemu dengan mata Leary, mereka saling menatap seperti sedang berkaca, hal itu jelas memberitahukan bahwa mata Leary di turunkan dari Darrel. “Jika kau membawanya seperti ini, aku tidak perlu melakukan tes DNA,” jawab Darrel. Bibi Willis tersenyum sam
“Tapi saya mau dengan Bibi,” jawa Leary gemetar. Tanpa kata-kata lagi, bibi Willis membalikan badannya dan tetap pergi. “Bibi, jangan tinggalkan saya!” Teriak Leary seraya menyeret kopernya, gadis kecil itu mulai menangis mengiba, memohon kepada bibi Willis agar berhenti. Bibi Willis akhirnya kembali berhenti melangah dan membalikan badannya lagi, ada perasaan kasihan di hati bibi Willis saat melihat Leary menangis terisak memintanya jangan di tinggalkan, namun ini adalah keputusan terbaik untuk Leary dan juga dirinya. Bibi Willis membuang napasnya dalam-dalam sampai akhirnya berkata, “Leary, mulai malam ini dan kedepannya kau akan tinggal di sini. Ini pertemuan terakhir kita, hiduplah dengan bahagia di sini.” “Mengapa saya harus tinggal di sini? Saya ingin bersama Bibi, saya tidak akan menangis, saya tidak makan sebelum mengelap semua buku yang ada di toko, saya tidak akan meminta dibelikan permen lagi, saya tidak akan membuat bibi marah lagi, saya janji. Saya hanya ingin bers
“Nona, ayo bangun. Anda harus segera bersiap-siap.” Dengan patuh Leary bangkit dan membiarkan Burka mengurusnya meski bantuan Burka sedikit membuat Leary tidak nyaman karena satu tahun terakhir ini dia sudah bisa mandi sendiri, namun karena kondisi tempat yang berbeda dan suasana hati Leary tengah tidak baik-baik saja, untuk malam ini saja dia membiarkan seseorang mengurusnya. Burka sendiri terlihat sangat teliti saat sedang mendandani Leary, tidak sulit untuknya menangani Leary karena sejak masuk ke dalam kamar, gadis kecil itu hanya diam saja. Begitu sudah selesai, Burka membawa Leary berdiri di depan cermin agar gadis kecil itu melihat penampilannya sendiri yang saat ini begitu jauh berbeda dengan penampilannya saat datang ke rumah. “Besok saya akan membeli pakaian untuk Anda, untuk malam ini Anda mengenakan pakaian nona Ellis, semoga Anda tidak marah.” Leary memperhatikan gaun putih bercorak merah muda yang kini dia kenakan, mungkin ini untuk pertama kalinya Leary mengenakan
Seorang pria berjubah hitam berjalan di sebuah lorong rumah, pria itu berpenampilan rapi dengan pembawaan yang tenang, rambutnya hitam legam, memiliki sepasang mata yang tajam, setiap garis tulang di wajahnya terpahat sempurna di tunjang dengan tubuh yang tinggi tegap. Di belakang pria itu terdapat dua orang pengikutinya, keduanya berpakaian seperti seorang eksekutif, namun siapa sangka di balik pakaian indah dan penampilan menarik mereka, mereka adalah sekelompok mafia yang sangat terkenal berkuasa di London hingga wilayah kota Bristol. Chaning Benvolio, dia adalah sang peminpin kelompok itu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan perdagangan pasar gelap, obat-obatan terlarang, jasa pembunuhan dan pencarian orang, dia yang menangani semuanya. Chaning adalah pria berdarah dingin di balik sikap tenang dan elegantnya, dia tidak pernah ragu untuk menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalannya. Dalam bertransaksi, Chaning menghargai kejujuran dan loyalitas, namun dia tidak akan perna
“Kau kenapa Ellis?” Petri bersedekap memperhatikan Ellis yang sejak tadi duduk berdiam diri sambil merenung terlihat sedih, biasanya Ellis akan berceloteh tidak berhenti berbicara, bahkan jika itu sebuah pembicaraan omong kosong. Ellis menautkan kedua tangannya dan tertunduk. “Aku takut,” jawab Ellis dengan napas tersenggal. Petri bergeser mendekat, dia meraih wajah Ellis dan mengangkatnya. Ellis menangis dengan bibir gemetar membentuk lengkungan ke bawah. Ellis adalah gadis yang lemah dan juga berhati lembut, dia sangat mudah tersenyum dan juga sangat mudah menangis bila merasa sedih. Jika Ellis gelisah sejak tadi, itu artinya masalah yang dia hadapi lebih berat. “Ada apa? Apa yang kau takutkan?” Petri bertanya sambil mengusap air mata Ellis. “Aku bukan anak kandung ayah dan bukan adik kandung Kakak. Sekarang adik Kakak yang sebenarnya sudah kembali, aku pasti akan di lupakan,” Ellis terisak menceritakan kekhawatirannya. “Ellis, apa tadi kau tidak dengar apa yang sudah aku kata
“Mulai sekarang kau harus menahan dirimu dan bersikaplah dengan baik karena kau sedang berada dalam lingkungan sekolah, mengontrol diri itu sangat penting,” nasihat Chaning yang kini duduk di samping Ferez. “Aku tahu,” jawab Ferez singkat. Chaning melihat ke sisi, memperhatikan jalanan yang di lewatinya, di belakangnya ada sebuah mobil yang selalu mengikutinya untuk pengawalan seperti biasa. “Untuk satu minggu ini aku akan menunggumu di sekitar sekolah, saat pulang kau datang ke taman, aku akan menunggu di sana.” “Tidak perlu.” “Suka tidak suka, ini harus di lakukan,” tegas Chaning tidak mau di bantah, Chaning harus memastikan sendiri jika Ferez melewati harinya dengan baik dan tidak membuat masalah lagi. Ferez langsung bersedekap dan mendengus kesal karena tidak nyaman di perhatikan Chaning. “Kau tidak membawa senjata tajam kan?” Tanya Chaning lagi karena kini mereka sudah berada di depan sekolah baru Ferez, Chaning harus memastikan bahwa puteranya sudah benar-benar bersih dan
Darrel terduduk di tempat kerjanya tengah membaca satu persatu surat yang di terima, kesibukan selalu harus dia hadapi setiap harinya tanpa henti. Darrel tidak beristirahat meski terkadang kini dia sering sakit karena usianya. Petri masih sangat muda, Darrel harus menunggunya tumbuh dewasa, setidaknya sepuluh tahun lagi agar Petri bisa menerima semua tanggung jawab pekerjaannya. Suara ketukan di pintu terdengar beberapa kali, Darrel mengangkat wajahnya dan melihat ke arah pintu. “Masuk,” perintahnya dengan suara yang sedikit serak karena lelah. Pintu di depan Darrel terbuka perlahan, pria itu langsung melihat kehadiran Leary yang kini membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan kerjanya. Dengan sesak Darrel menarik napasnya dalam-dalam. Lagi dan lagi Darrel harus melihat wajah Leary yang terus menerus berada di sekitarnya selama satu minggu ini. Leary terlalu mirip dengan Olivia, bahkan meski Leary memiliki warna mata yang sama seperti Darrel, namun tatapan cerah penuh ketulusan dan