Sepasang mata mas Danung mendelik, menatap Nur dengan penuh kemarahan. Lalu yang membuat Nur semakin tak enak hati adalah tatapan kecewa kedua mertuanya. Nur menundukkan kepalanya, sebab ia merasa malu.
Abi memberi isyarat dengan arahan tangannya, menyuruh Nur untuk duduk di kursi kosong samping mas Danung. Karena sedari tadi ia memang berdiri saja."Jadi, bagaimana Nur?" tanya Abi mengawali pembicaraan.
Nur masih terdiam sembari menundukkan kepala. Sama hal nya dengan mas Danung, ia tak berbicara sekecap pun.
"Waktu itu sebelum penentuan pernikahan kalian, bukankah Abi sudah bertanya 'apakah pernikahan itu atas kemauan nak Nur sendiri atau atas dasar keterpaksaan?'. Lantas nak Nur sendiri yang menjawab bahwa pernikahan itu atas kemauan nak Nur. Tapi kenapa sekarang nak Nur malah seperti ini?" lanjut Abi.
Dengan amat sangat berat Nur memberanikan diri untuk berkata sejujurnya pada kedua mertua.
"Sebelumnya Nur minta maaf Abi, Ummi. Saat
Suasana pada pagi ini begitu cerah. Namun, tidak dengan suasana hati Nur. Hatinya berdebar, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar lagi Ummi, Abi, dan mas Danung akan kembali mendatangi rumahnya. Lebih tepatnya menemui Nur, untuk mencari penyelesaian dari bab permasalahan rumah tangga Nur dan mas Danung yang tak kunjung tamat. Selesai Nur mandi, dia ingin mengambil ponsel yang tadinya ia simpan di kasur, tapi sekarang ponselnya sudah tidak ada."Kemana ponsel ku?" gumam batin Nur.Nur mengingat - ingat kembali dimana ia meletakkan ponselnya sebelum ia pergi mandi. Padahal ia ingat betul bahwa ia meletakkan ponselnya di atas kasurnya.Ia cari - cari di laci make up dan di meja samping ranjangnya pun tak ada. Nur kebingungan. Nur mencurigai bapak, bahwa mungkin saja bapak mengambil ponselnya lagi.Belum tuntas kebingungan Nur, ada suara salam dari teras rumah.Suara yang tak asing di telinga Nur, yaitu suara Ummi.Nur menarik napas dalam - dalam, lalu men
"Apa kamu sudah merasa senang dan merasa bebas sekarang? Apa kamu merasa bangga menjadi janda di usia semuda ini?" bunyi pertanyaan ibu Nur yang tiba - tiba saja ia lontarkan kepada putrinya yang malang.Nur masih hanyut dengan tangisnya, ia tak ingin mendengar ataupun menjawab pertanyaan - pertanyaan ibunya yang semakin melukai hati Nur.Sedangkan bapak terduduk kaku, menatap Nur yang tak berdaya. Ada rasa kecewa di hati bapak. Bapak marah, namun, di satu sisi bapak tak tega melihat keadaan dan situasi putrinya yang sulit dan telah menjadi berantakan."Memalukan! Karena ulahmu, semua anggota keluarga kami harus menanggung malu!" imbuh ibu Nur.Nur yang mendenger hal itu, sontak menatap tajam mata ibunya, lalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu. "Hei! orang tuamu belum selesai bicara!" bentak ibu Nur."Buk, sudah buk." kata bapak menenangkan ibu, lalu bapak pun berdiri dan meninggalkan ruangan itu.Nur mengambil kunci motornya yang ada di kamar lalu bergeg
Retina Nur terpaku pada bias Indah dari wujud pria yang bernama Gewa itu. Lalu, tersadar oleh pertanyaan iseng yang Gewa lemparkan kepadanya."Ngomong - ngomong kita selalu bertemu secara tidak sengaja ya Nur? hehe..." tanya Gewa. Beberapa menit setelah pertemuan tadi, kini dia sudah duduk di kursi kosong tepat di depan Nur."Iya. Apa jangan - jangan kamu buntuti aku terus ya? haha... enggak deh bercanda." kata Nur sembari tertawa.Setelah semua masalah yang Nur hadapi, baru kali ini Nur tertawa lewas. Seakan ia lupa atas semua beban yang sedang di pikul pada pundaknya."Ah, mana berani aku buntuti istri orang." jawab Gewa. Gewa pun tertawa kecil, namun, tawa itu sangat terlihat ia paksakan.Nur sontak terdiam, lalu, termenung sejenak. Melihat ekspresi Nur, Gewa tahu bahwa Nur tak nyaman dengan jawaban darinya. Sehingga membuat Gewa jadi tak enak hati."Emm... Nur, aku salah ngomong ya? Ma.." Nur segera membuka mulutnya, dan memotong kalimat Gewa."Tidak Gew! Tidak usah minta maaf da
Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Dia bernama Nur, gadis yang berparas sederhana itu masih sangat muda, usianya baru menginjak 19 tahun. Dia bekerja di sebuah toko buku yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya. Tak seperti anak lain yang bisa berkuliah, Nur memillih untuk bekerja karena melihat kondisi ekonomi kedua orang tuanya yang tak memungkinkan. Terbilang cukup sulit jika harus membiayai kuliahnya. Belum lagi biaya sekolah kedua adik kembarnya yang masih duduk di bangku SMA. Ibu Nur tidak bekerja. Terkadang ibu Nur hanya menerima pesanan jika ada yang memesan jajanan pasar padanya. Ya, Ibunya memang pandai membuat jajanan pasar. Sedangkan bapak Nur bekerja sebagai petani.Keuntungan hasil panen sebagai petani hanya cukup untuk biaya sekolah adik-adik dan untuk makan sehari-hari. Tak ada kemewahan, keluarga mereka sangat sederhana. Meski begitu Nur tidak pernah berkecil hati, dia sangat senang bisa bekerja di toko buku itu. Terlebih lagi, sahabatnya yang bernama Diana juga bekerja di toko buku tersebut.
Terik matahari menerobos melalui sela - sela kecil genteng hitam yang tatanannya sudah tidak lagi rapih.Kabut putih mengebul dari dapur. Ibu Nur terlihat sangat sibuk, sepertinya dia mendapat banyak pesanan."Nur bangun, bantuin ibuk buat jajan pesanan!" teriak ibu dari arah dapur membangunkan Nur.Hening tak ada sahutan dari Nur.Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 09:15 tapi Nur masih lelap, merebahkan tubuhnya di dipan miliknya.Ibu melangkahkan kaki menuju kamar Putrinya."Nur ayo bangun udah siang nih, bantuin ibu nak! Anak perawan jangan malas-malas!"Nur memanyunkan bibir sambil mengerdipkan matanya yang rasanya masih lengket"Iya buk, nur udah bangun. Kenapa nggak adek-adek aja sih yang bantuin ibuk?" protes Nur."Hiisss kamu ini! Adek - adek kamu lagi bantuin bapak di ladang. Udah jangan banyak protes! Cuci muka terus ke dapur bantuin ibuk! Ibuk ada banyak pesanan hari ini. Ada pesanan
Malam semakin pekat, seorang putra dan kedua orang tua renta itu masih betah mengobrol. Sepertinya obrolan yang cukup serius, ketiganya saling memandang dan bersahut - sahutan.Pak Kyai: Jadi, gimana mas?Danung : Apanya bi?(Danung pura - pura tidak mengerti apa yang di maksud, padahal sebenarnya dia sudah tau maksud abinya karena sering kali abi menanyakan pertanyaan yang sama)Pak kyai: Umur kamu sudah 35 loh nak, sampai kapan kamu mau melajang? Apa kamu tidak ingin membina rumah tangga seperti teman-temanmu? Setiap gadis yang Abi dan Ummi pilihkan selalu kamu tolak. Kamu mau yang seperti apa Nak ?Danung : Sebenarnya ada satu wanita yang Danung suka bi.Pak Kyai: Siapa nak? coba katakan ke Abi. (Pak kyai pastinya penasaran siapa wanita yang dimaksud putranya).Danung : Danung sudah lama menaruh hati pada Nur, Danung cuma mau menikah sama Nur, bi,ummi.Ummi : Nur putrinya Pak Abdul, depan rumah?(Ummi yang sedari t
Air mata tak henti - hentinya mengucur lancar ke pipi mulus Nur. Isak tangis berusaha ia tahan agar tak satu pun orang rumah mendengar. Dunia seakan runtuh. Dia mengingat kembali saat Gewa melamarnya kemarin, tapi kata - kata bapak tadi sore tiba - tiba terbesit di kapala. Memperparah luka batinnya. Seolah tak di beri jeda untuk menikmati kabar bahagia yang baru kemarin malam di bawa oleh Gewa, mendadak direnggut paksa oleh kedua orang tuanya sendiri. Betapa kecewanya Nur karena ibu dan bapak tidak mendukung pilihannya sendiri. Ini sudah zaman modern kenapa masih ada perjodohan seperti itu ?Namun seegois apapun mereka tetaplah orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan Nur dengan kasih sayang.Tangannya meraba-raba kasur, sedang mencari sesuatu. Gerakannya terhenti saat dia menemukan apa yang dia cari,yaitu sebuah ponsel. Dia menggeser layar ponselnya mencari nama kekasihnya. Ini belom terlalu larut, biasanya Gewa belum tidur jam segini. Dia juga belum balik ke peran
Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Retina Nur terpaku pada bias Indah dari wujud pria yang bernama Gewa itu. Lalu, tersadar oleh pertanyaan iseng yang Gewa lemparkan kepadanya."Ngomong - ngomong kita selalu bertemu secara tidak sengaja ya Nur? hehe..." tanya Gewa. Beberapa menit setelah pertemuan tadi, kini dia sudah duduk di kursi kosong tepat di depan Nur."Iya. Apa jangan - jangan kamu buntuti aku terus ya? haha... enggak deh bercanda." kata Nur sembari tertawa.Setelah semua masalah yang Nur hadapi, baru kali ini Nur tertawa lewas. Seakan ia lupa atas semua beban yang sedang di pikul pada pundaknya."Ah, mana berani aku buntuti istri orang." jawab Gewa. Gewa pun tertawa kecil, namun, tawa itu sangat terlihat ia paksakan.Nur sontak terdiam, lalu, termenung sejenak. Melihat ekspresi Nur, Gewa tahu bahwa Nur tak nyaman dengan jawaban darinya. Sehingga membuat Gewa jadi tak enak hati."Emm... Nur, aku salah ngomong ya? Ma.." Nur segera membuka mulutnya, dan memotong kalimat Gewa."Tidak Gew! Tidak usah minta maaf da
"Apa kamu sudah merasa senang dan merasa bebas sekarang? Apa kamu merasa bangga menjadi janda di usia semuda ini?" bunyi pertanyaan ibu Nur yang tiba - tiba saja ia lontarkan kepada putrinya yang malang.Nur masih hanyut dengan tangisnya, ia tak ingin mendengar ataupun menjawab pertanyaan - pertanyaan ibunya yang semakin melukai hati Nur.Sedangkan bapak terduduk kaku, menatap Nur yang tak berdaya. Ada rasa kecewa di hati bapak. Bapak marah, namun, di satu sisi bapak tak tega melihat keadaan dan situasi putrinya yang sulit dan telah menjadi berantakan."Memalukan! Karena ulahmu, semua anggota keluarga kami harus menanggung malu!" imbuh ibu Nur.Nur yang mendenger hal itu, sontak menatap tajam mata ibunya, lalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu. "Hei! orang tuamu belum selesai bicara!" bentak ibu Nur."Buk, sudah buk." kata bapak menenangkan ibu, lalu bapak pun berdiri dan meninggalkan ruangan itu.Nur mengambil kunci motornya yang ada di kamar lalu bergeg
Suasana pada pagi ini begitu cerah. Namun, tidak dengan suasana hati Nur. Hatinya berdebar, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar lagi Ummi, Abi, dan mas Danung akan kembali mendatangi rumahnya. Lebih tepatnya menemui Nur, untuk mencari penyelesaian dari bab permasalahan rumah tangga Nur dan mas Danung yang tak kunjung tamat. Selesai Nur mandi, dia ingin mengambil ponsel yang tadinya ia simpan di kasur, tapi sekarang ponselnya sudah tidak ada."Kemana ponsel ku?" gumam batin Nur.Nur mengingat - ingat kembali dimana ia meletakkan ponselnya sebelum ia pergi mandi. Padahal ia ingat betul bahwa ia meletakkan ponselnya di atas kasurnya.Ia cari - cari di laci make up dan di meja samping ranjangnya pun tak ada. Nur kebingungan. Nur mencurigai bapak, bahwa mungkin saja bapak mengambil ponselnya lagi.Belum tuntas kebingungan Nur, ada suara salam dari teras rumah.Suara yang tak asing di telinga Nur, yaitu suara Ummi.Nur menarik napas dalam - dalam, lalu men
Sepasang mata mas Danung mendelik, menatap Nur dengan penuh kemarahan. Lalu yang membuat Nur semakin tak enak hati adalah tatapan kecewa kedua mertuanya. Nur menundukkan kepalanya, sebab ia merasa malu.Abi memberi isyarat dengan arahan tangannya, menyuruh Nur untuk duduk di kursi kosong samping mas Danung. Karena sedari tadi ia memang berdiri saja."Jadi, bagaimana Nur?" tanya Abi mengawali pembicaraan.Nur masih terdiam sembari menundukkan kepala. Sama hal nya dengan mas Danung, ia tak berbicara sekecap pun."Waktu itu sebelum penentuan pernikahan kalian, bukankah Abi sudah bertanya 'apakah pernikahan itu atas kemauan nak Nur sendiri atau atas dasar keterpaksaan?'. Lantas nak Nur sendiri yang menjawab bahwa pernikahan itu atas kemauan nak Nur. Tapi kenapa sekarang nak Nur malah seperti ini?" lanjut Abi.Dengan amat sangat berat Nur memberanikan diri untuk berkata sejujurnya pada kedua mertua."Sebelumnya Nur minta maaf Abi, Ummi. Saat
Tubuh Nur gemetaran. Keringat dingin pun membasahi pipinya. Ia memberanikan diri mengarahkan pisau ke pergelangan tangan kirinya. Belum sempat ia menggoreskan benda tajam itu ke tubuhnya sendiri, tiba - tiba seseorang menampik tangan kanan Nur.Seketika Nur shock.Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Nur dan tampak membelalakkan mata itu adalah Ibu Nur.Ternyata sedari tadi Nur tak menyadari bahwa pintu kamarnya lupa tak ia tutup. Ibu yang tadinya berniat akan ke teras rumah pun harus berjalan melewati kamar Nur terlebih dahulu dan Ibu tak sengaja melihat anaknya akan melakukan hal bodoh itu.Syukurlah Ibu masih sempat mengetahuinya sebelum Nur benar - benar melakukannya.Ibu mengambil pisau yang terjatuh di atas lantai lalu melemparnya ke luar pintu kamar.Bunyi lemparan yang cukup keras pun membuat Nur kaget."Apa kamu sudah tidak waras?" tanya ibu dengan nada tinggi.Nur tak menjawab, hanya terdengar suara sese
"Kamu harus nurut dengan mas! Mas ini suami kamu!" kata mas Danung dengan nada suara tinggi.Nur tak bisa mengontrol emosinya."Nur benci sama mas Danung. Nur nggak cinta sama mas! Nur nikah dengan mas Danung cuma karena terpaksa!" Kemarahan Nur meledak.Suasana kamar menjadi semakin tegang.Wajah mas Danung menjadi pilu seketika, ia menatap Nur yang sedang melotot ke arahnya. Dapat mas Danung rasakan bahwa istrinya nemang benar - benar membencinya, terlebih lagi sorot mata tajam yang di lontarkan oleh gadis itu kepadanya. Mas Danung berbalik arah, kakinya melangkah meninggalkan Nur yang masih memelototi dirinya.Beberapa detik setelah mas Danung pergi, Nur tersadar dan menyesali atas apa yang ia katakan barusan. Kata - kata yang telah dia ucapkan sungguh berlebihan.Nur terduduk lemas di ranjangnya, sembari menangis.Tiada hari tanpa menangis.Mungkin saja hal buruk akan terjadi setelah ini. Nur sangat khawatir dan takut.
Setelah beberapa hari kesehatan Nur semakin membaik. Suhu badannya juga sudah normal. Walaupun kesehatannya membaik tapi suasana hatinya masih buruk. Ia masih sakit hati dengan suaminya, bahkan ia masih kecewa pada kedua orang tuanya yang lebih membela mas Danung.Hari sudah sore, Nur berniat untuk berkunjung ke rumah Diana. Mungkin menemui sahabatnya akan sedikit mengobati rasa sedih dan juga rasa bosannya.Nur mencari - cari kunci sepeda motornya, tapi ia tidak menemukan. Padahal Nur selalu menyimpan kunci sepeda motor di meja rias di dalam kamarnya. Nur kebingungan, ia juga tidak bisa meminta antar adik - adiknya, sebab keduanya sedang keluar rumah juga."Buk...!" teriak Nur memanggil ibunya.Tak mendapat sahutan dari Ibunya, Nur bergegas mencari Ibunya."Di mana sih Ibuk? padahal biasanya jam segini lagi nonton tv." gumam Nur seorang diri."Ibuukkk!" panggil gadis itu lagi."Ada apa Nur?" sahut ibu, suaranya terdengar berasal
Kokokan ayam jago lantang menggema memekik telinga. Membangunkan para manusia dari tidurnya, sekaligus pertanda bahwa pagi telah tiba. Nur sudah bangun sedari tadi. Dirinya memang tak bisa tidur nyenyak. Kerap terbangun karena tubuhnya terasa sakit, tulang - tulangnya pun terasa ngilu. Wajar saja, selama ini dia sering kali menahan rasa capek di tubuhnya. Sepulang kerja hanya ia gunakan untuk rebahan, Nur pun tak pernah pijat atau minum jamu saat sedang pegal.Nur hanya diam, tatapannya nampak nanar ke arah langit - langit atap rumah. Sampai tak sadar saat ranjangnya bergerak karena orang di sampingnya sedang menggeliat, baru saja tersadar dari tidurnya."Kamu sudah bangun Nur? Gimana kondisi badan kamu? Apa sudah terasa lebih baik?" tanya mas Danung, sembari menatap wajah isterinya.Tak ada jawaban dari Nur, matanya masih tertuju pada langit atap rumah.Bukannya Nur tidak dengar, tapi ia merasa malas berbicara pada pria itu.Mas Danung mengambil ponse