Hening suasana menyelimuti ruang keluarga yang sedang di singgahi oleh ketiga orang yang ekspresi wajahnya terlihat begitu serius. Tampaknya mas Danung sedang mengadu tentang masalah yang di alaminya semalam kepada Ummi dan Abinya, untuk meminta solusi yang terbaik dari mereka. Pak Kyai dan bu Yai pun sempat terdiam setelah mas Danung mengungkapkan hal apa yang menimpanya semalam, yaitu masalah saat berhubungan dengan istrinya, Nur. Dengan membaca basmalah, dengan pikiran dan hati yang tenang, pak Kyai pun memberikan solusi pada mas Danung. Lalu bu Yai meracikkan ramuan berbahan dasar telur bebek yang di perintahkan oleh pak Kyai, yang di percaya bisa menguatkan dan membuat tahan lama.
Saat malam tiba mas Danung pun meminum ramuan yang di buatkan bu Yai untuknya. Ia berharap ramuan itu mujarab untuk mengatasi masalahnya. Nur yang baru saja melangkahkan kaki ke kamar pun terheran dengan setengah gelas sisa ramuan yang belum habis di minum suaminya.
"Apa itu mas?"
Mas Danung tergesa - gesa melangkahkan kakinya, mendekat ke arah bapak yang sedang menikmati secangkir kopi sembari menonton Tv, dan di temani oleh ibu. Wajah mas Danung memerah, alisnya berdempetan, dan keningnya mengerut tegang. "Pak,Bu!" panggil mas Danung datar, berusaha menahan amarahnya. Kedua orang tua Nur menoleh ke sumber suara. "Iya, nak?" sahut bapak. "Loh, tumben jam segini belum ke bengkel nak?" tanya ibu. "Hari ini bengkelnya libur, Danung lagi sakit kepala bu." terangnya. "Sudah minum obat nak?" tanya ibu lagi. Tak mendapat jawaban dari sang menantu, mas Danung hanya menatap bapak dan ibu secara bergantian, membuat ibu dan bapak bingung. "Pak, Bu, Danung mau tanya sesuatu." kata mas Danung. "Silahkan, nak, mau tanya apa?" bapak penasaran, begitu juga dengan ibu. "apakah Bapak dan Ibu ini mengenal pria yang bernama Gewa?" Mendengar pertanyaan mas Danung, membuat Bapak da
Suasana di rumah begitu tegang dan penuh amarah. Nur di pojokkan oleh kedua orang tuanya beserta suaminya. Nur sampai tak sanggup membendung isak tangis yang telah pecah sedari tadi, membuat matanya bengkak. "Mulai besok kamu tidak usah berangkat kerja! Mas melarangmu bekerja!" Kata - kata mas Danung berhasil membuat gadis yang sedang sesenggukan itu tersentak kaget. "Apa mas?" lirih suara Nur, kepalanya mendongak, sepasang bola matanya menyorot tajam wajah suaminya. "Ini hari terakhir kamu kerja, karena besok kamu sudah tidak aku perbolehkan untuk bekerja!" terang mas Danung. "Tap.. tapi mas...." "Sudah, tidak usah membantah perintah suamimu!" bunyi bentakan bapak yang tiba - tiba memotong kalimat Nur. Nur terdiam, kembali menundukkan kepalanya.Ia lalu melangkahkan kakinya memasuki kamar tidurnya, meninggalkan Ibu, Bapak, dan juga mas Danung yang masih terduduk di depan tv, dengan raut wajah yang masih tampak marah.
Hari Nur yang membosankan di mulai. Nur tidak akan lagi tergesa - gesa berangkat kerja. Tidak lagi bisa bercanda dan bercengkerama dengan Diana atau teman - teman yang lain di tempat kerja. Tidak lagi bersih - bersih rak buku yang berantakan. Nur hanya berbaring, mengurung diri di kamar dengan matanya yang sembab, karena kerap kali menangis. Padahal jarum jam di dinding sudah menunjuk angka 09:15.Nur merasa lega mas Danung sudah berangkat ke bengkel sejak jam setengah delapan tadi. Sebab Nur akan merasa semakin muak jika melihat wajah suaminya itu.Nur tiba - tiba bangkit, kakinya melangkah mendekati lemari kecil yang ada di kamarnya. Ia menyingkap -nyingkap pakaian yang telah terlipat dan tersusun rapih, tentu saja Nur sedang mencari sesuatu.Tak menemukan barang yang ia cari di lemari itu, Nur kemudian meraih tas ransel yang ada di atas lemari.Segera ia geledah tas itu. Dan benar saja, dia menemukan apa yang dia cari. Yaitu buku catatan kecil berwarna merah jambu, ya
"Aku dan mas Danung ini seperti bukan suami istri sungguhan Gew. Bahkan aku masih perawan sampai detik ini." mata Nur tampak berkaca - kaca. Gewa tercengang. "Maksud kamu Nur?" Nur lantas menjelaskan semuanya pada Gewa. Tentang masalah pada suaminya, yang bahkan tak mampu menggauli dirinya. Juga menceritakan bahtera rumah tangganya yang terasa hambar dari awal pernikahan sampai detik ini. "Terimakasih Gew, telah segan mendengarkan curhatanku yang terlalu panjang dan pelik ini." kata Nur. "Kapanpun kamu butuh aku, aku selalu siap Nur. Aku akan selalu ada buat kamu walaupun hanya sebagai sahabat." Ucap Gewa membuat Nur tenang dan terharu. "Betapa bahagianya jika saat ini masih bisa bersama sebagai kekasih" sekali lagi dalam benak Nur berandai - andai. Mereka pun berpisah. Nur segera pulang.Sesampainya di rumah ia melihat mas Danung, ibu, dan bapak yang sedang terduduk bertiga di depan tv.Yang ter
Cahaya mentari menyelinap masuk melewati sela - sela jendela. Kelopak mata Nur mengeriyip, baru saja terbangun dari tidurnya. Gadis itu bangun siang lagi. Masih setengah sadar, tangannya menggerayangi permukaan kasur yang ia tempati. "Loh, hp ku mana?" gumamnya. Spontan ia bangkit dari tidurnya, mencari - cari keberadaan ponselnya. "Perasaan semalem aku taruh sini, kok nggak ada sih?"gumamnya lagi. Nur menggeledah tiap - tiap sudut kamar itu. Raut wajahnya semakin resah kala ia tak menemukan ponselnya. "Cari apa Nur?" tanya ibu yang tiba - tiba masuk ke kamar Nur. Nur mendekat ke arah ibunya. "Nggak cari apa - apa kok buk." jawab Nur berbohong. "Beneran?" tanya ibu lagi. Nur hanya mengangguk. "Cari hp kan? ada di Bapak." Nur melongo mendengar perkataan ibu."kok bisa ada di Bapak?" tanya batin Nur. "Tadi pagi mas Danung pulang, dia ngecek hp kamu. Dan ternyata dia menemukan riwayat p
Hari ini adalah hari minggu. Sesuai permintaan Nur, Diana mengunjungi dirinya. Di rumah hanya ada Dani dan Dana yang sedang menonton tv. Sedangkan Ibu dan Bapak entah kemana, mungkin ke sawah. Ah, entahlah. Mereka pergi begitu saja tanpa berpamitan dengan putrinya. Kalau mas Danung, bengkelnya sih hari minggu gini tutup. Mungkin dia sedang di rumah Abi, Ummi. Belakangan ini ia bahkan sering tidur di sana.Nur membuka jendela kamar, membuat cahaya mentari masuk menerangi kamarnya.Nur menceritakan semua yang ia alami pada sahabatnya. Ia sudah tak tahan memendam beban itu sendirian. Selama ini ia berusaha menutupi kesedihannya, sebab ia tak mau orang - orang terdekatnya ikut merasakan sedih karenanya.Nur menceritakan secara perlahan - lahan, lembar demi lembar kisah rumah tanggannya yang tak pernah ia harapkan itu.Sambil bercerita, ingatannya pun kembali pada awal mula ia di paksa bapak ibu untuk di jodohkan dengan mas Danung. Sehingga mau tak mau dia har
Abi dan Ummi menatap mas Danung, menunggu jawaban dari putranya."Se.. sebenarnya Danung kangen aja tidur di rumah, Bi. Nur lagi sibuk di rumah bantuin ibuk buat jajan pesanan orang. Jadinya nggak ikut deh. ehehe..." jawab mas Danung, ia sengaja berbohong pada kedua orang tuanya untuk menutupi masalah rumah tangganya.Mendengar jawaban dari putranya, Ummi dan Abi merasa lega."Syukur alhamdulillah kalau kalian baik - baik saja."Abi tersenyum senang, begitu juga dengan Ummi."Nanti malam lebih baik kamu tidur di sana saja nak, kasian isterimu sendirian." kata Ummi.Tak membuat mas Danung bersuara, hanya mengangguk mengiyakan titah Ummi.Hari sudah gelap, selesai sholat maghrib mas Danung pulang ke rumah mertuanya. Ketika mas Danung masuk ke dalam rumah tampaknya mertua dan kedua saudara iparnya sedang berkumpul di meja makan. Mereka sedang menyantap hidangan makan malam.Ia di sambut oleh mereka dan di ajak bergabung untuk
Kokokan ayam jago lantang menggema memekik telinga. Membangunkan para manusia dari tidurnya, sekaligus pertanda bahwa pagi telah tiba. Nur sudah bangun sedari tadi. Dirinya memang tak bisa tidur nyenyak. Kerap terbangun karena tubuhnya terasa sakit, tulang - tulangnya pun terasa ngilu. Wajar saja, selama ini dia sering kali menahan rasa capek di tubuhnya. Sepulang kerja hanya ia gunakan untuk rebahan, Nur pun tak pernah pijat atau minum jamu saat sedang pegal.Nur hanya diam, tatapannya nampak nanar ke arah langit - langit atap rumah. Sampai tak sadar saat ranjangnya bergerak karena orang di sampingnya sedang menggeliat, baru saja tersadar dari tidurnya."Kamu sudah bangun Nur? Gimana kondisi badan kamu? Apa sudah terasa lebih baik?" tanya mas Danung, sembari menatap wajah isterinya.Tak ada jawaban dari Nur, matanya masih tertuju pada langit atap rumah.Bukannya Nur tidak dengar, tapi ia merasa malas berbicara pada pria itu.Mas Danung mengambil ponse
Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Retina Nur terpaku pada bias Indah dari wujud pria yang bernama Gewa itu. Lalu, tersadar oleh pertanyaan iseng yang Gewa lemparkan kepadanya."Ngomong - ngomong kita selalu bertemu secara tidak sengaja ya Nur? hehe..." tanya Gewa. Beberapa menit setelah pertemuan tadi, kini dia sudah duduk di kursi kosong tepat di depan Nur."Iya. Apa jangan - jangan kamu buntuti aku terus ya? haha... enggak deh bercanda." kata Nur sembari tertawa.Setelah semua masalah yang Nur hadapi, baru kali ini Nur tertawa lewas. Seakan ia lupa atas semua beban yang sedang di pikul pada pundaknya."Ah, mana berani aku buntuti istri orang." jawab Gewa. Gewa pun tertawa kecil, namun, tawa itu sangat terlihat ia paksakan.Nur sontak terdiam, lalu, termenung sejenak. Melihat ekspresi Nur, Gewa tahu bahwa Nur tak nyaman dengan jawaban darinya. Sehingga membuat Gewa jadi tak enak hati."Emm... Nur, aku salah ngomong ya? Ma.." Nur segera membuka mulutnya, dan memotong kalimat Gewa."Tidak Gew! Tidak usah minta maaf da
"Apa kamu sudah merasa senang dan merasa bebas sekarang? Apa kamu merasa bangga menjadi janda di usia semuda ini?" bunyi pertanyaan ibu Nur yang tiba - tiba saja ia lontarkan kepada putrinya yang malang.Nur masih hanyut dengan tangisnya, ia tak ingin mendengar ataupun menjawab pertanyaan - pertanyaan ibunya yang semakin melukai hati Nur.Sedangkan bapak terduduk kaku, menatap Nur yang tak berdaya. Ada rasa kecewa di hati bapak. Bapak marah, namun, di satu sisi bapak tak tega melihat keadaan dan situasi putrinya yang sulit dan telah menjadi berantakan."Memalukan! Karena ulahmu, semua anggota keluarga kami harus menanggung malu!" imbuh ibu Nur.Nur yang mendenger hal itu, sontak menatap tajam mata ibunya, lalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu. "Hei! orang tuamu belum selesai bicara!" bentak ibu Nur."Buk, sudah buk." kata bapak menenangkan ibu, lalu bapak pun berdiri dan meninggalkan ruangan itu.Nur mengambil kunci motornya yang ada di kamar lalu bergeg
Suasana pada pagi ini begitu cerah. Namun, tidak dengan suasana hati Nur. Hatinya berdebar, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar lagi Ummi, Abi, dan mas Danung akan kembali mendatangi rumahnya. Lebih tepatnya menemui Nur, untuk mencari penyelesaian dari bab permasalahan rumah tangga Nur dan mas Danung yang tak kunjung tamat. Selesai Nur mandi, dia ingin mengambil ponsel yang tadinya ia simpan di kasur, tapi sekarang ponselnya sudah tidak ada."Kemana ponsel ku?" gumam batin Nur.Nur mengingat - ingat kembali dimana ia meletakkan ponselnya sebelum ia pergi mandi. Padahal ia ingat betul bahwa ia meletakkan ponselnya di atas kasurnya.Ia cari - cari di laci make up dan di meja samping ranjangnya pun tak ada. Nur kebingungan. Nur mencurigai bapak, bahwa mungkin saja bapak mengambil ponselnya lagi.Belum tuntas kebingungan Nur, ada suara salam dari teras rumah.Suara yang tak asing di telinga Nur, yaitu suara Ummi.Nur menarik napas dalam - dalam, lalu men
Sepasang mata mas Danung mendelik, menatap Nur dengan penuh kemarahan. Lalu yang membuat Nur semakin tak enak hati adalah tatapan kecewa kedua mertuanya. Nur menundukkan kepalanya, sebab ia merasa malu.Abi memberi isyarat dengan arahan tangannya, menyuruh Nur untuk duduk di kursi kosong samping mas Danung. Karena sedari tadi ia memang berdiri saja."Jadi, bagaimana Nur?" tanya Abi mengawali pembicaraan.Nur masih terdiam sembari menundukkan kepala. Sama hal nya dengan mas Danung, ia tak berbicara sekecap pun."Waktu itu sebelum penentuan pernikahan kalian, bukankah Abi sudah bertanya 'apakah pernikahan itu atas kemauan nak Nur sendiri atau atas dasar keterpaksaan?'. Lantas nak Nur sendiri yang menjawab bahwa pernikahan itu atas kemauan nak Nur. Tapi kenapa sekarang nak Nur malah seperti ini?" lanjut Abi.Dengan amat sangat berat Nur memberanikan diri untuk berkata sejujurnya pada kedua mertua."Sebelumnya Nur minta maaf Abi, Ummi. Saat
Tubuh Nur gemetaran. Keringat dingin pun membasahi pipinya. Ia memberanikan diri mengarahkan pisau ke pergelangan tangan kirinya. Belum sempat ia menggoreskan benda tajam itu ke tubuhnya sendiri, tiba - tiba seseorang menampik tangan kanan Nur.Seketika Nur shock.Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Nur dan tampak membelalakkan mata itu adalah Ibu Nur.Ternyata sedari tadi Nur tak menyadari bahwa pintu kamarnya lupa tak ia tutup. Ibu yang tadinya berniat akan ke teras rumah pun harus berjalan melewati kamar Nur terlebih dahulu dan Ibu tak sengaja melihat anaknya akan melakukan hal bodoh itu.Syukurlah Ibu masih sempat mengetahuinya sebelum Nur benar - benar melakukannya.Ibu mengambil pisau yang terjatuh di atas lantai lalu melemparnya ke luar pintu kamar.Bunyi lemparan yang cukup keras pun membuat Nur kaget."Apa kamu sudah tidak waras?" tanya ibu dengan nada tinggi.Nur tak menjawab, hanya terdengar suara sese
"Kamu harus nurut dengan mas! Mas ini suami kamu!" kata mas Danung dengan nada suara tinggi.Nur tak bisa mengontrol emosinya."Nur benci sama mas Danung. Nur nggak cinta sama mas! Nur nikah dengan mas Danung cuma karena terpaksa!" Kemarahan Nur meledak.Suasana kamar menjadi semakin tegang.Wajah mas Danung menjadi pilu seketika, ia menatap Nur yang sedang melotot ke arahnya. Dapat mas Danung rasakan bahwa istrinya nemang benar - benar membencinya, terlebih lagi sorot mata tajam yang di lontarkan oleh gadis itu kepadanya. Mas Danung berbalik arah, kakinya melangkah meninggalkan Nur yang masih memelototi dirinya.Beberapa detik setelah mas Danung pergi, Nur tersadar dan menyesali atas apa yang ia katakan barusan. Kata - kata yang telah dia ucapkan sungguh berlebihan.Nur terduduk lemas di ranjangnya, sembari menangis.Tiada hari tanpa menangis.Mungkin saja hal buruk akan terjadi setelah ini. Nur sangat khawatir dan takut.
Setelah beberapa hari kesehatan Nur semakin membaik. Suhu badannya juga sudah normal. Walaupun kesehatannya membaik tapi suasana hatinya masih buruk. Ia masih sakit hati dengan suaminya, bahkan ia masih kecewa pada kedua orang tuanya yang lebih membela mas Danung.Hari sudah sore, Nur berniat untuk berkunjung ke rumah Diana. Mungkin menemui sahabatnya akan sedikit mengobati rasa sedih dan juga rasa bosannya.Nur mencari - cari kunci sepeda motornya, tapi ia tidak menemukan. Padahal Nur selalu menyimpan kunci sepeda motor di meja rias di dalam kamarnya. Nur kebingungan, ia juga tidak bisa meminta antar adik - adiknya, sebab keduanya sedang keluar rumah juga."Buk...!" teriak Nur memanggil ibunya.Tak mendapat sahutan dari Ibunya, Nur bergegas mencari Ibunya."Di mana sih Ibuk? padahal biasanya jam segini lagi nonton tv." gumam Nur seorang diri."Ibuukkk!" panggil gadis itu lagi."Ada apa Nur?" sahut ibu, suaranya terdengar berasal
Kokokan ayam jago lantang menggema memekik telinga. Membangunkan para manusia dari tidurnya, sekaligus pertanda bahwa pagi telah tiba. Nur sudah bangun sedari tadi. Dirinya memang tak bisa tidur nyenyak. Kerap terbangun karena tubuhnya terasa sakit, tulang - tulangnya pun terasa ngilu. Wajar saja, selama ini dia sering kali menahan rasa capek di tubuhnya. Sepulang kerja hanya ia gunakan untuk rebahan, Nur pun tak pernah pijat atau minum jamu saat sedang pegal.Nur hanya diam, tatapannya nampak nanar ke arah langit - langit atap rumah. Sampai tak sadar saat ranjangnya bergerak karena orang di sampingnya sedang menggeliat, baru saja tersadar dari tidurnya."Kamu sudah bangun Nur? Gimana kondisi badan kamu? Apa sudah terasa lebih baik?" tanya mas Danung, sembari menatap wajah isterinya.Tak ada jawaban dari Nur, matanya masih tertuju pada langit atap rumah.Bukannya Nur tidak dengar, tapi ia merasa malas berbicara pada pria itu.Mas Danung mengambil ponse